26 September 2016

opini musri nauli : Rakyat vis Negara tentang Kebakaran


Kebakaran tahun 2015 memasuki tahun kelam. Selama tiga bulan ditutupi asap. Hingga Oktober 2015, berdasarkan citra satelit, WALHI mencatat terdapat sebaran kebakaran 52.985 hektar di Sumatera dan 138.008 di Kalimantan. Total 191.993 hektar. Indeks mutu lingkungan hidup kemudian tinggal 27%. Instrumen untuk mengukur mutu lingkungan Hidup dilihat dari “daya dukung” dan “daya tampung”, Instrumen Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, penggunaan “scientific” dan pengetahuan local masyarakat memandang lingkungan hidup.
Kebakaran kemudian menyebabkan asap pekat. Menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. NASA memperkirakan 600 juta ton gas rumah kaca telah dilepas akibat kebakaran hutan di Indonesia tahun ini. Jumlah itu kurang lebih setara dengan emisi tahunan gas yang dilepas Jerman.

25,6 juta orang terpapar asap dan mengakibatkan 324.152 jiwa yang menderita ISPA dan pernafasan lain akibat asap. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) melampaui batas berbahaya. Bahkan hingga enam kali lipat seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. 12 orang anak-anak meninggal dunia akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan. 4 balita di Kalteng, 3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3 di Riau dan 1 orang di Sumsel.

Selain itu juga Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan warga terserang ISPA. Di Jambi ada 20.471 orang, Kalimantan Tengah 15.138, Sumatera Selatan 28.000, dan Kalimantan Barat 10.010 orang.

Kualitas udara yang sangat berbahaya juga mengakibatkan anak-anak terpaksa diliburkan dari sekolah. Di Riau, 1,6 juta anak-anak sekolah diliburkan. Di Jambi sudah dua bulan diliburkan. Bahkan di Sumsel, pemerintah baru meliburkan sekolah walaupun status ISPU sudah sangat berbahaya. Penerbangan terganggu di Kalbar dan Sumsel. Bahkan lumpuh di Riau, Jambi dan Kalteng.

Kebakaran terbesar dan terluas terjadi pada tahun 1982-1983 yang mencapai 3,2 juta hektare. Kemudian disusul pada 1997 seluas 1,3 juta hektare. The Singapore Center for Remote Sensing menyebutkan 1,5 juta hektar. Kebakaran tahun 1997 diperparah dengan El Nino, gejala kekeringan yang meliputi 17 Propinsi di Indonesia.

Tahun 2015, Walhi sendiri mencatat, hasil analisis menunjukkan mayoritas titik api di dalam konsesi perusahaan. Di HTI 5.669 titik api, perkebunan sawit 9.168 titik api.

Kelima daerah kemudian menyatakan “darurat asap” sehingga diperlukan upaya Negara untuk memadamkan api selama tiga bula lebih.

Namun dalam penegakkan hukum, aparat penegak hukum kesulitan untuk “menjerat” pelaku tindak pidana yang dianggap bertanggungjawab terhadap kebakaran tahun 2015.

Ketika kebakaran semakin massif, medio Oktober 2015, Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan 12 perusahaan yang kemudian dijadikan tersangka.

Proses penegakkan hukum terhadap perusahaan penyebab kebakaran tahun 2015 yang berlarut-larut, lambat kemudian sepi dari pemberitaan.

Namun yang paling menyedihkan pernyataan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menyebutkan “petani” yang membakar lahan bertentangan dengan fakta-fakta yang disampaikan oleh berbagai kalangan (Kompas, 7 September 2015).

Menempatkan pelaku “petani” sebagai penyumbang asap sama sekali kurang didukung dengan fakta-fakta berbagai sumber yang menyebutkan titik api berasal dari perusahaan “pemegang izin”. Baik pemegang izin kehutanan maupun “pemegang izin” perkebunan. Selain itu juga menempatkan “petani” merupakan sebuah pemahaman yang keliru apabila pernyataan kemudian disandarkan kepada pasal 69 UU Lingkungan Hidup.

Hasil riset Walhi Jambi tahun 2016 menunjukkan, Di satu sisi, cara mengelola tanah oleh masyarakat telah dikenal ratusan tahun yang lalu Cara pengatura tentang wilayah yang dikenal seperti “peumoan, pematang,”, tradisi membersihkan lahan seperti pelarian, beselang maupun tata cara membuka lahan seperti melaras, menebang, mereda, melarat, membakar dan memerun”maupun teknik mengelola wilayah “peumoan” seperti “mengorot, ngaur, ngiri, menampi sudah dikenal masyarakat.

Bahkan dalam tradisi “merun”, dikenal mantra  hantu tanah, jumblang tanah, Betak biuto, Tembu Beriang, Dibatasi lahan kayu, lahan rempai,
Keluarlah dari sini.  
Kalau dak mau keluar, lukah dak kami pampah. Mati dak kami bangun.  
Kami membakar yang layu yang rengah.
Jin Api. Jin Angin bakarlah yang layu yang rengah.

Dengan pembacaan mantra, maka api tidak menjalar dan dapat dikendalikan hingga masa menugal.

Selain itu masyarakat mampu mengidentifikasi lahan gambut dengan kedalaman yang ditandai dengan “akar bekait, pohon jernang dan pakis”. Lahan yang tidak boleh dibuka berdasarkan hukum adat. Cara ini sudah dikenal ratusan tahun yang lalu.  Di Marga Kumpeh Ilir, tradisi ini telah dikenal sejak abad XVIII.

Tuduhan terhadap petani penyebab kebakaran 2015 selain menyakitkan juga tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Makna ini sesuai dengan pasal 69 UU Lingkungan Hidup yang mengadopsi dan mengakui masyarakat tentang cara membakar. Di Jambi biasa disebut “merun”.

Lahan gambut dengan kedalaman diatas tiga meter yang dilindungi masyarakat dan tidak boleh dibuka kemudian diberikan konsensi kepada perusahaan. Lahan yang telah diberikan kemudian dihancurkan dengna dibangun kanal-kanal sehingga menjadi penyumbang kebakaran sejak tahun 2010.

Titik api di areal konsensi terutama yang berada di kedalaman gambut diatas tiga meter inilah yang sulit dipadamkan sehingga kebakaran tahun 2015 adalah kebakaran paling massif.

Namun upaya sistematis dan melemparkan tanggungjawab terhadap kepada masyarakat selain menafikan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat juga “mengalihkan” persoalan kepada petani.

Upaya ini juga sekaligus melepaskan tanggungjawab perusahaan sebagai penyebab kebakaran tahun 2015 dan menutupi proses hukum terhadap perusahaan penyebab kebakaran.

Upaya terus dilakukan dengna menerbitkan berbagai perangkat peraturan yang justru “menakut-nakuti” masyarakat dengan berbagai peraturan yang justru tidak tepat diletakkan pada konteks masyarakat adat.