21 Januari 2017

opini musri nauli : KULTUM

Kalimat “7 menit” menghinggapi wacana public kontemporer. Berdasarkan isi Surat Edaran Nomor B.750/Seskab/Polhukam/12/2016, Jokowi memerintahkan pejabat agar pidato cukup 7 menit.


Kalimat “7 menit” mengingatkan istilah “Kuliah tujuh menit (Kultum)”. Sebuah ceramah agama yang dibatasi durasi cukup 7 menit. Ceramah tujuh menit diharapkan agar audience bisa menerima materi ceramah secara ringkas namun dalam satu tema tertentu.
Materi 7 menit diajarkan dalam praktek ceramah di pesantren ataupun pesantren kilat didalam bulan Ramadhan. Para santri diajarkan bagaimana memberikan ceramah dengan durasi 7 menit.

Tatacara untuk mengatur materi “kultum” dimulai dengan pembukaan yang biasanya dimulai dengan Salam pembukaan, ayat didalam Al Qur’an yang menjadi rujukan ditambah dengan hadis kemudian memberikan contoh ataupun tema yang akan menarik perhatian dan titik focus dari sang ceramah. Materi ini dibatasi cukup 1 – 1,5 menit.

Selanjutnya materi pokok ataupun tema yang menjadi pembahasan dan waktunya mendominasi Kultum. 5 menit. Barulah kemudian penutup yang berisi ajakan untuk berbuat ataupun intisari dari ceramah kultum.

Praktek kultum merupakan mata pelajaran praktek yang harus dijalani sang santri. Dalam tugas bulan ramadhan, di kelas 1 diminta praktek di 3 mesjid yang berbeda. Kelas 2 di 5 mesjid yang berbeda dan kelas 3 di 10 mesjid yang berbeda. Sehingga seorang santri mempunyai bekal dasar untuk ceramah. Namun yang pasti, modal pidato dengan durasi 7 menit sudah dikuasai usai tamat pesantren.

Sehingga alumni pesantren begitu piawai ceramah dengan durasi 7 menit.

Entah mendapatkan inspirasi atau Jokowi mulai kesal dengan ceramah yang bertele-tele, sehingga diperlukan surat edaran selevel Presiden. Atau memang pejabat yang berpidato “menggunakan” kesempatan pidato untuk menunjukkan kualitas dan menarik perhatian Jokowi.

Namun dalam praktek, waktu 7 menit “dianggap kurang”. Lihatlah acara-acara pemerintahan. Setiap pejabat yang berpidato, untuk salam pembukaan saja memerlukan waktu hingga 3 menit.

Mulai dari Penyebutan tokoh yang hadir, mulai pejabat, yang dituakan, yang dihormati dan seluruh yang hadir. Bahkan tidak jarang kemudian diakhiri “yang gedang dan sebut gelar yang kecik dak sebut nama.

Nah. Itu belum cukup. Bahkan dimulai dengan Rasa terima kasih, rasa syukur bahkan diiringi dengan bait-bait pantun untuk menyukuri tersenggaranya acara.

Ketika memasuki materi pidato kemudian menyebutkan “maksud acara”, dimulai dari pendahuluan, pelaksanaaan acara, pentingnya acara bahkan rasa syukur acara bisa dilaksanakan. Itu tidak kurang dari 5 menit. Bahkan saya pernah memperhatikan, terhadap tema ini bisa memakan 15 menit.

Apalagi kalo sang pejabat yang suka bercerita. Baik dari kisah nabi-nabi hingga “menyentil” yang hadir. Entah pakaian ibu-ibu yang kurang sopan, sambutan dari tuan rumah yang kurang ramah kepada pejabat bahkan hidangan yang dianggap kurang pantas.

Selain itu bagian pidato ini bahkan diiringi gaya kocak dari pejabat. Cerita lucu-lucu hingga yang hadir tidak bosan.

Nah diakhiri pidato selain ucapan terima kasih telah diberi kesempatan untuk berpidato selalu diakhiri dengan pantun. Waktunya bisa sampai 3-5 menit.

Yang repot kalau yang hadir kemudian diminta mendengarkan pidato hingga 7 orang. Bayangkan bagaimana “bosannya” kita mendengarkan. Dimulai dari salam pembukaan dari pembawa acara, ketua panitia, ketua organisasi yang mengundang, pejabat dan ditutup dengan sang pembawa acara.

Nah. Kalo setiap orang berpidato memakan waktu 10-15 menit dikalikan dengan 3-5 orang, maka sudah dipastikan untuk acara pembukaan saja bisa memakan waktu 30 menit.

Sehingga tidak salah kemudian saya lebih suka menghadiri acara di undangan setelah melewati acara pembukaan. Dan apabila masih berlangsung acara pembukaan, maka saya lebih suka menunggu di luar ruangan sampai acara pembukaannya selesai.

Yang paling menjengkelkan adalah pejabat yang berpidato selalu menggunakan pantun yang sama. Sehingga tidak salah kemudian diluar saya sering menyeletuk untuk menyambung dari pantun pejabat. Sehingga kami yang berada di luar ruangan kemudian tertawa.

Nah. Surat edaran Jokowi akan menarik perhatian saya. Bukan melihat apakah akan efektif atau tidak dengan berbagai agenda di daerah yang pejabatnya bertele-tele. Tapi saya sedang membayangkan bagaimana mekanisme untuk “menghentikan” pejabat yang pidatonya bertele-tele.

Apakah tim kepresidenan akan membuat “mesin waktu” yang terpampang jelas di ruangan sehingga sang pejabat berpidato akan melihat “mesin waktu” itu.

Mesin waktu biasa ditemukan di siaran radio. Sehingga sang pembawa acara di radio akan selalu menunjukkan waktu kepada pembicara.

Atau membuat program “sound sistem” yang membuat microphone sang pejabat akan otomatis mati dengan sendirinya setelah melewati waktu 7 menit.

Atau ada petugas khusus yang menuntun pejabat untuk mengatur materi pidatonya.

Mengingat begitu sulitnya pejabat memberikan pidato cukup 7 menit, maka diperlukan “latihan pidato” bagi pejabat. Entah materi “public speaking” dan dimonitor oleh tim kepresidenan agar tidak melewati waktu. Atau adanya pelatihan khusus kepada seluruh pejabat atau pejabat yang akan berpidato di hadapan Presiden.

Maka diperlukan “pendidikan” khusus pidato kepada pejabat. Yang dilaksanakan berjenjang. Dari Menteri hingga pejabat daerah. Dan itu memerlukan ketekunan dari Tim Kepresidenan untuk “menjaganya”.

Namun terlalu berlebihan yang dilakukan oleh Jokowi. Urusan seperti ini cukup dimonitor oleh tim kepresiden dengan arahan terbatas sebelum pelaksanaan acara. Tidak perlu hingga diatur menggunakan symbol Negara untuk mengaturnya.

Kata anak muda sekarang. “Lebay”.