17 Februari 2018

opini musri nauli : Cerita Gambut


Akhir-akhir ini cerita gambut menjadi wacana dan menghiasi media publik. Paska kebakaran 2013 – 2015 yang menutupi langit Sumatera dan Kalimantan dan mengirimkan asap ke Singapura dan Malaysia, semua pihak kemudian terkaget-kaget. Ternyata kebakaran justru banyak terletak di lahan konsesi. Padahal negara, kampus dan industri semula berkeyakinan mengelola gambut dengan berbagai program dan komodity seperti sawit dan akasia.
Derita akibat kebakaran dari gambut kemudian menyadarkan berbagai pihak. Gambut yang dikategorikan sebagai ekosistem unik  dan penting (UU No. 32 Tahun 2009) harus mendapatkan tempat sebagai ekosistem yang diperlakukan “spesial”. Kesalahan bahkan “keangkuhan” memperlakukan gambut mengakibatkan gambut memberikan reaksi yang dahsyat. Kebakaran yang bermula dengan “mengeringkan gambut “ dengan cara “membuat kanal” menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar. Sehingga ketika api menyambar “daun-daunan” yang kering (berongga seperti spoon) menyebabkan kebakaran sulit dikendallikan. Dan “lagi-lagi” korban yang tidak berdosa yang harus menanggung akibatnya.

Sementara itu cerita gambut ditengah masyarakat menarik untuk didiskusikan. Semula orang masih banyak berkeyakinan istilah “gambut” berasal dari Kalimantan Selatan. Merujuk dari nama suatu Desa didekat Banjarmasin, Kalsel (Kamus Istilah Ekonomi Populer). Desa yang sebagian besar tanahnya terdiri  atas tanah organik.

Namun ditengah masyarakat, istilah gambut kurang dikenal.  Di Sumsel dikenal “rawang hidup”. Ada juga menyebutkan “Lebak Berayun”. Di Jambi dikenal “Payo” atau “payo dalam”. Di Papua dikenal “tanah goyang”. Di Kalbar dikenal “tanah sapo”. Bahkan di Kalsel malah dikenal “Tanah Irang”.

Di Jambi ekosistem dikategorikan sebagai “hutan hantu pirau”. Di Kalteng dikenal “Gulung hampar”. Penghormatan terhadap “hutan hantu pirau” atau ” Gulung hampar” Melambangkan kebudayaan, cara pandang, penghormatan bahkan bentuk perlindungan masyarakat terhadap alam. Sebagai daerah konservasi.

Nama-nama tempat seperti “Buluran muning darat, Buluran muning laut, Lubuk tapa, Danau cempedak, Danau Gerang, Danau empang palang, Sematang tawing, Buluran buang,  Kuala Belaga, Simpang Jadam, Air Tenang,  Bidawang, Lintas Panjang adalah nama-nama tempat untuk tempat mencari kayu alam atau tempat masyarakat  mencari ikan. Selain itu juga dikenal nama tempat masyarakat  mencari rotan, madu, jelutung dan pandan.  

Di Jambi nama-nama tempat ini dikenal dan ditandai dengan “akar bekait, pakis dan jelutung” (Walhi, 2016). Atau “kumpai berbulu” (Kalteng).

Diluar tempat “hutan hantu pirau” kemudian ditetapkan sebagai kawasan “peumoan’. Tempat menanam padi. Tidak boleh dialilhkan selain menanam padi.

Di Sumsel dikenal sistem “sonor” sebuah metode pengetahuan pengaturan budidaya padi pada saat gambut mengering dan musim kemarau panjang.

Selain itu juga dikenal “petanang”. Tempat perkebunan tanaman khas gambut seperti kelapa atau pinang.

Setiap pemilik tanaman kemudian melakukan batas antara satu dengan yang lain dengan tanda. Kemudian dikenal “mentaro”, “pringgan” atau “tanam mati”. Tanaman pinang disusun berjejer mengelilingi tanah.

Namun negara kemudian menganggap sebagai “tanah liar (woeste grond). Didalam “agrarische wet” staatblaad 1874 disebutkan sebagai tanah liar adalah pribumi tidak menerapkan hak-hak berasal dari pembukaan lahan (ontginningrecht) sehingga kemudian termasuk tanah negara (staatdomein). Asas ini dikenal asas “domein verklaring”

Tanah liar (woeste grond) berupa tanah hutan, tanah liar, tanah terpakai, tanah tidak dibudidayakan atau tanah kosong.

Padahal gambut milik komunal (beschikhingrecht). 

Dengan menganggap tanah liar (woeste grond) maka kemudian tempat-tempat dikonversi menjadi izin sawit dan HTI. Dan mengubah bentang alam gambut sebagai kawasan budidaya gambut (UU Perkebunan). Atau menggunakan term “kawasan lindung gambut” dan “budidaya gambut ( UU Kehutanan).

Maka gambut kemudian dikeringkan dengan membangun kanal-kanal yang memanjang, membelah, mengelilingi izin agar dapat ditanami. Dan dibersihkan (land clearing) baik dengan menggunakan alat berat maupun “dibakar’.

Akibat “salah urus” gambut mengakibatkan kebakaran yang tidak bisa ditanggulangi.  Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lahan konsesi di areal gambut yang rusak mencapai 1,4 juta hektar.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 16 Tahun 2017 menyebutkan “Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung mengalami kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, apabila melampaui kriteria baku kerusakan sebagai berikut: terdapat drainase buatan dan tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di bawah lapisan Gambut; dan/atau terjadi pengurangan luas dan/atau volume tutupan lahan. 
Sedangkan kategori budidaya gambut disebutkan Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya mengalami kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, apabila memenuhi kriteria muka air tanah di lahan Gambut lebih dari 0,4 (nol koma empat) meter di bawah permukaan Gambut pada titik penaatan dan/atau tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di bawah lapisan Gambut..

Dengan hilangnya tempat-tempat yang dilindungi masyarakat, maka fungsi gambut menjadi berkurang dan hilang. Kayu seperti Punak, Meranti tinggal cerita. Pohon jelutung musnah. Rotan dan pandan  kemudian menjadi hilang.

Bahkan masyarakat disekitar gambut kehilangan ikan seperti Ikan toman, baung sudah jarang didapatkan. Apalagi ikan Tapa. Bahkan ikan lais yang semula kurang mendapatkan perhatian dari memancingpun sudah mulai susah didapatkan. Ikan Toman (channidae), ikan baung (Macrones nemurus), ikan tapa (Wallago) adalah ikan-ikan khas (biodiversity) gambut. Selain itu juga dikenal arwana silver (Schlerophages formosus), ridiangus (Balantiocheilos melanopterus), belida (Notopterus chitala), sepat batik (Cydochaicichthys aroplos), serandang (Channa pleurophthalma) dan tilan (Mastacembelus erythrotaenia).

Mengembalian fungsi tempat yang dilindungi oleh masyarakat adalah mandat yang ditegaskan oleh Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016. Dan kita berkejaran dengan waktu untuk memulihkan gambut (restorasi gambut)

Baca juga : Gambut dari pendekatan Etnografi

Dimuat di Harian Jambione, 19 Februari 2018.






Advokat, Tinggal di Jambi