17 Desember 2017

opini musri nauli : analisis Konflik Sumber daya alam di Jambi - Potret Konflik di Jambi 2010 -2017



ANALISIS KONFLIK SUMBER DAYA ALAM DI JAMBI
(Potret Konflik di Jambi 2010 -2017)


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Membicarakan sumber daya alam di Jambi tidak dapat dilepaskan dari akibat pengelolaan sumber daya. Dengan membaca data-data, maka pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dilepaskan dari konflik[1].
Killman dan Thomas menyebutkan konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja.[2]

Tahun 2017 didapatkan jumlah mencapai 762 konflik. Terdiri dari Kebakaran/banjir/gempa bumi mencapai 268 konflik. Disusul persoalan air sebanyak 146. Kemudian konflik terjadi di masyarakat adat, petani, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan sebanyak 115. Lalu Tambang mencapai 95 konflik. HTI/hutan sebanyak 57 konflik. Lahan gambut sebanyak 33 konflik dan monokultur 28 konflik. Lihat table dibawah ini.

Tabel 1. KONFLIK JAMBI TAHUN 2017
NO
ISU
BULAN
JML


JAN
FEB
MAR
APR
MEI
JUNI
JULI
AGUST
SEPT
OKT

1.
Tambang, emas, Batu Bara, Migas, dll
2
6
11
11
17
9
9
10
12
8
95

2.
Monokultur, Perkebunan Sawit, HTI, HTR, dll
0
3
0
1
0
1
1
5
10
7
28
3.
Lahan gambut dan kawasan pesisir laut, dll
7
1
0
4
4
6
3
2
5
1
33
4.
Banjir, Kebakaran, Gempa Bumi, dll
9
12
46
13
26
35
50
53
24
20
288
5.
Hutan Produksi, Hutan Lindung, Taman Nasional, dll
1
12
5
1
5
4
7
4
9
9
57
6.
Petani, Masyarakat adat, dan Masyarakat miskin pedesaan dan perkotaan
4
8
9
13
5
7
13
8
21
27
115
7.
Water dan Food
3
6
3
10
17
12
40
12
19
24
146


JUMLAH










762

Walhi Jambi, 2017

Konflik yang terjadi kemudian menambah daftar panjang konflik yang terjadi sebelumnya. Tahun 2015, Di Sektor perkebunan, tahun 2015 diidentifikasi 36 konflik lahan dan 19 konflik kemitraan yang dihadapi 31 perusahaan perkebunan di Jambi[3].  Padahal konflik-konflik sebelumnya belum dapat diselesaikan.

Jaringan Masyarakat Gambut Jambi menyebutkan konflik yang terjadi di Sponjen, Sogo, Tanjung, Rukam, Serdang Jaya, Sungai Baung, Suak Samin, Sungsang, Lumahan, Kelagian[4].

Konflik yang terjadi di Jambi disebabkan berbagai factor[5]. Polda Jambi menyebutkan kategori konflik disebabkan oleh masalah Poleksosbud, SARA, Batas Wilayah dan SDA.

Disebabkan Poleksosbud terjadi 32 kasus. 7 kasus dapat diselesaikan melalui musyawarah, 2 kasus melalui proses hukum dan sisanya masih dalam proses penyelesaian. Disebabkan SARA ada 19 kasus. Tiga dapat diselesaikan melalui musyawarah dan sisanya saat ini masih dalam proses penyelesaian. Sedangkan potensi konflik yang disebabkan oleh Batas Wilayah. Di Provinsi Jambi ada 11 kasus. Yang sudah diselesaikan dengan musyawarah ada 6, melalui jalur hukum 1 dan saat ini yang masih dalam proses penyelesaian 4. Dan potensi konflik yang disebabkan masalah SDA, ada 69 potensi konflik. 32 sudah dapat diselesaikan melalui musyawarah, 2 kasus melalui jalur hukum dan 35 kasus saat ini masih dalam tahap proses penyelesaian[6].

Badan Kesbangpol Propinsi Jambi menyebutkan konflik terjadi disebabkan eskalasi konflik lahan[7].Baik di sector perkebunan, HTI dan tambang.

Sedangkan menurut catatan akhir tahun 2013 di Propinsi Jambi terdapat 21 kasus konflik sosial yang dialami oleh masyarakat adat dan 12 kasus konflik sosial antara petani dan perusahaan[8].

Menurut Walhi Jambi, Catatan Walhi Jambi[9] menunjukkan trend konflik dan membangun tipologi untuk melihat konflik. Data menunjukkan konflik yang terjadi sekitar 300 -an konflik. 80 konflik berkaitan dengan sumber daya alam dan 27 konflik diprioritaskan untuk diselesaikan[10].

Dari konflik dapat diketahui tipologi konflik. Pertama. Hampir seluruh di Kabupaten terjadinya konflik. Merata di berbagai daerah. Konflik yang terjadi baik di sektor kehutanan seperti tapal batas yang belum selesai[11], PT. REKI, lembah masurai, PT. LAJ dan konflik antara masyarakat setempat dengan model kemitraan. Misalnya di PT. REKI dengan SAD[12]. Belum lagi penguasaan APP di sektor HTI yang mengakibatkan konflik di 5 kabupaten. Konflik kemudian bergeser ke konflik sawit dan sekarang di sektor pertambangan terutama batubara[13].

Konflik kemudian menyebabkan pembakaran. Baik itu di Tanjung Jabung, Bungo, Bangko dan sarolangun. Artinya, hampir tiap daerah telah terjadinya pembakaran oleh masyarakat terhadap perusahaan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Kedua, rentang waktu yang hampir selalu terjadi setiap tahun. Yang ketiga cara-cara penyelesaian yang masih cenderung menggunakan cara-cara represif dan tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Belum lagi kriminalisasi terhadap masyarakat.

Di sector HTI, Catatan Tim Resolusi Konflik Propinsi Jambi tahun 2010 menyebutkan konflik yang berkaitan dengan APP merupakan dua pertiga konflik di Jambi. Belum lagi terjadinya 150 konflik dengan satwa[14]

Melihat konflik yang belum selesai, meruncing bahkan terjadinya korban maka diperlukan analisis mendalam untuk melihat konflik yang terjadi.

Didalam memotret maka anatomi konflik, akar konflik, factor-faktor terjadinya konflik, analisis konflik, struktur konflik,  teori penyebab konflik diperlukan. Selain akan memotret utuh didalam melihat konflik, berbagai teori akan memudahkan untuk memetakan konflik dan dapat membantu untuk menyelesaikannya (resolusi konflik).

Dari analisis terhadap berbagai konflik maka kemudian dibantu dengan alat memahami konflik sehingga konflik dapat diuraikan.

Selain itu juga digunakan konsep sebagai kajian yaitu komuniti[15], inequality[16], perilaku anomalis social, konflik dan orientasi nilai.

Data-data yang didapat kemudian dibantu dengan hasil laporan-laporan yang pernah dipublish oleh Walhi Jambi. Diantaranya Laporan Pemetaan dan Analisis Konflik Areal Konsesi Group APP di Wilayah Propinsi Jambi Khususnya di Desa Lubuk Mandarsyah, Kecamatan Tengah Ilir Kabupaten Tebo, IMN, September 2014, Riset Ekosistem Rawa Gambut Dalam Kelola Rakyat, Walhi Jambi, 2014, Laporan Badan Pengelola REDD-RI, Pemprov Jambi, UN-REDD, UNDP “Indeks Tata Kelola Kehutanan Jambi”, 2014. 

B.    Metodologi Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan data-data primer yang didapatkan dari Walhi Jambi, Jaringan Gambut Masyarakat Jambi.
Data-data kemudian dilakukan tabulasi, dihubungkan dengna konflik yang belum selesai. Dari tabulasi kemudian “Disorot (highlight)” sehingga menjadi bahan kajian didalam menganalisis konflik.

Variabel penelitian dilakukan dengan mengelaborasikan berbagai data-data yang telah didapatkan. Kemudian data-data dilakukan tabulasi, penyesuaian sehingga menggambarkan konflik yang terjadi.

Setelah data-data dikumpulkan maka dilakukan elaborasi terhadap data-data yang telah didapatkan. Hasil-hasil data yang telah didapatkan maka kemudian dianalisis dengan berbagai pendekatan seperti (a) Identitas social, (b) dampak ekonomi, (c) peran tokoh-tokoh local dan informasl, (d) bentuk-bentuk komunikasi yang dilakukan.

Setelah itu dilakukan analisis kualitatif dengan melihat variable yang diteliti (dependet) kemudian dihubungkan dengan variable yang mempengaruhi(Independent).

C.   Teknis Pelaporan

Untuk memudahkan pelaporan dan penulisan maka data-data kemudian dilakukan verifikasi dengan menghubungkan antara data satu dengan data yang lain. Hasil verifikasi kemudian disandingkan dengna berbagai teori untuk memotret dan menggambarkan utuh (overview) sehingga didapatkan pandangan utuh memahami konflik. Hasil analisis kemudian disajikan sebagai bentuk pelaporan yang kemudian dilakukan penulisan laporan.




BAB II
PEMBAHASAN


A.    Analisis Data

Apabila melihat data-data, maka konflik tahun 2017 menggambarkan konflik. Dengan jumlah mencapai 762 konflik maka dapat digambarkan konflik air (146), masyarakat adat, petani, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan (115), Tambang (95), HTI/hutan (57) di sector gambut (33) dan perkebunan monokultur (28) konflik[17]. Angka-angka ini menambah panjang data-data konflik sebelumnya. Sektor perkebunan (36 konflik lahan dan 19 konflik kemitraan). Padahal tahun 2013, terdapat 21 konflik social yang harus diselesaikan. Menambah panjang konflik yang terjadi 300 konflik (1998 -2014)[18].

Sementara itu menurut JMGJ, Konflik yang terjadi di di Sponjen, Sogo, Tanjung, Rukam, Serdang Jaya, Sungai Baung, Suak Samin, Sungsang, Lumahan, Kelagian[19] kemudian dapat dipilah dari pendekatan issu. Pertama isu sawit dan HTI.

Isu Sawit terjadi di Desa Sponjen, Desa Sogo dan Desa Tanjung. Sedangkan Desa Rukam, Desa Serdang Jaya, Desa Sungai baung, Desa Suak Samin, Desa Sungsang, Desa Lumahan dan Desa Kelagian dengan pendekatan isu HTI. 

Issu Pemberian izin lokasi di Desa Sponjen, Desa Sogo dan Kelurahan Tanjung kepada PT. BBS berdasarkan SK Bupati Muara Jambi No. 507 Tahun 2007 dan IUP-B berdasarkan SK Bupati Muara Jambi No. 592 Tahun 2007 sejak 3 Oktober 2009[20] namun tidak memiliki izin lingkungan[21] tidak dibenarkan secara hukum. Sehingga aktivitas apapun bertentangan dengan hukum.

Begitu aktivitas PT. BBS yang memiliki izin lokasi berdasarkan SK Bupati Muara Jambi No. 22 Tahun 2011 tertanggal 31 Januari 2011 dan IUP-B berdasarkan SK Bupati Muara Jambi No. 407 Tahun 2011 tertanggal 22 Oktober 2011 hingga tanggal 9 Desember 2016 harus mempunyai izin lingkungan.

Sedangkan dari issu HTI, kesemua desa berhadapan dengan PT. WKS. PT. WKS mendasarkan kepada Dasar hukum PT WKS melakukan aktivitas disandarkan kepada SK Kakanwilhut Provinsi Jambi No.165/HTI/Wilhut/Iva/1989 tanggal 15 Desember 1989 SK. MENTERI KEHUTANAN NO. 744/KPTS-II/1996, Tanggal 25 Nopember 1996, SK. Menhut No. 64/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001, SK. Menteri Kehutanan No. 228/Menhut-II/2004, tanggal 09 Juli 2004, SK. Menteri Kehutanan No. 346/Menhut-II/2004 tanggal 10 September 2004 maka dapat dilihat kepada konflik yang terjadi di lapangan.

SK Menhut No. 744/1996 menjadikan dasar untuk melakukan aktivitas di Desa Sungai Baung. Aktivitas seperti masuk ke wilayah Desa Sungai Baung juga tanpa sosialisasi dengan masyarakat setempat. Sedangkan yang terjadi dimulainya konflik dimulai dari satu hamparan yang termasuk kedalam Desa Sungsang, Desa Kelagian, Desa Sungai Rambai, Desa Lumahan dan Desa Suak Samin. Dimulai tahun 2002. Sedangkan Desa Sungai Baung dimulai dua tahun sebelumnya[22].

Sehingga mengakibatkan konflik seluas 300 ha. Selain itu juga banyak wilayah Desa Sungai Baung yang di bebani izin HTI PT.Wira Karya Sakti tanpa sepengetahuan masyarakat, yang akhirnya timbul persoalan antara Perusahaan dan masyarakat.

Begitu juga konflik yang terjadi di Desa Suak Samin dan Desa Rukam.

Sedangkan SK Menhut No. 64/2001 kemudian mengakibatkan konflik di Desa Sungsang, Desa Kelagian, Desa Sungai Rambai, Desa Lumahan. Keempat desa merupakan hamparan yang terdapat didalam izin SK Menhut 64/2001.

Pola perampasan tanah baik dengan cara seperti “tawaran kemitraan” seperti yang terjadi di Desa Dusun Sukasari dan Dusun Mekarsari (Desa Sungsang), melakukan penggarapan lahan dan membuat kanal-kanal di Dusun Rantau Panjang (Desa kelagian), atau dengan cara penyerobotan dan perluasan lahan yang terjadi di Desa Suak Samin. Atau dengan cara menggusur yang terjadi di Desa Sungai Rambai dan Dusun Johor Jaya (Desa Lumahan) atau tanpa sosialisasi yang terjadi di Desa Sungai Baung. Sedangkan yang terjadi di Desa Rukam adalah modus membersihkan lahan yang terbakar namun kemudian dilanjutkan dengan menggusur tanaman masyarakat.

Sebagaimana disampaikan Louis R. Pondy merumuskan lima episode konflik yang disebut “Pondys Model of Organizational Conflict”. Menurutnya, konflik berkembang melalui lima fase secara berurutan, yaitu: Laten Conflict, Perceived Conflict, Felt Conflict, Manifest Conflict, dan Conflict Aftermath.

Maka keseluruhan Desa yang berkonflik baik isu sawit maupun isu HTI kemudian dikategorikan sebagai konflik terbuka (manifest conflict).

Berbagai data-data yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan analisis mendalam. Pendekatan yang digunakan seperti anatomi konflik, akar konflik, factor-faktor terjadinya konflik, stratifikasi konflik, analisis konflik, struktur konflik,  teori penyebab konflik diperlukan. Selain akan memotret utuh didalam melihat konflik, berbagai teori akan memudahkan untuk memetakan konflik dan dapat membantu untuk menyelesaikannya (resolusi konflik).

Untuk memperkuat analisis konflik, maka analisis kebijakan diperlukan. Selain memotret konflik dari berbagai actor, analisis kebijakan diperlukan sebagai bentuk tanggungjawab negara, kebijakan negara dan berbagai protocol yang menempatkan masyarakat sebagai subyek konflik.

Konflik adalah pertentangan kekuatan yang secara eksklusif merupakan satu aspek kekuatan social. Setiap konflik social menyangkut kepentingan. Dalam pandangan R.J Rummel, konflik adalah suatu proses dari kekuatan yang berinteraksi dalam kurun waktu menuju keseimbangan kekuatan[23].

Di sektor kehutanan, konflik lahan lebih sering ditemukan didalam dan di sekitar 11 juta hektar konsesi HTI (sekitar 9% dari seluruh luas kawasan hutan) di mana perusahaan diberikan konsesi oleh pemerintah untuk mengembangkan hutan tanaman dengan masa berlakunya izin selama 43 sampai 100 tahun. Pada banyak kasus, konsesi ini bertumpang tindih dengan area yang dimiliki, diduduki, dan/atau dikelola oleh masyarakat setempat, dan banyak di antaranya dikelola di bawah aturan hukum adat. Undang-undang dasar Indonesia mengakui hukum negara dan hak tenurial adat dalam sistem penatausahaan lahan dan sumber daya hutan[24].Selain perampasan tanah (land grabbing), konflik juga disebabkan kepada tenurial dan ketidakadilan pembagian manfaat. Perampasan tanah merupakan penyumbang terbesar dari penyebab konflik.

Dalam term terminologi konflik, penulis menggunakan pendekatan “dimaknai sebagai pertentangan kepentingan antara kedua belah pihak. Dalam bacaan ini kemudian disinkronkan dengan kepentingan antara masyarakat dengan pihak lain (baik perusahaan maupun akibat kebijakan negara)[25].

B.    Terminologi Konflik

Konflik antara petani dengan PT. WKS sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Didalam menganalisis kesemua Desa dianalisis dengan mendasarkan kepada izin HTI PT. WKS dari SK No. 744/1996 dan PT WKS dan SK Menteri Kehutanan No. 346/Menhut-II/2004 (Add.III) tanggal 10 September 2004.  Selain itu juga dianalisis dari SK Menteri Kehutanan No. 64/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001.

Dengan terminologi konflik, maka Dinas Kehutanan Propinsi Jambi menyebutkan, pada umumnya konflik lahan dan hutan yang terjadi di wilayah Provinsi Jambi disebabkan oleh perebutan penguasaan lahan baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun yang berada di luar kawasan hutan antara masyarakat setempat atau penduduk lokal dengan para kaum pendatang yang diidentikkan dengan investor yang bergerak di bidang HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan perkebunan karet.

Walaupun ada juga konflik itu terjadi antara masyarakat setempat dengan para transmigran, atau antara masyarakat setempat dengan pemerintah daerah setempat[26].

Penyebab timbulnya konflik lahan dan hutan di wilayah Provinsi Jambi ada 8 (delapan) jenis yaitu :
1). Keberadaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
2). Keberadaan Hutan Tanaman Industri (HTI).
3). Keberadaan Hutan Restorasi.
4). Keberadaan Program Pemerintah Daerah.
5). Keberadaan Perkebunan Kelapa Sawit milik perusahaan.
6). Keberadaan Perkebunan Karet milik perusahaan.
7). Keberadaan Perusahaan Perorangan, dan
8). Keberadaan Lokasi Transmigrasi.

C.   Analisis Konflik

Didalam melakukan analisis konflik, maka pendekatan konflik yang digunakan oleh PT WKS juga menjadi bahan kajian untuk melihat konflik secara utuh.

APP sendiri mendefinisikan konflik dengna menentukan tipologi[27] yaitu kategori konflik pertama dengan mendefinisikan sebagai Desa/Dusun/Kampung dalam konsesi sebelum adanya konsesi. Kategori konflik kedua dengan mendefinisikan Desa/Dusun/kampong dalam konsensi sebelum adanya konsensi. Kategori konflik ketiga yaitu tanah ulayat. Kategori konflik ke empat yaitu tanah untuk pemenuhan kebutuhan hidup (livelihood). Kategori konflik kelima yaitu tanah yang didapatkan berdasarkan jual beli. Kategori konflik keenam yaitu spekulan. Kategori konflik ketuju yaitu penggunaan areal konsesi non prosedural yaitu oleh pihak lain yaitu Pemerintah dan kategori konflik menggunakan pendekatan tumpang tindih (overlap).

Catatan ini merupakan rangkaian panjang dari surat dari Pemerintah Propinsi Jambi yang menyebutkan adanya berbagai opsi penyelesaian terhadap areal APP. Baik dengan model enclave, ganti rugi/kompensasi dan penegakkan hukum[28].

Bandingkan dengan model pengamatan dari APP yang melihat konflik dengan tiga bentuk yaitu (1). Klaim. Area dalam konsesi yang diakui secara sepihak oleh pihak lain, sesudah keluarnya izin IUPHHKHT. (2). Okupasi. Areal dalam konsesi yang telah dikuasai dan diusahakan sebelum terbitnya izin IUPHHKHT. (3). Overlapping. Areal dalam konsesi yang diakui oleh pihak lain atas dasar adanya perizinan dari instansi berwenang. Dengan melihat perspektif Pemerintah Propinsi Jambi dan pandangan dari APP melihat konflik menyebabkan persoalan pokok dari konflik itu.

Atau dengan kata lain adanya perbedaan klaim. Memperbandingkan  model pengamatan dari APP yang melihat konflik dengan tiga bentuk yaitu (1) Klaim. Area dalam konsesi yang diakui secara sepihak oleh pihak lain, sesudah keluarnya izin IUPHHKHT. (2) Okupasi. Areal dalam konsesi yang telah dikuasai dan diusahakan sebelum terbitnya izin IUPHHKHT. (3) Overlapping.  Areal dalam konsesi yang diakui oleh pihak lain atas dasar adanya perizinan dari instansi berwenang

D.   Sumber Konflik

Dari data yang dipaparkan kemudian menjelaskan akar konflik semula adalah berangkat dari persoalan (a) ekonomi, (b), identitas[29],

Dari pendekatan ekonomi, pemberian izin kemudian “merampas” kehidupan masyarakat. Tempat-tempat yang semula sebagai “tempat ikan”, pohon, jelutung, rotan kemudian diratakan. Akibatnya merugikan masyarakat sehingga izin yang diberikan kemudian “meninggalkan persoalan ekonomi”.

Sedangkan dari pendekatan identitas digunakan untuk memotret bagaimana masyarakat menempatkan tanah, tempat yang dilindungi sebagai symbol-simbol dari kebudayaan yang tidak terpisahkan dari kehidupan peradaban masyarakat.

Penamaan tempat-tempat seperti Di Desa Rukam  Penggusuran dan perusakan tempat mencari ikan seperti Buluran muning darat, Buluran muning laut, Lubuk tapa, Danau cempedak, Danau Gerang, Danau empang palang, Sematang tawing, Buluran buang. Atau Di Desa Suak Samin kemudian hilangnya Nama tempat mencari kayu di Kuala Belaga, Simpang Jadam, Air Tenang 4. Bidawang, Lintas Panjang (Daerah Senyerang ) dan Lintas Senyerang (Daerah Senyerang ) adalah Melambangkan kebudayaan, cara pandang, penghormatan bahkan bentuk perlindungan masyarakat terhadap alam. Namun tempat-tempat itu kemudian tinggal nama dan kemudian hilang bersamaannya waktu.

Dengan terjadinya konflik maka kemudian mengakibatkan hilangnya tempat-tempat seperti (1) Lahan tempat mencari kayu alam (2) Tempat masyarakat  mencari ikan (3) Tempat masyrakat  mencari rotan/dahan (Desa Sungsang) atau (1). Masyarakat tidak mengambil kayu untuk dijadikan rumah dan kayu bakar, (2) Hilang nya tempat mencari ikan bagi nelayan seperti ikan bujuk dan ikan lele, (3) Hilang nya lahan pertanian untuk bercocok tanam (Desa Kelagian). Atau Hilangnya tempat mencari rotan dan (2) Hilangnya tempat menyadap (Desa Sungai Rambai). Atau Tempat mencari ikan seperti Londang. Dan Tempat mencari madu. Selain itu juga Hilangnya jenis tanaman Hilangnya hasil jelutung (Desa Lumahan).

Menurut Simon[30], factor Konflik yaitu pertama, teori hubungan masyarakat (community relations theory), teori negosiasi prinsip (principled negotiation theory), Ketiga, teori kebutuhan manusia (human needs theory, Keempat, teori identitas (identity teory), Kelima, teori transformasi konflik (intercultural miscommunication theory). Konflik yang terjadi dapat dilihat yaitu teori hubungan masyarakat, teori kebutuhan manusia dan teori identitas. 

Sedangkan untuk mengetahui Penyebab konflik digunakan alat analisis konflik dengan menggunakan metode “stage of conflict”, “time line” dan mapping conflict”[31]. Ketiganya kemudian dapat memotret sehingga dapat membaca konflik secara utuh.

Keseluruhan konflik yang dianalisis merupakan tipe konflik yang terbuka (open conflict). Masyarakat pemilik tanah sudah menyadari problema konflik dan kemudian sudah menyampaikan protes baik kepada Pemerintah maupun kepada perusahaan. Konflik terbuka juga merupakan bagian dari perjuangan masyarakat yang ditandai dengan kronologis yang cukup panjang didalam memperjuangkan kepentingannya.

Namun konflik yang terjadi tidak menyebabkan perubahan kebudayaan sebagaimana dipaparkan oleh Soekanto dan Sulistyowati[32].

E.    Anatomi Konflik

Didalam melakukan analisis konflik maka anatomi konflik diperlukan. Didalam Undang-undang nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, konflik sosial (disebut juga konflik) didefinisikan sebagai perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.

Berdasarkan uraian di atas Anatomi Konflik Sosial dapat diartikan satu rangkaian organ-organ atau unsur-unsur yang terkait dengan proses terjadinya konflik, yaitu (1)  Penyebab terjadinya konflik, (2)  Pihak yang berkonflik, (3)  Proses terjadinya konflik, (4)  Dampak terjadinya konflik, 5)  Proses penyelesaian konflik.

Didalam melihat konflik lebih utuh maka pendekatan digunakan 1) kepentingan (interest), 2) kapasitas (capacity), dan kesempatan (opportunity). Selain itu juga dilihat pengaruh konflik yang mempengaruhi terjadi tindakan konflik, diantaranya power (kekuatan), threat (ancaman), dan facility (dukungan), baik dalam bentuk materiil maupun non materii. Tentu dalam pencapaian ini tidak bisa lepas dari peranan aktor (agent), sebagai bentuk tindakan sosial[33].

Analisis Dahrendorf kemudian diperkuat oleh Parsons yang melihat pada struktur masyarakat dan inter-relasi berbagai struktur tersebut. Parsons kemudian dikenal meletakkan dasar teori fungsionalisme structural[34].

Menggunakan analisis Parsons maka untuk melihat fungsionalisme structural dapat dilihat fungsi yaitu Adaptasi (A), goal attainment (G), integrase (I) dan Latensi (L).Empat fungsi tersebut wajib dimiliki oleh semua system agar tetap bertahan (survive). Persyaratan fungsional dari sistem sosial diantaranya: sistem sosial harus terstuktur (tertata) sehingga dapat beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sisten lain dan untuk menjaga kelangsungan hidupnya system social harus mendapatkan dukungan dari sistem lain.

Pendekatan utama yang digunakan untuk memahami fenomena konflik yang diamati adalah munculnya perilaku anomi dalam masyarakat. Anomi sosial muncul ketika terjadi ketimpangan (inequality) antara institutional means dengan cultural goals
Konflik berakar disebabkan “ketidakadilan” structural antara perusahaan, negara dan masyarakat pemilik tanah. Soekanto dan Sulistyowati kemudian menyebutkan “Pola-pola dan embrio konflik yang terjadi di masyarakat pada beberapa aspek disebabkan pula oleh masalah ketidaksetaraan”[35].

Konflik kemudian semakin melebar setelah “identitas konflik” berhasil diwujudkan, analisis ekonomi, Pengaruh tokoh informal dan pola komunikasi. Pendekatan “identitas konflik, analisis ekonomi, pengaruh tokoh dan pola komunikasi kemudian dijelaskan oleh Johnson didalam buku klasiknya “Teori Sosiologi – Klasik dan Modern”[36],(a) Ada isu-kritikal yang menjadi perhatian bersama (commonly problematized) dari para pihak berbeda kepentingan, (b) Ada inkompatibilitas harapan/kepentingan yang bersangkut paut dengan sebuah objek perhatian para pihak bertikai, (c) Ada kompetisi dan ketegangan psikososial yang terus dipelihara oleh kelompok- kelompok berbeda kepentingan sehingga memicu konflik sosial lebih lanjut, (d) “Masa kematangan untuk perpecahan”, (e) Clash yang bisa disertai dengan violence (kerusakan dan kekacauan).

Didalam menganalisis konflik, pendekatan stratifikasi konflik digunakan. Sifat “keakuan” dan asas “izin” menjadi menjadi dasar terjadinya konflik. Sifat “keakuan” menggunaan berbagai “izin” merupakan penyebab konflik. Sifat keakuan dan asas izin kemudian menempatkan Pemerintah dan perusahaan sebagai kelas menengah. Terdidik, menguasai berbagai peraturan di sector kehutanan dan perkebunan. Selain itu juga dapat menggunakan artikulasi dan problema konflik sehingga mudah dipahami didalam berbagai pertemuan.

Sedangkan masyarakat yang sebagian besar sudah kehilangan tanah kemudian berdampak ekonomi. Cenderung frontal didalam menyampaikan gagasannya, tidak mudah percaya kepada siapapun diakibatkan proses panjang konflik. Namun menyampaikan gagasan dan problemanya cukup jernih sehingga dapat membantu proses lebih baik.

Namun didalam melakukan pertemuan berbagai forum, peran pendamping seperti Walhi Jambi, jaringan masyarakat Gambut Jambi memainkan peran-peran yang cukup strategis dan vital.

Kemampuan menterjemahkan pengetahuan masyarakat menjadi pengetahuan modern membuat masyarakat mendapatkan asupan informasi yang penting.

Penguasaan wilayah (tembo) yang kemudian dikonversi kedalam bentuk peta melalui kegiatan pemetaan partisipatif memudahkan pembahasan menjadi lebih focus, mengerucut dan memudahkan menentukan alas haknya.

Menurut Dahrendrof, kekuasaan dan wewenang merupakan sumber daya yang langka terhadap terjadinya pertikaian, sehingga menjadi sumber utama terjadinya konflik dan perubahan pada pola-pola yang telah melembaga, antara yang berkuasa dan yang dikuasai, dimana peranan yang berkuasa mempunyai kepentingan untuk mempertahankan keadaan dan yang dikuasai berkepentingan untuk membagi kembali kekuasaan atau wewenang[37].

Selain akan memotret utuh didalam melihat konflik, berbagai teori akan memudahkan untuk memetakan konflik dan dapat membantu untuk menyelesaikannya (resolusi konflik).

Untuk mempertajam analisis konflik maka diperlukan “Situasi konflik” sebagaimana disampaikan oleh Coser. Coser kemudian menyampaikan situasi konflik dapat dibedakan konflik yang realistic dan konflik yang tidak realistic[38].

Konflik realistic berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Sedangkan konflik yang tidak realistic adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis tetapi dari kebutuhan untuk meredakan.

Namun demikian dimensi kebutuhan dasar manusia dalam konflik kepentingan selalu mengalami proses kompleksitas kebutuhan. Kebutuhan terhadap kekayaan bisa berkembang menjadi kebutuhan kekuasaan, status, sampai identitas. Kompleksitas sumber konflik ini mempengaruhi bagaimana kelembagaan pengelolaan konflik harus diciptakan dan dijalankan.

Kebutuhan terhadap kekayaan bisa berkembang menjadi kebutuhan kekuasaan, status, sampai identitas. Kompleksitas sumber konflik ini mempengaruhi bagaimana kelembagaan pengelolaan konflik harus diciptakan dan dijalankan.

Konflik juga disebabkan “cara pandang” melihat persoalan tanah. Masyarakat memandang tanah tidak semata-mata tidak hanya sebatas unsur bumi, tetapi lebih dari itu menyangkut lahan tempat tinggal, lahan pertanian, atau lahan pemakaman yang didalamnya mengandung nilai- nilai emosional, religius, maupun status sosial.

Pemahaman, pengetahuan masyarakat tentang tanah juga menyangkut relasi manusia dengna alam. Sejak nenek moyang mereka menempati wilayah tersebut, sudah ada aturan adat dan sanksi hukum adat khas setempat tentang bagaimana berhadapan atau memperlakukan sumber daya alam, termasuk hutan yang ada di wilayah mereka. Mereka memiliki kearifan lokal yang tinggi. Kearifan lokal tersebut ternyata mampu menjaga lingkungan hidupnya, karena itulah satu-satunya saksi sejarah yang hidup yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Bagi mereka tidak ada yang lebih berharga dan istimewa selain melestarikan hutan yang diwariskan nenek moyang mereka, karena di sanalah mereka dapat menggantungkan hidupnya baik berupa hasil hutan, juga sumber air yang dapat mengairi sawah dan air bersih untuk kehidupan sehari-hari. Dipraktekkan, diajarkan, diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, Sehingga membentuk perilaku dan penghormatan terhadap alam[39]. 

Menurut Pujo Suharso, Atkins membagi “Rent” ke dalam 5 jenis: 1) Rent Recardian, 2) Rent Lokasi, 3) Ren Lingkungan, 4) Rent Sosial dan 5). Rent politik[40].

Penghormatan terhadap tempat-tempat seperti Buluran muning darat, Buluran muning laut, Lubuk tapa, Danau cempedak, Danau Gerang, Danau empang palang, Sematang tawing, Buluran buang, Kuala Belaga, Simpang Jadam, Air Tenang 4. Bidawang, Lintas Panjang, Lintas Senyerang (Daerah Senyerang ) adalah Melambangkan kebudayaan, cara pandang, penghormatan bahkan bentuk perlindungan masyarakat terhadap alam. Tempat itu juga berfungsi sebagai Lahan tempat mencari kayu alam, mencari ikan, mencari rotan/dahan, mencari ikan bagi nelayan seperti ikan bujuk dan ikan lele, lahan pertanian untuk bercocok tanam, tempat menyadap, Tempat mencari madu dan Hilangnya jenis tanaman Hilangnya hasil jelutung. Mengutip Atkins maka tanah kemudian berfungsi sebagai Rent Lingkungan dan Rent Sosial.

Menurut Paul Wehr, kompleksitas sumber konflik tersebut juga mendorong kelompok-kelompok kepentingan melakukan mobilisasi sumber daya konflik. Sumber daya konflik merupakan modal-modal yang dimiliki oleh satu kelompok kepentingan untuk mencapai kemenangan dalam relasi konflik dengan kelompok lain. Mobilisasi sumber daya konflik muncul dalam bentuk strategi konflik (conflict strategy) untuk menciptakan proses-proses dan hasil yang menguntungkan satu kelompok kepentingan[41].

Strategi konflik pada praktiknya muncul dalam bentuk- bentuk perilaku tertentu. Pruit dan Rubin mengkategorikan lima strategi konflik kelompok-kelompok kepentingan, yaitu strategi contending (keras), withdrawing (menarik diri), yielding (menyerahkan keputusan), compromy, dan problem solving (pemecahan masalah)[42]

Kebutuhan terhadap kekayaan bisa berkembang menjadi kebutuhan kekuasaan, status, sampai identitas. Kompleksitas sumber konflik ini mempengaruhi bagaimana kelembagaan pengelolaan konflik harus diciptakan dan dijalankan.
Didalam memotret konflik maka bangunan konflik dapat dilihat bagan dibawah ini.

F.    Konfigurasi Konflik

Bagan 1

PEMERINTAH


PERUSAHAAN                                      KONFLIK                                     MASYARAKAT



1.    Pemerintah menjadi pemberi izin kepada perusahaan
2.    Perusahaan menerima izin bertanggungjawab terhadap areal yang telah diberikan
3.    Masyaraka pemilik tanah berjuang untuk mempertahankan tanahnya.

Konfigurasi konflik melalui  bagan 1 melambangkan “konflik terjadi berlangsung pada aras antarruang kekuasaan.

Konfigurasi konflik menggambarkan perebutan tanah antara masyarakat dengan perusahaan. Didalam analisis isu HTI, Dinas Kehutanan Propinsi Jambi menyebutkan, pada umumnya konflik lahan dan hutan yang terjadi di wilayah Provinsi Jambi disebabkan oleh perebutan penguasaan lahan baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun yang berada di luar kawasan hutan antara masyarakat setempat atau penduduk lokal dengan para kaum pendatang yang diidentikkan dengan investor yang bergerak di bidang HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan perkebunan karet.

Kepentingan negara memastikan hutan tetap terjaga namun masyarakat harus sejahtera. Sedangkan model penyelesaian yang menjadi kebijakan negara adalah (a) enclave, (b) ganti rugi/kompensasi dan (c) penegakkan hukum.

Sedangkan perusahaan setelah menerima izin dari negara maka kemudian bertanggungjawab untuk menjaga izin yang telah diberikan. Makna ini dapat dilihat didalam berbagai izin yang telah diberikan kepada perusahaan.
Cara-cara yang dilakukan oleh perusahaan selain bertentangan, tidak adanya Penghormatan terhadap hak masyarakat terhadap tanah diabaikan oleh perusahaan. Padahal perusahaan hanyalah mendapatkan izin sebagaiman diberikan oleh negara. Namun dengan dalih “izin”, perusahaan kemudian mengabaikan hak sebagaimana diatur didalam pasal 16 UU No. 5 Tahun 1960[43].

Persoalan yang timbul disebabkan selain menimbulkan akibat hukum juga tidak memperhatikan hak-hak masyarakat sebagaimana telah dilindungi berbagai ketentuan peraturan, tidak menghargai kepemilikan terhadap tanah, persoalan lingkungan dan kerugian terjadi di masyarakat. Sehingga menimbulkan kerugian baik terhadap lingkungan hidup maupun kerugian materil masyarakat.

Sedangkan masyarakat yang telah lama berada disana berkepentingna untuk memperjuangkannya. Selain tanah adalah identitas juga masyarakat menghormati tempat-tempat yang dlindungi sebagai amanat dari nenek moyang.

Identitas masyarakat diwujudkan dengan keberadaan Desa sebelum izin maka seluruh Desa adalah Desa-desa yang mempunyai hak terhadap wilayahnya.

Ketiga actor kemudian berjuang untuk menguasai tanah sehingga menimbulkan konflik yang belum berkesudahan.

Problema “dalih” perusahaan menempatkan “izin” diatas “hak” merupakan persoalan serius dalam persoalan konflik. Didalam melihat konflik, perbedaan paradigma mengenai hak dan izin sering menimbulkan tafsiran yang keliru.

Disatu sisi masyarakat mempunyai hak terhadap tanah berangkat dari hukum adat. Selain dapat membuktikan keberadaan masyarakat hukum adat dan hubungan antara masyarakat dengan kawasan hutan lama diusahakan dan ditanami oleh masyarakat sebelum diserobot oleh perusahaan.

Namun disisi lain pihak perusahaan telah mendapatkan izin dari Pemerintah. Pihak perusahaan yang mendapatkan izin dari Pemerintah kemudian menganggap sebagai kawasan yang sah dan memandang masyarakat sebagai perambah (illegal).

Salah satu upaya penyelesaian adalah pihak perusahaan harus memberikan ruang didalam model penyelesaian terhadap hak pihak ketiga dalam hal ini adalah hak terhadap hutan masyarakat.

Konfigurasi konflik melalui  bagan 1 melambangkan “konflik terjadi berlangsung pada aras antarruang kekuasaan”. R Osborne dan B. Van Loon menyebutkan “terdapat tiga ruang kekuasaan yang dikenal dalam sebuah system social kemasyarakatan yaitu “ruang kekuasaan negara’, “masyarakat sipil atau kolektivitas social” dan sector swasta[44].

Didalam membahas konflik, tema dapat dikategorikan. Pertama. Masyarakat yang memiliki tanah berhadapan dengan negara disatu sisi. Dan perusahaan disisi lain. Pendekatan yang digunakan selain belum mengakui hak masyarakat juga masih memandang tanpa pembuktian oleh negara kemudian menempatkan sebagai perambah/penggarap.

Selain daripada membicarakan tanah, tema yang lain berupa kemitraan yang tidak seimbang antara masyarakat dengan perusahaan. Kemitraan yang dibangun belum menempatkan masyarakat sebagai pemilik tanah. Belum lagi kemitraan yang tidak terbuka, pemilik tanah tidak menjadi bagian dari kemitraan.

Proses mencapai pemecahan akar masalah dalam relasi konflik, menurut Johan Galtung (2007) secara ideal perlu menggunakan transcend approach atau pendekatan transendental yang berarti adanya kesadaran dan keahlian pihak berkonflik untuk menemukan bentuk tujuan baru yang bisa menguntungkan seluruh pihak. Setiap strategi konflik akan muncul dalam bentuk tindakan individual maupun kolektif yang bervariasi dan memiliki konsekuensinya masing-masing.

Kekerasan mempunyai dimensi yang luas. Jika kita mengutip pendapat Galtung (2004) kekerasan bisa muncul dalam dimensi struktural dan langsung. Kekerasan struktural menghasilkan ketidakadilan yang diciptakan oleh struktur kekuasaan, baik secara politik maupun ekonomi. Kekerasan struktural menciptakan rasa tidak aman, melahirkan pengangguran akibat sistem tidak menerima sumberdaya manusia di lingkungannya, tidak adanya hak untuk mengakses pendidikan secara bebas dan adil, dan kematian akibat kelaparan pada saat lingkungan menyediakan kekayaan akan alam. Kekerasan struktural inilah yang mungkin dirasakan secara nyata oleh masyarakat yang melakukan gerakan protes yang menjadi korban kekerasan struktural[45].

Jan Kooiman dalam Governing As Governance (2003) menyebutkan jika birokrasi pemerintahan cenderung menggunakan tindakan berlebihan legal tanpa kecerdasan sosiologis maka akan muncul kontradiksi dalam implementasi kebijakan, yaitu ketidakharmonian antara praktik pemerintah dan warga.

Sedangkan menurut John Keane negara tidak demokratis dicirikan oleh penggunaan kekerasan yang ditujukan untuk meneror dan membunuh rakyatnya sendiri untuk kepentingan-kepentingan sekitar kekuasaan[46].

Dalam konteks demokrasi seharusnya bisa dikreasi oleh mekanisme deliberatif yang mengutamakan dialog, negosiasi dan paritisipasi aktif seluruh kekuatan pembangunan, yaitu pemda, warga dan swasta (investor).

Mekanisme deliberatif dalam pembangunan yang difasilitasi oleh struktur kelembagaan pemerintah daerah, eksekutif dan legislatif, akan menjadi katup penyelamat (safety valve) dari konflik yang muncul dalam proses pembangunan[47].

Mekanisme deliberatif sebagai bagian sistem demokrasi yang difasilitasi oleh struktur kelembagaan pemerintahan daerah harus dipercayai untuk menyelesaikan konflik yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan. Konflik yang muncul anta- ra warga dan pemerintah daerah serta investor dalam konteks pembangunan harus benar-benar mengoptimalkan mekanisme politik demokratis ini. Dialog dan negosiasi akan menghasilkan penyelesaian konflik yang lebih bermanfaat bagi masyarakat, investor dan pemerintah daerah.

Karena di dalam mekanisme deliberatif seluruh stakeholders berusaha menemukan pemecahan masalah yang tepat dan positif untuk seluruh pihak. Proses alami dialog kepentingan, selama proses deliberatif dilandaskan pada kesetaraan dan bebas intimidasi maupun kooptasi, akan menghasilkan kesepakatan dalam pembangunan yang merefleksikan aspirasi semua pihak.

Dalam periode panjang sejak tahun 2002 – 2012, berbagai eskalasi konflik terus naik dan berakhir dengan kekerasan, perampasan tanah, penangkapan hingga masyarakat tidak mendapatkan akses dan haknya.

Pendekatan kekerasan (violence approach) masih digunakan sehingga menimbulkan reaksi perlawanan.

G.   Eskalasi Konflik

Namun sejak tahun 2012, PT. WKS telah menawarkan berbagai model penyelesaian. Baik menggunakan perangkat yang disiapkan perusahaan yang dideklarasikan seperti “Forest Conservation Policy” maupun berbagai forum negosiasi dengan masyarakat. PT. WKS kemudian melihat konflik dengna meletakkan sebagai bentuk Konflik yaitu (a) klaim, (b) okupasi, (c) overlap). Data kemudian menunjukkan luas konflik. 

Dari data PT. WKS, kemudian dapat dilihat :
1.    Di dalam areal kerja PT Wirakarya Sakti terdapat areal konflik (bermasalah dengan pihak ketiga) s/d tahun 2014 teridentifikasi sebanyak 152 kasus dengan luas ± 68.898 Ha dengan rincian :1. Klaim yaitu pengakuan pihak ketiga yang muncul setelah terbitnya izin perusahaan seluas ± 3.169 Ha. Saat ini areal klaim tersebut biasanya berupa belukar, tebangan dan kebun muda.
2.    Okupasi yaitu kebun garapan masyarakat yang berada di areal kerja perusahaan biasanya telah ada sejak sebelum terbitnya izin perusahaan seluas ± 62.627 Ha. Saat ini pada umumnya berupa kebun produktif dan sebagian pemukiman.
3.    Overlaping / Tumpang Tindih yaitu areal yang masuk izin usaha perusahaan lain seluas ± 3.102 Ha, berupa hutan sekunder, belukar, kebun, infrastruktur dan penggunaan lain diluar sektor kehutanan.
Permasalahan ini belum termasuk areal yang diklaim oleh masyarakat 5 Kabupaten di bawah bendera Persatuan Petani Jambi (PPJ) serta Komunitas Suku Anak Dalam (SAD).  Perkiraan klaim PPJ seluas ) ± 37.894 Ha terdiri dari kebun 20%, Tanaman Pokok 70%, sisanya kawasan lindung dan infrastruktur.  Perkiraan klaim komunitas Suku Anak Dalam seluas ± 400 Ha seluruhnya berupa tanaman pokok perusahaan.

Selain itu trend Dinas Kehutanan Propinsi Jambi yang menempatkan masyarakat sekitar kawasan hutan juga berhak menikmati hasil dari haknya dari hutan.

Menempatkat masyarakat berhak menikmati hasil dan haknya dari hutan kemudian menempatkan Dinas Kehutanan Propinsi Jambi menjalankan fungsionalis struktur. Meminjam istilah Robert K Merton, “fungsionalis structural” [48].  Kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerjasama dalam suatu tingkatan keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur.

Didalam membangun resolusi konflik maka diperlukan berbagai model komunikasi untuk mengurangi konflik[49].

Dimulai dengan Model encoding-decoding. Model ini memandang komunikasi manusia sebagai masalah pengkodean informasi (misalnya, merumuskan kalimat), transmisi pesan (misalnya, berbicara), dan decoding pesan (misalnya, mendengarkan dan pemahaman). Komunikasi yang sukses membutuhkan saluran yang jelas transmisi, dan kode bersama. Dalam paradigma pertama (encoding-decoding) pula hal yang menjadi bahasan penting terkait komunikasi efektif jika pesan-pesan mempunyai arti atau makna yang sama antara si penerima dan  pemberi pesan.

Selanjutnya Model intensionalis mengakui bahwa kata-kata yang sama dapat memiliki arti yang berbeda. Pada model komunikasi ini melibatkan,  mengakui niat komunikatif masing-masing. Model ketiga, Perspektif Taking mengarahkan speaker ketika memutuskan apa yang harus dikatakan, untuk mempertimbangkan apa yang pendengar mereka akan membawa  mereka berarti. Paradigma ketiga ini mengakui bahwa individu dengan bahasa dan budaya yang sama memiliki perspektif yang berbeda pada dunia. Model ini mengarahkan speakeru ntuk merancang pesan mereka agar sesuai perspektif penonton mereka.

Model ke empat adalah Model dialogis, memandang komunikasi sebagai kooperatif (cooperative), proses kolaboratif. Makna muncul dari situasi komunikatif, dan hanya dapat dipahami dalam konteks itu.

Prinsip lima adalah: Jadilah pendengar yang aktif. Dalam situasi konflik, enam prinsip menunjukkan fokus awalnya pada pembentukan kondisi yang memungkinkan komunikasi yang efektif terjadi. Kerja sama bahwa komunikasi memerlukan, setelah dibentuk, mungkin generalisasi kekonteks lain[50].

Sementara itu disebutkan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam resolusi konflik. Pertama; berkompetisi. Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan sendiri di atas kepentingan pihak lain. Kedua.  menghindari konflik. Tindakan  ini  dilakukan jika salah  satu pihak menghindar dari situasi tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini  hanyalah menunda konflik yang terjadi. Ketiga; Akomodasi, yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga sebagai self sacrifying behaviour.

Keempat; Kompromi atau Negosiasi. Tindakan ini dapat dilakukan jika kedua belah pihak merasa bahwa kedua hal tersebut sama–sama penting dan hubungan baik menjadi yang utama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution).

Kelima; Berkolaborasi atau Bekerjasama. Menciptakan situasi menang-menang dengan saling bekerjasama (win-win solution). Pemecahan sama-sama   menang  dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama. Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan  saling memperhatikan satu sama lainnya.

Prinsip keadilan merupakan bagian terpenting dalam mengatur kehidupan bersama. Di sini, prinsip keadilan dibutuhkan sehingga dalam sebuah kelompok dapat diciptakan relasi-relasi yang adil, saling menguntungkan, dan saling menghormati.

Prinsip keadilan yang pertama, sering disebut sebagai keadilan substantif, mengatur pembagian sumber daya, keuntungan, dan kekuasaan[51]. Distribusi atas ketiganya diatur berdasarkan nilai-nilai yang dianut dan tujuan yang dikehendaki bersama. Dalam memformulasikan keadilan distribusi ini, sering kali terjadi konflik dalam arti perselisihan. Namun, proses ini harus berjalan dan konflik seperti ini pada umumnya dapat diselesaikan, bahkan jalan keluar yang dirumuskan bersama merupakan pegangan untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan selanjutnya. Dengan demikian, konflik yang terjadi bersifat fungsional.

Tidak mudah untuk mewujudkan kaidah keadilan distributif yang dapat diterima oleh semua pihak dan dapat menjadi pegangan dalam penyelesaian konflik. Diperlukan adanya prosedur-prosedur yang juga adil. Dengan kata lain, prinsip keadilan kedua, yaitu keadilan prosedural, juga harus dirumuskan. Prinsip keadilan prosedural sangat dekat dengan prinsip good governance yang akhir- akhir ini banyak didengungkan. Prosedur yang adil terwujud bila di dalamnya ada partisipasi/representasi berbagai pihak, transparansi dan akurasi informasi, akuntabilitas dan tidak bias, kompetensi dan konsistensi, serta etis. Prosedur yang demikianlah yang akan mencegah konflik kekerasan dan bila terjadi konflik, maka dapat diarahkan pada konflik yang fungsional.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Setelah dilakukan analisis mendalam dengan data-data yang telah dikumpulkan maka konflik kemudian dianalisis menggunakan berbagai pendekatan  seperti terminology konflik,analisis konflik, sumber konflik, anatomi konflik, konfigurasi konflik dan eskalasi konflik. Kemudian didapatkan hasil sebagai berikut :
1.    Analisis dilakukan terhadap Konflik terjadi di sector sawit dan HTI. Di Sektor HTI semua konflik dianalisis berhadapan dengan PT. WKS. Sedangkan di sector sawitm konflik yang dianalisis berhadapan dengan PT. BBS.
2.    Konflik dianalisis adalah konflik terbuka.
3.    Adanya perbedaan klaim terhadap obyek tanah.
4.    Konflik bersumber dari ekonomi dan identitas.
5.    Konflik menyebabkan hilangnya tempat yang dihormati masyarakat.
6.    Penyebab konflik dilihat dari stage of conflict, timeline dan mapping conflict. Namun konflik tidak menyebabkan perubahan kebudayaan.
7.    Anatomi konflik kemudian menyebabkan Munculnya perilaku anomaly dalam masyarakat. Bagan dan struktur konflik kemudian menyebabkan terjadinya tiga actor. Pemerintah, perusahaan dan masyarakat.
8.    Sedangkan upaya penyelesaian menggunakan fasilitasi oleh struktur kelembagaan negara dan bertindak sebagai “safety valve”.
9.    Periode konflik terus menaik sejak tahun 2002 – 2012. Namun sejak tahun 2012, PT. WKS menawarkan pola penyelesaian dan kemudian difasilitasi oleh negara. Pergeseran paradigman kemudian menempatkan masyarakat mempunyai hak terhadap hutan.


B.    Rekomendasi

Dari pemaparan dan analisis yang telah dilakukan maka diperlukan upaya-upaya untuk menyelesaikan konflik.
1.    Dibangun upaya komunikasi yang intensif dari berbagai actor multistakeholders
2.    Menggunakan saluran negara sebagai bentuk pengakuan hak masyarakat.
3.    Memperkuat data dan bukti terhadap bahan diajukan didalam mekanisme penyelesaian resolusi konflik.










[1] Konflik adalah pertentangan kekuatan yang secara eksklusif merupakan satu aspek kekuatan social. Setiap konflik social menyangkut kepentingan. Dalam pandangan R.J Rummel, konflik adalah suatu proses dari kekuatan yang berinteraksi dalam kurun waktu menuju keseimbangan kekuatan.Lisman Sumardjani, Konflik Sosial Kehutanan – Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik, Working Group Tenure, Bogor, 2007, Hal. 22. Dalam term terminologi konflik, penulis menggunakan pendekatan “dimaknai sebagai pertentangan kepentingan antara kedua belah pihak. Dalam bacaan ini kemudian disinkronkan dengan kepentingan antara masyarakat dengan pihak lain (baik perusahaan maupun akibat kebijakan negara)[1].
[2] Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal. 50
[3] H. Ridham Priskap, Pertemuan Penanganan Gangguan Usaha Perkebunan dan konflik Perkebunan, Jambi, 12 April 2016
[4] Jaringan Masyarakat Gambut Jambi, 2017
[5] Data diolah dari berbagai sumber. Paparan Dinas Kehutanan Propinsi Jambi tahun 2011, Paparan APP Mei 2013 dan data-data Walhi
[6] AKBP Almansyah, Kabid Humas Polda Jambi, Di Jambi, 131 potensi konflik, Jambi Ekspress, 5 Juni 2013
[7] Sigit Eko Yuwono, Kabid Penanganan Konflik Kesbangpol Linmas Propinsi Jambi, Diskusi Refleksi Akhir Tahun Bidang Hukum” yang digelar Jambi Independent bekerja sama dengan Sigma Indonesia, Survey & Consultans, Jambi Independent, 28 Desember 2011
[8] Catatan Akhir Tahun 2013, Perkebunan Sawit Hendak Kemana?”, Bulletin Tandan Sawit. edisi Desember 2013, hal. 20.
[9] Catatan ini bersumber dari kliping media massa lokal sejak tahun 1999 – 2012, Walhi Jambi
[10] Tim Penyelesaian dan Resolusi Konflik Propinsi Jambi, tahun 2010
[11]  Dinas Kehutanan Propinsi Jambi mengakui tapal batas yang belum selesai. Masih sekitar 75% dari areal kawasan hutan.
[12] Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, 5 Mei 2014
[13] Data-data menunjukkan, sektor pertambangan mulai memantik persoalan. Baik biaya jalan yang mencapai 300 milyar dibandingkan dengan royalti yang hanya mencapai 10 milyar. Banjir badang dan sungai batanghari yang sudah tercemar akibat zat kimia dari batubara. Jatam, Diskusi Pertambangan, Walhi Jambi.
[14]  Dinas Kehutanan Propinsi Jambi mengakui tapal batas yang b
belum selesai. Masih sekitar 75% dari areal kawasan hutan.
[15] Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, 5 Mei 2014
[15] Data-data menunjukkan, sekt
or pertambangan mulai memantik persoalan. Baik biaya jalan yang mencapai 300 milyar dibandingkan dengan royalti yang hanya mencapai 10 milyar. Banjir badang dan sungai batanghari yang sudah tercemar akibat zat kimia dari batubara. Jatam, Diskusi Pertambangan, Walhi Jambi.
omuniti ini kemudian memunculkan konflik serta pertikaian-pertikaian, baik yang diungkapkan dalam bentuk unjuk-rasa atau gerakan sosial lainnya, mahupun yang tidak diungkapkan, namun akan berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari.
[17] Walhi Jambi, 2017
[18] Walhi Jambi, 2014
[19] Jaringan Masyarakat Gambut Jambi, 2017
[20] Sejak terbitnya UU No. 32 Tahun 2009 tertanggal 3 Oktober 2009
[21] Terbitnya Izin Lingkungan berdasarkan Surat Keputusan Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Muara Jambi tertanggal 9 Desember 2016
            [22] Lihat alur konflik yang terjadi di 6 Desa.
            [23] Lisman Sumardjani, Konflik Sosial Kehutanan – Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik, Working Group Tenure, Bogor, 2007, Hal. 22
            [24] Koalisi Anti Mafia Hutan, Akankah Asia Pulp & Paper Mengingkari Komitmen “Zero Deforestation”, Koalisi Anti Mafia Hutan, April 2016, Hal. 55
            [25] Term ini sedikit lebih luas yang telah disampaikan oleh Sawit watch “Pelatihan Negosiasi dalam Konflik Sumber daya alam”, Sawit watch – Scale up, Bogor, 2011, Hal. 1.
            [26] Laporan Status Lingkungan Hidup tahun 2014.
            [27] Paparan APP dalam presentasi sosialisasi Forest Conservation Policy
            [28] Surat Sekretaris Daerah Pemerientah Propinsi Jambi No N0. 522/296/I- Ekbang TGL 23-01-07
[29] Ken Plummer, Sosiology The Basic, terj., Nanang Martono dan Sisworo, Penerbit Rajawali Press, Jakarta, 2013, Hal. 45. 
[30] Simon Fisher menjelaskan ada beberapa faktor penyebab konflik, di antaranya yaitu, pertama, teori hubungan masyarakat (community relations theory). Teori ini mengemukakan bahwa konflik yang terjadi lebih disebabkan polarisasi, ketidakpercayaan (distrust) maupun permusuhan antar kelompok yang berada di tengah-tengah masyarakat. Kedua, teori negosiasi prinsip (principled negotiation theory). Teori ini menjelaskan bahwa konflik disebabkan oleh posisi- posisi yang tidak selaras serta perbedaan pandangan tentang konflik antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Ketiga, teori kebutuhan manusia (human needs theory), artinya bahwa konflik yang muncul di tengah masyarakat disebabkan oleh perebutan kebutuhan dasar manusia, seperti kebutuhan fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi dalam perebutan tersebut. Keempat, teori identitas (identity teory). Teori ini menjelaskan bahwa konflik disebabkan identitas yang terancam atau berakar dari hilangnya sesuatu serta penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan. Kelima, teori transformasi konflik (intercultural miscommunication theory), bahwa konflik disebabkan oleh hadirnya masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam ranah kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Simon Fisher, Working With Conflit: Skills and Strategies for Action. Zed Book Ltd, Londong, 2000, hal. 3
[31] Stage of conflict, dengan menggunakan alat ini, maka akan dapat ditemukan tahapan-tahapan dalam konflik. Sedangkan dengan menggunakan alat time lines bisa mengetahui kronologi koflik secara berurutan. Adapun analisis conflict maping, alat ini akan menjelaskan tentang siapa saja yang terlibat dalam konflik, isu yang menjadi faktor penyebab konflik, dan relasi antar aktor. Mukhsin Jamil (ed), Mengelola Konflik Membangun Damai, WMC (Walisongo Mediation Center), Semarang, 2007, hal. 48-49
[32] Soekanto dan Sulistyowati, Sosiologi Pendidikan, Penerbit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, Hal. 274.
[33] R. Dahrendorf, 1958. Toward a Theory of Social Conflict. The Journal of Conflict Resolution, Vol. 2, No. 2 (Jun., 1958), Hal 170-183. Published by: Sage Publications, Inc.
[34] Talcott  Parsons, The Structure of Social Action (1937), London, 1937, 
[35] Soekanto dan Sulistyowati, Sosiologi Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal. 274.
[36] Johnson, D.P. Teori Sosiologi: Klasik dan Modern (Jilid II).  Terj. Robert M.Z. Lawang. Jakarta,  Gramedia, 1990, Hal. 26
[37]  Prof.Dr. Soerjono Soekanto, SH., MA dan Ratih Lestarini,SH. Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi, Jakarta: Sinar Grafika, cet. 1998) hal.78.
[38] Margaret Poloma, Sosiologi Kontemporer, Penerbit PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1994, Hal. 111-114
[39] A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta, 2002, hal 289
[40] Menurut Pujo Suharso, Atkins membagi Rent” ke dalam 5 jenis: 1) Rent Recardian, yaitu rent yang timbul sebagai akibat adanya sifat kualitas tanah yang berhubungan dengan sifat penggunaan tertentu dan atau kelangkaannya; 2) Rent Lokasi, yaitu rent yang timbul akibat lokasi dari suatu tanah relatif terhadap lokasi lainnya (aksesbilitas tanah); 3) Ren Lingkungan, yaitu rent yang timbul akibat adanya fungsi ekologis tanah dalam suatu ekosistem; 4) Rent Sosial, yaitu rent yang timbul apabila pemilik-penguasa tanah menimbulkan sejumlah social previledges bagi pemilik atau penguasanya; dan 5). Rent politik, yaitu rent yang timbul jika pemilikan penguasaan tanah memberikan sejumlah kekuatan atau posisi politik di dalam masyarakat. Pujo Suharso, Tanah, Petani dan Politik, Banyemedia Publishing, Solo, 2012. 
[41] Novri Susan, Sosiologi konflik dan isu-isu konflik kontemporer. Penerbit Kencana, Jakarta, 2009, Hal 72-73
[42] Pruitt, Dean, G., and Hee Kim, Sung. 2004. Social Conflict: Escalation,Sstalemate, and Settlement. (3rd Edition,  McGrawHill, New York, 2004
[43] Padahal UU Pokok Agraria telah mengatur Mengenai hak-hak atas tanah berupa (a) hak milik (b). hak guna usaha,(c) hak guna bangunan,(d) hak pakai (e) hak sewa (f) hak membuka tanah (g) hak memungut hasil hutan,(hak-hak lain yang ditetapkan dengan undang-undang. Selain itu juga dikenal Hak-hak atas air dan ruang angkasa seperti (a). hak guna air (b) hak pemeliharaan dan penangkapan ikan dan (c). hak guna ruang angkasa[43].
[44] R. Osborne dan B. van Loon. 1998. Mengenal Sosiologi: For Beginners. Ed. Richard Appignanesi. Terj.
[45] Johan Galtung, Peace by peaceful conflict transformation: The transcend approach handbook of peace and conflict studies. New York : Routledge, 2007
[46] John Keane, Violence and Democracy, Cambridge University, Cambridge, 2004, Hal. 224
[47] Novri Susan, Negara Gagal Mengelola Konflik, Penerbit Kopi, Yogyakarta, 2012, Hal. 14
[48] Analisis fungsional struktural memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat dan kultur. Setiap objek yang dijadikan sasaran analisis fungsional struktural tentu mencerminkan hal yang standar (artinya terpola dan berulang). Sasaran studi fungsional struktural adalah antara lain adalah : peran sosial, pola insitusional, proses sosial, pola kultur, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, pengendalian sosial dan sebagainya. Robert K Merton, Social Theory and Social Structure. The Free Press, New York, 1949
[49] Marton Deutsch and Coleman, Peter T. The Handbook of Conflict Resolution Theory and Practice. Penerbit Jossey-Bass, San Francisco, 2000.
[50]Ibid., h. 141
[51] Greenberg, J. 1996. The Quest for Justice on the Jobs. London: Sage.