Tiba-tiba
membaca status FB dari jemaat FB tertangkapnya Patrialis Akbar (PA) dalam
operasi Tangkap tangan (OTT) KPK cukup mengagetkan. Entah “gemuruh” angin
ataupun suara gelegar Guntur menyambar pagi hari. Ditambah jauh dari perkotaan,
tidak ada televisi dan mengandalkan internet, berita tentang tertangkapnya (PA)
menimbulkan tanda Tanya. Kasus apa yang kemudian menjerat PA.
Sembari
menunggu kabar resmi dari KPK, ingatanku membayang 3 tahun yang lalu.
Teringat Tim Advokasi Koalisi Penyelamatan Mahkamah
Konstitusi menggagas mengadakan pertemuan kecil untuk
mempersiapkan permohonan ke PTUN Jakarta terhadap pengangkatan PA sebagai hakim
MK. Saya yang kebetulan lagi membahas judicial review UU P3H kemudian
dimasukkan sebagai tim kuasa hukum mengajukan permohonan ke PTUN Jakarta. Waktu
itu kebetulan mobilitas ke Jakarta cukup tinggi. Selain Walhi sedang mengajukan
gugatan kepada Presiden dkk terhadap kebakaran di Riau dan Jambi tahun 2013,
terlibat dalam korsup KPK Pengukuhan Kawasan Hutan dan Korsup KPK Minerba dan
pembahasan judicial review UU P3H.
Dengan guyon
teman-teman berkata “Nah. Ini Pengacara.
Masuk jadi kuasa hukum kasus Patrialis Akbar, ya. Kita mau gugat ke PTUN
Keppres SBY” (baca Keputusan
Presiden Nomor 87/P tahun 2013)
Materi
permohonan PTUN Jakarta disebabkan SBY mengeluarkan Keppres tidak transparan dan partisipatif dan mengandung cacat hukum. Padahal, PA diberhentikan “ditengah jalan” sebagai Menteri Hukum
dan HAM dan dikenal sebagai “orang suka
obral remisi”. Sehingga dikenal sebagai orang yang tidak mendukung
pemberantasan korupsi.
Logika aneh.
Diberhentikan sebagai Menteri Hukum dan HAM dan tidak berprestasi namun
kemudian diusulkan oleh SBY sebagai hakim MK.
Mengingat
mobilitas saya di Jakarta, maka saya kemudian dapat terlibat di awal pembahasan
materi permohonan PTUN Jakarta.
Saya cuma ingat
beberapa kali menghadiri persidangan. Jadi agendanya muter-muter. PTUN Jakarta
– PN Jakarta Pusat.
Saya kemudian
mendapatkan kabar putusan PTUN Jakarta yang membatalkan Keppres terhadap PA.
Dengan demikian, persoalan hukum terhadap PA menimbulkan “masalah”.
Hampir praktis
setelah putusan PTUN Jakarta, kiprah PA kemudian saya ikuti. Baik komentar
tentang “suasana Pilkada Jakarta”, tentang penistaan agama maupun berbagai
“berita miring” sebagai hakim MK. Entah sebagai panel hakim maupun didalam
persidangan-persidangan MK.
Padahal ada ungkapan klasik
yang digunakan untuk meyakinkan hakim harus obyektif, netral, tidak memihak
(imparsial) adalah “the rule of law, not met”, “law is reason, not passion”,
“judge are mere mouthpiece of the law”. John Marshal menegaskan “court
are mere instruments of law, and can will nothing”.
Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan pada tahun 2007 telah
mengingatkan jabatan hakim adalah jabatan diam. Jabatan yang tidak membicarakan
pekerjaannya di depan publik.
Para hakim juga tidak diperbolehkan memberi komentar terhadap putusannya
maupun putusan orang lain di muka publik.
Jabatan diam itu merupakan tradisi para hakim dimana pun yang harus
dihormati.
Bagir juga menyatakan, selain tidak boleh mengomentari pekerjaannya
sendiri, hakim-hakim dimanapun saja sangat tidak layak mengomentari pekerjaan
instansi lain atau lembaga lain. Tidak boleh, tidak wajar, tidak layak. Hakim
harus independen, adalah hakim yang netral kepada siapapun saja.
Sebagai jabatan – meminjam istlah Bagir Manan – Jabatan diam.
Sementara itu
di dalam berbagai kesempatan terpisah, saya mendapatkan kabar dari teman-teman
yang sidang di MK, “seakan” dendam dengan Tim Kuasa hukum yang sidang di MK
yang pernah mempersoalkannya di PTUN Jakarta.
Waktu itu
dengan santai saya ngomong. “Hayo. Kita
perbaiki materi permohonan. Dan issu ini cukup sampai disini. Tidak perlu
melebar keluar. Nanti kita dikesankan public karena kita dikalahkan sidang di
MK”
Saya tidak bisa
menghubungkan apakah berkaitan dengan permohonan yang banyak dikalahkan atau
cuma kebetulan. Namun setelah masa Mahfud MD, perkara-perkara yang diajukan
berkaitan dengan SDA sedikit sekali menikmati prestasi. Bahkan ada kecendrungan
untuk tidak lagi menggunakan MK sebagai tempat pencari keadilan.
Waktupun
berlalu. Namun mendapatkan kabar tertangkapnya PA dalam operasi OTT KPK merupakan angin segar dari kekhawatiran
selama ini.
Penangkapan PA
tidak cuma “sekedar” berkaitan dengan “pembersihan” MK. Namun ditemukannya draf putusan perkara nomor 129/PUU-XIII/2015
judicial review (uji materi) UU Nomor 41 Tahun 2014 merupakan misteri yang
harus dibongkar.
Apakah ini merupakan “inisiatif” dari PA
untuk “mengeruk uang” semata atau memang merupakan “desain” dari PA setelah
dimusyawarahkan dari hakim MK. PA kemudian “menjual” pihak yang berkepentingan
dengan perkara judicial review. Inilah
momentum yang harus dibongkar.
Di sisi lain, kecemerlangan
prestasi PA dari legislative, eksekutif dan yudikatif dapat dikatakan sebagai prestasi hero. Hanya sedikit orang yang mampu
merangkum tiga pilar demokrasi Trias politica
Montesque. Saya hanya cuma ingat Mahfud (Anggota DPR, Menteri Pertahanan dan Ketua MK).
Namun sang hero
kemudian “terjerembab” di titik dasar
(zero). Sehingga tidak salah kemudian nasib PA disebut Hero to zero.
Dan meminjam istilah Bagir Manan – Jabatan
diam. Maka Hero to zero kemudian menjadi
diam