Akhir-akhir
ini cerita gambut menjadi wacana dan menghiasi media publik. Paska kebakaran
2013 – 2015 yang menutupi langit Sumatera dan Kalimantan dan mengirimkan asap ke
Singapura dan Malaysia, semua pihak kemudian terkaget-kaget. Ternyata kebakaran
justru banyak terletak di lahan konsesi. Padahal negara, kampus dan industri
semula berkeyakinan mengelola gambut dengan berbagai program dan komodity
seperti sawit dan akasia.
Derita
akibat kebakaran dari gambut kemudian menyadarkan berbagai pihak. Gambut yang
dikategorikan sebagai ekosistem unik dan
penting (UU No. 32 Tahun 2009) harus mendapatkan tempat sebagai ekosistem yang
diperlakukan “spesial”. Kesalahan bahkan “keangkuhan” memperlakukan gambut
mengakibatkan gambut memberikan reaksi yang dahsyat. Kebakaran yang bermula
dengan “mengeringkan gambut “ dengan cara “membuat kanal” menyebabkan gambut
menjadi kering dan mudah terbakar. Sehingga ketika api menyambar “daun-daunan”
yang kering (berongga seperti spoon) menyebabkan kebakaran sulit dikendallikan.
Dan “lagi-lagi” korban yang tidak berdosa yang harus menanggung akibatnya.
Sementara
itu cerita gambut ditengah masyarakat menarik untuk didiskusikan. Semula orang
masih banyak berkeyakinan istilah “gambut” berasal dari Kalimantan Selatan. Merujuk
dari nama suatu Desa didekat Banjarmasin, Kalsel (Kamus Istilah Ekonomi Populer).
Desa yang sebagian besar tanahnya terdiri atas tanah organik.
Namun
ditengah masyarakat, istilah gambut kurang dikenal. Di Sumsel dikenal “rawang hidup”. Ada juga
menyebutkan “Lebak Berayun”. Di Jambi dikenal “Payo” atau “payo dalam”. Di
Papua dikenal “tanah goyang”. Di Kalbar dikenal “tanah sapo”. Bahkan di Kalsel
malah dikenal “Tanah Irang”.
Di
Jambi ekosistem dikategorikan sebagai “hutan hantu pirau”. Di Kalteng dikenal
“Gulung hampar”. Penghormatan terhadap
“hutan hantu pirau” atau ” Gulung hampar” Melambangkan kebudayaan, cara
pandang, penghormatan bahkan bentuk perlindungan masyarakat terhadap alam.
Sebagai daerah konservasi.
Nama-nama
tempat seperti “Buluran muning darat,
Buluran muning laut, Lubuk tapa, Danau cempedak, Danau Gerang, Danau empang palang, Sematang tawing, Buluran buang, Kuala Belaga, Simpang Jadam, Air Tenang, Bidawang, Lintas Panjang adalah nama-nama tempat untuk tempat
mencari kayu alam atau tempat masyarakat
mencari ikan. Selain itu juga dikenal nama tempat masyarakat mencari rotan, madu, jelutung dan pandan.
Di
Jambi nama-nama tempat ini dikenal dan ditandai dengan “akar bekait, pakis dan jelutung” (Walhi, 2016). Atau “kumpai
berbulu” (Kalteng).
Diluar
tempat “hutan hantu pirau” kemudian ditetapkan sebagai kawasan “peumoan’.
Tempat menanam padi. Tidak boleh dialilhkan selain menanam padi.
Di
Sumsel dikenal sistem “sonor” sebuah metode pengetahuan pengaturan budidaya
padi pada saat gambut mengering dan musim kemarau panjang.
Selain
itu juga dikenal “petanang”. Tempat perkebunan tanaman khas gambut seperti
kelapa atau pinang.
Setiap
pemilik tanaman kemudian melakukan batas antara satu dengan yang lain dengan
tanda. Kemudian dikenal “mentaro”, “pringgan” atau “tanam mati”. Tanaman pinang
disusun berjejer mengelilingi tanah.
Namun
negara kemudian menganggap sebagai “tanah liar (woeste grond). Didalam
“agrarische wet” staatblaad 1874 disebutkan sebagai tanah liar adalah pribumi
tidak menerapkan hak-hak berasal dari pembukaan lahan (ontginningrecht)
sehingga kemudian termasuk tanah negara (staatdomein). Asas ini dikenal asas “domein verklaring”
Tanah
liar (woeste grond) berupa tanah hutan, tanah liar, tanah terpakai, tanah tidak
dibudidayakan atau tanah kosong.
Padahal
gambut milik komunal (beschikhingrecht).
Dengan
menganggap tanah liar (woeste grond) maka kemudian tempat-tempat dikonversi menjadi
izin sawit dan HTI. Dan mengubah bentang alam gambut sebagai kawasan budidaya
gambut (UU Perkebunan). Atau menggunakan term “kawasan lindung gambut” dan
“budidaya gambut ( UU Kehutanan).
Maka
gambut kemudian dikeringkan dengan membangun kanal-kanal yang memanjang,
membelah, mengelilingi izin agar dapat ditanami. Dan dibersihkan (land
clearing) baik dengan menggunakan alat berat maupun “dibakar’.
Akibat
“salah urus” gambut mengakibatkan kebakaran yang tidak bisa ditanggulangi. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, lahan konsesi di areal gambut yang rusak mencapai 1,4 juta hektar.
Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 16 Tahun 2017 menyebutkan “Ekosistem
Gambut dengan fungsi lindung mengalami kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, apabila melampaui kriteria baku kerusakan sebagai berikut:
terdapat drainase buatan dan tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di
bawah
lapisan Gambut; dan/atau
terjadi pengurangan luas dan/atau volume tutupan
lahan.
Sedangkan
kategori budidaya gambut disebutkan “Ekosistem
Gambut dengan fungsi budidaya mengalami kerusakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, apabila memenuhi kriteria muka air tanah di lahan Gambut
lebih dari 0,4 (nol
koma empat) meter di bawah permukaan Gambut
pada
titik penaatan dan/atau
tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di
bawah
lapisan Gambut..
Dengan
hilangnya tempat-tempat yang dilindungi masyarakat, maka fungsi gambut menjadi
berkurang dan hilang. Kayu seperti Punak, Meranti tinggal cerita. Pohon
jelutung musnah. Rotan dan pandan
kemudian menjadi hilang.
Bahkan
masyarakat disekitar gambut kehilangan ikan seperti Ikan toman, baung sudah
jarang didapatkan. Apalagi ikan Tapa. Bahkan ikan lais yang semula kurang
mendapatkan perhatian dari memancingpun sudah mulai susah didapatkan. Ikan
Toman (channidae), ikan baung (Macrones
nemurus), ikan tapa (Wallago)
adalah ikan-ikan khas (biodiversity) gambut. Selain itu juga dikenal arwana
silver (Schlerophages formosus), ridiangus (Balantiocheilos
melanopterus), belida (Notopterus chitala), sepat batik (Cydochaicichthys
aroplos), serandang (Channa pleurophthalma) dan tilan (Mastacembelus
erythrotaenia).
Mengembalian
fungsi tempat yang dilindungi oleh masyarakat adalah mandat yang ditegaskan
oleh Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016. Dan kita berkejaran dengan waktu
untuk memulihkan gambut (restorasi gambut)
Baca juga : Gambut dari pendekatan Etnografi
Dimuat di Harian Jambione, 19 Februari 2018.
Baca juga : Gambut dari pendekatan Etnografi
Dimuat di Harian Jambione, 19 Februari 2018.
Advokat, Tinggal di Jambi