09 Februari 2018

opini musri nauli : TATA RUANG DAYAK BAHAU UMAAQ SULING



TATA RUANG DAYAK BAHAU UMAAQ  SULING

Berkesempatan datang ke Samarinda, Kalimantan Timur mendapatkan kesempatan “belajar’ tata ruang Dayak Bahau Umaaq Suling Lung Isun, Kecamatan Lung Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur (Dayak Bahau Umaaq Suling) . Kesempatan “langka” belajar dan mendengarkan cerita Tata Ruang Dayak Bahau Ummaq Suling merupakan anugrah yang tidak ternilai harganya.

Dayak Bahau Ummaq Suling berada di Kampung Lung Isun, Kecamatan Lung Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Kabupaten Mahakam Ulu merupakan kabupaten baru dari pemekaran[1] Kabupaten Kutai Barat, Propinsi Kalimantan Timur.

Ketika penyebutan “Kampung” sebagai unit Pemerintahan, ada perbedaan mendasar dengan makna “Kampung” yang dikenal di Jambi.

Sebelum lahir UU No. 5 Tahun 1979, kampong adalah unit dibawah pemerintahan Dusun. Kampung adalah pemukiman yang terdiri dari beberapa rumah. Kampung kemudian menginduk ke Dusun. Dusun kemudian menjadi unit pemerintahan terkecil. Sehingga Dusun terdiri dari beberapa kampong.

Setelah lahirnya UU No. 5 Tahun 1979, kampong kemudian menjadi dusun. Sedangkan dusun kemudian menjadi Desa. Dengan demikian maka Desa kemudian terdiri dari beberapa Dusun.

Namun ketika saya melihat Kepala Kampung (dengan penyebutan “Sebagai tinggi Kampung”) saya kemudian memahami Kampung kemudian disejajarkan dengan Dusun (sebelum UU No. 5 Tahun 1979) dan Desa (Setelah lahirnya UU No. 5 Tahun 1979).

Kecamatan Lung Pahangai terdiri dari Kampung Datah Naha, Kampung Delang kerohong, Kampung Lirung Ubing, Kampung Lui Mulang, Kampung Long Pahangai I dan Long Pahangai II, Lung isun, Long Lunuk, Long Lunuk Baru, Long Pakaq, Lung Pakaq baru, Long Tuyoq dan Lung Naha Aruq.

Untuk memahami struktur ruang Dayak Bahau Ummaq Suling saya menggunakan pengetahuan yang juga dipahami masyarakat di Jambi.

Sebagaimana dikenal di Jambi, masyarakat Dayak Bahau Umaaq Suling mengenal batas wilayah adat yang disebut “Haang Tana’. Di Jambi dikenal “Tembo”. Ditandai dengan tanda-tanda alam seperti Bukit, sungai, pohon, danau, sauk, pematang.

Masyarakat Dayak Bahau Umaaq Suling mengenal daerah yang dilindungi. “Tanaaq Dioq” atau “Tanaaq Bilah”

Di Jambi dikenal “rimbo sunyi. Tempat Siamang Beruang Putih. Tempat ungko berebut tangis[2]”. “Teluk Sakti Rantau Betuah. Gunung Bedewo[3]”. “Rimbo Batuah[4]”, “Rimbo Puyang[5]”, “rimbo keramat”, “hutan larangan”, “hutan hantu pirau[6]

Setelah itu dikenal “Tanaag Lepu’un Lumaag”. Di Jambi dikenal sebagai tempat “sesap rendah, jerami tinggi”, “tunggul pemasaran”, “Sesap tinggi belukar tua”, “belukar lasah”, “peumoan”. Sebagai  tempat perladangan dan areal perkebunan.

Selain itu dikenal “Tanaag Lepu’u Umaaq” yang di Jambi sebagai tempat “petanang[7]” atau “areal perkebunan.

Tanaaq Kasoq sebagai tempat “perburuan’. Ada juga menyebutkan “padang gembala’. Tempat ini biasa disebut didalam “Pucuk Adat Jambi”, “huma bekandang siang. Ternak bekandang malam”. Dimana dikenal “Ngingah Ternak yaitu memelihara ternak orang lain dengan kemudian keturunannya menjadi milik bersama.

Atau “tanaaq Umaang” sebagai tempat pemukiman. “Tanaaq bilah” yang dikenal “peumoan”. Dan “tanaaq Peraag” tempat pencadangan hutan untuk masa depan. Dan Tanaaq Pukaq sebagai tempat obat-obatan.

Penghormatan dan penempatan wilayah dengan fungsi yang ditentukan oleh Masyarakat Adat Long Isun kemudian menimbulkan hak atas tanah (hak kolektif/beschikkingsrecht).

Van vollenhoven dalam bukunya, “Miskenningen van het adatrecht” menyebutkan Beschikkingrecht (hak ulayat). Untuk memudahkan Beschikkingrecht (hak ulayat), Van vollenhoven menyebutkan ciri-ciri. (1) Persekutuan hukum itu dan anggota-anggotanya dapat mempergunakan tanah hutan belukar di dalam wilayahnya dengan bebas, seperti membuka tanah, mendirikan perkampungan, memungut hasilnya, berburu, mengembala dan lain sebagainya. (2) Bukan anggota persekutuan hukum dapat pula mempergunakan hak atas tanah itu, tetapi atas pemberian ijin dari persekutuan hukum itu. (3) Dalam mempergunakan tanah itu yang bukan anggota selalu harus membayar sesuatu (recognitie). (4) Persekutuan hukum mempunyai tanggung jawab atas beberapa kejahatan tertentu yang terjadi di dalam lingkungan wilayahnya, bilamana orang yang melakukan kejahatan itu sendiri tidak dikenal. (5) Persekutuan hukum tidak boleh memindah tangankan haknya (menjual, menukarkan, memberikan) untuk selama-lamanya kepada siapapun juga. (6) Persekutuan hukum mempunyai hak percampuran tangan terhadap tanah-tanah yang telah digarap, seperti dalam pembagian pekarangan, dan jual beli tanah dan lain sebagainya.

Penghormatan terhadap beschikkingrecht (hak ulayat) dijelaskan didalam Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan[8]. Disebutkan masyarakat hukum adat “suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: (a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap), (b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya, (c) ada wilayah hukum adat yang jelas, (d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan (e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Melihat pengetahuan, cara pandang dan penghormatan masyarakat Adat Dayak Bahau Umaaq Suling di Kampung Long Isun dan disandingkan dengan pasal 67 UU Kehutanan maka berhak mengelola dan mengatur kawasan hutan.

Meminjam istilah yang disampaikan “Sudah saatnya rakyat diberi kepercayaan” untuk mengatur dan mengelola kawasan hutan”. Sebuah hipotesis yang terbukti mampu menjaga hutan.



[1] Berdiri menjadi Kabupaten dari pemekaran Kabuapten Kutai Barat sejak 20 Mei 2013 berdasarkan UU No. 2 Tahun 2013.
[2] Marga Sungai Tenang
[3] Marga Batin Pengambang
[4] Marga Pelepat, 18 Agustus 2016
[5] Marga Sumay
[6] Marga Kumpeh
[7] Marga Kumpeh
[8] Pasal 67 
UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan “ (1)  Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak : (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan, (b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan 
(c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahtera-annya. 
Ayat (2) “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
Sedangkan ayat (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.