21 April 2012

opini musri nauli : BELAJAR BERDEMOKRASI DI WALHI (Catatan tercecer PNLH XI Walhi, Balikpapan, 11 – 16 April 2012)


BELAJAR BERDEMOKRASI DI WALHI
(Catatan tercecer PNLH XI Walhi, Balikpapan, 11 – 16 April 2012)

Sebagai miniatur Indonesia, Walhi merupakan wadah yang tepat menggambarkannya. Keanggotaan Walhi dimulai dari Aceh hingga Papua melingkupi pulau-pulau di Indonesia. Merata. Dengan komposisi keanggotaan dari Ujung Aceh hingga Papua dengan 27 Walhi Daerah dan Keanggotaan total 479 organisasi anggota dan 156 anggota individu (www.walhi.or.id terhitung Desember 2011)  sudah menggambarkan “miniatur” Indonesia.

Dengan komposisi ”sebesar” dan ”selengkap” itu, maka ajang nasional seperti PNLH (Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup) XI di Balikpapan tentu saja terlalu sederhana apabila dilihat semata sebagai ajang pemilihan Direktur Eksekutif Nasional Walhi dan pemilihan Dewan Nasional Walhi ”an sich”.

Sebagai “rumah” dan “kawah candradimuka” belajar berdemokrasi, maka struktur sistem demokrasi ditata dan ditentukan dengan merangkum berbagai komponen. Direktur Eksekutif sebagai ”pemimpin Eksekutif” ditentukan dengan pemilihan langsung (one man one vote). Pemimpin Eksekutif dalam pembagian kekuasaan dalam teori Montesquie dikenal sebagai Eksekutif heavy.

Begitu juga perwakilan anggota yang kemudian terangkum didalam Dewan nasional. Anggota mempunyai hak untuk memilih anggota Dewan nasional yang jumlah ditentukan setiap PNLH (Dalam statuta ditentukan komposisi jumlah anggota Dewan nasional sebanyak 5 -7 orang.Di  PNLH XI Balikpapan disepakati jumlah anggota dewan nasional sebanyak 5 orang). Dewan Nasional selain berwenang membicarakan anggaran dengan Direktur Eksekutif, juga sebagai ”penjaga” konstitusi Walhi (yang biasa dikenal dengan statuta). Dewan nasional dalam teori Montesquie dikenal sebagai Legistatif Heavy.

Namun yang unik, keanggotaan di Walhi justru diproses dan menjadi anggota Walhi Daerah. Sehingga hubungan antara anggota Walhi dengan Walhi, selain berhak memilih Eksekutif nasional juga berhak memilih Eksekutif Daerah. Begitu juga anggota berhak memilih anggota Dewan nasional dan anggota Dewan Daerah. Didalam PNLH, Direktur Eksekutif nasional maupun Direktur Eksekutif Daerah tidak mempunyai hak suara.

Sementara hubungan antara Walhi Nasional dengan Walhi-walhi Daerah hanyalah hubungan koordinasi semata. Walhi Nasional tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan Direktur Eksekutif Daerah maupun anggota Dewan Daerah Walhi Daerah. Walhi secara nasional ”dapat saja” membubarkan Walhi daerah apabila ternyata ”nyata-nyata” melanggar statuta”. Namun secara prinsip, kekuasaan dan kekuatan pendirian dan pembubaran Walhi daerah masih dalam kekuasaan dan kewenangan anggota walhi daerah.

Hubungan yang unik inilah, menyebabkan, hiruk pikuk perhelatan PNLH Walhi terlalu sayang dilewatkan. Hubungan ”koordinasi” antara Walhi Nasional dengan Walhi-Walhi daerah, membuat pemilihan dan penentuan komposisi di nasional menjadi rentang ”komando” menjadi sulit. Para kandidate (baik calon Direktur Eksekutif maupun calon anggota Dewan nasional) menjadi sadar. Rentang kendali dan jauhnya wilayah kampanye Indonesia, menjadikan ajang PNLH menarik untuk kita simak.

Selain itu juga dengan melihat berbagai komposisi organisasi nasional yang hadir dan ”turut bertarung” harus diakui, ”magnet” Walhi menjadi ”daya pikat” dan menjadi ”kekuatan” yang cukup diperhitungkan.

CATATAN DEMOKRASI

Sebagai ”rumah” dan ”kawah candradimuka”, Walhi telah mengalami dan melewati berbagai issu sensitif yang selama ini gagal diselesaikan oleh negara. Issu ”agama” maupun issu gender sebagai tema kampanye ternyata sudah selesai menjadi bahan kampanye di Walhi. Dengan melihat berbagai komposisi para pengurus Walhi, issu agama maupun issu gender ternyata tidak menjadi issu yang menarik lagi untuk didiskusikan di Walhi. Apabila kita lihat dokumen-dokumen sejarah Walhi, persoalan issu yang sensitif seperti perbedaan agama maupun persoalan gender merupakan tidak menjadi tema yang menarik sebagai bahan kampanye.

Kita mengenal Erna Witoelar, Emmy Hafid ataupun Nursyahbani Katjasungkana sebagian kecil dari nama-nama yang mempengaruhi dan memimpin Walhi. Nama-nama tersebut selain berhasil memimpin Walhi juga berhasil masuk kedalam berbagai sektor. Entah sebagai Menteri, anggota parlemen ataupun posisi strategis di berbagai bidang.

Dalam persoalan ”dana haram”, Walhi terdepan secara tegas dan konsisten menolak dana-dana haram (baik seperti dana dari perusahaan perusak lingkungan, pelanggar HAM), juga dana-dana yang berasal dari Bank Multilateral seperti World Bank, IMF, ADB. Bahkan Walhi kemudian menolak dana dari state yang ternyata menginvasi Irak seperti Usaid, DFID dan Ausaid. Konsistensi dan sikap keras dari Walhi selain menarik perhatian dunia juga menarik dan menjadi pelajaran penting dari sikap tanpa kompromi dari sikap Politik Walhi.

Sikap itu selain telah diatur didalam statuta Walhi juga menjadi sikap politik Walhi yang dirumuskan baik didalam PNLH maupun KNLH Walhi.

Dengan sikap konsistensi dari Walhi, Walhi berhasil melewati ”buih” dan menjadi organisasi yang cukup diperhitungkan.

Dengan semangat yang sama, PNLH menjadi ”peta” dan pertarungan penting dalam menjaga sikap konsistensi Walhi.

Dalam PNLH XI di Balikpapan, sikap ”keras” terhadap tawaran berbagai sikap ”moderasi” untuk melunak terhadap sikap politiknya, didukung oleh anggota Walhi. Anggota Walhi yang terus meyakini sikap dan pandangan politiknya terus menjaga konstitusi Walhi. Usulan ataupun cobaan untuk sedikit melunak tidak mendapatkan dukungan dari anggota Walhi. Dalam catatan ini, harus diakui, bertahannya nilai-nilai Walhi sudah dijaga dan diamanatkan langsung oleh anggota Walhi.

Catatan kedua, anggota Walhi mempunyai pandangan dan sikap politik yang juga dipengaruhi perkembangan zaman. Sikap ngotot dan sikap ”sok mengatur” dari berbagai pihak yang hendak mengatur ”suara” anggota Walhi disikapi dengan sikap tegas. Berbagai rumusan di dalam pasal-pasal statuta merupakan perjuangan panjang dari anggota untuk menjaga konsistensi Walhi. Ruang demokrasi tetap dibuka dengan mengedepankan nila-nilai Walhi.

Catatan ketiga. Sebagai ”rumah” dan ”kawah candradimuka”, berbagai argumentasi dan pendapat yang berkembang dalam Sidang Pleno membuktikan, anggota selain menjadi anggota Walhi juga berinteraksi terus menerus dengan basis-basis dampingan selama ini. Gugatan dan tuntutan agar Walhi kembali ”back to basis” dengan membangun organisasi di basis, relevan tuntutan agar Walhi memainkan kiprahnya dalam kancah politik tanpa harus berubah menjadi Partai Politik. Sikap dan dorongan didasari, berbagai perkembangan politik tidak mampu memainkan dan memihak kepada kepentingan rakyat. Dalam ranah ini, sebenarnya gugatan ataupun tuntutan yang disampaikan dalam berbagai sidang Pleno PNLH berangkat ”semata-mata” agar Walhi tidak semata-mata menjadi organisasi ”gerakan advokasi lingkungan hidup” tapi mampu membangun organisasi ”gerakan sosial lingkungan hidup”. Dalam catatan, inilah, kemudian didalam statuta Walhi disepakati perlunya ”asas” sebagai arah dan sikap dalam perjuangan lingkungan hidup.

Catatan keempat. Sebagai ”rumah” dan ”kawah candradimuka”, pemilihan dan penentuan komposisi komponen Eksekutif Nasional dan Dewan Nasional berhasil mewakili  berbagai pandangan dan mewakili berbagai region. Terpilihnya Abetnego Tarigan sebagai Direktur Eksekutif Nasional dan Dadang Sudarja sebagai Ketua Dewan nasional Walhi merupakan episode awal untuk menata Walhi 4 tahun kedepan. Dengan ”hiruk pikuk” dan argumentasi yang telah disampaikan di forum sidang Pleno, rumusan konstitusi akan diimplementasikan 4 tahun ke depan.

Namun yang pasti, kemenangan di PNLH merupakan milik seluruh anggota Walhi. Kemenangan ”berdemokrasi” yang transparan, akuntabel, tidak neko-neko merupakan ”rumah” dan ”kawah candradimuka” belajar berdemokrasi di Walhi. Dan penulis termasuk beruntung belajar dan merasakan belajar berdemokrasi di Walhi.