Beberapa
waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo memberikan pengarahan kepada Peserta
Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2017 di
Istana Negara Jakarta. “Saya rasa semua
ingat kebakaran tahun 2015 betul-betul kita pontang-panting," kata
Jokowi.
Makna
“pontang-panting” ditandai dengan
kebakaran tahun 2015 tiga bulan ditutupi asap, meluluhlantakkan 5 Propinsi (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah). Anak-anak
sekolah diliburkan. Penerbangan terganggu di Kalbar dan Sumsel. Bahkan lumpuh
di Riau, Jambi dan Kalteng.
LAPAN
kemudian merilis luas terbakar mencapai 2,08
juta ha dengan 618 ribu ha gambut dan 1,4 juta ha non gambut. Setara 32 kali luas Jakarta atau 4 kali Pulau
Bali (BNPB).
Estimati terbakar terluas di Sumsel
(359.100 ha) disusul Kalteng (330.865 ha), Riau (169.119 ha), Kalbar (167.691
ha) dan Jambi (137.853 ha). Kelima daerah kemudian
menyatakan “darurat asap” sehingga diperlukan upaya Negara untuk memadamkan api
selama tiga bulan lebih.
25,6
juta orang terpapar asap yang mengakibatkan 342.152 jiwa terserang ISPA. 12 orang
anak-anak meninggal dunia akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan. 4 balita
di Kalteng, 3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3 di Riau dan 1 orang di
Sumsel (Walhi, 2015).
Kebakaran
2015 kemudian menimbulkan kerugian US$ 16 milyar (Rp 221 Trilyun). Setara
dengan dengan 1,9% PDB Indonesia atau dua kali lipat biaya rekonstruksi Aceh
pasca tsunami (Kompas, 17
Desember 2015)
Selain
itu kebakaran 2015 merupakan kebakaran
terbesar dan terluas setelah tahun 1982-1983 yang mencapai 3,2 juta hektare.
Kemudian disusul pada 1997 seluas 1,3 juta hektare. The Singapore Center for
Remote Sensing menyebutkan 1,5 juta hektar (Walhi, 2015). Kebakaran tahun 1997
diperparah dengan El Nino, gejala kekeringan yang meliputi 17 Propinsi di
Indonesia.
Asapnya
menyebar ke Malaysia dan Singapura. Malaysia
sudah menyampaikan nota protes kepada Indonesia. Singapura melalui National
Enviroment Agency (NEA) melayangkan gugatan terhadap lima perusahaan terbakar
yang terdaftar di Singapura
Indeks standar pencemaran udara (ISPU) melampaui batas
berbahaya. Bahkan hingga enam kali lipat seperti yang terjadi di Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Barat. Menyebabkan asap pekat dan
menghasilkan emisi
gas rumah kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang berkontribusi terhadap perubahan
iklim. NASA memperkirakan 600 juta ton gas rumah kaca telah
dilepas akibat kebakaran hutan di Indonesia (setara emisi tahunan gas yang
dilepas Jerman).
Kebakaran
2015 kemudian memberikan pemahaman tentang gambut, penegakkan hukum dan
pengetahuan lokal tentang gambut.
Restorasi Gambut
Gambut mempunyai karakteristik seperti
ekosistem lahan basah yang unik, keanekaragaman hayati, ekosistem yang
khas namun miskin unsur hara bagi
pertumbuhan vegetasi diatasnya.
Gambut berfungsi dan manfaat yang unik,
mencegah terjadinya kerusakan ekosistem sistem gambut, satu kesatuan yang utuh,
saling mempengaruhi, penambat air dan pencegah banjir (PP No. 71 Tahun 2014)
Keunikan gambut dapat dilihat di Pantai
Timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumsel). Namun kawasan gambut kemudian diberikan
kepada industri HTI dan Perkebunan sawit. Nasib serupa terjadi di Kalimantan.
Selain UU Perkebunan dan berbagai
peraturan yang kemudian meletakkan kawasan gambut sebagai kawasan gambut
budidaya yang bisa dikelola oleh industri kemudian menyebabkan Keunikan Gambut
kemudian hancur memanjang di Pantai Timur Sumatera. Perlakuan kawasan gambut
selain unik dan berbeda dengan kawasan non gambut (mineral) menyebabkan
kebakaran terus menerus. Sehingga 5 tahun terakhir kebakaran tidak
terhindarkan.
Kebakaran menghanguskan kubah gambut (peat dome), merusak hidrologi gambut,
menghancurkan ekosistem gambut dan gambut tidak dapat lagi dikendalikan ketika
terbakar.
Sehingga kebakaran di lahan gambut seluas
618 ribu ha kemudian sulit dipadamkan. Kebakaran terus terjadi sehingga memasuki awal November
2015 dan dapat dipadamkan setelah memasuki musim hujan.
Presiden Jokowi mengeluarkan Inpres No.
11 Tahun 2015 Tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
dan disusul Perpres No. 1 Tahun 2016
Tentang Badan Restorasi Gambut dan PP No. 57 Tahun 2016 perubahan PP No. 71 Tahun
2014.
PP No. 57 Tahun 2016 kemudian memberikan
mandat kepada Pemerintah Daerah untuk pembasahan gambut diluar kawasan hutan.
Padahal BRG ditugaskan oleh Jokowi melakukan restorasi gambut 2 juta ha selama
5 tahun termasuk diluar kawasan hutan (Areal penggunaan lain).
Dengan demikian, maka PP No. 57 Tahun
2016 kemudian menegasikan mandat BRG sebagaimana diatur didalam Perpres No. 1
Tahun 2016. Tumpang tindih kewenangan melakukan restorasi gambut menyebabkan
kesulitan di lapangan.
Selain itu menempatkan kawasan gambut
budidaya yang bertentangan kawasan hidrologi gambut kemudian menjadi penyumbang
persoalan pelik. Sehingga diperlukan mengembalikan fungsi gambut dan menetapkan
kawasan gambut yang tidak dapat dibebani industri baik HTI maupun perkebunan
sawit.
Dengan demikian maka upaya mengembalikan
fungsi gambut (restorasi gambut) merupakan pekerjaan yang mendesak juga
berkejaran waktu dengan mendatangnya musim kemarau awal Februari. Sehingga
pembasahan dan mengembalikan fungsi
gambut tidak dapat ditunda.
Penegakkan Hukum
Walhi sendiri mencatat, hasil analisis
menunjukkan mayoritas titik api di dalam konsesi perusahaan. Di HTI 5.669 titik
api, perkebunan sawit 9.168 titik api. Sehingga tidak salah kemudian industri
menjadi penyebab utama kebakaran tahun 2015.
Inpres No. 15 Tahun 2015 telah menegaskan
“penegakkan hukum dan memberikan sanksi
yang tegas terhadap perorangan atau badan hukum yang terlibat dengan kegiatan
pembakaran hutan dan lahan”.
Namun
hukum belum mampu menjangkau perusahaan untuk diminta pertanggungjawaban (liability). Proses penegakkan hukum
terhadap perusahaan penyebab kebakaran tahun 2015 yang berlarut-larut, lambat
kemudian sepi dari pemberitaan. Penegakkan
hukum terhadap perusahaan baik HTI maupun perkebunan sawit belum menampakkan
kemajuan yang berarti.
Padahal merujuk pasal 48
ayat (3) UU Kehutanan, PP No. 4 Tahun 2001, PP No. 45 Tahun 2004, Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 47 tahun 2014, telah
menempatkan pertanggungjawab penuh (absolute liability). Dengan demikian maka
asas absolute liability kemudian
dapat meminta pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault) dan mengenyampingkan asas liability based on fault. Asas yang
mengenyampingkan Tiada pidana tanpa kesalahan
(Geen straf zonder
schuld) yang dikenal dalam sistem hukum Eropa continental.
Gaungnya
kemudian tenggelam dengan upaya restorasi gambut. Sehingga praktis upaya
penegakkan hukum menjadi sporadik dan tidak menjawab akar masalah didalam
melaksanakan Inpres No. 15 Tahun 2015.
Pengetahuan Lokal
Menempatkan
pelaku petani sebagai penyumbang asap menyakitkan. Tuduhan terhadap petani
penyebab kebakaran 2015 selain menyakitkan juga tidak sesuai dengan kenyataan
di lapangan. Titik api di areal konsensi terutama yang berada di kedalaman
gambut diatas tiga meter inilah yang sulit dipadamkan.
Namun
upaya sistematis dan melemparkan tanggungjawab terhadap kepada masyarakat
selain menafikan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat juga “mengalihkan”
persoalan kepada petani.
Upaya
ini juga sekaligus melepaskan tanggungjawab perusahaan sebagai penyebab
kebakaran tahun 2015 dan menutupi proses hukum terhadap perusahaan penyebab
kebakaran.
Padahal
masyarakat di kawasan gambut mempunyai cara dan pengelolaan terhadap gambut.
Di
Jambi, cara pengaturan tentang wilayah yang dikenal seperti “peumoan, pematang,”, tradisi
membersihkan lahan seperti pelarian,
beselang maupun tata cara membuka lahan seperti melaras, menebang, mereda, melarat, membakar dan memerun”maupun
teknik mengelola wilayah “peumoan” seperti “mengorot,
ngaur, ngiri, menampi sudah dikenal masyarakat.
Bahkan
dalam tradisi “merun”, dikenal mantra hantu tanah, jumblang tanah, Betak biuto,
Tembu Beriang, Dibatasi lahan kayu, lahan rempai, Keluarlah
dari sini. Kalau
dak mau keluar, lukah dak kami pampah. Mati dak kami bangun. Kami membakar yang layu yang rengah. Jin Api.
Jin Angin bakarlah yang layu yang rengah. Dengan pembacaan mantra, maka api
tidak menjalar dan dapat dikendalikan hingga masa menugal.
Selain
itu masyarakat mampu mengidentifikasi lahan gambut dengan kedalaman yang
ditandai dengan “akar bekait, pohon jernang dan pakis”. Lahan yang tidak boleh
dibuka berdasarkan hukum adat.
Berdasarkan
peta hidrologi gambut dikenal sebagai gambut dalam. Di Marga Kumpeh Ilir,
tradisi ini telah dikenal sejak abad XVIII. Makna ini sesuai dengan pasal 69 UU
Lingkungan Hidup yang mengadopsi dan mengakui masyarakat tentang cara membakar.
Di Jambi biasa disebut “merun”.
Lahan
gambut dengan kedalaman diatas tiga meter yang dilindungi masyarakat dan tidak
boleh dibuka kemudian diberikan konsensi kepada perusahaan. Lahan yang telah
diberikan kemudian dihancurkan dengna dibangun kanal-kanal sehingga menjadi
penyumbang kebakaran sejak tahun 2010.