Akhir-akhirnya
issu gambut mulai memantik diskusi kalangan kampus, akademisi, praktisi hukum, Pemerintah,
LSM dan masyarakat. Kebakaran massif sejak tahun 2006 (Walhi 2012) dan kemudian
“meledak” tahun 2013, 2015 dan 2016 membuat dunia terhenyak melihat gambut.
Pemerintah Jokowi “gagap” dan kewalahan menghadapi kebakaran.
Berbagai
peraturan perundang-undangan tumpang tindih dan saling “mengelimir”. Sikap
egosektoral membuat problema semakin rumit. Kekukuhan dari Negara yang masih
“memberikan” lahan gambut kepada industry (HTI dan sawit) dengan “keengganan”
memproteksi kawasan gambut sebagai kawasan unik, penting dan sebagai “benteng”
terakhir dari peradaban manusia.
Berbagai
peraturan yang “memberikan ruang” pengelolaan gambut dengan menggunakan
indicator “kawasan lindung” dan “budidaya gambut” berhadapan dengan pengetahuan
masyarakat. Masyarakat kemudian dipinggirkan. Pengetahuan masyarakat tentang
gambut “kurang mendapatkan” perhatian.
Padahal apabila
Negara, kampus dan pemerhati gambut mau “sejenak” mendengarkan suara
masyarakat, maka problema gambut tidak menjadi rumit dan kebakaran dapat
dicegah.
Ditengah
masyarakat, pengetahuan local melihat gambut ditandai dengan “akar bekait,
jelutung dan pakis” adalah tanda-tanda alam sebagai identitas gambut dalam. Daerah
ini dikenal sebagai daerah yang tidak boleh dibuka yang disebut “pantang
larang”. Daerah ini biasa dikenal sebagai “hutan hantu pirau[1]”,
“hutan adat” atau hutan keramat.
Sebagai kawasan
yang tidak boleh dibuka (hutan hantu pirau, hutan adat atau hutan keramat), kawasan
ini berupa hutan, daerah tangkapan air tempat “rumah ikan”.
Sebagai kawasan
hutan yang dilindungi maka terdapat kayu-kayu endemic yang bermutu tinggi
seperti kayu jelutung (Dyera polyphylla
spp),
ramin (Gonystylus bancanus), Pulai rawa (Alstonia pneumatophore back), Kempas (Koompassia malaccensis), punak (Tetramerista glabra Miq) dan
Meranti (horea acuminata Dyer). Belum
lagi Bungur (Lagerstroemia speciosa Pers)[2].
Masyarakat
menggunakan ramin (Gonystylus
bancanus),
Pulai rawa (Alstonia pneumatophore back),
Kempas (Koompassia malaccensis), punak (Tetramerista
glabra Miq), Meranti (horea
acuminata
Dyer) dan Bungur (Lagerstroemia speciosa Pers) sebagai kayu
sebagai bahan bangunan.
Pohon Pulai
rawa (Alstonia pneumatophore back), Meranti
(horea acuminate Dyer). kemudian ditetapkan sebagai pohon yang
terancam punah[3]. Sedangkan Jelutung (Dyera
polyphylla spp) kemudian ditetapkan sebagai pohon yang langka[4].
Selain itu juga
terdapat rotan (Calamus/Daemonorops/Oncocalamus), rumbai (Metroxylon sagu) yang
dipergunakan sebagai bahan kerajian sehari-hari yang digunakan ibu-ibu rumah
tangga mengisi waktu senggang menjelang tidur.
Jenis rotan
seperti rotan getah, rotan rumbai, rotan sego, rotan peledas , rotan peledas
dan rotan tunggal. Rotan muda dapat
dijadikan sayuran yang sehari-hari dilalap[5].
Kawasan yang
tidak boleh dibuka (hutan hantu pirau, hutan adat atau hutan keramat) sebagai
“rumah ikan” adalah tempat “bersarangnya” ikan seperti Ikan Toman (channidae), ikan baung (Macrones
nemurus), ikan tapa (Wallago)
adalah ikan-ikan khas (biodiversity) gambut. Selain itu juga dikenal arwana silver
(Schlerophages formosus),
ridiangus (Balantiocheilos melanopterus),
belida (Notopterus chitala), sepat batik
(Cydochaicichthys aroplos),
serandang (Channa pleurophthalma), Seluang
(Rasbora argyrotaenia Blkr) dan tilan (Mastacembelus
erythrotaenia), ikan bujuk (Channa lucius) dan ikan Selincah
(Belontia
hasselti).
Di kawasan yang tidak boleh dibuka (hutan hantu pirau,
hutan adat atau hutan keramat) juga terdapat Harimau, rusa, kancil, Napu,
Burung Murai atau burung daun.
Daerah-daerah
seperti Pematang kapas, pematang Semeleng, Sungai Buayo, Batang Cengal atau
Pemtang Kapas adalah nama-nama tempat yang disebut sebagai daerah hutan hantu
pirau, hutan adat atau hutan keramat. Pematang Cengal merupakan “kasang kering”.
Daerah yang
dilindungi kemudian oleh Negara diberikan kepada industry (sawit dan HTI).
Daerah yang dilindungi kemudian hancur pembangunan sawit dan HTI dan kemudian
hilangnya biodiversity gambut.
Secara tidak
langsung hilangnya kekayaan khas gambut (biodiversity gambut) kemudian menyebabkan
kerugian yang dirasakan oleh masyarakat.
Sebagai
contohnya hilangnya hutan jelutung (Dyera spp) sebagai kegiatan dan aktivitas masyarakat. Kehilangan
getah yang didapatkan dari jelutung merupakan kerugian yang harus diderita
masyarakat di daerah hilir Jambi.
Getah jelutung
yang didapatkan dari 350 batang dapat menghasilkan Rp 7 juta rupiah/bulan.
Dengan hilangnya daerah perlindungan di pematang kapas, maka masyarakat
menderita kerugian hingga Rp 23,5 milyar rupiah.
Begitu juga rotan.
Dengan rotan dapat menghasilkan ekonomi 500 kg/bulan. Sehingga 1 kg apabila
dijual Rp 1000,- maka dapat menghasilkan Rp 500 ribu/bulan.
Sedangkan rumbia
yang dapat menghasilkan kerajian tikar dapat menghasilkan sebulan 5 tikar.
Apabila setiap rumah tangga dapat menghasilkan 5 tikar dijual Rp 85.000,- maka
setiap bulan dapat menghasilkan Rp. 425.000,-
Rotan dan
rumbia yang dapat dijadikan bahan kerajinan telah merugikan masyarakat
Sedangkan kayu
yang terdapat di daerah yang dilindungi menghasilkan setiap kayu yang mahal.
Rata-rata Rp 2 juta/kubik. Namun sejak kawasan itu kemudian hancur maka
sekarang masyarakat harus mengeluarkan minimal Rp 2 juta/tahun.
Daerah-daerah
seperti Pematang kapas, pematang Semeleng, Sungai Buayo, Batang Cengal atau
Pemtang Kapas adalah nama-nama tempat yang disebut sebagai daerah hutan hantu
pirau, hutan adat atau hutan keramat sebagai “rumah ikan” dapat menghasilkan
ikan = 1 kg/hari. Apabila ikan 1 kg hari = Rp 15.000,- maka setiap minggu dapat
dipanen dan tidak perlu mengeluarkan Rp 60.000,-. Atau Setahun tidak perlu lagi
membeli ikan Rp 720.000,-
Namun sejak
berbagai tempat yang dijadikan “rumah ikan” kemudian hancur maka daerah hilir
Jambi kemudian membutuhkan 2 ton/minggu. Sehingga setiap minggu Rp 60 juta uang
yang tidak seharusnya keluar.
Padahal Ikan selain bisa dikonsumsi juga
merupakan sebagai “penanda’ terhadap perubahan musim dari musim hujan ke musim
kemarau.
Ikan Toman (channidae) dan I kan baung (Macrones
nemurus) memberikan tanda semakin menaiknya air sungai Batanghari. Biasa
disebut “ikan mudik” atau “ikan mabuk”.
Dengan terdapatnya Ikan Toman (channidae) dan I kan baung (Macrones nemurus), maka tahun musim tanam padi belum
bisa dilakukan. Sedangkan Ikan Seluang (Rasbora argyrotaenia Blkr) sebagai
penandai dimulainya musim kemarau. Namun praktis sejak 5 tahun terakhir, Ikan
Toman (channidae) dan I kan baung (Macrones nemurus) semakin sulit didapatkan. Bahkan
menurut Dinas
Kelautan dan Perikanan Jambi. dalam
rentang 10 tahun, populasi ikan menyusut sekitar 50%[6].
Selain pembukaan gambut yang diberikan kepada perusahaan juga disebabkan
penambangan yang membuang airnya ke sungai dari hulu Batanghari. Ikan-ikan
tercemar merkuri.
Hutan
gambut juga telah mengalami kerusakan mencapai 50 %[7].
Status Lingkungan Hidup sudah mencemaskan[8].
Bahkan Walhi Jambi sendiri mensinyalir kemampuan manusia terhadap lingkungan
hidup tinggal 27 %[9]
Akibat
kerusakan daerah-daerah yang dilindungi masyarakat mengakibat hilangnya tanaman
jelutung. Sehingga masyarakat tidak dapat menghasilkan getah jelutung yang setiap
bulan memberikan kehidupan Rp 7 juta rupiah/bulan. Begitu juga rotan yang menghasilkan
Rp 500 ribu/bulan dan rumbia Rp. 425.000,-
Selain tidak
menikmati hasil getah jelutung, rotan dan rumbai, masyarakat harus mengeluarkan
dana untuk membeli ikan setiap bulan Rp 60.000,-. dan pembelian kayu Rp
2 juta/kubik/tahun.
Belum
lagi dengan diberikan izin kepada sawit dan HTI yang menyebabkan kebakaran
tahun 2013 dan tahun 2015. Akibat kebakaran kemudian menghanguskan kebun karet
yang apabila dikonversi merugikan Rp. 60 juta/ha.
Akibat
pemberian izin kepada perusahaan sawit dan HTI kemudian menghancurkan areal
persawahan (perumoan). Padahal setiap perumoan dapat menghasilkan padi 140
kg/ha. Sehingga setiap penduduk sekarang harus membeli beras Rp 10.000/kg dan
mengeluarkan rata-rata Rp 200 ribu/bulan. Hampir 85%
masyarakat di Kecamatan Kumpeh Hilir, Kumpeh Hulu dan Sungai Gelam mengalami
krisis dan kekurang air bersih, terutama dalam menghadapi musim kering pada
bulan ( Mei – Oktober). Dampak negatif yang terjadi terhadap kesehatan
masyarakat setelah mengkonsumsi air gambut adalah penyakit gatal-gatal, sakit
perut dan kerapuhan gigi[10]. Air yang tidak bisa dinikmati akibat
berbagai sumber air.
Sehingga
harus mengeluarkan untuk pembelian air minum 6 galon/minggu. Sehingga 1 galon
Rp 4000,- x 6 galon/minggu menghabiskan Rp 24.000,- Atau sebulan Rp 98.000,-
Namun yang
diderita oleh rakyat Jambi, biodiversity kemudian hilang dan tidak dapat
dinikmati lagi. Kayu Pulai yang sulit tumbuh hanya meninggalkan jejak nama
tempat seperti “Simpang Pulai” yang berada di jambi. Simpang Pulai kemudian
termasuk kedalam Kecamatan Telanaipura Jambi.
Atau Selincah
sebagai nama ikan yang juga terdapat sebagai nama daerah mulai terancam hilang.
Begitu juga nama kayu Jelutung yang kemudian menjadi tempat yang kemudian
menjadi nama Kecamatan Jelutung.
Generasi selanjutnya
hanya mengenal Jelutung, kayu sebagai nama kayu. Dan Selincah sebagai nama
ikan. Namun tidak dapat lagi melihatnya.
Sebagaimana
generasi sekarang yang tidak lagi mengenal tanaman Pauh selain nama Kecamatan di Sarolangun.
Baca juga : Gambut dari pendekatan Etnografi
[1] Desa Rukam, Kecamatan Taman Raja, Muara Jambi, Maret
2017
[2] Bungur kemudian dikenal sebagai salah satu nama Desa
“Sungai Bungur” yang terletak di Kecamatan Kumpeh, Muara Jambi. Walhi, 2013
[3] IUCN, 2013
[4] LIPI, 2012
[5] Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 1.
Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta. Hal. 380-390
[6] Ikan-ikan Air Tawar jambi Terancam Punah, Mongabay,
29 Mei 2016
[7] Istomo, Evaluasi dan Penyesuaian Sistem Silvikultur
Hutan Rawa Gambut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam,
Bogor, 2006.
[8] Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jambi, 2014.
[9] Indeks Lingkungan Hidup Jambi, Walhi Jambi, 2015
[10] HM. Naswir, Kajian Pemanfaatan Air Gambut untuk Air
Minum Rumah Tangga, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi,
2009, Hal. 63