Akhir-akhir ini
Kota Jambi didatangi tamu-tamu Agung. Dimulai dari Presiden Jokowi beserta
jajarannya hingga dilaksanakannya Munas Apeksi.
Sebagai “tuan
rumah” yang baik, kedatangan tamu dari seluruh penjuru Indonesia merupakan
kesempatan untuk mengenalkan Jambi. Baik sebagai tujuan wisata, makanan khas,
cinderamata hingga sejarah panjang.
Yang menarik
kalimat “Tanah Pilih Pusako Batuah” sering menjadi ucapan selamat datang.
Secara sekilas tidak ada yang salah. Namun apabila kita telisik lebih jauh,
maka penggunaan kalimat “Tanah Pilih Pusako Batuah” menimbulkan persoalan.
Dalam catatan
berbagai dokumen, perjalanan panjang para petualang dunia hingga pendekatan
etnografi. Jambi tidak bisa dilepaskan dari Kerajaan Jambi, pengaruh berbagai
imperium Sriwijaya, Majapahit, Mataram, Kerajaan Palembang, Pagaruyung, Perang
dengan Johor, pertarungan dengan Portugis atau Belanda hingga sebagai pusat
pengendali dari jalur perdagangan Pantai Timur Sumatera yang begitu digdaya
menguasai jalur sutra Malaka. Kesemuanya kemudian meninggalkan jejak maupun
tembo yang masih dirawat di tengah masyarakat.
Belum lagi
sejarah puyang orang Jambi yang berasal dari Kerinci Rendah, Tuanku Regen di
Indrapura, berasal dari Mataram, Indragiri hingga berasal dari Pagaruyung.
Istilah Depati masih ditemukan di berbagai
tempat. Baik di Sarolangun, Kerinci, Bungo maupun di Tebo. Istilah Depati
berasal dari Kerajaan Mataram.
Perda No. 5 Tahun 2007 justru
ditemukan kalimat “Adat bersendikan
syara. Syara' bersendikan kitabulah. Sebuah kata yang menjadi pegangan di
masyarakat di Minangkabau.
Muchtar Agus
Cholif, meyakini bahwa Orang Serampas merupakan keturunan Orang Minangkabau.
Hal ini dapat dilihat dari adanya kemiripan nilai-nilai sosial budaya antara
Serampas dengan Minangkabau.
Catatan ini
sudah dituliskan oleh F. J. Tideman dalam bukunya De Djambie dan diperkuat oleh
Elsbeth Locher Sholten.
Seloko
seperti ““Jika mengadap ia ke hilir,
jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung. Atau
“Tegak Tajur, Ilir ke Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau” membuktikan ”keterkaitan” kuat antara
sejarah panjang Jambi dengan Pagaruyung.
Belum lagi
sejarah puyang orang Jambi yang berasal dari Kerinci Rendah, Tuanku Regen di
Indrapura, berasal dari Mataram, Indragiri hingga berasal dari Pagaruyung.
Pengaruh
Minangkabau
Pengaruh
Minangkabau tidak terelakkan di Jambi. Ulu Rozak mengatakan “Selama
masa pemerintahan Adityawarman (1347-1377) kerajaan Malayu mengalami puncak kejayaan.
Pada saat itu kerajaan tersebut berpusat di daerah Minangkabau, dan diduga
sudah dipindahkan ke pedalaman Sumatra pada awal abad ke-14 selama masa
pemerintahan Akarendrawarman atau malahan sebelumnya. Pemindahan ibu kota
kerajaan Malayu yang sebelumnya selalu berada di pesisir, dan timbulnya sebuah
kerajaan besar di lembah-lembah pegunungan Bukit Barisan merupakan fenomena
yang perlu dikaji lebih dalam.
Bahkan cerita rakyat tentang Datuk
Paduko Berhalo dan Rangkayo Hitam “meyakini” berasal dari Pagaruyung dengan
Putri Cantik “Putri Selaras Pinang Masak”. Keturunannya kemudian melawan
pemerintahan colonial Belanda yang kemudian dikenal Sultan Thaha Saefuddin.
Begitu juga di daerah hulu
Sungai Batanghari. Hampir semuanya mengaku “berasal dari Pagaruyung”. Cerita “Datuk
perpatih nan sebatang” hidup di sebagian kawasan Tebo, Bungo, Bangko hingga
Sarolangun.
Namun kemudian
setiap pengaruh juga berinteraksi dengan budaya local. Dalam sistem adaptasi
budaya yang masuk, maka harus melalui proses seleksi. Cara ini biasa dikenal
Tali Undang Tambang Teliti yang bermakna “Undang berasal dari Penghulu.
Peraturan yang dibawakan oleh Penghulu kemudian diteliti dari Suku Batin (batin
artinya asli). Hasil ramuan inilah kemudian dipakai menjadi hukum adat. Istilah
ini kemudian dapat dilihat dari Seloko di Kabupaten Merangin.
Nah. Setelah
kita memahami adopsi dari nilai-nilai yang dibawa Pagaruyung, maka istilah Tanah
Pilih Pusako Betuah kemudian mengalami serapan berdasarkan dialek di Jambi.
Makna ini
kemudian ditemukan didalam Perda No. 15 Tahun 2002. Penjelasan resmi dari
Pemerintah Kotamadya Jambi menyebutkan Secara harfiah motto “Tanah Pilih Pesako
Betuah” merupakan “tanah yang dipilih Raja di Jambi sebagai pusat Pemerintahan
yang diwariskan kepada anak cucu kelak. Kalimat ini kemudian menjadi lambang
resmi Kota Jambi.
Dialek Pesako
atau Pseko juga bisa ditemukan di berbagai daerah hulu Sungai Batanghari.
Tradisi
“kenduri Pseko” merupakan kenduri besar dimana salah satu rangkaian acaranya
merupakan penghormatan peninggalan puyang yang berupa pusako yang dapat
menerangkan tentang keberadaan dan wilayah. Dalam tradisi kemudian diterangkan
tutur kampong sejarah, tembo yang disampaikan di tengah khayalak ramai dan
dihadiri seluruh masyarakat Desa.
Tradisi masih
berlangsung dan dilakukan rutin setiap tahun. Biasanya dilakukan pada hari 3
hingga hari 10 Lebaran besar (Idul Fitri). Tradisi ini juga merupakan
kesempatan bagi “perantau” untuk menggali sejarah “puyang” sehingga dapat
dirunut hingga ke “puyang” yang mendiami kampong.