Tema
tanah dan surat tanah menimbulkan persoalan di tengah masyarakat. Membicarakan
tanah dan surat tanah adalah dimensi terpisah.
Didalam
19 ayat (2) UU Pokok-pokok Agraria (UUPA) “pendaftaran
tanah diakhiri dengan pemberian surat-surat tanda bukti hak. Ketentuan ini
kemudian diperkuat didalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah.
Menggunakan
penafsiran “Penafsiran terbalik (a
contrario)” maka terhadap “seseorang” yang tidak mempunyai surat-surat maka
tidak mempunyai hak terhadap tanah.
Sesat
pikir ini melambangkan asas “domein verklaring”.
Negara kemudian menganggap sebagai “tanah liar (woeste grond).
Didalam
“agrarische wet” staatblaad 1874 disebutkan sebagai tanah liar adalah pribumi
tidak menerapkan hak-hak berasal dari pembukaan lahan (ontginningrecht)
sehingga kemudian termasuk tanah negara (staatdomein). Asas ini dikenal asas “domein verklaring”. Tanah liar (woeste
grond) berupa tanah hutan, tanah liar, tanah terpakai, tanah tidak
dibudidayakan atau tanah kosong.
Padahal
tanah mempunyai hak milik komunal (beschikhingrecht).
Dengan
menganggap tanah liar (woeste grond) maka kemudian tempat-tempat dikuasai oleh
negara. Asas domein verklaring”
kemudian dicabut oleh UUPA.
Namun
yang sering dilupakan adalah pasal 5 UUPA. Pasal 5 UUPA menyebutkan “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang- undang
ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatau dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Kalimat
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hokum adat..”
menegaskan Hukum agraria (termasuk hokum tanah) adalah “hokum adat”. Saleh
Adiwinata kemudian menyebutkan “pemisahan horizontal dalam seluruh bidang hokum
mengenai tanah.
Ditengah
masyarakat Melayu Jambi, penanda tanda atau batas tanah dikenal yang
menunjukkan sebagai pemilik tanah.
Di
daerah uluan Batanghari dikenal “takuk pohon”. “tuki”, “sak Sangkut” sebagai
penanda batas tanah. Yang ditandai dengan pohon sebagai batas antara satu tanah
dengan yang lain. Atau “ranting pohon” dipatahkan (tuki), atau pohon ditebang
setengah (takuk pohon).
Ada
juga menyebutkan “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”.
Ada juga menyebutkan “Lambas”.
Di
daerah ilir Jambi dikenal “mentaro”, “Prenggan”,
“Pasak
mati” atau “Patok mati”,
Istilah
“hilang celak. Jambu Kleko”, “Cacak Tanam. Jambu Kleko”, “Lambas”, “mentaro”,
“Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” dengan cara menanam pohon sebagai tanda (hilang celak. Jambu Kleko”, “Cacak
Tanam. Jambu Kleko).
Sedangkan
Mentaro. Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda
berupa tanaman Pinang. Sedangkan menanam tanaman lebih rapat mengeliling tanah
dikenal dengan istilah prenggan.
Dapat
juga menanam tanda yang ujungnya dilapisi plastic yang kemudian dimasukkan ke
tanah. Cara ini dikenal sebagai “pasak
mati atau patok mati.
“Takuk
pohon”, “tuki”, “sak Sangkut”, “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam.
Jambu Kleko”, “Lambas”, “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” adalah bentuk pengakuan sebagai batas tanah dan
bukti untuk menyelesaikan perselisihan tanah.
Berbeda
dengan Hukum Tanah yang diatur didalam KUHPer (kitab Undang-undang Hukum
Perdata) yang mengatur lepasnya hak milik benda tidak bergerak selama 30 tahun
sebagaimana diatur didalam pasal 1963 BW, di masyarakat Melayu Jambi dikenal “empang
krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami
tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman”. Di
daerah hilir dikenal “Larangan krenggo”.
Istilah
“empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah
jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman”
dan “Larangan krenggo” adalah Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka
harus ditanami paling lama 3 tahun. Dan kemudian harus dirawat.
Seloko ”Belukar
tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah
tunggul pemarasan” menunjukkan pemilik tanah tidak merawat tanahnya. Istilah “Belukar
tuo” atau “belukar Lasa”, atau sudah menunjukkan “jerami tinggi” sudah lama
tidak dirawat.
Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian
tidak ditanami dan tidak dirawat maka akan dijatuhi sanksi adat. Bahkan hak
milik terhadap tanah kemudian hapus.
Dengan demikian terhadap pemilik tanah walaupun
tidak mempunyai sertifikat hak milik tanah tidak dapat dikategorikan tidak
mempunyai hak atas tanah. Pendaftaran tanah harus bersifat “stelsel pasif”.
Negara harus mengakui hak milik tanah berdasarkan Pasal 5 UUPA.
Selain itu terhadap pemilik tanah harus menanam dan
merawat tanah. Dengan waktu tertentu apabila tidak merawat tanah maka hak milik
tanah kemudian menjadi hapus.
Hak milik tanah melekat kepada tanah. Tanah harus
berfungsi. Tanah tidak dapat mengikuti pemilik tanah. Sebagaimana seloko “harta
berat ditinggal. Harta ringan dibawa”.
Advokat.
Tinggal di Jambi
Dimuat www.serujambi.com, 24 Februari 2018
https://www.serujambi.com/2018/opini-tanah-dan-surat/