BELAJAR BERDEMOKRASI DI WALHI
(Catatan tercecer PNLH XI Walhi, Balikpapan, 11 – 16 April 2012)
Sebagai miniatur Indonesia,
Walhi merupakan wadah yang tepat menggambarkannya. Keanggotaan Walhi dimulai
dari Aceh hingga Papua melingkupi pulau-pulau di Indonesia. Merata. Dengan komposisi
keanggotaan dari Ujung Aceh hingga Papua dengan 27 Walhi Daerah dan Keanggotaan
total 479 organisasi anggota dan 156 anggota individu (www.walhi.or.id
terhitung Desember 2011) sudah menggambarkan “miniatur” Indonesia.
Dengan komposisi ”sebesar” dan ”selengkap” itu, maka ajang nasional seperti PNLH (Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup) XI
di Balikpapan tentu saja terlalu sederhana apabila dilihat semata sebagai ajang
pemilihan Direktur Eksekutif Nasional Walhi dan pemilihan Dewan Nasional Walhi
”an sich”.
Sebagai “rumah” dan “kawah candradimuka” belajar
berdemokrasi, maka struktur sistem demokrasi ditata dan ditentukan dengan
merangkum berbagai komponen. Direktur Eksekutif sebagai ”pemimpin Eksekutif” ditentukan dengan pemilihan langsung (one man one vote). Pemimpin Eksekutif dalam
pembagian kekuasaan dalam teori Montesquie dikenal sebagai Eksekutif heavy.
Begitu juga perwakilan anggota yang kemudian terangkum didalam Dewan
nasional. Anggota mempunyai hak untuk memilih anggota Dewan nasional yang
jumlah ditentukan setiap PNLH (Dalam
statuta ditentukan komposisi jumlah anggota Dewan nasional sebanyak 5 -7 orang.Di
PNLH XI Balikpapan disepakati jumlah
anggota dewan nasional sebanyak 5 orang). Dewan Nasional selain berwenang
membicarakan anggaran dengan Direktur Eksekutif, juga sebagai ”penjaga” konstitusi Walhi (yang biasa dikenal dengan statuta).
Dewan nasional dalam teori Montesquie dikenal sebagai Legistatif Heavy.
Namun yang unik, keanggotaan di Walhi justru diproses dan menjadi anggota
Walhi Daerah. Sehingga hubungan antara anggota Walhi dengan Walhi, selain
berhak memilih Eksekutif nasional juga berhak memilih Eksekutif Daerah. Begitu
juga anggota berhak memilih anggota Dewan nasional dan anggota Dewan Daerah. Didalam
PNLH, Direktur Eksekutif nasional maupun Direktur Eksekutif Daerah tidak
mempunyai hak suara.
Sementara hubungan antara Walhi Nasional dengan Walhi-walhi Daerah hanyalah
hubungan koordinasi semata. Walhi
Nasional tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan Direktur Eksekutif Daerah
maupun anggota Dewan Daerah Walhi Daerah. Walhi secara nasional ”dapat saja” membubarkan Walhi daerah
apabila ternyata ”nyata-nyata” melanggar
statuta”. Namun secara prinsip, kekuasaan dan kekuatan pendirian dan
pembubaran Walhi daerah masih dalam kekuasaan dan kewenangan anggota walhi
daerah.
Hubungan yang unik inilah, menyebabkan, hiruk pikuk perhelatan PNLH Walhi
terlalu sayang dilewatkan. Hubungan ”koordinasi”
antara Walhi Nasional dengan Walhi-Walhi daerah, membuat pemilihan dan
penentuan komposisi di nasional menjadi rentang ”komando” menjadi sulit. Para kandidate (baik calon Direktur Eksekutif maupun calon anggota Dewan nasional) menjadi
sadar. Rentang kendali dan jauhnya wilayah kampanye Indonesia, menjadikan ajang
PNLH menarik untuk kita simak.
Selain itu juga dengan melihat berbagai komposisi organisasi nasional yang
hadir dan ”turut bertarung” harus
diakui, ”magnet” Walhi menjadi ”daya pikat” dan menjadi ”kekuatan” yang cukup diperhitungkan.
CATATAN DEMOKRASI
Sebagai ”rumah” dan ”kawah candradimuka”, Walhi telah
mengalami dan melewati berbagai issu sensitif yang selama ini gagal
diselesaikan oleh negara. Issu ”agama”
maupun issu gender sebagai tema kampanye ternyata sudah selesai menjadi bahan
kampanye di Walhi. Dengan melihat berbagai komposisi para pengurus Walhi, issu
agama maupun issu gender ternyata tidak menjadi issu yang menarik lagi untuk
didiskusikan di Walhi. Apabila kita lihat dokumen-dokumen sejarah Walhi,
persoalan issu yang sensitif seperti perbedaan agama maupun persoalan gender
merupakan tidak menjadi tema yang menarik sebagai bahan kampanye.
Kita mengenal Erna Witoelar, Emmy Hafid ataupun Nursyahbani Katjasungkana
sebagian kecil dari nama-nama yang mempengaruhi dan memimpin Walhi. Nama-nama
tersebut selain berhasil memimpin Walhi juga berhasil masuk kedalam berbagai
sektor. Entah sebagai Menteri, anggota parlemen ataupun posisi strategis di
berbagai bidang.
Dalam persoalan ”dana haram”,
Walhi terdepan secara tegas dan konsisten menolak dana-dana haram (baik seperti dana dari perusahaan perusak
lingkungan, pelanggar HAM), juga dana-dana yang berasal dari Bank
Multilateral seperti World Bank, IMF, ADB. Bahkan Walhi kemudian menolak dana
dari state yang ternyata menginvasi Irak seperti Usaid, DFID dan Ausaid.
Konsistensi dan sikap keras dari Walhi selain menarik perhatian dunia juga
menarik dan menjadi pelajaran penting dari sikap tanpa kompromi dari sikap
Politik Walhi.
Sikap itu selain telah diatur didalam statuta Walhi juga menjadi sikap
politik Walhi yang dirumuskan baik didalam PNLH maupun KNLH Walhi.
Dengan sikap konsistensi dari Walhi, Walhi berhasil melewati ”buih” dan menjadi organisasi yang cukup
diperhitungkan.
Dengan semangat yang sama, PNLH menjadi ”peta” dan pertarungan penting dalam menjaga sikap konsistensi
Walhi.
Dalam PNLH XI di Balikpapan, sikap ”keras”
terhadap tawaran berbagai sikap ”moderasi”
untuk melunak terhadap sikap politiknya, didukung oleh anggota Walhi. Anggota
Walhi yang terus meyakini sikap dan pandangan politiknya terus menjaga
konstitusi Walhi. Usulan ataupun cobaan untuk sedikit melunak tidak mendapatkan
dukungan dari anggota Walhi. Dalam catatan ini, harus diakui, bertahannya
nilai-nilai Walhi sudah dijaga dan diamanatkan langsung oleh anggota Walhi.
Catatan kedua, anggota Walhi mempunyai pandangan dan sikap politik yang
juga dipengaruhi perkembangan zaman. Sikap ngotot dan sikap ”sok mengatur” dari berbagai pihak yang
hendak mengatur ”suara” anggota Walhi
disikapi dengan sikap tegas. Berbagai rumusan di dalam pasal-pasal statuta
merupakan perjuangan panjang dari anggota untuk menjaga konsistensi Walhi.
Ruang demokrasi tetap dibuka dengan mengedepankan nila-nilai Walhi.
Catatan ketiga. Sebagai ”rumah”
dan ”kawah candradimuka”, berbagai
argumentasi dan pendapat yang berkembang dalam Sidang Pleno membuktikan,
anggota selain menjadi anggota Walhi juga berinteraksi terus menerus dengan
basis-basis dampingan selama ini. Gugatan dan tuntutan agar Walhi kembali ”back to basis” dengan membangun
organisasi di basis, relevan tuntutan agar Walhi memainkan kiprahnya dalam
kancah politik tanpa harus berubah menjadi Partai Politik. Sikap dan dorongan
didasari, berbagai perkembangan politik tidak mampu memainkan dan memihak
kepada kepentingan rakyat. Dalam ranah ini, sebenarnya gugatan ataupun tuntutan
yang disampaikan dalam berbagai sidang Pleno PNLH berangkat ”semata-mata” agar
Walhi tidak semata-mata menjadi organisasi ”gerakan
advokasi lingkungan hidup” tapi mampu membangun organisasi ”gerakan sosial lingkungan hidup”. Dalam
catatan, inilah, kemudian didalam statuta Walhi disepakati perlunya ”asas”
sebagai arah dan sikap dalam perjuangan lingkungan hidup.
Catatan keempat. Sebagai ”rumah”
dan ”kawah candradimuka”, pemilihan
dan penentuan komposisi komponen Eksekutif Nasional dan Dewan Nasional berhasil
mewakili berbagai pandangan dan mewakili
berbagai region. Terpilihnya Abetnego Tarigan sebagai Direktur Eksekutif
Nasional dan Dadang Sudarja sebagai Ketua Dewan nasional Walhi merupakan
episode awal untuk menata Walhi 4 tahun kedepan. Dengan ”hiruk pikuk” dan
argumentasi yang telah disampaikan di forum sidang Pleno, rumusan konstitusi
akan diimplementasikan 4 tahun ke depan.
Namun yang pasti, kemenangan di PNLH merupakan milik seluruh anggota Walhi.
Kemenangan ”berdemokrasi” yang transparan, akuntabel, tidak neko-neko merupakan
”rumah” dan ”kawah candradimuka” belajar berdemokrasi di Walhi. Dan penulis
termasuk beruntung belajar dan merasakan belajar berdemokrasi di Walhi.