25 Januari 2017

opini musri nauli : INDONESIA DARURAT KEBAKARAN



Beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo memberikan pengarahan kepada Peserta Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2017 di Istana Negara Jakarta. “Saya rasa semua ingat kebakaran tahun 2015 betul-betul kita pontang-panting," kata Jokowi. 

Makna “pontang-panting” ditandai dengan kebakaran tahun 2015 tiga bulan ditutupi asap, meluluhlantakkan 5 Propinsi (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah). Anak-anak sekolah diliburkan. Penerbangan terganggu di Kalbar dan Sumsel. Bahkan lumpuh di Riau, Jambi dan Kalteng.

LAPAN kemudian merilis luas terbakar mencapai 2,08 juta ha dengan 618 ribu ha gambut dan 1,4 juta ha non gambut.  Setara 32 kali luas Jakarta atau 4 kali Pulau Bali (BNPB).

Estimati terbakar terluas di Sumsel (359.100 ha) disusul Kalteng (330.865 ha), Riau (169.119 ha), Kalbar (167.691 ha)  dan Jambi (137.853 ha). Kelima daerah kemudian menyatakan “darurat asap” sehingga diperlukan upaya Negara untuk memadamkan api selama tiga bulan lebih.

25,6 juta orang terpapar asap yang mengakibatkan 342.152 jiwa terserang ISPA.  12 orang anak-anak meninggal dunia akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan. 4 balita di Kalteng, 3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3 di Riau dan 1 orang di Sumsel (Walhi, 2015).

Kebakaran 2015 kemudian menimbulkan kerugian US$ 16 milyar (Rp 221 Trilyun). Setara dengan dengan 1,9% PDB Indonesia atau dua kali lipat biaya rekonstruksi Aceh pasca tsunami (Kompas, 17 Desember 2015)

Selain itu kebakaran 2015 merupakan kebakaran terbesar dan terluas setelah tahun 1982-1983 yang mencapai 3,2 juta hektare. Kemudian disusul pada 1997 seluas 1,3 juta hektare. The Singapore Center for Remote Sensing menyebutkan 1,5 juta hektar (Walhi, 2015). Kebakaran tahun 1997 diperparah dengan El Nino, gejala kekeringan yang meliputi 17 Propinsi di Indonesia.

Asapnya menyebar ke Malaysia dan Singapura. Malaysia sudah menyampaikan nota protes kepada Indonesia. Singapura melalui National Enviroment Agency (NEA) melayangkan gugatan terhadap lima perusahaan terbakar yang terdaftar di Singapura

Indeks standar pencemaran udara (ISPU) melampaui batas berbahaya. Bahkan hingga enam kali lipat seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Menyebabkan asap pekat dan  menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. NASA memperkirakan 600 juta ton gas rumah kaca telah dilepas akibat kebakaran hutan di Indonesia (setara emisi tahunan gas yang dilepas Jerman).

Kebakaran 2015 kemudian memberikan pemahaman tentang gambut, penegakkan hukum dan pengetahuan lokal tentang gambut.

Restorasi Gambut

Gambut mempunyai karakteristik seperti ekosistem lahan basah yang unik, keanekaragaman hayati, ekosistem yang khas  namun miskin unsur hara bagi pertumbuhan vegetasi diatasnya.

Gambut berfungsi dan manfaat yang unik, mencegah terjadinya kerusakan ekosistem sistem gambut, satu kesatuan yang utuh, saling mempengaruhi, penambat air dan pencegah banjir (PP No. 71 Tahun 2014)

Keunikan gambut dapat dilihat di Pantai Timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumsel). Namun kawasan gambut kemudian diberikan kepada industri HTI dan Perkebunan sawit. Nasib serupa terjadi di Kalimantan.

Selain UU Perkebunan dan berbagai peraturan yang kemudian meletakkan kawasan gambut sebagai kawasan gambut budidaya yang bisa dikelola oleh industri kemudian menyebabkan Keunikan Gambut kemudian hancur memanjang di Pantai Timur Sumatera. Perlakuan kawasan gambut selain unik dan berbeda dengan kawasan non gambut (mineral) menyebabkan kebakaran terus menerus. Sehingga 5 tahun terakhir kebakaran tidak terhindarkan.

Kebakaran menghanguskan kubah gambut (peat dome), merusak hidrologi gambut, menghancurkan ekosistem gambut dan gambut tidak dapat lagi dikendalikan ketika terbakar.

Sehingga kebakaran di lahan gambut seluas 618 ribu ha kemudian sulit dipadamkan. Kebakaran  terus terjadi sehingga memasuki awal November 2015 dan dapat dipadamkan setelah memasuki musim hujan.

Presiden Jokowi mengeluarkan Inpres No. 11 Tahun 2015 Tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan dan  disusul Perpres No. 1 Tahun 2016 Tentang Badan Restorasi Gambut dan PP No. 57 Tahun 2016 perubahan PP No. 71 Tahun 2014.

PP No. 57 Tahun 2016 kemudian memberikan mandat kepada Pemerintah Daerah untuk pembasahan gambut diluar kawasan hutan. Padahal BRG ditugaskan oleh Jokowi melakukan restorasi gambut 2 juta ha selama 5 tahun termasuk diluar kawasan hutan (Areal penggunaan lain).

Dengan demikian, maka PP No. 57 Tahun 2016 kemudian menegasikan mandat BRG sebagaimana diatur didalam Perpres No. 1 Tahun 2016. Tumpang tindih kewenangan melakukan restorasi gambut menyebabkan kesulitan di lapangan. 

Selain itu menempatkan kawasan gambut budidaya yang bertentangan kawasan hidrologi gambut kemudian menjadi penyumbang persoalan pelik. Sehingga diperlukan mengembalikan fungsi gambut dan menetapkan kawasan gambut yang tidak dapat dibebani industri baik HTI maupun perkebunan sawit.

Dengan demikian maka upaya mengembalikan fungsi gambut (restorasi gambut) merupakan pekerjaan yang mendesak juga berkejaran waktu dengan mendatangnya musim kemarau awal Februari. Sehingga pembasahan dan mengembalikan fungsi  gambut tidak dapat ditunda.

Penegakkan Hukum

Walhi sendiri mencatat, hasil analisis menunjukkan mayoritas titik api di dalam konsesi perusahaan. Di HTI 5.669 titik api, perkebunan sawit 9.168 titik api. Sehingga tidak salah kemudian industri menjadi penyebab utama kebakaran tahun 2015.

Inpres No. 15 Tahun 2015 telah menegaskan “penegakkan hukum dan memberikan sanksi yang tegas terhadap perorangan atau badan hukum yang terlibat dengan kegiatan pembakaran hutan dan lahan”.

Namun hukum belum mampu menjangkau perusahaan untuk diminta pertanggungjawaban (liability). Proses penegakkan hukum terhadap perusahaan penyebab kebakaran tahun 2015 yang berlarut-larut, lambat kemudian sepi dari pemberitaan. Penegakkan hukum terhadap perusahaan baik HTI maupun perkebunan sawit belum menampakkan kemajuan yang berarti.

Padahal merujuk pasal 48 ayat (3) UU Kehutanan, PP No. 4 Tahun 2001, PP No. 45 Tahun 2004, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 47 tahun 2014, telah menempatkan pertanggungjawab penuh (absolute liability). Dengan demikian maka asas absolute liability kemudian dapat meminta pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault) dan mengenyampingkan asas liability based on fault. Asas yang mengenyampingkan Tiada pidana tanpa kesalahan  (Geen straf zonder schuld) yang dikenal dalam sistem hukum Eropa continental.

Gaungnya kemudian tenggelam dengan upaya restorasi gambut. Sehingga praktis upaya penegakkan hukum menjadi sporadik dan tidak menjawab akar masalah didalam melaksanakan Inpres No. 15 Tahun 2015.

Pengetahuan Lokal

Menempatkan pelaku petani sebagai penyumbang asap menyakitkan. Tuduhan terhadap petani penyebab kebakaran 2015 selain menyakitkan juga tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Titik api di areal konsensi terutama yang berada di kedalaman gambut diatas tiga meter inilah yang sulit dipadamkan.

Namun upaya sistematis dan melemparkan tanggungjawab terhadap kepada masyarakat selain menafikan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat juga “mengalihkan” persoalan kepada petani.

Upaya ini juga sekaligus melepaskan tanggungjawab perusahaan sebagai penyebab kebakaran tahun 2015 dan menutupi proses hukum terhadap perusahaan penyebab kebakaran.

Padahal masyarakat di kawasan gambut mempunyai cara dan pengelolaan terhadap gambut.

Di Jambi, cara pengaturan tentang wilayah yang dikenal seperti “peumoan, pematang,”, tradisi membersihkan lahan seperti pelarian, beselang maupun tata cara membuka lahan seperti melaras, menebang, mereda, melarat, membakar dan memerun”maupun teknik mengelola wilayah “peumoan” seperti “mengorot, ngaur, ngiri, menampi sudah dikenal masyarakat.

Bahkan dalam tradisi “merun”, dikenal mantra  hantu tanah, jumblang tanah, Betak biuto, Tembu Beriang, Dibatasi lahan kayu, lahan rempai,  Keluarlah dari sini.   Kalau dak mau keluar, lukah dak kami pampah. Mati dak kami bangun.   Kami membakar yang layu yang rengah.  Jin Api. Jin Angin bakarlah yang layu yang rengah. Dengan pembacaan mantra, maka api tidak menjalar dan dapat dikendalikan hingga masa menugal.

Selain itu masyarakat mampu mengidentifikasi lahan gambut dengan kedalaman yang ditandai dengan “akar bekait, pohon jernang dan pakis”. Lahan yang tidak boleh dibuka berdasarkan hukum adat.

Berdasarkan peta hidrologi gambut dikenal sebagai gambut dalam. Di Marga Kumpeh Ilir, tradisi ini telah dikenal sejak abad XVIII. Makna ini sesuai dengan pasal 69 UU Lingkungan Hidup yang mengadopsi dan mengakui masyarakat tentang cara membakar. Di Jambi biasa disebut “merun”.

Lahan gambut dengan kedalaman diatas tiga meter yang dilindungi masyarakat dan tidak boleh dibuka kemudian diberikan konsensi kepada perusahaan. Lahan yang telah diberikan kemudian dihancurkan dengna dibangun kanal-kanal sehingga menjadi penyumbang kebakaran sejak tahun 2010.