27 Januari 2017

opini musri nauli : PATRIALIS AKBAR – HERO TO ZERO


Tiba-tiba membaca status FB dari jemaat FB tertangkapnya Patrialis Akbar (PA) dalam operasi Tangkap tangan (OTT) KPK cukup mengagetkan. Entah “gemuruh” angin ataupun suara gelegar Guntur menyambar pagi hari. Ditambah jauh dari perkotaan, tidak ada televisi dan mengandalkan internet, berita tentang tertangkapnya (PA) menimbulkan tanda Tanya. Kasus apa yang kemudian menjerat PA.
Sembari menunggu kabar resmi dari KPK, ingatanku membayang 3 tahun yang lalu.

Teringat Tim Advokasi Koalisi Penyelamatan Mahkamah Konstitusi  menggagas mengadakan pertemuan kecil untuk mempersiapkan permohonan ke PTUN Jakarta terhadap pengangkatan PA sebagai hakim MK. Saya yang kebetulan lagi membahas judicial review UU P3H kemudian dimasukkan sebagai tim kuasa hukum mengajukan permohonan ke PTUN Jakarta.  Waktu itu kebetulan mobilitas ke Jakarta cukup tinggi. Selain Walhi sedang mengajukan gugatan kepada Presiden dkk terhadap kebakaran di Riau dan Jambi tahun 2013, terlibat dalam korsup KPK Pengukuhan Kawasan Hutan dan Korsup KPK Minerba dan pembahasan judicial review UU P3H. 

Dengan guyon teman-teman berkata “Nah. Ini Pengacara. Masuk jadi kuasa hukum kasus Patrialis Akbar, ya. Kita mau gugat ke PTUN Keppres SBY” (baca Keputusan Presiden Nomor 87/P tahun 2013)

Materi permohonan PTUN Jakarta disebabkan SBY mengeluarkan Keppres tidak transparan dan partisipatif  dan mengandung cacat hukum.  Padahal, PA diberhentikan “ditengah jalan” sebagai Menteri Hukum dan HAM dan dikenal sebagai “orang suka obral remisi”. Sehingga dikenal sebagai orang yang tidak mendukung pemberantasan korupsi.

Logika aneh. Diberhentikan sebagai Menteri Hukum dan HAM dan tidak berprestasi namun kemudian diusulkan oleh SBY sebagai hakim MK.

Mengingat mobilitas saya di Jakarta, maka saya kemudian dapat terlibat di awal pembahasan materi permohonan PTUN Jakarta.

Saya cuma ingat beberapa kali menghadiri persidangan. Jadi agendanya muter-muter. PTUN Jakarta – PN Jakarta Pusat.

Saya kemudian mendapatkan kabar putusan PTUN Jakarta yang membatalkan Keppres terhadap PA. Dengan demikian, persoalan hukum terhadap PA menimbulkan “masalah”.

Hampir praktis setelah putusan PTUN Jakarta, kiprah PA kemudian saya ikuti. Baik komentar tentang “suasana Pilkada Jakarta”, tentang penistaan agama maupun berbagai “berita miring” sebagai hakim MK. Entah sebagai panel hakim maupun didalam persidangan-persidangan MK.

Padahal ada ungkapan klasik yang digunakan untuk meyakinkan hakim harus obyektif, netral, tidak memihak (imparsial) adalah “the rule of law, not met”, “law is reason, not passion”, “judge are mere mouthpiece of the law”. John Marshal menegaskan “court are mere instruments of law, and can will nothing”.

Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan pada tahun 2007 telah mengingatkan jabatan hakim adalah jabatan diam. Jabatan yang tidak membicarakan pekerjaannya di depan publik.

Para hakim juga tidak diperbolehkan memberi komentar terhadap putusannya maupun putusan orang lain di muka publik.

Jabatan diam itu merupakan tradisi para hakim dimana pun yang harus dihormati.

Bagir juga menyatakan, selain tidak boleh mengomentari pekerjaannya sendiri, hakim-hakim dimanapun saja sangat tidak layak mengomentari pekerjaan instansi lain atau lembaga lain. Tidak boleh, tidak wajar, tidak layak. Hakim harus independen, adalah hakim yang netral kepada siapapun saja.

Sebagai jabatan – meminjam istlah Bagir Manan – Jabatan diam.

Sementara itu di dalam berbagai kesempatan terpisah, saya mendapatkan kabar dari teman-teman yang sidang di MK, “seakan” dendam dengan Tim Kuasa hukum yang sidang di MK yang pernah mempersoalkannya di PTUN Jakarta.

Waktu itu dengan santai saya ngomong. “Hayo. Kita perbaiki materi permohonan. Dan issu ini cukup sampai disini. Tidak perlu melebar keluar. Nanti kita dikesankan public karena kita dikalahkan sidang di MK

Saya tidak bisa menghubungkan apakah berkaitan dengan permohonan yang banyak dikalahkan atau cuma kebetulan. Namun setelah masa Mahfud MD, perkara-perkara yang diajukan berkaitan dengan SDA sedikit sekali menikmati prestasi. Bahkan ada kecendrungan untuk tidak lagi menggunakan MK sebagai tempat pencari keadilan.

Waktupun berlalu. Namun mendapatkan kabar tertangkapnya PA dalam operasi OTT  KPK merupakan angin segar dari kekhawatiran selama ini.

Penangkapan PA tidak cuma “sekedar” berkaitan dengan “pembersihan” MK. Namun ditemukannya draf putusan perkara nomor 129/PUU-XIII/2015 judicial review (uji materi) UU Nomor 41 Tahun 2014 merupakan misteri yang harus dibongkar.

Apakah ini merupakan “inisiatif” dari PA untuk “mengeruk uang” semata atau memang merupakan “desain” dari PA setelah dimusyawarahkan dari hakim MK. PA kemudian “menjual” pihak yang berkepentingan dengan perkara judicial review.  Inilah momentum yang harus dibongkar.

Di sisi lain, kecemerlangan prestasi PA dari legislative, eksekutif dan yudikatif  dapat dikatakan sebagai prestasi hero. Hanya sedikit orang yang mampu merangkum tiga pilar demokrasi Trias politica Montesque. Saya hanya cuma ingat Mahfud (Anggota DPR, Menteri Pertahanan dan Ketua MK).

Namun sang hero kemudian “terjerembab” di titik dasar (zero). Sehingga tidak salah kemudian nasib PA disebut Hero to zero.

Dan meminjam istilah Bagir Manan – Jabatan diam. Maka Hero to zero kemudian menjadi diam