TATA RUANG DAYAK BAHAU UMAAQ SULING
Berkesempatan
datang ke Samarinda, Kalimantan Timur mendapatkan kesempatan “belajar’ tata
ruang Dayak Bahau Umaaq Suling Lung Isun, Kecamatan Lung Pahangai, Kabupaten
Mahakam Ulu, Kalimantan Timur (Dayak Bahau Umaaq Suling) . Kesempatan “langka”
belajar dan mendengarkan cerita Tata Ruang Dayak Bahau Ummaq Suling merupakan
anugrah yang tidak ternilai harganya.
Dayak
Bahau Ummaq Suling berada di Kampung Lung Isun, Kecamatan Lung Pahangai,
Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Kabupaten Mahakam Ulu merupakan
kabupaten baru dari pemekaran[1]
Kabupaten Kutai Barat, Propinsi Kalimantan Timur.
Ketika
penyebutan “Kampung” sebagai unit Pemerintahan, ada perbedaan mendasar dengan
makna “Kampung” yang dikenal di Jambi.
Sebelum
lahir UU No. 5 Tahun 1979, kampong adalah unit dibawah pemerintahan Dusun. Kampung
adalah pemukiman yang terdiri dari beberapa rumah. Kampung kemudian menginduk ke
Dusun. Dusun kemudian menjadi unit pemerintahan terkecil. Sehingga Dusun
terdiri dari beberapa kampong.
Setelah
lahirnya UU No. 5 Tahun 1979, kampong kemudian menjadi dusun. Sedangkan dusun kemudian
menjadi Desa. Dengan demikian maka Desa kemudian terdiri dari beberapa Dusun.
Namun
ketika saya melihat Kepala Kampung (dengan penyebutan “Sebagai tinggi Kampung”)
saya kemudian memahami Kampung kemudian disejajarkan dengan Dusun (sebelum UU
No. 5 Tahun 1979) dan Desa (Setelah lahirnya UU No. 5 Tahun 1979).
Kecamatan
Lung Pahangai terdiri dari Kampung Datah Naha, Kampung Delang kerohong, Kampung
Lirung Ubing, Kampung Lui Mulang, Kampung Long Pahangai I dan Long Pahangai II,
Lung isun, Long Lunuk, Long Lunuk Baru, Long Pakaq, Lung Pakaq baru, Long Tuyoq
dan Lung Naha Aruq.
Untuk
memahami struktur ruang Dayak Bahau Ummaq Suling saya menggunakan pengetahuan
yang juga dipahami masyarakat di Jambi.
Sebagaimana
dikenal di Jambi, masyarakat Dayak Bahau Umaaq Suling mengenal batas wilayah
adat yang disebut “Haang Tana’. Di Jambi dikenal “Tembo”. Ditandai dengan
tanda-tanda alam seperti Bukit, sungai, pohon, danau, sauk, pematang.
Masyarakat
Dayak Bahau Umaaq Suling mengenal daerah yang dilindungi. “Tanaaq Dioq” atau
“Tanaaq Bilah”
Di
Jambi dikenal “rimbo sunyi. Tempat
Siamang Beruang Putih. Tempat ungko berebut tangis[2]”.
“Teluk Sakti Rantau Betuah. Gunung Bedewo[3]”.
“Rimbo Batuah[4]”,
“Rimbo Puyang[5]”,
“rimbo keramat”, “hutan larangan”, “hutan hantu pirau[6]”
Setelah
itu dikenal “Tanaag Lepu’un Lumaag”. Di Jambi dikenal sebagai tempat “sesap
rendah, jerami tinggi”, “tunggul pemasaran”, “Sesap tinggi belukar tua”,
“belukar lasah”, “peumoan”. Sebagai tempat
perladangan dan areal perkebunan.
Selain
itu dikenal “Tanaag Lepu’u Umaaq” yang di Jambi sebagai tempat “petanang[7]”
atau “areal perkebunan.
Tanaaq
Kasoq sebagai tempat “perburuan’. Ada juga menyebutkan “padang gembala’. Tempat
ini biasa disebut didalam “Pucuk Adat Jambi”, “huma bekandang siang. Ternak
bekandang malam”. Dimana dikenal “Ngingah Ternak yaitu memelihara ternak orang lain
dengan kemudian keturunannya menjadi milik bersama.
Atau
“tanaaq Umaang” sebagai tempat pemukiman. “Tanaaq bilah” yang dikenal
“peumoan”. Dan “tanaaq Peraag” tempat pencadangan hutan untuk masa depan. Dan
Tanaaq Pukaq sebagai tempat obat-obatan.
Penghormatan
dan penempatan wilayah dengan fungsi yang ditentukan oleh Masyarakat Adat Long
Isun kemudian menimbulkan hak atas tanah (hak kolektif/beschikkingsrecht).
Van vollenhoven dalam bukunya,
“Miskenningen van het adatrecht” menyebutkan Beschikkingrecht (hak ulayat).
Untuk memudahkan Beschikkingrecht (hak ulayat), Van vollenhoven menyebutkan
ciri-ciri. (1) Persekutuan hukum itu dan anggota-anggotanya dapat
mempergunakan tanah hutan belukar di dalam wilayahnya dengan bebas, seperti
membuka tanah, mendirikan perkampungan, memungut hasilnya, berburu, mengembala
dan lain sebagainya. (2) Bukan anggota persekutuan hukum dapat pula
mempergunakan hak atas tanah itu, tetapi atas pemberian ijin dari persekutuan
hukum itu. (3) Dalam mempergunakan tanah itu yang bukan anggota selalu harus
membayar sesuatu (recognitie). (4) Persekutuan hukum mempunyai tanggung jawab
atas beberapa kejahatan tertentu yang terjadi di dalam lingkungan wilayahnya,
bilamana orang yang melakukan kejahatan itu sendiri tidak dikenal. (5)
Persekutuan hukum tidak boleh memindah tangankan haknya (menjual, menukarkan,
memberikan) untuk selama-lamanya kepada siapapun juga. (6) Persekutuan hukum
mempunyai hak percampuran tangan terhadap tanah-tanah yang telah digarap,
seperti dalam pembagian pekarangan, dan jual beli tanah dan lain sebagainya.
Penghormatan
terhadap beschikkingrecht (hak ulayat) dijelaskan didalam Pasal 67
ayat (1) UU Kehutanan[8].
Disebutkan masyarakat hukum adat “suatu masyarakat
hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur
antara lain: (a) masyarakatnya
masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap), (b) ada kelembagaan
dalam bentuk perangkat penguasa adatnya, (c)
ada wilayah hukum adat yang jelas, (d) ada pranata dan perangkat hukum,
khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan (e) masih mengadakan
pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari.
Melihat
pengetahuan, cara pandang dan penghormatan masyarakat Adat Dayak Bahau Umaaq Suling
di Kampung Long Isun dan disandingkan dengan pasal 67 UU Kehutanan maka berhak
mengelola dan mengatur kawasan hutan.
Meminjam
istilah yang disampaikan “Sudah saatnya
rakyat diberi kepercayaan” untuk mengatur dan mengelola kawasan hutan”. Sebuah
hipotesis yang terbukti mampu menjaga hutan.
[1] Berdiri menjadi Kabupaten dari
pemekaran Kabuapten Kutai Barat sejak 20 Mei 2013 berdasarkan UU No. 2 Tahun
2013.
[2] Marga Sungai Tenang
[3] Marga Batin Pengambang
[4] Marga Pelepat, 18 Agustus 2016
[5] Marga Sumay
[6] Marga Kumpeh
[7] Marga Kumpeh
[8] Pasal 67
UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan “ (1) Masyarakat hukum adat
sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak : (a) melakukan pemungutan hasil hutan
untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan,
(b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku
dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
(c) mendapatkan
pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahtera-annya.
Ayat (2) “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat
hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
Sedangkan ayat (3) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.