Diibaratkan
pertandingan marathon yang memerlukan reli yang panjang maka dibutuhkan stamina
yang matang. Tidak cukup start dengan teriakan yang lantang namun kemudian
diloyo di akhir finish. Atau bahkan tidak dapat mencapai finish. Demikianlah
kita membaca kasus Patrialis Akbar.
Dengan
mengucapkan kalimat sakti “Demi allah…”,
PA berujar bersumpah tidak menerima sepeser rupiahpun dari Basuki. Dan kemudian
diamini oleh Basuki Hariman. (BH) Keduanya kemudian terlibat dalam “tuduhan” cukup serius dari KPK sebagai “suap”. PA dituduh menerima suap sedangkan BH kemudian disebutkan “memberi suap”.
Dalam
pembicaraan masyarakat berbagai polemic kemudian mengemuka. Banyak yang masih
keliru mengenai korupsi. Sebagian masih berpendapat, unsur “korupsi” adalah adanya kerugian Negara. Kedua. Setiap OTT
memerlukan adanya barang bukti “uang yang
dituduh diterima”. Ketiga. Rangkaian menerima suap.
Masih banyak
kekeliruan dan pemahaman di tengah masyarakat yang menempatkan “korupsi” semata-mata cuma adanya unsur “kerugian negara’.
Padahal, suap
dikategorikan sebagai “korupsi sebagaimana
konvensi PBB tahun 2003. Konvensi ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia
berdasarkan UU No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan UNCAC pada tanggal 18 April
2006.
Didalam UU No.
31 Tahun 1999/UU No. 20 Tahun 2001, kategori suap dapat dilihat dari Pasal 5 hingga pasal 12. Makna ini
merupakan ancaman tertinggi dari unsur-unsur pasal-pasal 418 – Pasal 425 KUHP. Dengan
demikian sebelum diatur didalam UU Korupsi, tindak pidana suap dikenal didalam KUHP. Dengan demikian, maka terhadap
penyelenggara Negara ataupun penegak hukum tidak dibenarkan menerima suap.
Makna ini
kemudian berdasarkan pasal 6 UU ayat (2) No. 21 Tahun 2001 kemudian menegaskan,
unsur-unsur pasal didalam tindak pidana korupsi tidak merujuk kepada
unsur-unsur terhadap pasal 5 – Pasal 12 KUHP. Makna ini kemudian dikenal
sebagai asas “Lex specialis derogate lex
generalis”. Dengan demikian, maka tindak pidana suap tidak dibenarkan baik
didalam hukum nasional sebagaimana diatur didalam KUHP dan kemudian dipertegas
didalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.
Dengan demikian
apabila bentuk korupsi baik dimulai dari “perbuatan
melawan hukum .. merugikan keuangan Negara, memperkaya diri sendiri, “penyalahgunaan wewenang, memperkaya diri
sendiri/orang lain, merugikan keuangan Negara”, dan “suap”. Sehingga kekelliruan terhadap “suap” yang disebutkan “tidak merugikan keuangan Negara” adalah
bentuk “kesesatan (mistake)” yang
harus diluruskan. Dari ranah ini, maka kemudian kita bisa menempatkan “suap” sebagai tindak pidana korupsi.
Selanjutnya.
Adanya tuduhan Setiap OTT memerlukan adanya barang bukti “uang yang dituduh diterima”. Ini salah satu tema yang menarik untuk
dikaji.
Mengenai “uang diterima”. Uang diterima adalah barang
bukti. Bukan alat bukti. Didalam
KUHAP, barang bukti tidak merupakan keharusan didalam hukum
acara pidana. Walaupun tindak pidana korupsi telah diatur didalam UU Khusus (Lex specialis derogate lex generalis), namun
hukum acara tindak pidana korupsi tidak diatur didalam UU No. 31 Tahun 1999. Maka berkaitan dengan hukum acara masih
tunduk kepada KUHAP. Didalam KUHAP menyebutkan definisi “barang bukti” dan alat bukti.
Mencampur-adukkan istilah “barang bukti”, “alat bukti” dan pembuktian didalam lapangan hukum acara pidana
menyesatkan.
Istilah barang bukti disebutkan yaitu “alat yang dipakai melakukan tindak pidana” maupun “hasil tindak pidana[1]”.
Berbagai yurisprudensi kemudian menyebutkan Untuk menjadi barang bukti dalam suatu
perkara pidana tidak disyaratkan bahwa barang itu disebut dalam surat tuduhan.
Barang bukti harus diperlihatkan kepada saksi[2]
juga terdakwa dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenai benda itu.
Tentunya juga diperlihatkan bukti diam
(silent evidence) seperti jejak jari, benda-benda yang menjadi barang bukti.
Alasan yang disampaikan oleh saksi untuk memberi keterangan.
Berbeda dengan
alat bukti. Didalam praktek hukum acara pidana,
pasal 184 KUHAP menegaskan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai “alat bukti”. Alat bukti itu terdiri dari
saksi, saksi ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa.
Pasal 184 KUHAP yang menegaskan “alat bukti”
adalah sebagai alat untuk melihat apakah telah terbukti melakukan tindak pidana
atau tidak. Bahkan sebagai bahan bagi hakim untuk menentukan kesalahan atau
tidak terhadap pelaku. Didalam pasal 183 KUHAP secara tegas dinyatakan, bahwa
hakim harus memutuskan berdasarkan kepada dua alat bukti yang sah. Begitu pula
putusan, harus menjelaskan putusan itu dijatuhkan yang berdasarkan alat bukti
yang sah.
Lalu, bagaimana dengan kekuatan “barang bukti”. Dalam praktek pidana,
barang bukti mempunyai kekuatan pembuktian apabila telah diterangkan para
saksi, ahli dan surat, keterangan tersangka yang menerangkan tentang barang
bukti tersebut. “barang bukti” tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat apabila tidak ada saksi, ahli, atau
surat atau keterangan tersangka yang menerangkan tentang “barang bukti” tersebut. Didalam KUHAP, mencantumkan “barang bukti dapat dihadirkan… “
Dan hakim berwenang untuk tidak usah
mendengar semua saksi apabila pengadilan negeri berpendapat, bahwa dalam
pemeriksaan di persidangan telah terdapat cukup alat-alat pembuktian untuk
menghukum terdakwa. Namun yang harus Penasehat Hukum perhatikan tentang barang
bukti yang dihadirkan oleh Jaksa penuntut umum ditentukan haruslah sesuai
dengan fakta-fakta persidangan.
Dengan melihat kekuatan “barang bukti” dibandingkan dengan “alat bukti”, maka tentu saja KPK ketika melakukan operasi OTT
terhadap PA dan BH tidak sertamerta mendasarkan “barang bukti” uang yang “diakui
tidak diterima oleh PA”. Berbagai penyadapan maupun berbagai rangkaian
kemudian bermuara kepada PA. Teknik penyidikan secara sekilas sempat disampaikan oleh KPK didalam
konferensi persnya dan dibuktikan di
persidangan.
Ketiga.
Rangkaian menerima suap. Tema yang cukup menarik adalah “apakah PA” telah menerima suap dari BH ”tanpa adanya “barang bukti”.
Ada scenario
menarik apabila dilihat dari kalimat sakti “Demi
allah.. “ dari PA dan pernyataan dari BH yang tidak mengetahui apakah uang
yang diberikannya kepada Kamaluddin (K) telah diberikan kepada PA.
Skenario
pertama adalah “pengakuan PA” yang
tidak pernah menerima “sesuatu” dari
BH sudah terkonfirmasi baik dari pengakuan PA maupun dari pernyataan BH. Namun
yang dilupakan adalah keterangan dari K. Melihat rangkaian (baik pengakuan PA dan BH ketika pertemuan
“tidak pernah membicarakan uang”), maka KPK sudah mengetahui alur
komunikasi antara PA, BH dan K. Hubungan langsung antara PA dengan BH belum
diketahui secara langsung. Sehingga alur perjalanan “uang” dari BH ke K dan PA (walaupun
PA dan BH tidak berkomunikasi langsung dengan alur perjalanan uang)
merupakan peristiwa yang menarik dan dapat kita lihat nanti waktu persidangan. Ini
adalah “modus” baru terhadap “pengingkaran” para tersangka dari kasus
korupsi.
Lalu apa
kepentingan BH “memberikan uang”
kepada K apabila tidak berkaitan dengan bisnisnya yang terganggu berdasarkan
kepentingan pengujian UU. Sehingga pernyataan BH yang tidak “memberikan uang” kepada PA sama sekali
tidak sesuai dengan “pemberian uang”
kepada K.
Dan ingat. Uang
diberikannya tidak sedikit. Bahkan didalam Konpres, KPK sudah mensinyalir “pemberian ketiga”.
Sehingga
kalimat “PA tidak pernah menerima uang
dari BH” tidak bisa diartikan secara grammatical.
Bukan “essensi”. Dari praktek hukum
pidana, pernyataan ini dapat diartikan, “walaupun
PA tidak menerima sepeser
rupiahpun dari Basuki”,
namun “PA menerima “sesuatu” dari K”.
K menerima dari BH’. Sehingga redaksi kalimatnya menjadi tepat “PA menerima sesuatu dari BH “melalui” K”.
Terlepas dari
pembuktian yang akan disaksikan didalam persidangan, maka yang dilupakan PA
adalah “bertemu dan membicarakan perkara
yang sedang berjalan”.
Didalam kode
etik sudah disebutkan “menjaga jarak
untuk tidak berhubungan langsung atau tidak langsung baik dengan pihak
berperkara maupun dengan pihak lain dengan perkara yang akan atau sedang
ditangani sehingga dapat mempengaruhi obyektivias atau citra mengenai
obyektivitas putusan yang dijatuhkan.
Sehingga “pertemuan” PA dan BH “walaupun” tidak membicarakan uang, namun
membicarakan perkara yang sedang ditangani oleh PA telah masuk ke ranah
pelanggaran etik. Dengan demikian, pernyataan PA “seakan-akan” dizolimi tidak tepat lagi.
Namun yang
ditunggu adalah pernyataan KPK tentang akan menelisik “keterlibatan” internal di MK. Apakah yang dilakukan oleh PA
merupakan “perbuatan sendiri”
menyalahgunakan wewenangnya sebagai hakim MK untuk “bermain-main” dengan pihak luar atau memang ada “desain” khusus dari PA untuk mempengaruhi
hakim-hakim MK sebelum pengambilan putusan.
Apabila “peran” PA begitu dominan sehingga
putusan kemudian “sesuai” dengan order dari BH, maka kemudian harus
dibuktikan, apakah “uang” dari BH
juga mengalir kepada hakim-hakim MK yang lain.
Namun apabila “cuma” PA yang bermain, maka PA “mengambil keuntungan” dari hasil putusan
perkara yang sudah diputuskan. Cara ini mirip dengna yang dilakukan dalam kasus
Akil Muchtar, Kalau istilah yang biasa
disebut “nembak diatas kudo”. Cara
ini sering dipraktekkan oleh “mafia” yang
menghubungi para pihak agar “menyetor”
sejumlah uang. Padahal perkara yang disebutkan telah diputuskan.
Peristiwa yang
paling anyar terjadi dalam kasus Rohadi, Panitera Pengganti PN Jakarta Utara.
Mari kita
tunggu adegan selanjutnya.
Namun yang
pasti. Dibutuhkan stamina yang kuat untuk mengikuti persidangan. Berbagai
fakta-fakta yang “belum” disebutkan
didalam konpres, akan terkuak. Dan kita kemudian terkaget-kaget dengan
fakta-fakta yang akan terbuka di persidangan.
Dimuat Harian Jambi Independent, 31 Januari 2017
Dimuat Harian Jambi Independent, 31 Januari 2017