21 Maret 2019

opini musri nauli : The Real Profesor


Ketika Myrna Savitri (mbak Myrna), Deputi III BRG menyampaikan kegundahan tentang perbincangan akademisi yang harus berangkat dari berbasis konsep, data, fakta dan analisis logis, tiba-tiba saya tersentak untuk membacanya lebih utuh.
Pelan-pelan saya kemudian mulai memahami “alur” pikiran akademisi yang “ketat” untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan tidak boleh lepas dari konsep, data, fakta dan analisis logis.

Sebagai disiplin ilmu, kaidah akademisi tidak boleh lepas. Disiplin ilmu kemudian mengajarkan bagaimana kaidah-kaidah menempatkan sebagai kesimpulan.

Namun kekagetan saya tidak berhenti. Dengan tegas Mbak Myrna malah kemudian menohok dengan kalimat tegas. “Sejak dulu saya tidak gampang terpukau dengan pangkat guru besar dan gelar doctor. Kalimat ditutup dengan “the real professor”.

Istilah “The real professor” mengingatkan tentang istilah yang pernah menguat awal tahun 2017. Walhi mengeluarkan Buku “Gambut – Kelola Rakyat Atas Ekosistem Rawa Gambut ; Pelajaran Ragam Potret dan Argumen Tanding’. Buku yang memaparkan pengetahuan masyarakat gambut di 6 Provinsi (Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar dan Kalsel) justru mengajarkan tentang pengelolaan gambut ditengah masyarakat.

Ditengah masyarakat Melayu Jambi terutama dipesisir pantai Timur Sumatera didaerah hilir Jambi, pengetahuan gambut ditandai dengan identitas dengan penamaan yang khas.

Istilah-istilah seperti “payo, payo dalam, rawa, lopak, danau, aur” adalah penamaan yang menunjuk terhadap ekosistem gambut. Di Sumsel dikenal seperti “lebak” atau rawang. Istilah “lebak berayun” juga dikenal. Di Kalsel disebutkan “tanah ireng’. Di Papua dikenal istilah “tanah bergoyang”.

Areal ini adalah daerah yang dilindungi. Areal inilah menjadi sumber tangkapan ikan dan air bersih. Sehingga praktis daerah ini sama sekali tidak boleh dirusak ataupun dikonversi untuk tanaman.

Cara untuk menentukan daerah gambut dikenal berdasarkan tanaman tertentu. Istilah “akar bekait, pakis dan jelutung” adalah tanda sebagai daerah gambut. Ada juga menyebutkan “kait-kait’.

Bahkan di Kalteng, untuk menentukan daerah boleh dibuka atau tidak ditandai dengan memasukkan Mandau kedalam tanah. Apabila diujung Mandau tidak terdapat tanah, maka dipastikan adalah gambut dalam. Dan sama sekali tidak dibenarkan untuk membukanya.

Di Kalteng, dikenal “tanaman kumpai”. Di Jambi, “kumpai” disebutkan “kumpeh”. Kumpeh terdapat di Sungai Kumpeh. Bahkan nama Kumpeh kemudian melekat menjadi Marga Kumpe Ulu dan Marga Kumpeh Ilir. Marga Kumpeh Ulu kemudian menjadi Kecamatan Kumpeh Ulu. Sedangkan Kumpeh Ilir menjadi Kecamatan Kumpeh Ilir. Kecamatan Kumpeh Ulu dan Kecamatan Kumpeh Ilir termasuk kedalam kabupaten Muara Jambi.

Selain itu dikenal daerah untuk menanam padi. Di Kumpeh dikenal sebagai “peumoan”. Di Rantau Rasau dan di Sungai Rambut dikenal “genah umo”. Genah artinya “letak”. Sedangkan “umo” adalah tempat untuk tanaman padi. Sehingga “genah umo” adalah daerah yang dikhususkan untuk tanaman padi.

Pengetahuan masyarakat didaerah gambut yang diwariskan ratusan tahun adalah data empirik yang tidak terbantahkan. Sehingga literatur harus merujuk kepada data-data empirik.

Dalam launcing buku, istilah “Profesor kampus” dan Profesor kampung” menjadi wacana yang kuat. Secara sekilas, disebutkan, mengenai pengetahuan dan pengelolaan gambut, justru “Profesor kampus” dapat belajar dari “Profesor kampung”.

Para penutur pengetahuan inilah yang kemudian dikenal sebagai “guru besar” kampung.

Sehingga saya berkeyakinan, “the real Profesor” dapat disandingkan dengan “Profesor Kampung” sebagaimana saat launcing buku awal tahun 2017