Membicarakan Palestina membuat
saya selalu malu pada diri sendiri. Pengalaman yang diceritakan oleh teman dari
Belanda kemudian membuat saya berfikir tentang Palestina.
Kisah bermula ketika saya
berkesempatan bertemu teman yang telah berada di Belanda. Sejak tahun 2000,
sang teman yang melanglang buana dari aktivis – komisioner KPU Kabupaten dan
kemudian menikah dengan seorang pria berkebangsaan Belanda. Praktis sejak tidak
pernah bertemu saya kemudian mendapatkan kabar telah berada di Amsterdam.
Melalui dunia maya saya kemudian
berkomunikasi untuk mampir sejenak ke Amsterdam. Kepergian sendirian ke
Amsterdam sempat menimbulkan keraguan apakah saya tidak tersesat ataupun hilang
di negeri orang. Kalimat “hilang di negeri orang” adalah perumpamaan kepergian
yang tidak pernah diharapkan kembali.
Dengan menggunakan angkutan darat
Euroline dengan tariff 45 Euro (ongkos pas-pasan dibandingkan naik kereta api
seharga 120 Euro), saya menyusuri dari Paris – Amsterdam selama 7 jam.
Perjalanan yang tidak asing yang sering saya tempuh menyusuri kota-kota di
Sumatera.
Misalnya Jambi – Palembang 6 jam.
Atau Jambi – Padang 12 jam. Jambi Bengkulu 12 jam. Atau Jambi – Lampung 12 jam
dan Jambi – Pekanbaru 12 jam. Jadi waktu tempuh 12 jam merupakan sebuah waktu
yang sering saya tempuh di perjalanan sumatera.
Dengan melihat waktu tempuh 7 jam
maka saya kemudian memilih naik bus daripada kereta api hanya 4 jam (padahal strategi
menghemat ongkos).
Kiat menghemat ongkos adalah
strategi “pelancong” kere yang lebih mengutamakan perjalanan daripada membeli
oleh-oleh. Ataupun memilih makanan murah untuk menempuh perjalanan jauh.
Impian ke Belanda adalah impian
lama setelah sejak tahun 2007 saya sering “mengobok-obok” perpustakaan,
website, museum yang memuat sejarah, jurnal, buku ataupun peta tentang Jambi.
Dengan kesempatan mendatangi ke Belanda, rasa dahaga akan terpuaskan setelah
selama ini hanya mendapatkan soft copy.
Jangan bayangkan naik bis di
Eropa seperti kita alami di Indonesia. Dengan standar bis bermerk Mercedes Benz
dengan standar tinggi, waktu tempuh 7 jam sungguh tidak terasa. Jalanan yang
mulus, lurus dan suspense Mercy membuat waktu tempuh begitu nyaman.
Belum lagi jalanan yang mulus.
Memanjang menyusuri antar negara. Tidak salah kemudian Eropa dikenal Eropa continental.
Eropa daratan.
Setelah “berbasa-basi” sebentar,
kami memulai cerita tentang Indonesia, politik terkini ataupun pandangan Eropa
tentang agama ataupun issu-issu dunia.
Cerita tentang pandangan Eropa
tentang agama tidak perlu saya ceritakan. Dengan rentang kemajuan yang diraih
Eropa, pandangan Eropa tentang Agama membuat saya kemudian berfikir. Apakah
pemahaman Eropa tentang agama yang keliru ataupun praktek keagamaan yang salah
kaprah membuat Eropa menurunkan minat tentang agama. Ah. Angka-angka tentang
turun drastic ketaatan beragama memang membuat saya berfikir rasional dan
memahami pandangan Eropa. Walaupun pandangan itu belum tentu saya setuju.
Namun yang paling menarik
mendiskusikan Palestina. Berbeda dengan pandangan umum bangsa Indonesia, issu
Palestina adalah issu agama. Adanya ancaman zionis Israel terhadap kedaultan
Palestina dan mencaplok tanah Palestina membuat penempatan issu Palestina
adalah persoalan agama. Berbagai aksi-aksi kemudian menjadi persoalan identitas
agama.
Entah disampaikan dalam kotbah,
aksi-aksi setelah sholat jumat ataupun aksi-aksi besar-besaran terhadap issu
Palestina.
Namun Eropa melihat dari sudut
pandang yang lain. Persoalan Palestina adalah persoalan kemanusiaan.
Eropa melihat “perang ataupun ketidakstabilan”
politik di di Palestina akan mengancam kehidupan masyarakat. Dengan
ketidakstabilan politik maka mengancam kehidupan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Dengan lirih, dia berkata “akan mengancam susu anak kecil. Akan susu
untu ibu hamil”.
Eropa kemudian menyumbang 10
Euro/bulan untuk dialokasikan membeli susu. Rakyat Eropa tidak “berminat” untuk
terlibat konflik Israel – Palestina. Namun Rakyat Eropa tersentuh dan
menyumbang untuk kemanusiaan. Sebuah contoh dan keteladanan di negara sekuler
yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
Hmm. Cerita diatas hanyalah
contoh kecil dari penempatan manusia sebagai makhluk hidup yang diagungkan
Tuhan.
Tanpa harus mengeluarkan
dalil-dalil agama, cerita rakyat Eropa membuat saya malu. Malu kepada cerita
Palestina di tanah Air. Yang menjunjung agama namun sama sekali tidak mau
menyumbang kebutuhan dasar rakyat Palestina. Susu untuk anak kecil dan susu
untuk ibu hamil.
Baca : Palestina dan Rohingya