Kebakaran tahun 2015 memasuki
tahun kelam. Selama tiga bulan ditutupi asap. Hingga
Oktober 2015, berdasarkan citra satelit, WALHI mencatat terdapat sebaran kebakaran
52.985 hektar di Sumatera dan 138.008 di Kalimantan. Total 191.993 hektar.
Indeks mutu lingkungan hidup kemudian tinggal 27%. Instrumen untuk mengukur
mutu lingkungan Hidup dilihat dari “daya dukung” dan “daya tampung”, Instrumen
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, penggunaan “scientific” dan pengetahuan
local masyarakat memandang lingkungan hidup.
Kebakaran kemudian menyebabkan asap pekat. Menghasilkan emisi gas
rumah kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang berkontribusi terhadap perubahan
iklim. NASA memperkirakan 600
juta ton gas rumah kaca telah dilepas akibat kebakaran hutan di Indonesia tahun
ini. Jumlah itu kurang lebih setara dengan emisi tahunan gas yang dilepas
Jerman.
25,6 juta orang terpapar asap dan mengakibatkan 324.152 jiwa yang menderita ISPA dan pernafasan lain
akibat asap. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) melampaui batas berbahaya.
Bahkan hingga enam kali lipat seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Barat. 12 orang anak-anak meninggal dunia akibat asap dari kebakaran
hutan dan lahan. 4 balita di Kalteng, 3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3 di
Riau dan 1 orang di Sumsel.
Selain itu juga Kebakaran
hutan dan lahan menyebabkan warga terserang ISPA. Di Jambi ada 20.471 orang,
Kalimantan Tengah 15.138, Sumatera Selatan 28.000, dan Kalimantan Barat 10.010
orang.
Kualitas udara yang sangat berbahaya juga mengakibatkan anak-anak terpaksa
diliburkan dari sekolah. Di Riau, 1,6 juta anak-anak sekolah diliburkan. Di
Jambi sudah dua bulan diliburkan. Bahkan di Sumsel, pemerintah baru meliburkan
sekolah walaupun status ISPU sudah sangat berbahaya. Penerbangan terganggu di
Kalbar dan Sumsel. Bahkan lumpuh di Riau, Jambi dan Kalteng.
Kebakaran
terbesar dan terluas terjadi pada tahun 1982-1983 yang mencapai 3,2 juta
hektare. Kemudian disusul pada 1997 seluas 1,3 juta hektare. The Singapore
Center for Remote Sensing menyebutkan 1,5 juta hektar. Kebakaran tahun 1997
diperparah dengan El Nino, gejala kekeringan yang meliputi 17 Propinsi di
Indonesia.
Tahun
2015, Walhi sendiri mencatat, hasil analisis menunjukkan mayoritas titik api di
dalam konsesi perusahaan. Di HTI 5.669 titik api, perkebunan sawit 9.168 titik
api.
Kelima
daerah kemudian menyatakan “darurat asap” sehingga diperlukan upaya Negara
untuk memadamkan api selama tiga bula lebih.
Namun dalam penegakkan hukum,
aparat penegak hukum kesulitan untuk “menjerat” pelaku tindak pidana yang
dianggap bertanggungjawab terhadap kebakaran tahun 2015.
Ketika kebakaran semakin massif, medio Oktober 2015,
Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan 12 perusahaan yang kemudian dijadikan
tersangka.
Proses penegakkan hukum
terhadap perusahaan penyebab kebakaran tahun 2015 yang berlarut-larut, lambat
kemudian sepi dari pemberitaan.
Namun yang paling menyedihkan pernyataan dari Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menyebutkan “petani” yang membakar lahan bertentangan dengan fakta-fakta yang
disampaikan oleh berbagai kalangan (Kompas, 7 September 2015).
Menempatkan pelaku “petani” sebagai penyumbang asap sama
sekali kurang didukung dengan fakta-fakta berbagai sumber yang menyebutkan
titik api berasal dari perusahaan “pemegang izin”. Baik pemegang izin kehutanan
maupun “pemegang izin” perkebunan. Selain itu juga menempatkan “petani”
merupakan sebuah pemahaman yang keliru apabila pernyataan kemudian disandarkan
kepada pasal 69 UU Lingkungan Hidup.
Hasil
riset Walhi Jambi tahun 2016 menunjukkan, Di satu sisi, cara mengelola tanah
oleh masyarakat telah dikenal ratusan tahun yang lalu Cara pengatura tentang
wilayah yang dikenal seperti “peumoan,
pematang,”, tradisi membersihkan lahan seperti pelarian, beselang maupun tata cara membuka lahan seperti melaras, menebang, mereda, melarat, membakar
dan memerun”maupun teknik mengelola wilayah “peumoan” seperti “mengorot, ngaur, ngiri, menampi sudah
dikenal masyarakat.
Bahkan
dalam tradisi “merun”, dikenal mantra hantu tanah, jumblang tanah, Betak biuto,
Tembu Beriang, Dibatasi lahan kayu, lahan rempai,
Keluarlah dari sini.
Kalau dak mau keluar, lukah dak kami pampah.
Mati dak kami bangun.
Kami membakar yang layu yang rengah.
Jin Api. Jin Angin bakarlah yang layu yang
rengah.
Dengan
pembacaan mantra, maka api tidak menjalar dan dapat dikendalikan hingga masa
menugal.
Selain
itu masyarakat mampu mengidentifikasi lahan gambut dengan kedalaman yang
ditandai dengan “akar bekait, pohon jernang dan pakis”. Lahan yang tidak boleh
dibuka berdasarkan hukum adat. Cara ini sudah dikenal ratusan tahun yang
lalu. Di Marga Kumpeh Ilir, tradisi ini
telah dikenal sejak abad XVIII.
Tuduhan
terhadap petani penyebab kebakaran 2015 selain menyakitkan juga tidak sesuai
dengan kenyataan di lapangan.
Makna
ini sesuai dengan pasal 69 UU Lingkungan Hidup yang mengadopsi dan mengakui
masyarakat tentang cara membakar. Di Jambi biasa disebut “merun”.
Lahan
gambut dengan kedalaman diatas tiga meter yang dilindungi masyarakat dan tidak
boleh dibuka kemudian diberikan konsensi kepada perusahaan. Lahan yang telah
diberikan kemudian dihancurkan dengna dibangun kanal-kanal sehingga menjadi
penyumbang kebakaran sejak tahun 2010.
Titik
api di areal konsensi terutama yang berada di kedalaman gambut diatas tiga
meter inilah yang sulit dipadamkan sehingga kebakaran tahun 2015 adalah
kebakaran paling massif.
Namun
upaya sistematis dan melemparkan tanggungjawab terhadap kepada masyarakat
selain menafikan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat juga “mengalihkan”
persoalan kepada petani.
Upaya
ini juga sekaligus melepaskan tanggungjawab perusahaan sebagai penyebab
kebakaran tahun 2015 dan menutupi proses hukum terhadap perusahaan penyebab
kebakaran.
Upaya
terus dilakukan dengna menerbitkan berbagai perangkat peraturan yang justru
“menakut-nakuti” masyarakat dengan berbagai peraturan yang justru tidak tepat
diletakkan pada konteks masyarakat adat.