14 Agustus 2017

opini musri nauli : Biodiversity gambut


Akhir-akhirnya issu gambut mulai memantik diskusi kalangan kampus, akademisi, praktisi hukum, Pemerintah, LSM dan masyarakat. Kebakaran massif sejak tahun 2006 (Walhi 2012) dan kemudian “meledak” tahun 2013, 2015 dan 2016 membuat dunia terhenyak melihat gambut. Pemerintah Jokowi “gagap” dan kewalahan menghadapi kebakaran.
Berbagai peraturan perundang-undangan tumpang tindih dan saling “mengelimir”. Sikap egosektoral membuat problema semakin rumit. Kekukuhan dari Negara yang masih “memberikan” lahan gambut kepada industry (HTI dan sawit) dengan “keengganan” memproteksi kawasan gambut sebagai kawasan unik, penting dan sebagai “benteng” terakhir dari peradaban manusia.

Berbagai peraturan yang “memberikan ruang” pengelolaan gambut dengan menggunakan indicator “kawasan lindung” dan “budidaya gambut” berhadapan dengan pengetahuan masyarakat. Masyarakat kemudian dipinggirkan. Pengetahuan masyarakat tentang gambut “kurang mendapatkan” perhatian.

Padahal apabila Negara, kampus dan pemerhati gambut mau “sejenak” mendengarkan suara masyarakat, maka problema gambut tidak menjadi rumit dan kebakaran dapat dicegah.

Ditengah masyarakat, pengetahuan local melihat gambut ditandai dengan “akar bekait, jelutung dan pakis” adalah tanda-tanda alam sebagai identitas gambut dalam. Daerah ini dikenal sebagai daerah yang tidak boleh dibuka yang disebut “pantang larang”. Daerah ini biasa dikenal sebagai “hutan hantu pirau[1]”, “hutan adat” atau hutan keramat.

Sebagai kawasan yang tidak boleh dibuka (hutan hantu pirau, hutan adat atau hutan keramat), kawasan ini berupa hutan, daerah tangkapan air tempat “rumah ikan”.

Sebagai kawasan hutan yang dilindungi maka terdapat kayu-kayu endemic yang bermutu tinggi seperti kayu jelutung (Dyera polyphylla spp), ramin (Gonystylus bancanus), Pulai rawa (Alstonia pneumatophore back), Kempas (Koompassia malaccensis), punak (Tetramerista glabra Miq)  dan Meranti (horea acuminata Dyer). Belum lagi Bungur  (Lagerstroemia speciosa Pers)[2].

Masyarakat menggunakan ramin (Gonystylus bancanus), Pulai rawa (Alstonia pneumatophore back), Kempas (Koompassia malaccensis), punak (Tetramerista glabra Miq),  Meranti (horea acuminata Dyer) dan Bungur  (Lagerstroemia speciosa Pers) sebagai kayu sebagai bahan bangunan.
Pohon Pulai rawa (Alstonia pneumatophore back), Meranti (horea acuminate Dyer). kemudian ditetapkan sebagai pohon yang terancam punah[3]. Sedangkan Jelutung  (Dyera polyphylla spp) kemudian ditetapkan sebagai pohon yang langka[4].

Selain itu juga terdapat rotan (Calamus/Daemonorops/Oncocalamus), rumbai  (Metroxylon sagu) yang dipergunakan sebagai bahan kerajian sehari-hari yang digunakan ibu-ibu rumah tangga mengisi waktu senggang menjelang tidur.

Jenis rotan seperti rotan getah, rotan rumbai, rotan sego, rotan peledas , rotan peledas dan rotan tunggal.  Rotan muda dapat dijadikan sayuran yang sehari-hari dilalap[5].

Kawasan yang tidak boleh dibuka (hutan hantu pirau, hutan adat atau hutan keramat) sebagai “rumah ikan” adalah tempat “bersarangnya” ikan seperti Ikan Toman (channidae), ikan baung (Macrones nemurus), ikan tapa (Wallago) adalah ikan-ikan khas (biodiversity) gambut. Selain itu juga dikenal arwana silver (Schlerophages formosus), ridiangus (Balantiocheilos melanopterus), belida (Notopterus chitala), sepat batik (Cydochaicichthys aroplos), serandang (Channa pleurophthalma), Seluang (Rasbora argyrotaenia Blkr) dan tilan (Mastacembelus erythrotaenia), ikan bujuk (Channa lucius) dan ikan Selincah (Belontia hasselti).

Di kawasan yang tidak boleh dibuka (hutan hantu pirau, hutan adat atau hutan keramat) juga terdapat Harimau, rusa, kancil, Napu, Burung Murai atau burung daun.

Daerah-daerah seperti Pematang kapas, pematang Semeleng, Sungai Buayo, Batang Cengal atau Pemtang Kapas adalah nama-nama tempat yang disebut sebagai daerah hutan hantu pirau, hutan adat atau hutan keramat. Pematang Cengal merupakan “kasang kering”.

Daerah yang dilindungi kemudian oleh Negara diberikan kepada industry (sawit dan HTI). Daerah yang dilindungi kemudian hancur pembangunan sawit dan HTI dan kemudian hilangnya biodiversity gambut.

Secara tidak langsung hilangnya kekayaan khas gambut (biodiversity gambut) kemudian menyebabkan kerugian yang dirasakan oleh masyarakat.

Sebagai contohnya hilangnya hutan jelutung  (Dyera spp) sebagai kegiatan dan aktivitas masyarakat. Kehilangan getah yang didapatkan dari jelutung merupakan kerugian yang harus diderita masyarakat di daerah hilir Jambi.

Getah jelutung yang didapatkan dari 350 batang dapat menghasilkan Rp 7 juta rupiah/bulan. Dengan hilangnya daerah perlindungan di pematang kapas, maka masyarakat menderita kerugian hingga Rp 23,5 milyar rupiah.  

Begitu juga rotan. Dengan rotan dapat menghasilkan ekonomi 500 kg/bulan. Sehingga 1 kg apabila dijual Rp 1000,- maka dapat menghasilkan Rp 500 ribu/bulan.

Sedangkan rumbia yang dapat menghasilkan kerajian tikar dapat menghasilkan sebulan 5 tikar. Apabila setiap rumah tangga dapat menghasilkan 5 tikar dijual Rp 85.000,- maka setiap bulan dapat menghasilkan Rp. 425.000,-

Rotan dan rumbia yang dapat dijadikan bahan kerajinan telah merugikan masyarakat

Sedangkan kayu yang terdapat di daerah yang dilindungi menghasilkan setiap kayu yang mahal. Rata-rata Rp 2 juta/kubik. Namun sejak kawasan itu kemudian hancur maka sekarang masyarakat harus mengeluarkan minimal Rp 2 juta/tahun.

Daerah-daerah seperti Pematang kapas, pematang Semeleng, Sungai Buayo, Batang Cengal atau Pemtang Kapas adalah nama-nama tempat yang disebut sebagai daerah hutan hantu pirau, hutan adat atau hutan keramat sebagai “rumah ikan” dapat menghasilkan ikan = 1 kg/hari. Apabila ikan 1 kg hari = Rp 15.000,- maka setiap minggu dapat dipanen dan tidak perlu mengeluarkan Rp 60.000,-. Atau Setahun tidak perlu lagi membeli ikan Rp 720.000,-

Namun sejak berbagai tempat yang dijadikan “rumah ikan” kemudian hancur maka daerah hilir Jambi kemudian membutuhkan 2 ton/minggu. Sehingga setiap minggu Rp 60 juta uang yang tidak seharusnya keluar.

Padahal Ikan selain bisa dikonsumsi juga merupakan sebagai “penanda’ terhadap perubahan musim dari musim hujan ke musim kemarau.

Ikan Toman (channidae) dan I kan baung (Macrones nemurus) memberikan tanda semakin menaiknya air sungai Batanghari. Biasa disebut “ikan mudik” atau “ikan mabuk”.

Dengan terdapatnya Ikan Toman (channidae) dan I kan baung (Macrones nemurus), maka tahun musim tanam padi belum bisa dilakukan.  Sedangkan Ikan Seluang (Rasbora argyrotaenia Blkr) sebagai penandai dimulainya musim kemarau. Namun praktis sejak 5 tahun terakhir, Ikan Toman (channidae) dan I kan baung (Macrones nemurus) semakin sulit didapatkan. Bahkan menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Jambi.  dalam rentang 10 tahun, populasi ikan menyusut sekitar 50%[6]. Selain pembukaan gambut yang diberikan kepada perusahaan juga disebabkan penambangan yang membuang airnya ke sungai dari hulu Batanghari. Ikan-ikan tercemar merkuri.

Hutan gambut juga telah mengalami kerusakan mencapai 50 %[7]. Status Lingkungan Hidup sudah mencemaskan[8]. Bahkan Walhi Jambi sendiri mensinyalir kemampuan manusia terhadap lingkungan hidup tinggal 27 %[9]

Akibat kerusakan daerah-daerah yang dilindungi masyarakat mengakibat hilangnya tanaman jelutung. Sehingga masyarakat tidak dapat menghasilkan getah jelutung yang setiap bulan memberikan kehidupan Rp 7 juta rupiah/bulan. Begitu juga rotan yang menghasilkan Rp 500 ribu/bulan dan rumbia Rp. 425.000,-

Selain tidak menikmati hasil getah jelutung, rotan dan rumbai, masyarakat harus mengeluarkan dana untuk membeli ikan setiap bulan Rp 60.000,-. dan pembelian kayu Rp 2 juta/kubik/tahun.

Belum lagi dengan diberikan izin kepada sawit dan HTI yang menyebabkan kebakaran tahun 2013 dan tahun 2015. Akibat kebakaran kemudian menghanguskan kebun karet yang apabila dikonversi merugikan Rp. 60 juta/ha.

Akibat pemberian izin kepada perusahaan sawit dan HTI kemudian menghancurkan areal persawahan (perumoan). Padahal setiap perumoan dapat menghasilkan padi 140 kg/ha. Sehingga setiap penduduk sekarang harus membeli beras Rp 10.000/kg dan mengeluarkan rata-rata Rp 200 ribu/bulan. Hampir 85% masyarakat di Kecamatan Kumpeh Hilir, Kumpeh Hulu dan Sungai Gelam mengalami krisis dan kekurang air bersih, terutama dalam menghadapi musim kering pada bulan ( Mei – Oktober). Dampak negatif yang terjadi terhadap kesehatan masyarakat setelah mengkonsumsi air gambut adalah penyakit gatal-gatal, sakit perut dan kerapuhan gigi[10].  Air yang tidak bisa dinikmati akibat berbagai sumber air.

Sehingga harus mengeluarkan untuk pembelian air minum 6 galon/minggu. Sehingga 1 galon Rp 4000,- x 6 galon/minggu menghabiskan Rp 24.000,- Atau sebulan Rp 98.000,-

Namun yang diderita oleh rakyat Jambi, biodiversity kemudian hilang dan tidak dapat dinikmati lagi. Kayu Pulai yang sulit tumbuh hanya meninggalkan jejak nama tempat seperti “Simpang Pulai” yang berada di jambi. Simpang Pulai kemudian termasuk kedalam Kecamatan Telanaipura Jambi.

Atau Selincah sebagai nama ikan yang juga terdapat sebagai nama daerah mulai terancam hilang. Begitu juga nama kayu Jelutung yang kemudian menjadi tempat yang kemudian menjadi nama Kecamatan Jelutung.

Generasi selanjutnya hanya mengenal Jelutung, kayu sebagai nama kayu. Dan Selincah sebagai nama ikan. Namun tidak dapat lagi melihatnya.

Sebagaimana generasi sekarang yang tidak lagi mengenal tanaman Pauh selain nama  Kecamatan di Sarolangun.



[1] Desa Rukam, Kecamatan Taman Raja, Muara Jambi, Maret 2017
[2] Bungur kemudian dikenal sebagai salah satu nama Desa “Sungai Bungur” yang terletak di Kecamatan Kumpeh, Muara Jambi. Walhi, 2013
[3] IUCN, 2013
[4] LIPI, 2012
[5] Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 1. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta. Hal. 380-390
[6] Ikan-ikan Air Tawar jambi Terancam Punah, Mongabay, 29 Mei 2016
[7] Istomo, Evaluasi dan Penyesuaian Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor, 2006.
[8] Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jambi, 2014.
[9] Indeks Lingkungan Hidup Jambi, Walhi Jambi, 2015
[10] HM. Naswir, Kajian Pemanfaatan Air Gambut untuk Air Minum Rumah Tangga, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi, 2009, Hal. 63