GAMBUT DARI PENDEKATAN ETNOGRAFI[1]
Musri Nauli[2]
Issu
gambut memantik diskusi panjang setelah kebakaran massif sejak tahun 2010.
Negara “gagap[3]’
menghadapi kebakaran dan kemudian diperparah tahun 2015. Pemerintah Jokowi – JK
kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpes) No. 1 Tahun 2016 yang
membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG).
Namun
upaya yang dilakukan Jokowi – JK belum mampu mengurai problema di sector
gambut. Pengetahuan gambut masih banyak diproduksi oleh kalangan akademisi dan
industry. Pengetahuan tentang gambut yang diproduksi oleh akademisi dan
industry masih menempatkan masyarakat di kawasan gambut sebagai obyek
penelitian. Sebuah aras yang kemudian terbukti gagal didalam memandang gambut.
Tulisan
yang hendak dipaparkan kali ini sengaja dihadirkan dengna menempatkan
masyarakat di kawasan gambut sebagai “pemilik pengetahuan mutlak” dan “rujukan”
didalam melihat dan menata sector gambut.
Sebagai
pengetahuan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
kawasan gambut merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Di
Jambi, kawasan gambut dikenal sebagai kawasan hilir Propinsi Jambi. Terletak di
Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung
Jabung Timur. Kabupaten Muara Jambi merupakan kabupaten Pemekaran dari
Kabupaten Batanghari. Sedangkan sebelum pemekaran tahun 1999, Kabupaten Tanjung
Jabung barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan kabupaten Tanjung
Jabung.
Sebagai
daerah pesisir pantai timur Sumatera, ketiga daerah kabupaten di hilir Propinsi
Jambi sudah mengalami interaksi yang kuat dengan berbagai perkembangan luar
Jambi. Masuknya budaya Bugis, banjar menjadi pengetahuan didalam melihat
persoalan gambut.
Berdasarkan peta Pemerintah
Belanda tahun 1923 “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen
(Marga's) schaal 1 : 750.000, di Jambi dikenal Marga dan Batin. Di
Kabupaten Muara Jambi dikenal Marga Awin, Marga Kumpeh Ulu, Kumpeh Ilir, Marga
Jebus, Marga Jambi Kecil. Sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dikenal Marga Dendang/Sabak dan Marga Berbak.
Dan di Tanjung Jabung Barat dikenal Marga Tungkal Ulu dan Marga Tungkal Ilir.
Sebagai
kawasan gambut unik dan penting, masyarakat memandang gambut dengan menempatkan
sebagai kawasan yang dilindung. Penamaan kawasan gambut yang tidak boleh dibuka
ditandai dengan ujaran “Hutan hantu pirau”[4].
Di tempat inilah sebagai sarang ikan yang menjadi sumber utama dan kehidupan
masyarakat sehari-hari.
Sebagai
kawasan yang dilindungi oleh masyarakat, gambut dalam ditandai dengan “akar berkait, jelutung dan pakis[5]”.
Daerah inilah sebagai tangkapan air, penyimpan air dan sebagai penyimpan
kekayaan di gambut (biodiversity).
Namun
sejak kedatangan berbagai perusahaan sawit, kebakaran yang semakin massif, air
sungai yang keruh menyebabkan semula masyarakat menangkap ikan. Namun ikan-ikan
kemudian mulai sulit didapatkan.
Ikan-ikan seperti toman, baung sudah jarang didapatkan. Apalagi ikan
Tapa. Bahkan ikan lais yang semula kurang mendapatkan perhatian dari
memancingpun sudah mulai susah didapatkan. Ikan Toman (channidae), ikan baung (Macrones nemurus), ikan
tapa (Wallago) adalah ikan-ikan khas
(biodiversity) gambut. Selain itu juga dikenal arwana silver (Schlerophages
formosus), ridiangus (Balantiocheilos
melanopterus), belida (Notopterus
chitala), sepat batik (Cydochaicichthys
aroplos), serandang (Channa
pleurophthalma) dan tilan (Mastacembelus
erythrotaenia)[6].
Sebagai
kawasan gambut, maka penghormatan masyarakat terhadap areal yang dilindungi
sudah berlangsung ratusan tahun[7].
Masyarakat terbukti arif didalam melindungi dan memanfaatkan gambut sebagai
kekayaan terhadap kehidupan sehari-hari.
Kawasan
inilah yang kemudian diberikan izin oleh penguasa. Dengan menggunakan kategori
“gambut konservansi” dan “budidaya gambut[8]”,
areal yang dikategorikan sebagai kawasan lindung oleh masyarakat kemudian
diberikan izin. Baik sawit maupun HTI.
Pemegang
izin dengan “angkuh” menggunakan bulldozer “membangun kanal’ untuk mengeringkan
air, membelah gambut dan kemudian menanami sawit dan akasia. Komodity yang
tidak dikenal di kawasan gambut.
Belum
lagi kampus yang sering “mendengung-dengungkan” pemanfaatan gambut untuk sawit
dan akasia.
Dan
alam kemudian memberikan kabar. Kebakaran massif sejak tahun 2010 kemudian
tidak terbendung. Indonesia kemudian tersentak.
Kegagalan
mengelola gambut, pengetahuan yang didengung-dengungkan oleh akademis
memberikan pelajaran pahit. Kebakaran tahun 2015 kemudian “pemegang izin”
hendak mencuci tangan. Baik dengan pernyataan “enggan” bertanggungjawab
terhadap kebakaran, menumpahkan kesalahan semata kepada masyarakat hingga upaya
menghapuskan norma pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability whitout fault) dengan mengajukan ke MK.
Pelajaran
pahit yang paling diderita oleh masyarakat di kawasan gambut adalah “Menghirup
asap” selama 4 bulan lebih dan telah berlangsung selama 17 tahun. Suasana yang
tidak mungkin dirasakan oleh pemegang izin dan akademisi yang tinggal di gedung
ber-AC.
Maka
hipotesis sebagai kawasan lindung yang ditandai dengan “akar bekait, jelutung dan pakis” oleh masyarakat adalah sumber
pengetahuan yang tidak bisa dibantah lagi. Dan Negara kemudian harus mengadopsi
sebagai sumber ilmu pengetahuan dan menjadikan sebagai kawasan lindung gambut
sebagaimana amanah didalam Perpres No. 1 tahun 2016.
Dengan
menempatkan masyarakat sebagai pemilik pengetahuan tentang gambut, maka
kemudian dilakukan upaya penggalian pengetahuan didalam memandang gambut.
Setelah
melihat dan menempatkan masyarakat didalam menghormati gambut, maka didalam
perlakuan terhadap gambut juga ditandai dengan mengatur ruang. Selain adanya
tempat-tempat yang tidak boleh dibuka, adanya pohon-pohon yang tidak boleh
ditebang. Di Desa Sungai Bungur dikenal pohon-pohon yang tidak boleh ditebang
yaitu pohon sialang (pohon yang
lebahnya), Pohon kemang, pohon durian, pohon duku, pohon jengkol, pohol manggis
dan pohon rambutan.
Mekanisme pengaturan baik terhadap
daerah-daerah yang tidak boleh dibuka dan pohon yang tidak boleh ditebang
dikenal sebagai “pantang larang”.
Didalam mengatur dan mengelola kawasan untuk
kehidupan, maka diluar daerah yang dilarang (pantang larang), maka dikenal
dengan “peumoan[9]”.
Wilayah untuk ditanami padi. Wilayah yang menjadi tempat menanami padi tidak
boleh digunakan (dikonversi) ke tanaman lain.
Sedangkan
didalam mengatur tentang tanah untuk perkebunan dikenal dengan istilah “pancung
alas[10]”,
“bidang[11]”,
“mentaro[12]’,
“larangan krenggo[13]”.
Terhadap pembukaan hutan ataupun pengerjaan
tanah maka maka harus diutamakan untuk masyarakat didalam Desa. Dilakukan sesuai dengan
tatacara dan dipersiapkan untuk generasi selanjutnya. Daerah yang yang dilarang
untuk dibuka, tidak dibenarkan untuk dibuka. Terhadap pembukaan daerah yang
dilarang maka dijatuhi sanksi adat yang diputuskan melalui rapat Adat.
Sedangkan terhadap tanaman yang dilarang
untuk ditebang, maka tidak dibenarkan untuk ditebang. Setiap kepala keluarga
yang hendak membuka hutan harus seizin dari Kepala Desa. Setiap Kepala Keluarga hanya dibenarkan untuk
membuka sebanyak 32 depo x 200 depo. Satu depo sama dengan 1,7 meter.
Tanah yang telah dibuka kemudian diberi
tanda. Terhadap Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda (mentaro), maka
tanah tidak boleh dibuka oleh orang lain.
Tanah yang telah dibuka maka harus ditanami
paling lama 3 tahun. Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak
ditanami maka akan dijatuhi sanksi adat.
Terhadap tanah mentaro, kemudian ditanyakan
kepada pemilik tanah. Apakah mau ditanami atau tidak sanggup untuk dikelola.
Apabila tidak dikelola maka hak terhadap tanah menjadi hapus dan akan diberikan
kepada masyarakat yang membutuhkan. Namun yang diutamakan masyarakat didalam
Desa.
Sebagai norma yang harus dipatuhi
masyarakat, didalam mayarakat mengenal sanksi terhadap pelanggaran norma-norma.
Baik dengna cara mengembalikan tanah kepada pemangku adat, upacara “bubur putih”, denda adat didalam
prosesi adat.
Selain itu juga dikenal “jenjang adat”
didalam menyelesaikannya. Penamaan seperti “bertangkap naik bertangga turun’,
“memancung putus” adalah prosesi yang dilalui didalam menyelesaikan persoalan
adat.
Model, cara pengelolaan masyarakat dikawasan
gambut yang telah berlangsung ratusan tahun kemudian terbukti handal. Cara
pengelolaan seperti pantang larang dengan menempatkan “akar bekait, jelutung,
pakis” sebagai kawasan lindung, “peumoan’, larangan krenggo, mentaro” terbukti
tidak menjadi penyumbang kebakaran. Areal kebakaran bukanlah disumbang dari
model pengelolaan masyarakat. Industri dan model yang ditawarkan dari mekanisme
yang diluar masyarakatlah yang menjadi penyumbang kebakaran massif sejak tahun
2010.
Lalu. Mengapa kita kemudian angkuh mengakui
“kearifan” masyarakat didalam mengelola masyarakat.
Dimuat di brandanews.com, 16 Juni 2017
http://brandanews.co.id/gambut-dari-pendekatan-etnografi.html
Dimuat di brandanews.com, 16 Juni 2017
http://brandanews.co.id/gambut-dari-pendekatan-etnografi.html
[1] Disampaikan pada Lokakarya dan Pelatihan Pembentukan
Peraturan Desa, Jambi, 14 – 16 Juni 2017
[2] Advokat, Tinggal di Jambi
[3] Sejak tahun 2000, gambut masih dipandang sebagai
komoditas ekonomi yang diperlakukan seperti hutan, sawit, tambang. Namun sejak
tahun 2010, ketika kebakaran semakin massif dan menghadapi protes Negara-negara
ASEAN, Indonesia kemudian belajar memandang gambut sebagai entitas wilayah yang
berbeda dengan daerah lain. Namun pengetahuan gambut yang diproduksi kalangan
akademisi dan industry masih menganggap gambut menjadi wilayah yang bisa
dikelola.
[4] Pertemuan Desa Rukam, Muara Jambi, 4 Juni 2017
[5] Riset Walhi Jambi, 2016
[6] Laporan Dinas Kelautan dan Perikanan Jambi
[7] Desa Sungai Bungur, 4 Juni 2017
[8] Ada perbedaan paradigma masyarakat dengan berbagai
peraturan perundang-undangan didalam memandang gambut. Wilayah yang ditandai
dengan “akar bekait, jelutung dan pakis dikategorikan sebagai gambut dalam oleh
masyarakat. Dan merupakan kawasan yang dilindungi dan tidak boleh dibuka. Sementara peraturan perundang-undangan
seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Tata Ruang maupun UU PPLH kemudian
membagikan kategori. Antara gambut yang dilindungi (Gambut konservansi) dan
gambut yang boleh dikelola (budidaya gambut) dengan kategori 0 – 3 meter.
[9] daerah yang dikhususkan untuk penanaman padi tidak boleh ditanami
tanaman lain selain padi
[10] Pancung alas. Setiap kepala keluarga yang hendak membuka hutan harus
seizin dari Kepala Desa.
[11] Setiap Kepala Keluarga hanya dibenarkan untuk membuka sebanyak 32 depo x
200 depo. Satu depo sama dengan 1,7 meter. Setiap tanah yang telah dibuka
disebut satu bidang.
[12] Mentaro. Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman
seperti Pinang, jelutung atau tanaman lain sebagai pembatas antara satu dengan
yang lain.
[13] Larangan Krenggo. Terhadap Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda
berupa tanaman seperti Pinang, jelutung atau tanaman lain sebagai pembatas
(mentaro), maka tanah tidak boleh dibuka oleh orang lain.