ANALISIS KONFLIK
SUMBER DAYA ALAM DI JAMBI
(Potret Konflik di Jambi 2010 -2017)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Membicarakan
sumber daya alam di Jambi tidak dapat dilepaskan dari akibat pengelolaan sumber
daya. Dengan membaca data-data, maka pengelolaan sumber daya alam tidak dapat
dilepaskan dari konflik[1].
Killman
dan Thomas menyebutkan konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan
antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri
individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah
dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau
stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja.[2]
Tahun
2017 didapatkan jumlah mencapai 762 konflik. Terdiri dari
Kebakaran/banjir/gempa bumi mencapai 268 konflik. Disusul persoalan air
sebanyak 146. Kemudian konflik terjadi di masyarakat adat, petani, masyarakat
miskin di pedesaan dan perkotaan sebanyak 115. Lalu Tambang mencapai 95
konflik. HTI/hutan sebanyak 57 konflik. Lahan gambut sebanyak 33 konflik dan
monokultur 28 konflik. Lihat table dibawah ini.
Tabel 1. KONFLIK JAMBI TAHUN 2017
NO
|
ISU
|
BULAN
|
JML
|
|||||||||
|
|
JAN
|
FEB
|
MAR
|
APR
|
MEI
|
JUNI
|
JULI
|
AGUST
|
SEPT
|
OKT
|
|
1.
|
Tambang, emas, Batu Bara, Migas, dll
|
2
|
6
|
11
|
11
|
17
|
9
|
9
|
10
|
12
|
8
|
95
|
2.
|
Monokultur, Perkebunan Sawit, HTI, HTR, dll
|
0
|
3
|
0
|
1
|
0
|
1
|
1
|
5
|
10
|
7
|
28
|
3.
|
Lahan gambut dan kawasan pesisir laut, dll
|
7
|
1
|
0
|
4
|
4
|
6
|
3
|
2
|
5
|
1
|
33
|
4.
|
Banjir, Kebakaran, Gempa Bumi, dll
|
9
|
12
|
46
|
13
|
26
|
35
|
50
|
53
|
24
|
20
|
288
|
5.
|
Hutan Produksi, Hutan Lindung, Taman Nasional, dll
|
1
|
12
|
5
|
1
|
5
|
4
|
7
|
4
|
9
|
9
|
57
|
6.
|
Petani, Masyarakat adat, dan Masyarakat miskin
pedesaan dan perkotaan
|
4
|
8
|
9
|
13
|
5
|
7
|
13
|
8
|
21
|
27
|
115
|
7.
|
Water dan Food
|
3
|
6
|
3
|
10
|
17
|
12
|
40
|
12
|
19
|
24
|
146
|
|
JUMLAH
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
762
|
Walhi Jambi, 2017
Konflik
yang terjadi kemudian menambah daftar panjang konflik yang terjadi sebelumnya.
Tahun 2015, Di Sektor perkebunan, tahun 2015 diidentifikasi 36 konflik lahan
dan 19 konflik kemitraan yang dihadapi 31 perusahaan perkebunan di Jambi[3]. Padahal konflik-konflik sebelumnya belum
dapat diselesaikan.
Jaringan
Masyarakat Gambut Jambi menyebutkan konflik yang terjadi di Sponjen, Sogo,
Tanjung, Rukam, Serdang Jaya, Sungai Baung, Suak Samin, Sungsang, Lumahan,
Kelagian[4].
Konflik
yang terjadi di Jambi disebabkan berbagai factor[5]. Polda Jambi
menyebutkan kategori konflik disebabkan oleh masalah Poleksosbud, SARA, Batas
Wilayah dan SDA.
Disebabkan
Poleksosbud terjadi 32 kasus. 7 kasus dapat diselesaikan melalui musyawarah, 2
kasus melalui proses hukum dan sisanya masih dalam proses penyelesaian.
Disebabkan SARA ada 19 kasus. Tiga dapat diselesaikan melalui musyawarah dan
sisanya saat ini masih dalam proses penyelesaian. Sedangkan potensi konflik
yang disebabkan oleh Batas Wilayah. Di Provinsi Jambi ada 11 kasus. Yang sudah
diselesaikan dengan musyawarah ada 6, melalui jalur hukum 1 dan saat ini yang
masih dalam proses penyelesaian 4. Dan potensi konflik yang disebabkan masalah
SDA, ada 69 potensi konflik. 32 sudah dapat diselesaikan melalui musyawarah, 2
kasus melalui jalur hukum dan 35 kasus saat ini masih dalam tahap proses
penyelesaian[6].
Badan
Kesbangpol Propinsi Jambi menyebutkan konflik terjadi disebabkan eskalasi
konflik lahan[7].Baik di sector
perkebunan, HTI dan tambang.
Sedangkan
menurut catatan akhir tahun 2013 di Propinsi Jambi terdapat 21 kasus konflik
sosial yang dialami oleh masyarakat adat dan 12 kasus konflik sosial antara
petani dan perusahaan[8].
Menurut
Walhi Jambi, Catatan Walhi Jambi[9] menunjukkan
trend konflik dan membangun tipologi untuk melihat konflik. Data menunjukkan
konflik yang terjadi sekitar 300 -an konflik. 80 konflik berkaitan dengan
sumber daya alam dan 27 konflik diprioritaskan untuk diselesaikan[10].
Dari
konflik dapat diketahui tipologi konflik. Pertama. Hampir seluruh di Kabupaten
terjadinya konflik. Merata di berbagai daerah. Konflik yang terjadi baik di
sektor kehutanan seperti tapal batas yang belum selesai[11],
PT. REKI, lembah masurai, PT. LAJ dan konflik antara masyarakat setempat dengan
model kemitraan. Misalnya di PT. REKI dengan SAD[12].
Belum lagi penguasaan APP di sektor HTI yang mengakibatkan konflik di 5
kabupaten. Konflik kemudian bergeser ke konflik sawit dan sekarang di sektor
pertambangan terutama batubara[13].
Konflik
kemudian menyebabkan pembakaran. Baik itu di Tanjung Jabung, Bungo, Bangko dan
sarolangun. Artinya, hampir tiap daerah telah terjadinya pembakaran oleh
masyarakat terhadap perusahaan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Kedua,
rentang waktu yang hampir selalu terjadi setiap tahun. Yang ketiga cara-cara
penyelesaian yang masih cenderung menggunakan cara-cara represif dan tidak
menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Belum lagi kriminalisasi terhadap
masyarakat.
Di
sector HTI, Catatan Tim Resolusi Konflik Propinsi Jambi tahun 2010 menyebutkan
konflik yang berkaitan dengan APP merupakan dua pertiga konflik di Jambi. Belum
lagi terjadinya 150 konflik dengan satwa[14]
Melihat
konflik yang belum selesai, meruncing bahkan terjadinya korban maka diperlukan
analisis mendalam untuk melihat konflik yang terjadi.
Didalam
memotret maka anatomi konflik, akar konflik, factor-faktor terjadinya konflik,
analisis konflik, struktur konflik,
teori penyebab konflik diperlukan. Selain akan memotret utuh didalam
melihat konflik, berbagai teori akan memudahkan untuk memetakan konflik dan dapat
membantu untuk menyelesaikannya (resolusi konflik).
Dari
analisis terhadap berbagai konflik maka kemudian dibantu dengan alat memahami
konflik sehingga konflik dapat diuraikan.
Selain
itu juga digunakan konsep sebagai kajian yaitu komuniti[15],
inequality[16], perilaku
anomalis social, konflik dan orientasi nilai.
Data-data
yang didapat kemudian dibantu dengan hasil laporan-laporan yang pernah
dipublish oleh Walhi Jambi. Diantaranya Laporan Pemetaan dan Analisis Konflik
Areal Konsesi Group APP di Wilayah Propinsi Jambi Khususnya di Desa Lubuk
Mandarsyah, Kecamatan Tengah Ilir Kabupaten Tebo, IMN, September 2014, Riset
Ekosistem Rawa Gambut Dalam Kelola Rakyat, Walhi Jambi, 2014, Laporan Badan
Pengelola REDD-RI, Pemprov Jambi, UN-REDD, UNDP “Indeks Tata Kelola Kehutanan
Jambi”, 2014.
B.
Metodologi
Penelitian
Penelitian
dilakukan dengan menggunakan data-data primer yang didapatkan dari Walhi Jambi,
Jaringan Gambut Masyarakat Jambi.
Data-data
kemudian dilakukan tabulasi, dihubungkan dengna konflik yang belum selesai.
Dari tabulasi kemudian “Disorot (highlight)” sehingga menjadi bahan kajian
didalam menganalisis konflik.
Variabel
penelitian dilakukan dengan mengelaborasikan berbagai data-data yang telah
didapatkan. Kemudian data-data dilakukan tabulasi, penyesuaian sehingga
menggambarkan konflik yang terjadi.
Setelah
data-data dikumpulkan maka dilakukan elaborasi terhadap data-data yang telah
didapatkan. Hasil-hasil data yang telah didapatkan maka kemudian dianalisis
dengan berbagai pendekatan seperti (a) Identitas social, (b) dampak ekonomi,
(c) peran tokoh-tokoh local dan informasl, (d) bentuk-bentuk komunikasi yang
dilakukan.
Setelah
itu dilakukan analisis kualitatif dengan melihat variable yang diteliti
(dependet) kemudian dihubungkan dengan variable yang mempengaruhi(Independent).
C.
Teknis
Pelaporan
Untuk
memudahkan pelaporan dan penulisan maka data-data kemudian dilakukan verifikasi
dengan menghubungkan antara data satu dengan data yang lain. Hasil verifikasi
kemudian disandingkan dengna berbagai teori untuk memotret dan menggambarkan
utuh (overview) sehingga didapatkan pandangan utuh memahami konflik. Hasil
analisis kemudian disajikan sebagai bentuk pelaporan yang kemudian dilakukan
penulisan laporan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Analisis
Data
Apabila
melihat data-data, maka konflik tahun 2017 menggambarkan konflik. Dengan jumlah
mencapai 762 konflik maka dapat digambarkan konflik air (146), masyarakat adat,
petani, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan (115), Tambang (95),
HTI/hutan (57) di sector gambut (33) dan perkebunan monokultur (28) konflik[17]. Angka-angka
ini menambah panjang data-data konflik sebelumnya. Sektor perkebunan (36
konflik lahan dan 19 konflik kemitraan). Padahal tahun 2013, terdapat 21
konflik social yang harus diselesaikan. Menambah panjang konflik yang terjadi
300 konflik (1998 -2014)[18].
Sementara
itu menurut JMGJ, Konflik yang terjadi di di Sponjen, Sogo, Tanjung, Rukam,
Serdang Jaya, Sungai Baung, Suak Samin, Sungsang, Lumahan, Kelagian[19] kemudian dapat
dipilah dari pendekatan issu. Pertama isu sawit dan HTI.
Isu
Sawit terjadi di Desa Sponjen, Desa Sogo dan Desa Tanjung. Sedangkan Desa
Rukam, Desa Serdang Jaya, Desa Sungai baung, Desa Suak Samin, Desa Sungsang,
Desa Lumahan dan Desa Kelagian dengan pendekatan isu HTI.
Issu
Pemberian izin lokasi di Desa Sponjen, Desa Sogo dan Kelurahan Tanjung kepada
PT. BBS berdasarkan SK Bupati Muara Jambi No. 507 Tahun 2007 dan IUP-B
berdasarkan SK Bupati Muara Jambi No. 592 Tahun 2007 sejak 3 Oktober 2009[20] namun tidak
memiliki izin lingkungan[21] tidak
dibenarkan secara hukum. Sehingga aktivitas apapun bertentangan dengan hukum.
Begitu
aktivitas PT. BBS yang memiliki izin lokasi berdasarkan SK Bupati Muara Jambi
No. 22 Tahun 2011 tertanggal 31 Januari 2011 dan IUP-B berdasarkan SK Bupati
Muara Jambi No. 407 Tahun 2011 tertanggal 22 Oktober 2011 hingga tanggal 9
Desember 2016 harus mempunyai izin lingkungan.
Sedangkan
dari issu HTI, kesemua desa berhadapan dengan PT. WKS. PT. WKS mendasarkan
kepada Dasar hukum PT WKS melakukan aktivitas disandarkan kepada SK Kakanwilhut
Provinsi Jambi No.165/HTI/Wilhut/Iva/1989 tanggal 15 Desember 1989 SK. MENTERI
KEHUTANAN NO. 744/KPTS-II/1996, Tanggal 25 Nopember 1996, SK. Menhut No.
64/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001, SK. Menteri Kehutanan No.
228/Menhut-II/2004, tanggal 09 Juli 2004, SK. Menteri Kehutanan No.
346/Menhut-II/2004 tanggal 10 September 2004 maka dapat dilihat kepada konflik
yang terjadi di lapangan.
SK
Menhut No. 744/1996 menjadikan dasar untuk melakukan aktivitas di Desa Sungai
Baung. Aktivitas seperti masuk ke wilayah Desa Sungai Baung juga tanpa
sosialisasi dengan masyarakat setempat. Sedangkan yang terjadi dimulainya
konflik dimulai dari satu hamparan yang termasuk kedalam Desa Sungsang, Desa
Kelagian, Desa Sungai Rambai, Desa Lumahan dan Desa Suak Samin. Dimulai tahun
2002. Sedangkan Desa Sungai Baung dimulai dua tahun sebelumnya[22].
Sehingga
mengakibatkan konflik seluas 300 ha. Selain itu juga banyak wilayah Desa Sungai
Baung yang di bebani izin HTI PT.Wira Karya Sakti tanpa sepengetahuan
masyarakat, yang akhirnya timbul persoalan antara Perusahaan dan masyarakat.
Begitu
juga konflik yang terjadi di Desa Suak Samin dan Desa Rukam.
Sedangkan
SK Menhut No. 64/2001 kemudian mengakibatkan konflik di Desa Sungsang, Desa
Kelagian, Desa Sungai Rambai, Desa Lumahan. Keempat desa merupakan hamparan
yang terdapat didalam izin SK Menhut 64/2001.
Pola
perampasan tanah baik dengan cara seperti “tawaran kemitraan” seperti yang
terjadi di Desa Dusun Sukasari dan Dusun Mekarsari (Desa Sungsang), melakukan
penggarapan lahan dan membuat kanal-kanal di Dusun Rantau Panjang (Desa
kelagian), atau dengan cara penyerobotan dan perluasan lahan yang terjadi di
Desa Suak Samin. Atau dengan cara menggusur yang terjadi di Desa Sungai Rambai
dan Dusun Johor Jaya (Desa Lumahan) atau tanpa sosialisasi yang terjadi di Desa
Sungai Baung. Sedangkan yang terjadi di Desa Rukam adalah modus membersihkan
lahan yang terbakar namun kemudian dilanjutkan dengan menggusur tanaman
masyarakat.
Sebagaimana
disampaikan Louis R. Pondy merumuskan lima episode konflik yang disebut “Pondys
Model of Organizational Conflict”. Menurutnya, konflik berkembang melalui lima
fase secara berurutan, yaitu: Laten Conflict, Perceived Conflict, Felt
Conflict, Manifest Conflict, dan Conflict Aftermath.
Maka
keseluruhan Desa yang berkonflik baik isu sawit maupun isu HTI kemudian
dikategorikan sebagai konflik terbuka (manifest conflict).
Berbagai
data-data yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan analisis mendalam.
Pendekatan yang digunakan seperti anatomi konflik, akar konflik, factor-faktor
terjadinya konflik, stratifikasi konflik, analisis konflik, struktur
konflik, teori penyebab konflik
diperlukan. Selain akan memotret utuh didalam melihat konflik, berbagai teori
akan memudahkan untuk memetakan konflik dan dapat membantu untuk
menyelesaikannya (resolusi konflik).
Untuk
memperkuat analisis konflik, maka analisis kebijakan diperlukan. Selain
memotret konflik dari berbagai actor, analisis kebijakan diperlukan sebagai
bentuk tanggungjawab negara, kebijakan negara dan berbagai protocol yang
menempatkan masyarakat sebagai subyek konflik.
Konflik
adalah pertentangan kekuatan yang secara eksklusif merupakan satu aspek
kekuatan social. Setiap konflik social menyangkut kepentingan. Dalam pandangan
R.J Rummel, konflik adalah suatu proses dari kekuatan yang berinteraksi dalam
kurun waktu menuju keseimbangan kekuatan[23].
Di
sektor kehutanan, konflik lahan lebih sering ditemukan didalam dan di sekitar
11 juta hektar konsesi HTI (sekitar 9% dari seluruh luas kawasan hutan) di mana
perusahaan diberikan konsesi oleh pemerintah untuk mengembangkan hutan tanaman
dengan masa berlakunya izin selama 43 sampai 100 tahun. Pada banyak kasus,
konsesi ini bertumpang tindih dengan area yang dimiliki, diduduki, dan/atau
dikelola oleh masyarakat setempat, dan banyak di antaranya dikelola di bawah
aturan hukum adat. Undang-undang dasar Indonesia mengakui hukum negara dan hak
tenurial adat dalam sistem penatausahaan lahan dan sumber daya hutan[24].Selain
perampasan tanah (land grabbing), konflik juga disebabkan kepada tenurial dan
ketidakadilan pembagian manfaat. Perampasan tanah merupakan penyumbang terbesar
dari penyebab konflik.
Dalam
term terminologi konflik, penulis menggunakan pendekatan “dimaknai sebagai
pertentangan kepentingan antara kedua belah pihak. Dalam bacaan ini kemudian
disinkronkan dengan kepentingan antara masyarakat dengan pihak lain (baik
perusahaan maupun akibat kebijakan negara)[25].
B.
Terminologi
Konflik
Konflik
antara petani dengan PT. WKS sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Didalam
menganalisis kesemua Desa dianalisis dengan mendasarkan kepada izin HTI PT. WKS
dari SK No. 744/1996 dan PT WKS dan SK Menteri Kehutanan No. 346/Menhut-II/2004
(Add.III) tanggal 10 September 2004.
Selain itu juga dianalisis dari SK Menteri Kehutanan No. 64/Kpts-II/2001
tanggal 15 Maret 2001.
Dengan
terminologi konflik, maka Dinas Kehutanan Propinsi Jambi menyebutkan, pada
umumnya konflik lahan dan hutan yang terjadi di wilayah Provinsi Jambi
disebabkan oleh perebutan penguasaan lahan baik yang berada di dalam kawasan
hutan maupun yang berada di luar kawasan hutan antara masyarakat setempat atau
penduduk lokal dengan para kaum pendatang yang diidentikkan dengan investor
yang bergerak di bidang HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan perkebunan
karet.
Walaupun
ada juga konflik itu terjadi antara masyarakat setempat dengan para
transmigran, atau antara masyarakat setempat dengan pemerintah daerah setempat[26].
Penyebab
timbulnya konflik lahan dan hutan di wilayah Provinsi Jambi ada 8 (delapan)
jenis yaitu :
1).
Keberadaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
2).
Keberadaan Hutan Tanaman Industri (HTI).
3).
Keberadaan Hutan Restorasi.
4).
Keberadaan Program Pemerintah Daerah.
5).
Keberadaan Perkebunan Kelapa Sawit milik perusahaan.
6).
Keberadaan Perkebunan Karet milik perusahaan.
7).
Keberadaan Perusahaan Perorangan, dan
8).
Keberadaan Lokasi Transmigrasi.
C.
Analisis
Konflik
Didalam
melakukan analisis konflik, maka pendekatan konflik yang digunakan oleh PT WKS
juga menjadi bahan kajian untuk melihat konflik secara utuh.
APP
sendiri mendefinisikan konflik dengna menentukan tipologi[27]
yaitu kategori konflik pertama dengan mendefinisikan sebagai Desa/Dusun/Kampung
dalam konsesi sebelum adanya konsesi. Kategori konflik kedua dengan
mendefinisikan Desa/Dusun/kampong dalam konsensi sebelum adanya konsensi.
Kategori konflik ketiga yaitu tanah ulayat. Kategori konflik ke empat yaitu
tanah untuk pemenuhan kebutuhan hidup (livelihood). Kategori konflik kelima
yaitu tanah yang didapatkan berdasarkan jual beli. Kategori konflik keenam
yaitu spekulan. Kategori konflik ketuju yaitu penggunaan areal konsesi non
prosedural yaitu oleh pihak lain yaitu Pemerintah dan kategori konflik
menggunakan pendekatan tumpang tindih (overlap).
Catatan
ini merupakan rangkaian panjang dari surat dari Pemerintah Propinsi Jambi yang
menyebutkan adanya berbagai opsi penyelesaian terhadap areal APP. Baik dengan
model enclave, ganti rugi/kompensasi dan penegakkan hukum[28].
Bandingkan
dengan model pengamatan dari APP yang melihat konflik dengan tiga bentuk yaitu
(1). Klaim. Area dalam konsesi yang diakui secara sepihak oleh pihak lain,
sesudah keluarnya izin IUPHHKHT. (2). Okupasi. Areal dalam konsesi yang telah
dikuasai dan diusahakan sebelum terbitnya izin IUPHHKHT. (3). Overlapping.
Areal dalam konsesi yang diakui oleh pihak lain atas dasar adanya perizinan
dari instansi berwenang. Dengan melihat perspektif Pemerintah Propinsi Jambi
dan pandangan dari APP melihat konflik menyebabkan persoalan pokok dari konflik
itu.
Atau
dengan kata lain adanya perbedaan klaim. Memperbandingkan model pengamatan dari APP yang melihat
konflik dengan tiga bentuk yaitu (1) Klaim. Area dalam konsesi yang diakui
secara sepihak oleh pihak lain, sesudah keluarnya izin IUPHHKHT. (2) Okupasi.
Areal dalam konsesi yang telah dikuasai dan diusahakan sebelum terbitnya izin
IUPHHKHT. (3) Overlapping. Areal dalam
konsesi yang diakui oleh pihak lain atas dasar adanya perizinan dari instansi
berwenang
D.
Sumber
Konflik
Dari
data yang dipaparkan kemudian menjelaskan akar konflik semula adalah berangkat
dari persoalan (a) ekonomi, (b), identitas[29],
Dari
pendekatan ekonomi, pemberian izin kemudian “merampas” kehidupan masyarakat.
Tempat-tempat yang semula sebagai “tempat ikan”, pohon, jelutung, rotan
kemudian diratakan. Akibatnya merugikan masyarakat sehingga izin yang diberikan
kemudian “meninggalkan persoalan ekonomi”.
Sedangkan
dari pendekatan identitas digunakan untuk memotret bagaimana masyarakat
menempatkan tanah, tempat yang dilindungi sebagai symbol-simbol dari kebudayaan
yang tidak terpisahkan dari kehidupan peradaban masyarakat.
Penamaan
tempat-tempat seperti Di Desa Rukam
Penggusuran dan perusakan tempat mencari ikan seperti Buluran muning
darat, Buluran muning laut, Lubuk tapa, Danau cempedak, Danau Gerang, Danau
empang palang, Sematang tawing, Buluran buang. Atau Di Desa Suak Samin kemudian
hilangnya Nama tempat mencari kayu di Kuala Belaga, Simpang Jadam, Air Tenang
4. Bidawang, Lintas Panjang (Daerah Senyerang ) dan Lintas Senyerang (Daerah
Senyerang ) adalah Melambangkan kebudayaan, cara pandang, penghormatan bahkan
bentuk perlindungan masyarakat terhadap alam. Namun tempat-tempat itu kemudian
tinggal nama dan kemudian hilang bersamaannya waktu.
Dengan
terjadinya konflik maka kemudian mengakibatkan hilangnya tempat-tempat seperti
(1) Lahan tempat mencari kayu alam (2) Tempat masyarakat mencari ikan (3) Tempat masyrakat mencari rotan/dahan (Desa Sungsang) atau (1).
Masyarakat tidak mengambil kayu untuk dijadikan rumah dan kayu bakar, (2)
Hilang nya tempat mencari ikan bagi nelayan seperti ikan bujuk dan ikan lele,
(3) Hilang nya lahan pertanian untuk bercocok tanam (Desa Kelagian). Atau
Hilangnya tempat mencari rotan dan (2) Hilangnya tempat menyadap (Desa Sungai
Rambai). Atau Tempat mencari ikan seperti Londang. Dan Tempat mencari madu.
Selain itu juga Hilangnya jenis tanaman Hilangnya hasil jelutung (Desa
Lumahan).
Menurut
Simon[30], factor Konflik
yaitu pertama, teori hubungan masyarakat (community relations theory), teori
negosiasi prinsip (principled negotiation theory), Ketiga, teori kebutuhan
manusia (human needs theory, Keempat, teori identitas (identity teory), Kelima,
teori transformasi konflik (intercultural miscommunication theory). Konflik
yang terjadi dapat dilihat yaitu teori hubungan masyarakat, teori kebutuhan
manusia dan teori identitas.
Sedangkan
untuk mengetahui Penyebab konflik digunakan alat analisis konflik dengan
menggunakan metode “stage of conflict”, “time line” dan mapping conflict”[31]. Ketiganya
kemudian dapat memotret sehingga dapat membaca konflik secara utuh.
Keseluruhan
konflik yang dianalisis merupakan tipe konflik yang terbuka (open conflict).
Masyarakat pemilik tanah sudah menyadari problema konflik dan kemudian sudah
menyampaikan protes baik kepada Pemerintah maupun kepada perusahaan. Konflik
terbuka juga merupakan bagian dari perjuangan masyarakat yang ditandai dengan
kronologis yang cukup panjang didalam memperjuangkan kepentingannya.
Namun
konflik yang terjadi tidak menyebabkan perubahan kebudayaan sebagaimana
dipaparkan oleh Soekanto dan Sulistyowati[32].
E.
Anatomi
Konflik
Didalam
melakukan analisis konflik maka anatomi konflik diperlukan. Didalam
Undang-undang nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, konflik
sosial (disebut juga konflik) didefinisikan sebagai perseteruan dan/atau
benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang
berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan
ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional
dan menghambat pembangunan nasional.
Berdasarkan
uraian di atas Anatomi Konflik Sosial dapat diartikan satu rangkaian
organ-organ atau unsur-unsur yang terkait dengan proses terjadinya konflik,
yaitu (1) Penyebab terjadinya konflik, (2) Pihak yang berkonflik,
(3) Proses terjadinya konflik, (4) Dampak terjadinya konflik, 5)
Proses penyelesaian konflik.
Didalam
melihat konflik lebih utuh maka pendekatan digunakan 1) kepentingan (interest),
2) kapasitas (capacity), dan kesempatan (opportunity). Selain itu juga dilihat
pengaruh konflik yang mempengaruhi terjadi tindakan konflik, diantaranya power
(kekuatan), threat (ancaman), dan facility (dukungan), baik dalam bentuk
materiil maupun non materii. Tentu dalam pencapaian ini tidak bisa lepas dari
peranan aktor (agent), sebagai bentuk tindakan sosial[33].
Analisis
Dahrendorf kemudian diperkuat oleh Parsons yang melihat pada struktur
masyarakat dan inter-relasi berbagai struktur tersebut. Parsons kemudian
dikenal meletakkan dasar teori fungsionalisme structural[34].
Menggunakan
analisis Parsons maka untuk melihat fungsionalisme structural dapat dilihat
fungsi yaitu Adaptasi (A), goal attainment (G), integrase (I) dan Latensi
(L).Empat fungsi tersebut wajib dimiliki oleh semua system agar tetap bertahan
(survive). Persyaratan fungsional dari sistem sosial diantaranya: sistem sosial
harus terstuktur (tertata) sehingga dapat beroperasi dalam hubungan yang
harmonis dengan sisten lain dan untuk menjaga kelangsungan hidupnya system
social harus mendapatkan dukungan dari sistem lain.
Pendekatan
utama yang digunakan untuk memahami fenomena konflik yang diamati adalah
munculnya perilaku anomi dalam masyarakat. Anomi sosial muncul ketika terjadi
ketimpangan (inequality) antara institutional means dengan cultural goals
Konflik
berakar disebabkan “ketidakadilan” structural antara perusahaan, negara dan
masyarakat pemilik tanah. Soekanto dan Sulistyowati kemudian menyebutkan
“Pola-pola dan embrio konflik yang terjadi di masyarakat pada beberapa aspek
disebabkan pula oleh masalah ketidaksetaraan”[35].
Konflik
kemudian semakin melebar setelah “identitas konflik” berhasil diwujudkan,
analisis ekonomi, Pengaruh tokoh informal dan pola komunikasi. Pendekatan
“identitas konflik, analisis ekonomi, pengaruh tokoh dan pola komunikasi
kemudian dijelaskan oleh Johnson didalam buku klasiknya “Teori Sosiologi –
Klasik dan Modern”[36],(a) Ada
isu-kritikal yang menjadi perhatian
bersama (commonly problematized) dari
para pihak berbeda
kepentingan, (b) Ada inkompatibilitas harapan/kepentingan yang bersangkut paut
dengan sebuah
objek perhatian para pihak bertikai, (c) Ada kompetisi dan
ketegangan psikososial
yang terus dipelihara oleh kelompok- kelompok berbeda kepentingan
sehingga memicu konflik sosial lebih lanjut, (d) “Masa kematangan untuk
perpecahan”, (e) Clash yang bisa disertai dengan violence (kerusakan dan
kekacauan).
Didalam
menganalisis konflik, pendekatan stratifikasi konflik digunakan. Sifat
“keakuan” dan asas “izin” menjadi menjadi dasar terjadinya konflik. Sifat
“keakuan” menggunaan berbagai “izin” merupakan penyebab konflik. Sifat keakuan
dan asas izin kemudian menempatkan Pemerintah dan perusahaan sebagai kelas
menengah. Terdidik, menguasai berbagai peraturan di sector kehutanan dan
perkebunan. Selain itu juga dapat menggunakan artikulasi dan problema konflik
sehingga mudah dipahami didalam berbagai pertemuan.
Sedangkan
masyarakat yang sebagian besar sudah kehilangan tanah kemudian berdampak
ekonomi. Cenderung frontal didalam menyampaikan gagasannya, tidak mudah percaya
kepada siapapun diakibatkan proses panjang konflik. Namun menyampaikan gagasan
dan problemanya cukup jernih sehingga dapat membantu proses lebih baik.
Namun
didalam melakukan pertemuan berbagai forum, peran pendamping seperti Walhi Jambi,
jaringan masyarakat Gambut Jambi memainkan peran-peran yang cukup strategis dan
vital.
Kemampuan
menterjemahkan pengetahuan masyarakat menjadi pengetahuan modern membuat
masyarakat mendapatkan asupan informasi yang penting.
Penguasaan
wilayah (tembo) yang kemudian dikonversi kedalam bentuk peta melalui kegiatan
pemetaan partisipatif memudahkan pembahasan menjadi lebih focus, mengerucut dan
memudahkan menentukan alas haknya.
Menurut
Dahrendrof, kekuasaan dan wewenang merupakan sumber daya yang langka terhadap
terjadinya pertikaian, sehingga menjadi sumber utama terjadinya konflik dan
perubahan pada pola-pola yang telah melembaga, antara yang berkuasa dan yang
dikuasai, dimana peranan yang berkuasa mempunyai kepentingan untuk
mempertahankan keadaan dan yang dikuasai berkepentingan untuk membagi kembali
kekuasaan atau wewenang[37].
Selain
akan memotret utuh didalam melihat konflik, berbagai teori akan memudahkan
untuk memetakan konflik dan dapat membantu untuk menyelesaikannya (resolusi
konflik).
Untuk
mempertajam analisis konflik maka diperlukan “Situasi konflik” sebagaimana
disampaikan oleh Coser. Coser kemudian menyampaikan situasi konflik dapat
dibedakan konflik yang realistic dan konflik yang tidak realistic[38].
Konflik
realistic berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang
terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para
partisipan dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Sedangkan
konflik yang tidak realistic adalah konflik yang bukan berasal dari
tujuan-tujuan saingan yang antagonis tetapi dari kebutuhan untuk meredakan.
Namun
demikian dimensi kebutuhan dasar manusia dalam konflik kepentingan selalu
mengalami proses kompleksitas kebutuhan. Kebutuhan terhadap kekayaan bisa
berkembang menjadi kebutuhan kekuasaan, status, sampai identitas. Kompleksitas
sumber konflik ini mempengaruhi bagaimana kelembagaan pengelolaan konflik harus
diciptakan dan dijalankan.
Kebutuhan
terhadap kekayaan bisa berkembang menjadi kebutuhan kekuasaan, status, sampai
identitas. Kompleksitas sumber konflik ini mempengaruhi bagaimana kelembagaan
pengelolaan konflik harus diciptakan dan dijalankan.
Konflik
juga disebabkan “cara pandang” melihat persoalan tanah. Masyarakat memandang
tanah tidak semata-mata tidak hanya sebatas unsur bumi, tetapi lebih dari itu
menyangkut lahan tempat tinggal, lahan pertanian, atau lahan pemakaman yang
didalamnya mengandung nilai- nilai emosional, religius, maupun status sosial.
Pemahaman,
pengetahuan masyarakat tentang tanah juga menyangkut relasi manusia dengna
alam. Sejak nenek moyang mereka menempati wilayah tersebut, sudah ada aturan
adat dan sanksi hukum adat khas setempat tentang bagaimana berhadapan atau
memperlakukan sumber daya alam, termasuk hutan yang ada di wilayah mereka. Mereka
memiliki kearifan lokal yang tinggi. Kearifan lokal tersebut ternyata mampu
menjaga lingkungan hidupnya, karena itulah satu-satunya saksi sejarah yang
hidup yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Bagi mereka tidak ada yang
lebih berharga dan istimewa selain melestarikan hutan yang diwariskan nenek
moyang mereka, karena di sanalah mereka dapat menggantungkan hidupnya baik
berupa hasil hutan, juga sumber air yang dapat mengairi sawah dan air bersih
untuk kehidupan sehari-hari. Dipraktekkan, diajarkan, diwariskan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya, Sehingga membentuk perilaku dan penghormatan
terhadap alam[39].
Menurut
Pujo Suharso, Atkins membagi “Rent” ke dalam 5 jenis: 1) Rent Recardian, 2)
Rent Lokasi, 3) Ren Lingkungan, 4) Rent Sosial dan 5). Rent politik[40].
Penghormatan
terhadap tempat-tempat seperti Buluran muning darat, Buluran muning laut, Lubuk
tapa, Danau cempedak, Danau Gerang, Danau empang palang, Sematang tawing,
Buluran buang, Kuala Belaga, Simpang Jadam, Air Tenang 4. Bidawang, Lintas
Panjang, Lintas Senyerang (Daerah Senyerang ) adalah Melambangkan kebudayaan,
cara pandang, penghormatan bahkan bentuk perlindungan masyarakat terhadap alam.
Tempat itu juga berfungsi sebagai Lahan tempat mencari kayu alam, mencari ikan,
mencari rotan/dahan, mencari ikan bagi nelayan seperti ikan bujuk dan ikan
lele, lahan pertanian untuk bercocok tanam, tempat menyadap, Tempat mencari
madu dan Hilangnya jenis tanaman Hilangnya hasil jelutung. Mengutip Atkins maka
tanah kemudian berfungsi sebagai Rent Lingkungan dan Rent Sosial.
Menurut
Paul Wehr, kompleksitas sumber konflik tersebut juga mendorong
kelompok-kelompok kepentingan melakukan mobilisasi sumber daya konflik. Sumber
daya konflik merupakan modal-modal yang dimiliki oleh satu kelompok kepentingan
untuk mencapai kemenangan dalam relasi konflik dengan kelompok lain. Mobilisasi
sumber daya konflik muncul dalam bentuk strategi konflik (conflict strategy)
untuk menciptakan proses-proses dan hasil yang menguntungkan satu kelompok
kepentingan[41].
Strategi
konflik pada praktiknya muncul dalam bentuk- bentuk perilaku tertentu. Pruit
dan Rubin mengkategorikan lima strategi konflik kelompok-kelompok kepentingan,
yaitu strategi contending (keras), withdrawing (menarik diri), yielding
(menyerahkan keputusan), compromy, dan problem solving (pemecahan masalah)[42]
Kebutuhan
terhadap kekayaan bisa berkembang menjadi kebutuhan kekuasaan, status, sampai
identitas. Kompleksitas sumber konflik ini mempengaruhi bagaimana kelembagaan
pengelolaan konflik harus diciptakan dan dijalankan.
Didalam
memotret konflik maka bangunan konflik dapat dilihat bagan dibawah ini.
F.
Konfigurasi
Konflik
Bagan 1
PEMERINTAH
PERUSAHAAN
KONFLIK MASYARAKAT
1.
Pemerintah
menjadi pemberi izin kepada perusahaan
2.
Perusahaan
menerima izin bertanggungjawab terhadap areal yang telah diberikan
3.
Masyaraka
pemilik tanah berjuang untuk mempertahankan tanahnya.
Konfigurasi
konflik melalui bagan 1 melambangkan
“konflik terjadi berlangsung pada aras antarruang kekuasaan.
Konfigurasi
konflik menggambarkan perebutan tanah antara masyarakat dengan perusahaan.
Didalam analisis isu HTI, Dinas Kehutanan Propinsi Jambi menyebutkan, pada
umumnya konflik lahan dan hutan yang terjadi di wilayah Provinsi Jambi
disebabkan oleh perebutan penguasaan lahan baik yang berada di dalam kawasan
hutan maupun yang berada di luar kawasan hutan antara masyarakat setempat atau
penduduk lokal dengan para kaum pendatang yang diidentikkan dengan investor
yang bergerak di bidang HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan perkebunan karet.
Kepentingan
negara memastikan hutan tetap terjaga namun masyarakat harus sejahtera.
Sedangkan model penyelesaian yang menjadi kebijakan negara adalah (a) enclave,
(b) ganti rugi/kompensasi dan (c) penegakkan hukum.
Sedangkan
perusahaan setelah menerima izin dari negara maka kemudian bertanggungjawab
untuk menjaga izin yang telah diberikan. Makna ini dapat dilihat didalam
berbagai izin yang telah diberikan kepada perusahaan.
Cara-cara
yang dilakukan oleh perusahaan selain bertentangan, tidak adanya Penghormatan
terhadap hak masyarakat terhadap tanah diabaikan oleh perusahaan. Padahal
perusahaan hanyalah mendapatkan izin sebagaiman diberikan oleh negara. Namun
dengan dalih “izin”, perusahaan kemudian mengabaikan hak sebagaimana diatur
didalam pasal 16 UU No. 5 Tahun 1960[43].
Persoalan
yang timbul disebabkan selain menimbulkan akibat hukum juga tidak memperhatikan
hak-hak masyarakat sebagaimana telah dilindungi berbagai ketentuan peraturan,
tidak menghargai kepemilikan terhadap tanah, persoalan lingkungan dan kerugian
terjadi di masyarakat. Sehingga menimbulkan kerugian baik terhadap lingkungan
hidup maupun kerugian materil masyarakat.
Sedangkan
masyarakat yang telah lama berada disana berkepentingna untuk
memperjuangkannya. Selain tanah adalah identitas juga masyarakat menghormati
tempat-tempat yang dlindungi sebagai amanat dari nenek moyang.
Identitas
masyarakat diwujudkan dengan keberadaan Desa sebelum izin maka seluruh Desa
adalah Desa-desa yang mempunyai hak terhadap wilayahnya.
Ketiga
actor kemudian berjuang untuk menguasai tanah sehingga menimbulkan konflik yang
belum berkesudahan.
Problema
“dalih” perusahaan menempatkan “izin” diatas “hak” merupakan persoalan serius
dalam persoalan konflik. Didalam melihat konflik, perbedaan paradigma mengenai hak
dan izin sering menimbulkan tafsiran yang keliru.
Disatu
sisi masyarakat mempunyai hak terhadap tanah berangkat dari hukum adat. Selain
dapat membuktikan keberadaan masyarakat hukum adat dan hubungan antara
masyarakat dengan kawasan hutan lama diusahakan dan ditanami oleh masyarakat
sebelum diserobot oleh perusahaan.
Namun
disisi lain pihak perusahaan telah mendapatkan izin dari Pemerintah. Pihak
perusahaan yang mendapatkan izin dari Pemerintah kemudian menganggap sebagai
kawasan yang sah dan memandang masyarakat sebagai perambah (illegal).
Salah
satu upaya penyelesaian adalah pihak perusahaan harus memberikan ruang didalam
model penyelesaian terhadap hak pihak ketiga dalam hal ini adalah hak terhadap
hutan masyarakat.
Konfigurasi
konflik melalui bagan 1 melambangkan
“konflik terjadi berlangsung pada aras antarruang kekuasaan”. R Osborne dan B.
Van Loon menyebutkan “terdapat tiga ruang kekuasaan yang dikenal dalam sebuah
system social kemasyarakatan yaitu “ruang kekuasaan negara’, “masyarakat sipil
atau kolektivitas social” dan sector swasta[44].
Didalam
membahas konflik, tema dapat dikategorikan. Pertama. Masyarakat yang memiliki
tanah berhadapan dengan negara disatu sisi. Dan perusahaan disisi lain.
Pendekatan yang digunakan selain belum mengakui hak masyarakat juga masih
memandang tanpa pembuktian oleh negara kemudian menempatkan sebagai
perambah/penggarap.
Selain
daripada membicarakan tanah, tema yang lain berupa kemitraan yang tidak
seimbang antara masyarakat dengan perusahaan. Kemitraan yang dibangun belum
menempatkan masyarakat sebagai pemilik tanah. Belum lagi kemitraan yang tidak
terbuka, pemilik tanah tidak menjadi bagian dari kemitraan.
Proses
mencapai pemecahan akar masalah dalam relasi konflik, menurut Johan Galtung
(2007) secara ideal perlu menggunakan transcend approach atau pendekatan
transendental yang berarti adanya kesadaran dan keahlian pihak berkonflik untuk
menemukan bentuk tujuan baru yang bisa menguntungkan seluruh pihak. Setiap
strategi konflik akan muncul dalam bentuk tindakan individual maupun kolektif
yang bervariasi dan memiliki konsekuensinya masing-masing.
Kekerasan
mempunyai dimensi yang luas. Jika kita mengutip pendapat Galtung (2004)
kekerasan bisa muncul dalam dimensi struktural dan langsung. Kekerasan
struktural menghasilkan ketidakadilan yang diciptakan oleh struktur kekuasaan,
baik secara politik maupun ekonomi. Kekerasan struktural menciptakan rasa tidak
aman, melahirkan pengangguran akibat sistem tidak menerima sumberdaya manusia
di lingkungannya, tidak adanya hak untuk mengakses pendidikan secara bebas dan
adil, dan kematian akibat kelaparan pada saat lingkungan menyediakan kekayaan
akan alam. Kekerasan struktural inilah yang mungkin dirasakan secara nyata oleh
masyarakat yang melakukan gerakan protes yang menjadi korban kekerasan
struktural[45].
Jan
Kooiman dalam Governing As Governance (2003) menyebutkan jika birokrasi
pemerintahan cenderung menggunakan tindakan berlebihan legal tanpa kecerdasan
sosiologis maka akan muncul kontradiksi dalam implementasi kebijakan, yaitu
ketidakharmonian antara praktik pemerintah dan warga.
Sedangkan
menurut John Keane negara tidak demokratis dicirikan oleh penggunaan kekerasan
yang ditujukan untuk meneror dan membunuh rakyatnya sendiri untuk
kepentingan-kepentingan sekitar kekuasaan[46].
Dalam
konteks demokrasi seharusnya bisa dikreasi oleh mekanisme deliberatif yang
mengutamakan dialog, negosiasi dan paritisipasi aktif seluruh kekuatan
pembangunan, yaitu pemda, warga dan swasta (investor).
Mekanisme
deliberatif dalam pembangunan yang difasilitasi oleh struktur kelembagaan
pemerintah daerah, eksekutif dan legislatif, akan menjadi katup penyelamat
(safety valve) dari konflik yang muncul dalam proses pembangunan[47].
Mekanisme
deliberatif sebagai bagian sistem demokrasi yang difasilitasi oleh struktur
kelembagaan pemerintahan daerah harus dipercayai untuk menyelesaikan konflik
yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan. Konflik yang muncul anta- ra warga
dan pemerintah daerah serta investor dalam konteks pembangunan harus
benar-benar mengoptimalkan mekanisme politik demokratis ini. Dialog dan
negosiasi akan menghasilkan penyelesaian konflik yang lebih bermanfaat bagi
masyarakat, investor dan pemerintah daerah.
Karena
di dalam mekanisme deliberatif seluruh stakeholders berusaha menemukan
pemecahan masalah yang tepat dan positif untuk seluruh pihak. Proses alami
dialog kepentingan, selama proses deliberatif dilandaskan pada kesetaraan dan
bebas intimidasi maupun kooptasi, akan menghasilkan kesepakatan dalam
pembangunan yang merefleksikan aspirasi semua pihak.
Dalam
periode panjang sejak tahun 2002 – 2012, berbagai eskalasi konflik terus naik
dan berakhir dengan kekerasan, perampasan tanah, penangkapan hingga masyarakat
tidak mendapatkan akses dan haknya.
Pendekatan
kekerasan (violence approach) masih digunakan sehingga menimbulkan reaksi
perlawanan.
G.
Eskalasi
Konflik
Namun
sejak tahun 2012, PT. WKS telah menawarkan berbagai model penyelesaian. Baik
menggunakan perangkat yang disiapkan perusahaan yang dideklarasikan seperti
“Forest Conservation Policy” maupun berbagai forum negosiasi dengan masyarakat.
PT. WKS kemudian melihat konflik dengna meletakkan sebagai bentuk Konflik yaitu
(a) klaim, (b) okupasi, (c) overlap). Data kemudian menunjukkan luas
konflik.
Dari
data PT. WKS, kemudian dapat dilihat :
1.
Di dalam
areal kerja PT Wirakarya Sakti terdapat areal konflik (bermasalah dengan pihak
ketiga) s/d tahun 2014 teridentifikasi sebanyak 152 kasus dengan luas ± 68.898
Ha dengan rincian :
1. Klaim yaitu pengakuan pihak ketiga yang muncul setelah terbitnya
izin
perusahaan
seluas ± 3.169 Ha. Saat ini areal klaim tersebut biasanya berupa
belukar, tebangan dan
kebun muda.
2.
Okupasi
yaitu kebun garapan masyarakat yang berada di areal kerja
perusahaan biasanya
telah ada sejak sebelum terbitnya izin perusahaan seluas ± 62.627 Ha. Saat ini
pada umumnya berupa kebun produktif dan sebagian pemukiman.
3.
Overlaping /
Tumpang Tindih yaitu areal yang masuk izin usaha perusahaan lain seluas ± 3.102
Ha, berupa hutan sekunder, belukar, kebun, infrastruktur dan penggunaan lain
diluar sektor kehutanan.
Permasalahan
ini belum termasuk areal yang diklaim oleh masyarakat 5 Kabupaten di bawah
bendera Persatuan Petani Jambi (PPJ) serta Komunitas Suku Anak Dalam (SAD).
Perkiraan klaim PPJ
seluas ) ± 37.894 Ha terdiri dari kebun 20%, Tanaman Pokok 70%, sisanya kawasan
lindung dan infrastruktur.
Perkiraan klaim komunitas Suku Anak Dalam
seluas ± 400 Ha seluruhnya berupa tanaman pokok perusahaan.
Selain
itu trend Dinas Kehutanan Propinsi Jambi yang menempatkan masyarakat sekitar
kawasan hutan juga berhak menikmati hasil dari haknya dari hutan.
Menempatkat
masyarakat berhak menikmati hasil dan haknya dari hutan kemudian menempatkan
Dinas Kehutanan Propinsi Jambi menjalankan fungsionalis struktur. Meminjam
istilah Robert K Merton, “fungsionalis structural” [48]. Kesatuan fungsional masyarakat yang dapat
dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial
bekerjasama dalam suatu tingkatan keselarasan atau konsistensi internal yang
memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi
atau diatur.
Didalam
membangun resolusi konflik maka diperlukan berbagai model komunikasi untuk
mengurangi konflik[49].
Dimulai
dengan Model encoding-decoding. Model ini memandang komunikasi manusia sebagai
masalah pengkodean informasi (misalnya, merumuskan kalimat), transmisi pesan
(misalnya, berbicara), dan decoding pesan (misalnya, mendengarkan dan
pemahaman). Komunikasi yang sukses membutuhkan saluran yang jelas transmisi,
dan kode bersama. Dalam paradigma pertama (encoding-decoding) pula hal yang
menjadi bahasan penting terkait komunikasi efektif jika pesan-pesan mempunyai
arti atau makna yang sama antara si penerima dan pemberi pesan.
Selanjutnya
Model intensionalis mengakui bahwa kata-kata yang sama dapat memiliki arti yang
berbeda. Pada model komunikasi ini melibatkan,
mengakui niat komunikatif masing-masing. Model ketiga, Perspektif Taking
mengarahkan speaker ketika memutuskan apa yang harus dikatakan, untuk
mempertimbangkan apa yang pendengar mereka akan membawa mereka berarti. Paradigma ketiga ini mengakui
bahwa individu dengan bahasa dan budaya yang sama memiliki perspektif yang
berbeda pada dunia. Model ini mengarahkan speakeru ntuk merancang pesan mereka
agar sesuai perspektif penonton mereka.
Model
ke empat adalah Model dialogis, memandang komunikasi sebagai kooperatif
(cooperative), proses kolaboratif. Makna muncul dari situasi komunikatif, dan
hanya dapat dipahami dalam konteks itu.
Prinsip
lima adalah: Jadilah pendengar yang aktif. Dalam situasi konflik, enam prinsip
menunjukkan fokus awalnya pada pembentukan kondisi yang memungkinkan komunikasi
yang efektif terjadi. Kerja sama bahwa komunikasi memerlukan, setelah dibentuk,
mungkin generalisasi kekonteks lain[50].
Sementara
itu disebutkan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam resolusi
konflik. Pertama; berkompetisi. Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba
memaksakan kepentingan sendiri di atas kepentingan pihak lain. Kedua. menghindari konflik. Tindakan ini
dilakukan jika salah satu pihak menghindar
dari situasi tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan
ini hanyalah menunda konflik yang terjadi. Ketiga; Akomodasi, yaitu jika
kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain
mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga sebagai self
sacrifying behaviour.
Keempat;
Kompromi atau Negosiasi. Tindakan ini dapat dilakukan jika kedua belah pihak
merasa bahwa kedua hal tersebut sama–sama penting dan hubungan baik menjadi
yang utama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk
mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution).
Kelima;
Berkolaborasi atau Bekerjasama. Menciptakan situasi menang-menang dengan saling
bekerjasama (win-win solution). Pemecahan sama-sama menang
dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama. Perlu adanya
satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan
saling memperhatikan satu sama lainnya.
Prinsip
keadilan merupakan bagian terpenting dalam mengatur kehidupan bersama. Di sini,
prinsip keadilan dibutuhkan sehingga dalam sebuah kelompok dapat diciptakan
relasi-relasi yang adil, saling menguntungkan, dan saling menghormati.
Prinsip
keadilan yang pertama, sering disebut sebagai keadilan substantif, mengatur
pembagian sumber daya, keuntungan, dan kekuasaan[51].
Distribusi atas ketiganya diatur berdasarkan nilai-nilai yang dianut dan tujuan
yang dikehendaki bersama. Dalam memformulasikan keadilan distribusi ini, sering
kali terjadi konflik dalam arti perselisihan. Namun, proses ini harus berjalan
dan konflik seperti ini pada umumnya dapat diselesaikan, bahkan jalan keluar
yang dirumuskan bersama merupakan pegangan untuk menyelesaikan
perselisihan-perselisihan selanjutnya. Dengan demikian, konflik yang terjadi
bersifat fungsional.
Tidak
mudah untuk mewujudkan kaidah keadilan distributif yang dapat diterima oleh
semua pihak dan dapat menjadi pegangan dalam penyelesaian konflik. Diperlukan
adanya prosedur-prosedur yang juga adil. Dengan kata lain, prinsip keadilan
kedua, yaitu keadilan prosedural, juga harus dirumuskan. Prinsip keadilan
prosedural sangat dekat dengan prinsip good governance yang akhir- akhir ini
banyak didengungkan. Prosedur yang adil terwujud bila di dalamnya ada
partisipasi/representasi berbagai pihak, transparansi dan akurasi informasi,
akuntabilitas dan tidak bias, kompetensi dan konsistensi, serta etis. Prosedur
yang demikianlah yang akan mencegah konflik kekerasan dan bila terjadi konflik,
maka dapat diarahkan pada konflik yang fungsional.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah
dilakukan analisis mendalam dengan data-data yang telah dikumpulkan maka
konflik kemudian dianalisis menggunakan berbagai pendekatan seperti terminology konflik,analisis konflik,
sumber konflik, anatomi konflik, konfigurasi konflik dan eskalasi konflik. Kemudian
didapatkan hasil sebagai berikut :
1.
Analisis
dilakukan terhadap Konflik terjadi di sector sawit dan HTI. Di Sektor HTI semua
konflik dianalisis berhadapan dengan PT. WKS. Sedangkan di sector sawitm
konflik yang dianalisis berhadapan dengan PT. BBS.
2.
Konflik
dianalisis adalah konflik terbuka.
3.
Adanya
perbedaan klaim terhadap obyek tanah.
4.
Konflik
bersumber dari ekonomi dan identitas.
5.
Konflik
menyebabkan hilangnya tempat yang dihormati masyarakat.
6.
Penyebab
konflik dilihat dari stage of conflict, timeline dan mapping conflict. Namun
konflik tidak menyebabkan perubahan kebudayaan.
7.
Anatomi
konflik kemudian menyebabkan Munculnya perilaku anomaly dalam masyarakat. Bagan
dan struktur konflik kemudian menyebabkan terjadinya tiga actor. Pemerintah, perusahaan
dan masyarakat.
8.
Sedangkan
upaya penyelesaian menggunakan fasilitasi oleh struktur kelembagaan negara dan
bertindak sebagai “safety valve”.
9.
Periode
konflik terus menaik sejak tahun 2002 – 2012. Namun sejak tahun 2012, PT. WKS
menawarkan pola penyelesaian dan kemudian difasilitasi oleh negara. Pergeseran
paradigman kemudian menempatkan masyarakat mempunyai hak terhadap hutan.
B.
Rekomendasi
Dari
pemaparan dan analisis yang telah dilakukan maka diperlukan upaya-upaya untuk
menyelesaikan konflik.
1.
Dibangun
upaya komunikasi yang intensif dari berbagai actor multistakeholders
2.
Menggunakan
saluran negara sebagai bentuk pengakuan hak masyarakat.
3.
Memperkuat
data dan bukti terhadap bahan diajukan didalam mekanisme penyelesaian resolusi
konflik.
Baca : Analisis Konflik SDA
[1] Konflik adalah pertentangan
kekuatan yang secara eksklusif merupakan satu aspek kekuatan social. Setiap
konflik social menyangkut kepentingan. Dalam pandangan R.J Rummel, konflik
adalah suatu proses dari kekuatan yang berinteraksi dalam kurun waktu menuju
keseimbangan kekuatan.Lisman Sumardjani, Konflik Sosial Kehutanan – Mencari
Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik, Working Group Tenure, Bogor, 2007, Hal.
22. Dalam term terminologi konflik, penulis menggunakan pendekatan “dimaknai
sebagai pertentangan kepentingan antara kedua belah
pihak. Dalam
bacaan ini kemudian disinkronkan dengan kepentingan antara masyarakat dengan
pihak lain (baik perusahaan maupun akibat kebijakan negara)[1].
[2] Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu
Konflik Kontemporer, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010,
hal. 50
[3] H. Ridham Priskap, Pertemuan
Penanganan Gangguan Usaha Perkebunan dan konflik Perkebunan, Jambi, 12 April
2016
[4] Jaringan Masyarakat Gambut
Jambi, 2017
[5] Data diolah
dari berbagai sumber. Paparan Dinas Kehutanan Propinsi Jambi tahun 2011,
Paparan APP Mei 2013 dan data-data Walhi
[6] AKBP
Almansyah, Kabid Humas Polda Jambi, Di Jambi, 131 potensi konflik, Jambi
Ekspress, 5 Juni 2013
[7] Sigit Eko Yuwono, Kabid Penanganan
Konflik Kesbangpol Linmas Propinsi Jambi, Diskusi
Refleksi Akhir Tahun Bidang Hukum” yang digelar Jambi Independent bekerja sama
dengan Sigma Indonesia, Survey & Consultans, Jambi Independent, 28 Desember
2011
[8] Catatan Akhir Tahun 2013,
Perkebunan Sawit Hendak Kemana?”, Bulletin Tandan Sawit. edisi Desember 2013, hal. 20.
[9] Catatan
ini bersumber dari kliping media massa lokal sejak tahun 1999 – 2012, Walhi
Jambi
[10] Tim
Penyelesaian dan Resolusi Konflik Propinsi Jambi, tahun 2010
[11] Dinas Kehutanan Propinsi Jambi mengakui tapal
batas yang belum selesai. Masih sekitar 75% dari areal kawasan hutan.
[12] Dinas
Kehutanan Propinsi Jambi, 5 Mei 2014
[13] Data-data
menunjukkan, sektor pertambangan mulai memantik persoalan. Baik biaya jalan
yang mencapai 300 milyar dibandingkan dengan royalti yang hanya mencapai 10
milyar. Banjir badang dan sungai batanghari yang sudah tercemar akibat zat
kimia dari batubara. Jatam, Diskusi Pertambangan, Walhi Jambi.
[14] Dinas Kehutanan Propinsi Jambi mengakui tapal
batas yang b
[15] Dinas
Kehutanan Propinsi Jambi, 5 Mei 2014
[15] Data-data
menunjukkan, sekt
or
pertambangan mulai memantik persoalan. Baik biaya jalan yang mencapai 300
milyar dibandingkan dengan royalti yang hanya mencapai 10 milyar. Banjir badang
dan sungai batanghari yang sudah tercemar akibat zat kimia dari batubara.
Jatam, Diskusi Pertambangan, Walhi Jambi.
omuniti ini kemudian memunculkan
konflik serta pertikaian-pertikaian, baik yang diungkapkan dalam bentuk unjuk-rasa
atau gerakan sosial lainnya, mahupun yang tidak diungkapkan, namun akan
berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari.
[17] Walhi Jambi, 2017
[18] Walhi Jambi, 2014
[19] Jaringan Masyarakat Gambut
Jambi, 2017
[20] Sejak terbitnya UU No. 32 Tahun
2009 tertanggal 3 Oktober 2009
[21] Terbitnya Izin Lingkungan
berdasarkan Surat Keputusan Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Muara Jambi
tertanggal 9 Desember 2016
[29] Ken Plummer, Sosiology
The Basic, terj., Nanang Martono dan Sisworo, Penerbit Rajawali Press,
Jakarta, 2013, Hal. 45.
[30] Simon Fisher menjelaskan ada
beberapa faktor penyebab konflik, di antaranya yaitu, pertama,
teori hubungan
masyarakat (community relations theory). Teori ini mengemukakan bahwa
konflik yang terjadi lebih disebabkan polarisasi, ketidakpercayaan (distrust)
maupun permusuhan
antar kelompok yang berada di tengah-tengah masyarakat. Kedua,
teori negosiasi
prinsip (principled negotiation theory). Teori ini menjelaskan bahwa konflik disebabkan oleh
posisi- posisi yang tidak selaras serta perbedaan pandangan tentang konflik
antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Ketiga, teori kebutuhan manusia (human
needs theory),
artinya bahwa konflik yang muncul di tengah masyarakat disebabkan oleh
perebutan kebutuhan dasar manusia, seperti kebutuhan fisik, mental dan sosial
yang tidak terpenuhi dalam perebutan tersebut. Keempat, teori identitas (identity
teory). Teori ini
menjelaskan bahwa konflik disebabkan identitas yang terancam atau berakar dari
hilangnya sesuatu serta penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan. Kelima,
teori transformasi
konflik (intercultural miscommunication theory), bahwa konflik disebabkan oleh hadirnya
masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam ranah kehidupan sosial,
ekonomi, politik dan kebudayaan. Simon Fisher, Working With Conflit:
Skills and Strategies for Action. Zed Book Ltd, Londong, 2000, hal. 3
[31] Stage of conflict, dengan menggunakan alat ini,
maka akan dapat ditemukan tahapan-tahapan dalam konflik. Sedangkan dengan
menggunakan alat time lines bisa mengetahui kronologi koflik secara berurutan.
Adapun analisis conflict maping, alat ini akan menjelaskan tentang siapa saja yang
terlibat dalam konflik, isu yang menjadi faktor penyebab konflik, dan relasi
antar aktor. Mukhsin Jamil (ed), Mengelola Konflik Membangun
Damai, WMC (Walisongo
Mediation Center), Semarang, 2007, hal. 48-49
[32] Soekanto dan
Sulistyowati, Sosiologi Pendidikan, Penerbit, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2014, Hal. 274.
[33] R. Dahrendorf, 1958. Toward
a Theory of Social Conflict. The Journal of Conflict Resolution, Vol. 2, No. 2 (Jun., 1958), Hal
170-183. Published by: Sage Publications, Inc.
[34] Talcott Parsons, The Structure of
Social Action (1937), London, 1937,
[35] Soekanto dan
Sulistyowati, Sosiologi Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2014, hal. 274.
[36] Johnson, D.P. Teori
Sosiologi: Klasik dan Modern (Jilid II). Terj. Robert M.Z. Lawang. Jakarta, Gramedia, 1990, Hal. 26
[37]
Prof.Dr. Soerjono Soekanto, SH., MA dan Ratih Lestarini,SH. Fungsionalisme
dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi, Jakarta: Sinar Grafika,
cet. 1998) hal.78.
[38] Margaret Poloma, Sosiologi
Kontemporer, Penerbit PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1994, Hal. 111-114
[39] A. Sonny
Keraf, Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta, 2002, hal 289
[40] Menurut Pujo Suharso, Atkins
membagi “Rent” ke
dalam 5 jenis: 1) Rent Recardian, yaitu rent yang timbul sebagai akibat adanya sifat
kualitas tanah yang berhubungan dengan sifat penggunaan tertentu dan atau
kelangkaannya; 2) Rent Lokasi, yaitu rent yang timbul akibat lokasi dari suatu tanah
relatif terhadap lokasi lainnya (aksesbilitas tanah); 3) Ren
Lingkungan, yaitu
rent yang timbul akibat adanya fungsi ekologis tanah dalam suatu ekosistem; 4) Rent
Sosial, yaitu rent
yang timbul apabila pemilik-penguasa tanah menimbulkan sejumlah social
previledges bagi
pemilik atau penguasanya; dan 5). Rent politik, yaitu rent yang timbul jika
pemilikan penguasaan tanah memberikan sejumlah kekuatan atau posisi politik di
dalam masyarakat. Pujo Suharso, Tanah, Petani dan Politik, Banyemedia Publishing, Solo,
2012.
[41] Novri Susan, Sosiologi konflik
dan isu-isu konflik kontemporer. Penerbit Kencana, Jakarta, 2009, Hal 72-73
[42] Pruitt, Dean, G., and Hee Kim,
Sung. 2004. Social Conflict: Escalation,Sstalemate, and
Settlement. (3rd Edition, McGrawHill, New York, 2004
[43] Padahal UU Pokok Agraria telah
mengatur Mengenai hak-hak atas tanah berupa (a) hak milik (b). hak guna
usaha,(c) hak guna bangunan,(d) hak pakai (e) hak sewa (f) hak membuka tanah
(g) hak memungut hasil hutan,(hak-hak lain yang
ditetapkan dengan undang-undang. Selain itu juga dikenal Hak-hak atas air dan ruang
angkasa seperti
(a). hak guna air (b) hak pemeliharaan dan penangkapan ikan dan (c). hak guna ruang
angkasa[43].
[44] R. Osborne dan B. van Loon.
1998. Mengenal Sosiologi: For Beginners. Ed. Richard Appignanesi. Terj.
[45] Johan Galtung, Peace
by peaceful conflict transformation: The transcend approach handbook of peace
and conflict studies. New York : Routledge, 2007
[46] John Keane, Violence and
Democracy, Cambridge University, Cambridge, 2004, Hal. 224
[47] Novri Susan, Negara Gagal
Mengelola Konflik, Penerbit Kopi, Yogyakarta, 2012, Hal. 14
[48] Analisis fungsional struktural
memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat dan kultur. Setiap
objek yang dijadikan sasaran analisis fungsional struktural tentu mencerminkan
hal yang standar (artinya terpola dan berulang). Sasaran studi fungsional
struktural adalah antara lain adalah : peran sosial, pola insitusional, proses
sosial, pola kultur, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial,
organisasi kelompok, struktur sosial, pengendalian sosial dan sebagainya.
Robert K Merton, Social Theory and Social Structure.
The Free Press, New York, 1949
[49] Marton Deutsch and Coleman,
Peter T. The Handbook of Conflict
Resolution Theory and Practice. Penerbit Jossey-Bass, San Francisco, 2000.
[50]Ibid., h. 141
[51] Greenberg, J. 1996.
The Quest for Justice on the Jobs. London: Sage.