Kalimat
“7 menit” menghinggapi wacana public
kontemporer. Berdasarkan isi Surat Edaran Nomor
B.750/Seskab/Polhukam/12/2016, Jokowi memerintahkan pejabat agar pidato cukup 7
menit.
Kalimat
“7 menit” mengingatkan istilah “Kuliah tujuh menit (Kultum)”. Sebuah
ceramah agama yang dibatasi durasi cukup 7 menit. Ceramah tujuh menit
diharapkan agar audience bisa menerima materi ceramah secara ringkas namun
dalam satu tema tertentu.
Materi
7 menit diajarkan dalam praktek ceramah di pesantren ataupun pesantren kilat
didalam bulan Ramadhan. Para santri diajarkan bagaimana memberikan ceramah
dengan durasi 7 menit.
Tatacara
untuk mengatur materi “kultum”
dimulai dengan pembukaan yang biasanya dimulai dengan Salam pembukaan, ayat
didalam Al Qur’an yang menjadi rujukan ditambah dengan hadis kemudian
memberikan contoh ataupun tema yang akan menarik perhatian dan titik focus dari
sang ceramah. Materi ini dibatasi cukup 1 – 1,5 menit.
Selanjutnya
materi pokok ataupun tema yang menjadi pembahasan dan waktunya mendominasi
Kultum. 5 menit. Barulah kemudian penutup yang berisi ajakan untuk berbuat
ataupun intisari dari ceramah kultum.
Praktek
kultum merupakan mata pelajaran praktek yang harus dijalani sang santri. Dalam
tugas bulan ramadhan, di kelas 1 diminta praktek di 3 mesjid yang berbeda.
Kelas 2 di 5 mesjid yang berbeda dan kelas 3 di 10 mesjid yang berbeda.
Sehingga seorang santri mempunyai bekal dasar untuk ceramah. Namun yang pasti,
modal pidato dengan durasi 7 menit sudah dikuasai usai tamat pesantren.
Sehingga
alumni pesantren begitu piawai ceramah dengan durasi 7 menit.
Entah
mendapatkan inspirasi atau Jokowi mulai kesal dengan ceramah yang bertele-tele,
sehingga diperlukan surat edaran selevel Presiden. Atau memang pejabat yang
berpidato “menggunakan” kesempatan
pidato untuk menunjukkan kualitas dan menarik perhatian Jokowi.
Namun
dalam praktek, waktu 7 menit “dianggap
kurang”. Lihatlah acara-acara pemerintahan. Setiap pejabat yang berpidato,
untuk salam pembukaan saja memerlukan waktu hingga 3 menit.
Mulai
dari Penyebutan tokoh yang hadir, mulai pejabat, yang dituakan, yang dihormati
dan seluruh yang hadir. Bahkan tidak jarang kemudian diakhiri “yang gedang dan sebut gelar yang kecik dak
sebut nama.
Nah.
Itu belum cukup. Bahkan dimulai dengan Rasa terima kasih, rasa syukur bahkan
diiringi dengan bait-bait pantun untuk menyukuri tersenggaranya acara.
Ketika
memasuki materi pidato kemudian menyebutkan “maksud acara”, dimulai dari pendahuluan, pelaksanaaan acara,
pentingnya acara bahkan rasa syukur acara bisa dilaksanakan. Itu tidak kurang
dari 5 menit. Bahkan saya pernah memperhatikan, terhadap tema ini bisa memakan
15 menit.
Apalagi
kalo sang pejabat yang suka bercerita. Baik dari kisah nabi-nabi hingga “menyentil” yang hadir. Entah pakaian ibu-ibu
yang kurang sopan, sambutan dari tuan rumah yang kurang ramah kepada pejabat
bahkan hidangan yang dianggap kurang pantas.
Selain
itu bagian pidato ini bahkan diiringi gaya kocak dari pejabat. Cerita lucu-lucu
hingga yang hadir tidak bosan.
Nah
diakhiri pidato selain ucapan terima kasih telah diberi kesempatan untuk
berpidato selalu diakhiri dengan pantun. Waktunya bisa sampai 3-5 menit.
Yang
repot kalau yang hadir kemudian diminta mendengarkan pidato hingga 7 orang.
Bayangkan bagaimana “bosannya” kita
mendengarkan. Dimulai dari salam pembukaan dari pembawa acara, ketua panitia,
ketua organisasi yang mengundang, pejabat dan ditutup dengan sang pembawa
acara.
Nah.
Kalo setiap orang berpidato memakan waktu 10-15 menit dikalikan dengan 3-5
orang, maka sudah dipastikan untuk acara pembukaan saja bisa memakan waktu 30
menit.
Sehingga
tidak salah kemudian saya lebih suka menghadiri acara di undangan setelah
melewati acara pembukaan. Dan apabila masih berlangsung acara pembukaan, maka
saya lebih suka menunggu di luar ruangan sampai acara pembukaannya selesai.
Yang
paling menjengkelkan adalah pejabat yang berpidato selalu menggunakan pantun
yang sama. Sehingga tidak salah kemudian diluar saya sering menyeletuk untuk
menyambung dari pantun pejabat. Sehingga kami yang berada di luar ruangan
kemudian tertawa.
Nah.
Surat edaran Jokowi akan menarik perhatian saya. Bukan melihat apakah akan
efektif atau tidak dengan berbagai agenda di daerah yang pejabatnya
bertele-tele. Tapi saya sedang membayangkan bagaimana mekanisme untuk “menghentikan” pejabat yang pidatonya
bertele-tele.
Apakah
tim kepresidenan akan membuat “mesin
waktu” yang terpampang jelas di ruangan sehingga sang pejabat berpidato
akan melihat “mesin waktu” itu.
Mesin
waktu biasa ditemukan di siaran radio. Sehingga sang pembawa acara di radio
akan selalu menunjukkan waktu kepada pembicara.
Atau
membuat program “sound sistem” yang
membuat microphone sang pejabat akan otomatis mati dengan sendirinya setelah
melewati waktu 7 menit.
Atau
ada petugas khusus yang menuntun pejabat untuk mengatur materi pidatonya.
Mengingat
begitu sulitnya pejabat memberikan pidato cukup 7 menit, maka diperlukan “latihan pidato” bagi pejabat. Entah
materi “public speaking” dan
dimonitor oleh tim kepresidenan agar tidak melewati waktu. Atau adanya
pelatihan khusus kepada seluruh pejabat atau pejabat yang akan berpidato di
hadapan Presiden.
Maka
diperlukan “pendidikan” khusus pidato
kepada pejabat. Yang dilaksanakan berjenjang. Dari Menteri hingga pejabat
daerah. Dan itu memerlukan ketekunan dari Tim Kepresidenan untuk “menjaganya”.
Namun
terlalu berlebihan yang dilakukan oleh Jokowi. Urusan seperti ini cukup
dimonitor oleh tim kepresiden dengan arahan terbatas sebelum pelaksanaan acara.
Tidak perlu hingga diatur menggunakan symbol Negara untuk mengaturnya.
Kata
anak muda sekarang. “Lebay”.
Baca : Tradisi Ramadhan