Berita
tentang bangkrutnya perusahaan PT. Nyonya Meneer menyentak public setelah
Putusan Pengadilan Negeri Semarang menyatakannya.
Yang
menarik dengan rentang berdiri sejak tahun 1919, PT Nyonya Meneer dikenal
sebagai perusahaan yang bergerak di bidang industry jamu yang didirikan oleh
Lauw Ping Nio alias Nyonya Meneer. Dengan usia yang panjang, Nyonya Meneer
berhasil mewarnai pengetahuan masyarakat tentang Jamu. Sehingga tidak salah
kemudian PT. Nyonya Meneer memiliki asset mencapai 16 trilyun dan karyawan
mencapai 1.100 orang.
Tulisan
kali ini tidak membicarakan kasus yang membelit PT. Nyonya Meneer yang telah
diputuskan oleh Pengadilan Negeri Semarang terhadap persoalan utang sebesar Rp
7,04 milyar dari Hendrianto. Namun membicarakan pengetahuan adiluhung
peninggalan leluhur tentang jamu.
Nyonya
Meneer berhasil mengembangkan usaha jamu yang berasal dari beras menir berupa
sisa butir halus penumbukan padi. Pengetahuan yang diwariskan turun menurun
merupakan pengetahuan yang dirawat kolektif bangsa Indonesia.
Di
tengah masyarakat, ramuan jamu-jamuan merupakan yang dapat diklasifikasikan
seperti jamu, jamu herbal standar dan fitofarmaka. Jamu adalah bahan yang
disediakan alam dan diolah secara tradisional yang kemudian dikemas berupa
serbuk seduhan, pil dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman.
Pengetahuan
masyarakat tentang pengobatan dikenal istilah “etnofarmasi”. Jahe, kunyit,
telur, gula merah kemudian biasa dikenal seperti “bandrek”, STMJ (susu the madu
jahe), wedang jahe.
Berbeda
dengan obat yang disiapkan industry farmasi yang menggunakan zat-zat kimia,
etnofarmasi bukan berfungsi sebagai “obat’. Tapi berfungsi mengembalikan daya
fisik dan memperkuat antibody. Sehingga dengan mempunyai kekuatan antibody,
tubuh mampu “melawan penyakit”.
Di
Jambi, pengetahuan masyarakat tentang “antibody” menjadi pengetahuan
sehari-hari digunakan. Hampir disetiap rumah, sekitar halaman ditanami berbagai
tanaman yang berguna sebagai antibody.
Penyakit
demam, pilek ataupun masuk angina sering menggunakan minuman seperti jahe yang
direndam dengan air panas. Atau dengan menggunakan “the telur panas” untuk
diminum sebelum tidur malam.
Di
Talang Mamak[1]
dikenal pengobatan menggunakan seperti bedaro putih, pasak bumi sebagai antibody
(pencegahan) penyakit malaria. Akar kunyit untuk sakit kuning. Kulit pulai,
rukam, kacang kayuan untuk demam. Atau gaharu untuk demam. Daun keduduk
digunakan sebagai obat sakit gigi. Sedangkan mahang digunakan untuk diare. LIPI
sendiri pernah mensinyalir 46 jenis obat-obatan di talang Mamak[2].
Di
daerah hilir Jambi pinang yang dijadikan sebagai bahan “menyirih” yang biasa
dikenal “sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang”. Pinang dijadikan sirup dan
menyegarkan badan.
Di
Ternate, Pala selain dijadikan sebagai minyak goring juga dapat digunakan
sebagai sirup. [3]. Di
Sumba Timur dikenal Meranti Merah untuk sakit perut dan Meranti Putih untuk
demam[4].
Di Padang dikenal “daun salam” dan bawang putih untuk demam. Atau jeruk nipis
untuk obat batuk. Belum lagi cabe sebagai obat disentri.
Tentu
saja banyak pengetahuan local tentang pengobatan (etnofarmasi) yang belum
dicatat, didokumentasikan, dijadikan bahan produk industry farmasi.
Program
Pemerintah seperti Taman Obat Keluarga (TOGA) yang sempat menjadi kegiatan
Ibu-Ibu PKK dan mewajibkan setiap RT memiliki kebun TOGA kurang bergairah lagi.
Tenggelam dengan kegiatan-kegiatan lain.
Sudah
saatnya pengetahuan local (etnofarmasi) menjadi pengetahuan menandingi industry
farmasi yang terus menguasai pengetahuan local. Obat yang disediakan alam
merupakan “kekuatan” yang menghasilkan keuntungan dan memberikan sumber ekonomi
ditengah masyarakat.
Kita
bisa mengikuti Tiongkok yang terus merawat pengetahuan mengenai obat yang
sekarang menjadi trend. Obat-obatan herbal.
Kampus
harus mengembangkan pengetahuan local (etnofarmasi) dan menjadikan warisan
leluhur sebagai “kekuatan” dan identitas bangsa.
Negara tropis, obat kok dibeli.