11 Agustus 2017

opini musri nauli : NYONYA MENEER DAN ETNOFARMASI

Berita tentang bangkrutnya perusahaan PT. Nyonya Meneer menyentak public setelah Putusan Pengadilan Negeri Semarang menyatakannya.


Yang menarik dengan rentang berdiri sejak tahun 1919, PT Nyonya Meneer dikenal sebagai perusahaan yang bergerak di bidang industry jamu yang didirikan oleh Lauw Ping Nio alias Nyonya Meneer. Dengan usia yang panjang, Nyonya Meneer berhasil mewarnai pengetahuan masyarakat tentang Jamu. Sehingga tidak salah kemudian PT. Nyonya Meneer memiliki asset mencapai 16 trilyun dan karyawan mencapai 1.100 orang.
Tulisan kali ini tidak membicarakan kasus yang membelit PT. Nyonya Meneer yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Semarang terhadap persoalan utang sebesar Rp 7,04 milyar dari Hendrianto. Namun membicarakan pengetahuan adiluhung peninggalan leluhur tentang jamu.

Nyonya Meneer berhasil mengembangkan usaha jamu yang berasal dari beras menir berupa sisa butir halus penumbukan padi. Pengetahuan yang diwariskan turun menurun merupakan pengetahuan yang dirawat kolektif bangsa Indonesia.

Di tengah masyarakat, ramuan jamu-jamuan merupakan yang dapat diklasifikasikan seperti jamu, jamu herbal standar dan fitofarmaka. Jamu adalah bahan yang disediakan alam dan diolah secara tradisional yang kemudian dikemas berupa serbuk seduhan, pil dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman.

Pengetahuan masyarakat tentang pengobatan dikenal istilah “etnofarmasi”. Jahe, kunyit, telur, gula merah kemudian biasa dikenal seperti “bandrek”, STMJ (susu the madu jahe), wedang jahe.

Berbeda dengan obat yang disiapkan industry farmasi yang menggunakan zat-zat kimia, etnofarmasi bukan berfungsi sebagai “obat’. Tapi berfungsi mengembalikan daya fisik dan memperkuat antibody. Sehingga dengan mempunyai kekuatan antibody, tubuh mampu “melawan penyakit”.

Di Jambi, pengetahuan masyarakat tentang “antibody” menjadi pengetahuan sehari-hari digunakan. Hampir disetiap rumah, sekitar halaman ditanami berbagai tanaman yang berguna sebagai antibody.

Penyakit demam, pilek ataupun masuk angina sering menggunakan minuman seperti jahe yang direndam dengan air panas. Atau dengan menggunakan “the telur panas” untuk diminum sebelum tidur malam.

Di Talang Mamak[1] dikenal pengobatan menggunakan seperti bedaro putih, pasak bumi sebagai antibody (pencegahan) penyakit malaria. Akar kunyit untuk sakit kuning. Kulit pulai, rukam, kacang kayuan untuk demam. Atau gaharu untuk demam. Daun keduduk digunakan sebagai obat sakit gigi. Sedangkan mahang digunakan untuk diare. LIPI sendiri pernah mensinyalir 46 jenis obat-obatan di talang Mamak[2].

Di daerah hilir Jambi pinang yang dijadikan sebagai bahan “menyirih” yang biasa dikenal “sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang”. Pinang dijadikan sirup dan menyegarkan badan.

Di Ternate, Pala selain dijadikan sebagai minyak goring juga dapat digunakan sebagai sirup. [3]. Di Sumba Timur dikenal Meranti Merah untuk sakit perut dan Meranti Putih untuk demam[4]. Di Padang dikenal “daun salam” dan bawang putih untuk demam. Atau jeruk nipis untuk obat batuk. Belum lagi cabe sebagai obat disentri.

Tentu saja banyak pengetahuan local tentang pengobatan (etnofarmasi) yang belum dicatat, didokumentasikan, dijadikan bahan produk industry farmasi.

Program Pemerintah seperti Taman Obat Keluarga (TOGA) yang sempat menjadi kegiatan Ibu-Ibu PKK dan mewajibkan setiap RT memiliki kebun TOGA kurang bergairah lagi. Tenggelam dengan kegiatan-kegiatan lain.

Sudah saatnya pengetahuan local (etnofarmasi) menjadi pengetahuan menandingi industry farmasi yang terus menguasai pengetahuan local. Obat yang disediakan alam merupakan “kekuatan” yang menghasilkan keuntungan dan memberikan sumber ekonomi ditengah masyarakat.

Kita bisa mengikuti Tiongkok yang terus merawat pengetahuan mengenai obat yang sekarang menjadi trend. Obat-obatan herbal.

Kampus harus mengembangkan pengetahuan local (etnofarmasi) dan menjadikan warisan leluhur sebagai “kekuatan” dan identitas bangsa.

Negara tropis, obat kok dibeli.




[1] Dusun Talang Mamak, 13 Maret 2017
[2] Francisca Murti Setyowati, Pengetahuan Masyarakat Talang Mamak Tentang Pemanfaatan Tumbuhan Obat di TNBT, LIPI, 2006
[3] Ternate, 19 Oktober 206
[4] Sumba Timur, 9 September 2016