Ketika Myrna Savitri (mbak Myrna),
Deputi III BRG menyampaikan kegundahan tentang perbincangan akademisi yang
harus berangkat dari berbasis konsep, data, fakta dan analisis logis, tiba-tiba
saya tersentak untuk membacanya lebih utuh.
Pelan-pelan saya kemudian mulai
memahami “alur” pikiran akademisi yang “ketat” untuk menarik kesimpulan.
Kesimpulan tidak boleh lepas dari konsep, data, fakta dan analisis logis.
Sebagai disiplin ilmu, kaidah
akademisi tidak boleh lepas. Disiplin ilmu kemudian mengajarkan bagaimana
kaidah-kaidah menempatkan sebagai kesimpulan.
Namun kekagetan saya tidak berhenti.
Dengan tegas Mbak Myrna malah kemudian menohok dengan kalimat tegas. “Sejak dulu saya tidak gampang terpukau
dengan pangkat guru besar dan gelar doctor. Kalimat ditutup dengan “the real professor”.
Istilah “The real professor”
mengingatkan tentang istilah yang pernah menguat awal tahun 2017. Walhi
mengeluarkan Buku “Gambut – Kelola Rakyat
Atas Ekosistem Rawa Gambut ; Pelajaran Ragam Potret dan Argumen Tanding’.
Buku yang memaparkan pengetahuan masyarakat gambut di 6 Provinsi (Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar dan Kalsel)
justru mengajarkan tentang pengelolaan gambut ditengah masyarakat.
Ditengah masyarakat Melayu Jambi
terutama dipesisir pantai Timur Sumatera didaerah hilir Jambi, pengetahuan
gambut ditandai dengan identitas dengan penamaan yang khas.
Istilah-istilah seperti “payo, payo dalam, rawa, lopak, danau, aur”
adalah penamaan yang menunjuk terhadap ekosistem gambut. Di Sumsel dikenal
seperti “lebak” atau rawang. Istilah “lebak berayun” juga dikenal. Di Kalsel
disebutkan “tanah ireng’. Di Papua dikenal istilah “tanah bergoyang”.
Areal ini adalah daerah yang
dilindungi. Areal inilah menjadi sumber tangkapan ikan dan air bersih. Sehingga
praktis daerah ini sama sekali tidak boleh dirusak ataupun dikonversi untuk
tanaman.
Cara untuk menentukan daerah gambut
dikenal berdasarkan tanaman tertentu. Istilah “akar bekait, pakis dan jelutung” adalah tanda sebagai daerah
gambut. Ada juga menyebutkan “kait-kait’.
Bahkan di Kalteng, untuk menentukan daerah
boleh dibuka atau tidak ditandai dengan memasukkan Mandau kedalam tanah.
Apabila diujung Mandau tidak terdapat tanah, maka dipastikan adalah gambut
dalam. Dan sama sekali tidak dibenarkan untuk membukanya.
Di Kalteng, dikenal “tanaman kumpai”. Di Jambi, “kumpai”
disebutkan “kumpeh”. Kumpeh terdapat di Sungai Kumpeh. Bahkan nama Kumpeh
kemudian melekat menjadi Marga Kumpe Ulu dan Marga Kumpeh Ilir. Marga Kumpeh
Ulu kemudian menjadi Kecamatan Kumpeh Ulu. Sedangkan Kumpeh Ilir menjadi
Kecamatan Kumpeh Ilir. Kecamatan Kumpeh Ulu dan Kecamatan Kumpeh Ilir termasuk
kedalam kabupaten Muara Jambi.
Selain itu dikenal daerah untuk
menanam padi. Di Kumpeh dikenal sebagai “peumoan”. Di Rantau Rasau dan di
Sungai Rambut dikenal “genah umo”. Genah artinya “letak”. Sedangkan “umo”
adalah tempat untuk tanaman padi. Sehingga “genah umo” adalah daerah yang
dikhususkan untuk tanaman padi.
Pengetahuan masyarakat didaerah gambut
yang diwariskan ratusan tahun adalah data empirik yang tidak terbantahkan.
Sehingga literatur harus merujuk kepada data-data empirik.
Dalam launcing buku, istilah “Profesor
kampus” dan Profesor kampung” menjadi wacana yang kuat. Secara sekilas,
disebutkan, mengenai pengetahuan dan pengelolaan gambut, justru “Profesor
kampus” dapat belajar dari “Profesor kampung”.
Para penutur pengetahuan inilah yang
kemudian dikenal sebagai “guru besar” kampung.
Sehingga saya berkeyakinan, “the
real Profesor” dapat disandingkan dengan “Profesor Kampung” sebagaimana saat
launcing buku awal tahun 2017