Sebelum lahirnya UU No. 5 tahun
1979 Tentang Pemerintahan Desa, di daerah hulu[1]
Sungai Batanghari[2],
masyarakat mengenal Dusun sebagai pemerintahan terendah (village government).
Dusun terdiri dari beberapa kampung. Mengepalai Kepala Dusun adalah Depati.
Dibawah Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian menjadi Margo. Pembagian
kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan gelar
Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau
Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman[3]
Sedangkan Margo[4]
mencakup mencakup setiap Dusun yang terdiri dari Bathin. Mengepalai Margo biasa
dikenal dengan nama Pesirah.[5]
Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1979, maka Dusun menjadi Desa sebagai
pemerintahan terendah (village government). Sedangkan kampung menjadi dusun.
Masyarakat Melayu[6] Jambi
termasuk kedalam termasuk rumpun kesukuan Melayu.[7] Secara
fenomologis, Melayu merupakan sebuah entitas kultural (Malay/Malayness sebagai
cultural termn/terminologi kebudayaan)[8]. Dilihat
dari kategorinya, maka masyarakat Melayu Jambi dapat diklasifikasikan dalam
Melayu tradisional. Menurut Yusmar Yusuf, kearifan dan tradisi Melayu ditandai
dengan aktivitas di Kampung[9].
Kampung merupakan pusat ingatan (center of memory), sekaligus pusat suam
(center of soul). Kampung menjadi pita perekam tradisi, kearifan lokal (local
wisdom).[10]
Kawasan Bukit Bulan termasuk
kedalam masyarakat hukum adat (rechtsgemeenshap)
Bukit bulan. Terletak di Kabupaten Sarolangun. Dari ibukota Propinsi Jambi ke
ibukota Sarolangun berjarak 180 arah selatan. Dari Ibukota Kabupaten ke kawasan
Bukit Bulan dapat ditempuh 6 – 8 jam.
Kabupaten Sarolangun memiliki
Luas Wilayah 6.174 Km2. Kabupaten Sarolangun terdiri dari 10 Kecamatan dan 144
Desa, dan memiliki jumlah populasi penduduk ±264.541 Jiwa.
Memiliki kawasan hutan
seluas 252.377 hektar.
Tabel 1. Status Kawasan hutan
di Kabupaten Sarolangun
NO
|
STATUS KAWASAN
|
LUAS
|
PRESENTASE
|
1
|
Hutan Produksi
|
99.851,00
|
39,56%
|
2
|
Hutan Produksi Terbatas
|
89.357,87
|
35,41%
|
3
|
Hutan Lindung
|
54.285,20
|
21,51%
|
4
|
Taman Nasional
|
8.810,00
|
3.49%
|
5
|
Cagar Alam
|
73,74
|
0,03%
|
Total
|
252.377,81
|
100.00%
|
Sumber : Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 421/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Peta Penunjukkan
Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Jambi
Berdasarkan peta Pemerintah
Belanda tahun 1923 “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen
(Marga's) schaal 1 : 750.000, Bukit Bulan merupakan termasuk kedalam Margo
Bukit Bulan yang pusat margo di Meriboeng. Margo Bukit Bulan berbatasan dengan
Margo Batang Asai, Margo Bathin Pengambang dan Margo Cermin Nan Tiga.
Sebagai masyarakat hukum adat
yang menjunjung nilai-nilai kebajikan yang ditandai dengan seloko[11]
seperti “ke aik cemetik keno naik kedarat durian runtuh – dilaman rumah
lemang tesanda – naik kerumah anak ado”[12],
yang buto pengembus lesung – yang pekak pelepas bedil – yang lumpuh menunggu
rumah – yang bisu menyimpan rasio”[13],
alam sekato rajo- negeri sekato batin – luhak sekato penghulu – rantau sekato
jenang – kampung sekato tuo – rumah sekato tenganai – anak berajo kebapak –
kemenakan berajo kemamak – bini sekato laki“[14]
atau seloko ”negeri bapaga adat - tepian bepaga baso, laman basapu undang –
rumah baseko bamalu“
Penghormatan terhadap
daerah-daerah yang dijaga ditandai dengan berbagai seloko. Masyarakat hulu
Sungai Batanghari mengenal daerah-daerah yang tidak boleh dibuka. Mereka
mengenal dengan istilah Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo”. Di
Daerah Sarolangun mereka mengenal Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/Rimbo
Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus. Di Margo Sungai Tenang mereka
mengenal Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang
putih. Tempat ungko berebut tangis. Sedangkan di Margo Sumay mereka
mengenal dengan istilah hutan
keramat seperti tanah sepenggal, Bulian bedarah, Bukit selasih dan Pasir Embun.
Atau Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, dan Guntung (tanah tinggi).
Rimbo ganuh atau rimbo
sunyi atau hutan keramat merupakan daerah yang tidak boleh dibuka.
Ujaran seperti Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau “Tempat
siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis” merupakan makna
simbolik masyarakat terhadap daerah-daerah yang harus dilindungi.
Ter Haar sendiri menyebutkan adanya penghormatan tempat-tempat yang dilarang untuk dibuka. Yusmar Yusuf menyebutkannya “rimbo simpanan atau rimbo larangan[15]. Tideman melaporkan sebagai “rimbo gano[16]
Namun ancaman terhadap masyarakat di hulu Sungai Batanghari. Salah satunya
dengan semakin gencarnya mempersiapkan kawasan ini sebagai lokasi tambang dan
kawasan industri semen. Salah satunya PT. Semen Baturaja (Persero) Tbk (PT.
SBR) di Sarolangun
Kawasan bukit karst yang terdiri
dari beberapa bukit karst yaitu Bukit Bulan[17],
Bukit Petak, Bukit Gedong, Bukit Tengah dan Bukit Mentang. Pembukaan areal
tambang untuk produksi semen pada tahap awal ini akan dilakukan pada areal
seluas 5.000 hektar yang mencakup lima desa: Napal Melintang, Mersip, Merbung,
Berkun dan Renah Alai.
Kawasan Karst merupakan kawasan
yang sangat mengagumkan dengan flowstone, goa sepanjang 1,5 km yang
menghubungkan dusun Dalam dan dusun Duri, sungai bawah tanah, yang merupakan
hulu sungai Batanghari. Dikelilingi hutan lindung rainforest dengan aneka satwa
langka dan tumbuhan langka. Pembukaan kawasan Karst dapat merusak tatanan
morfologi karst serta ekosistem yang terdapat di dalamnya.
Pembukaan karst yang merupakan
bentangan alam karst yang berbukit-bukit yang merupakan hamparan Bukit Barisan
Sumatera Bukit Bulan yang dilindungi pemerintah melalui peraturan pemerintah
Nomor 6 Tahun 2008 sebagai kawasan geologi unik dan rentan akan terancam rusak.
Sementara itu, ada lebih dari 100
goa beraliran sungai bawah tanah aktif serta tujuh mata air untuk pengairan
sawah dan keperluan rumah tangga. Padahal pemerintah kabupaten Sarolangun
menetapkan Bukit Bulan sebagai kawasan hulu lindung yang hanya boleh untuk
pertanian tradisional dan pariwisata alam. Tertuang dalam peraturan daerah
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2004 yang masih berlaku.
Penyelidikan geologi mengenai
kawasan lindung karst ini sudah banyak dilakukan, termasuk badan geologi
kementrian ESDM, akan tetapi era otonomi daerah yang berlaku di Indonesia saat
ini, menjadikan pemerintah kabupaten setempat tidak memiliki visi yang sama
tentang kelestarian kawasan karst kelas I dan kelas II ini, dan mereka sedang
mempersiapkan skenario penghancuran kawasan dan ekosistemnya untuk industri
semen.
Berdasarkan hasil overlay peta
tematik komponen kars menghasilkan peta kelas kawasan kars, yaitu kawasan kars
lindung geologi mempunyai jumlah (total) skor antara 79 hingga 141, dan kawasan
kars budi daya mempunyai jumlah (total) skor antara 47 hingga 78.
Kondisi di lapangan kawasan kars
lindung geologi memiliki keunikan bentang alam kars, sehingga arah
pemanfaatannya sesuai untuk kegiatan geowisata. Sementara pada kawasan kars
budi daya dapat dilakukan kegiatan penambangan setelah dilakukan studi geologi
lingkungan detail untuk menentukan zona pemanfaatan lahan secara optimal
Dari kedua peraturan tersebut
terdapat sinkronisasi yang dapat mengklasifikasikan kars ke dalam kawasan budi
daya dan kawasan lindung geologi. Oleh karena itu diperlukan analisis penetapan
kawasan kars agar pemanfaatannya optimal dan berwawasan lingkungan. Metode
analisis menggunakan standar baku yang digunakan di Pusat Sumber Daya Air Tanah
dan Geologi Lingkungan, sementara proses analisis menggunakan sistem informasi
geografis (SIG) dengan cara pembobotan dan overlay.
Pemerintah Kabupaten Sarolangun dengan mudahnya melanggar regulasi di
Indonesia dengan memberikan izin lokasi dan eksplorasi pertambangan kepada
pelaku bisnis tersebut. Dan saat ini mereka terus melakukan konspirasi untuk
meningkatkan izin menjadi tahap izin operasi produksi[18].
Izin Lokasi dan Eksplorasi PT.
SBR Nomor 53 Tahun 2011 berada dalam kawasan atau kawasan karst dengan terdiri
dari dari beberapa wilayah lokasi bukit karst Bukit Bulan, Bukit Petak, Bukit
Gedong, Bukit Tengah dan Bukit Mentang, dan lokasi ini berada dalam kawasan
hutan lindung.
Namun setelah keluar izin lokasi
dan eksplorasi PT SBR apabila kita perhatikan didalam ketentuan pasal 50 dan
pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Tata Ruang Wilayah
Nasional sangatlah bertentangan.
Izin lokasi dan eksplorasi PT SBR
termasuk kedalam kawasan lindung geologi.
Didalam Keputusan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Nomor 1456.K/20/MEM/2000 tentang pedoman pengelolaan
kawasan kars yang bersifat operasional, menyatakan bahwa kawasan kars kelas
I merupakan kawasan lindung sumber daya alam yang penetapannya mengikuti
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari kedua peraturan tersebut
terdapat sinkronisasi yang dapat mengklasifikasikan kars ke dalam kawasan budi
daya dan kawasan lindung geologi. Oleh karena itu diperlukan analisis penetapan
kawasan kars agar pemanfaatannya optimal dan berwawasan lingkungan. Metode
analisis menggunakan standar baku yang digunakan di Pusat Sumber Daya Air Tanah
dan Geologi Lingkungan, sementara proses analisis menggunakan sistem informasi
geografis (SIG) dengan cara pembobotan dan overlay.
Dengan demikian maka pemberian
Izin Lokasi dan Eksplorasi PT. SBR Nomor 53 Tahun 2011 bertentangan dengan
pasal 50 dan pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Tata
Ruang Wilayah Nasional dan KEPMEN ESDM No 1456.K./20/MEM/2000 dan juga PERMEN
ESDM No 17 Tahun 2012, tentang penetapan kawasan bentang alam Karst
Bupati Sarolangun tidak
mengindahkan aturan yang ada diatas tersebut dengan tetap memberikan dan
mengeluarkan izin lokasi dan eksplorasi tambang semen di area karst.
Pemberian izin PT. SBR yang
termasuk kedalam kawasan lindung geologi yang dekat pemukiman serta merupakan
sumber kehidupan masyarakat di 7 Desa yang berada di hulu Sungai Batanghari.
Masyarakat kemudian menolak
pemberian izin terhadap PT. SBR. Melalui perangkat desa, masyarakat kemudian
menyurati berbagai pihak.
Seperti yang dialami masyarakat
Desa Berkun Kecamatan Limun yang sejak setahun lalu mengajukan surat penolakan
terhadap rencana izin.
Kepala Desa Berkun Paisal
menyebutkan ada beberapa alasan mereka menolak kehadiran di desanya. Pasalnya
sebelum areal rencana izin, areal tersebut merupakan hak kelola masyarakat
sejak lama dan terdapat kebun-kebun karet milik mereka. “Disano, ado kebun-kebun
karet kami, dan terdapat juga tanaman-tanaman buah serta kuburankuburan lamo
tempat nenek bunyut kami,” sebutnya.
Dia juga menambahkan kehadiran
tersebut juga berdampak buruk pada Hutan Adat Bathin Betuah seluas 98 hektar
yang telah ditetapkan dalam SK Bupati Sarolangun Nomor 206 tahun 2010.
“Hutan adat kami terancam, padahal keberadaan hutan
adat ini untuk kepentingan masyarakat guna melinungi hulu air untuk irigasi
areal sawah dan sumber air bersih”[19]
Di areal tersebut tercatat ada
sebelas hutan adat yang sudah diakui pemerintah, yakni hutan adat Pengulu Laleh
(128 ha), hutan adat Rio Peniti (313 ha), hutan adat Pengulu Patwa (295 ha),
hutan adat Pengulu Sati (100 ha), hutan adat Rimbo Larangan (18 ha), hutan adat
Bhatin Batuah (98 ha), hutan adat Paduka Rajo (80 ha), hutan adat Datuk Menti
Sati (78 ha), hutan adat Datuk Menti (48 ha), hutan adat Imbo Pseko (140 ha),
dan hutan adat Imbo Lembago (70 ha)[20].
Di Harian Kompas, sikap ini juga
ditunjukkan sehingga persoalan karst di Sarolangun menjadi persoalan nasional. Kawasan
karst Bukit Bulan, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Jambi, terancam oleh
masuknya tambang dan pabrik semen. Industri ini juga bakal mengganggu ekosistem
kawasan hulu lindung dan bagian taman geologi berusia 290 juta tahun yang
diajukan sebagai warisan dunia[21].
Ketidaktegasan sikap pemerintah
terlihat dengan terus melenggangnya perlahan namun pasti sosialisasi analisis
dampak lingkungan sebuah perusahaan tambang yang akan memproduksi seman digelar
baru-baru ini.
Pengetahuan yang bersandarkan
kepada pengetahuan lokal baik melalui seloko, petatah-petitih dan tambo
memberikan pengetahuan yang baik terhadap masyarakat. Dari seloko,
petatah-petitih dan tambo dapat diketahui tentang sejarah dan wilayah klaim
adat baik masing-masing Desa.
Keberhasilan masyarakat
mementahkan kehadiran berbagai perusahaan dan melindungi kawasan konservasi
berdasarkan filosofi yang dianutnya.
Keadaan di atas menegaskan betapa ekosistem hutan pada saat
masih terjaga dengan baik.
Kawasan hutan ini penting untuk
dipertahankan, karena berada di wilayah hulu Jambi dan merupakan kawasan
ekologi penting. Selain menjadi sumber air bagi DAS utama Batanghari, juga
merupakan wilayah penghidupan masyarakat setempat. Secara keseluruhan hutan ini
merupakan kawasan penyangga (buffer zone) Taman Nasional Kerinci Sebelat
(TNKS). Kawasan yang tersisa di Jambi.
Kemampuan menjaga hutan oleh
masyarakat di daerah hulu Sungai Batanghari berbanding terbalik dengan kawasan
hutan dikelola perusahaan atau negara.
Luas tutupan lahan hutan Jambi
selama 10 tahun berkurang sebesar satu juta hektare. Dari 2,4 juta hektare pada
1990 menjadi 1,4 juta hektare pada tahun 2000, atau sebesar 29,66 persen dari
total luas wilayah Jambi. Pengurangan tutupan lahan hutan ini terjadi di dataran
rendah dan pegunungan, yaitu 435 ribu hektare. Sisanya terjadi di lahan rawa
gambut[22]
Penurunan tutupan lahan hutan
disebabkan oleh alih‐fungsi kawasan hutan menjadi areal pengunaan lain (APL)
untuk perkebunan besar kelapa sawit dan budidaya pertanian lainnya. Selain itu
juga oleh kegiatan perusahaan HPH, HTI dan pertambangan.
Ketidakmampuan negara dan masih
berdebat berdebat tentang cara terbaik mengatasi perubahan iklim, emisi karbon
pun terus meningkat. Masyarakat di hulu Batanghari sendiri telah melakukan
upaya penyelamatan hutan.
Filosofi dan Nilai‐nilai adat
(local wisdom) dalam pengelolaan sumberdaya alam disepakati masyarakat sebagai
prinsip utama dalam pengelolaan hutan kemudian diatur didalam kedalam sebuah
peraturan desa. Dengan cara demikian dan kebijakan tentang pengelolaan
sumberdaya alam yang baik dan lestari dapat berlangsung secara
berkesinambungan.
Pelajaran dari filosofi
masyarakat di hulu Sungai Batanghari didalam mengelola sumber daya alam menjadi
pelajaran berharga.
Begitu pentingnya keberadaan
masyarakat didalam menata dan menjaga sumber daya alam merupakan kekuatan
masyarakat melindungi kawasan dari penghancuran.
Rencana penghancuran kawasan
karst dunia ini akan semakin dipercepat jika pengesahan dokumen AMDAL disetujui
oleh konspirasi pemerintah setempat. Padahal kawasan karst ini berada sangat
dekat dengan kawasan Geopark Merangin, yang telah diajukan badan geologi
Kementrian ESDM ke UNESCO. Geopark yang diperkirakan berusia 300 juta tahun dan
kawasan karst Bukit Bulan tentunya akan menjadi ladang riset utama para geolog
dunia dalam mempelajari evolusi bumi[23].
Pentingnya kawasan karst di areal
yang dilindungi masyarakat berdasarkan seloko “Teluk sakti. Rantau betuah,
Gunung Bedewo”, Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/Rimbo Keramat, Bukit
Seruling/Bukit Tandus. Atau Rimbo sunyi “Tempat siamang beruang putih.
Tempat ungko berebut tangis.
Istilah Rimbo ganuh atau rimbo
sunyi atau hutan keramat merupakan daerah yang tidak boleh dibuka.
Ujaran yang diwariskan secara turun menurun merupakan makna simbolik masyarakat
terhadap daerah-daerah yang harus dilindungi.
Penghancuran kawasan karst
berdampak kepada sungai di Batang Asai dan Sungai Batang Limun. Sungai di hulu yang mengairi Sungai
Batanghari. Sungai Terpanjang di Sumatera.
* Direktur Walhi
Jambi
[1] Masyarakat
hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu
Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan
Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial
Institutut, Amsterdam, 1938.
[2] Daerah
Aliran Sungai (DAS) Batang Hari merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia,
mencakup luas areal tangkapan (catchment area) ± 4.9 juta Ha. Sekitar 76 % DAS
Batang Hari berada pada provinsi Jambi, sisanya berada pada provinsi Sumatera
Barat. DAS Batang Hari juga berasal dari berada di dalam kawasan Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS) dan di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Di landscape
TNKS terdapat Margo Batin Pengambang dan Margo Sungai Tenang. Sedangkan di
Landscape TNBT terdapat Margo Sumay. Sungai Batanghari merupakan muara dari
sembilan hulu anak sungai (Sungai-sungai besar yang merupakan anak Sungai
Batanghari adalah Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir,
Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan Batang Suliti.). Namun studi ini
akan dikonsentrasikan kepada Margo Sumay (Sungai Sumay), Margo Sungai Tenang
(sungai Batang Tembesi) dan Margo Batin Pengambang (Sungai Batang Asai)
[3] F. J.
Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
[4] Istilah
Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang pegawai Pemerintahan Kolonial
yang sedang cuti dalam disertasinya (1927). Studi ini mengenai hak-hak atas
tanah dan air dari Marga, yakni suatu unit komunitas yang murni bersifat
teritorial di Palembang, satu dari empat bagian di wilayah hukum Sumatera
Selatan. Selain Palembang, bagian hukum adat lain juga terjadi di distrik
Jambi, Bengkulu dan Lampung. Van Vollenhoven meneyebutkan beschikkingrecht
sebagai sebuah konsep yang seragam, pembentuk identitas Indonesia yang
kepulauan. Lihat ADAT DALAM POLITIK INDONESIA, (editor Jamie S. Davidson dkk),
KITLV, Jakarta, 2010, hal. 89.
[5] Dari
berbagai sumber, juga disebutkan Pesirah (margahoofd) adalah kepala
pemerintahan marga pada masa Hindia-Belanda di wilayah Zuid Sumatra
(Sumatera Selatan yang wilayahnya bukan seperti saat ini). Pesirah merupakan
seorang tokoh masyarakat yang memiliki kewenangan memerintah beberapa desa.
Pasirah adalah salah satu elite tradisional yang bertugas mengatur
pemerintahan tradisional dan acara ritual-ritual, pesta-pesta dan
upacara-upacara adat lainnya. Di samping sebagai kepala pemerintahan, pasirah
juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi dalam memutuskan segala
permasalahan baik yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan,
perceraian dan aturan jual beli. Dalam menjalani pemerintahan dan pelaksanaan
adat, pasirah dibantu oleh seorang kepala dusun. Secara historis sistem pasirah
terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah kolonial Belanda Tertanggal 25
Desember 1862
[6] Istilah Malayu pertama kali muncul pada tahun
671 M oleh seorang biksu Tiongkok bernama I-Tsing yang pada saat itu bermukim
di kerajaan Malayu (Jambi) yang terletak di lembah Batang Hari untuk
memperdalam pengetahuan mengenai filsafat agama Budha. ULI KOZOK,
PH.D, KITAB UNDANG-UNDANG TANJUNG TANAH NASKAH MELAYU YANG TERTUA,
Yayasan Naskah Nusantara Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2006
[7] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku
Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997
[8] Secara fenomologis, Melayu merupakan sebuah
entitas kultural (Malay/Malayness sebagai cultural termn/terminologi
kebudayaan)
[9] Yusmar
Yusuf, Ibid, Hal. 34
[10] Yusmar
Yusuf, Ibid, Hal. 40
[11] Vergouwen menegaskan “Seloko” adalah petatah,
petitih yang didapatkan dari pengetahuan turun temurun, memberikan motivasi
bagi suatu kelompok untuk bertindak (in action). Dalam khazanah Bahasa Belanda
dikenal dengan istilah “gevleugelde woorden (kata-kata bersayap), yaitu
seperangkat kata yang begitu diucapkan akan menyebar dan hinggap dimana-mana
seperti burung dan siapapun dapat menimba manfaat darinya. Lihat Nico Ngani,
Perkembangan hukum Adat Indonesia
[12] Melambangkan kemakmuran
[13] Mengandung
makna bahwa setiap potensi sumberdaya, khususnya potensi sumberdaya manusia
dapat dimaksimumkan pendayagunaannya dalam mencapai cita-cita bersama, dimana
pelaku pembangunan harus sesuai dengan bidang keahliannya.
[14] Mengandung makna bahwa setiap individu dalam
bermasyarakat harus memegang etika moral yang bersifat naturalistik. Dapat ditafsirkan
sebagai “Kekuatan Batin dari Desa”. Dalam Konsep Von Savigny
dikenal dengan istilah “die Volksgeist”. Volksgeist merupakan gabungan dari
kekuatan magis yang melingkupi suatu perkumpulan adat / persekutuan hukum
(rechtsgemeenshap).
[15] Yusmar
Yusuf, Studi Melayu, Ibid, Hal. 71
[16] F.
J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
[17] Kawasan karst Bukit Bulan, Kabupaten Sarolangun, Provinsi
Jambi, Indonesia terletak koordinat -2° 38′
18.02″ S 102° 26′ 6.16″ E ; -2° 39′ 34.2″ S 102° 26′ 22.2″ E dan -2° 39′ 35.64″ S 102° 26′ 20.4″ E).
[18] Walaupun
pemerintah indonesia telah mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 26 tahun
2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional, terutama pasal 50 dan pasal
53 mengenai kawasan lindung geologi, Kepmen ESDM Nomor 1456.K./20/MEM/2000 dan
Permen ESDM nomor 17 tahun 2012 tentang penetapan kawasan bentang alam Karst,
akan tetapi pemerintah kabupaten (Bupati) setempat tidak menghiraukan peraturan
tersebut dan melanggar peraturan dengan tetap memberikan kawasan Karst Bukit Bulan
sebagai bahan baku industri semen.
[19] Wawancara dengan Kepala Desa Berkun, Alam
Sumatera, September 2013
[20] Data dari berbagai sumber. KKI-Warsi, G-Cinde,
Walestra.
[21] Kompas, 25 September 2013
[22] Dari berbagai sumber, WALHI Jambi, 2011.
[23] http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/06/geopark-merangin-menuju-jaringan-geopark-dunia