Musri
Nauli[1]
Abstraksi
Fires in 2015 destroyered five
province (Riau, Jambi,
South Sumatra, West Kalimantan and
Central Kalimantan). Burn 2 million hectares. 25.6 million
people are exposed to the haze that resulted in 342.152 affected URI (under respiratory
infection). Causing losses of US
$ 16 billion (Rp
221 trillion).
On the other hand, the paradigm of the theme of the fires were still using the principle of thinking "Geen Straft zonder Schuld". A principle of the continental European system of law should be abandoned.
On the other hand, the paradigm of the theme of the fires were still using the principle of thinking "Geen Straft zonder Schuld". A principle of the continental European system of law should be abandoned.
Whereas the various laws and regulations, principles, theories have used
the principle of "Absolute liability". A principle which departs from the
Anglo-Saxon system of law and facilitate verification.
Kebakaran tahun 2015 telah meluluhlantakkan 5 Propinsi
(RIau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah).
Membakar 2 juta hektar. 25,6 juta orang terpapar asap yang mengakibatkan
342.152 jiwa terserang ISPA. Menimbulkan kerugian US$ 16 milyar (Rp 221
Trilyun).
Namun disisi lain, paradigm tentang tema kebakaran masih
menggunakan pemikiran asas “Geen Straft zonder schuld”. Sebuah asas dalam
sistem hukum Eropa Kontinengal yang harus ditinggalkan.
Padahal berbagai peraturan perundang-undangan, asas-asas,
prinsip, teori telah menggunakan asas “Absolute liability”. Sebuah asas yang
berangkat dari sistem Hukum Anglo Saxon dan memudahkan pembuktian.
Keyword
Kebakaran 2015, asas geen straft zonder schuld, Asas
Absolute liability, kerugian kebakaran
I.
PENDAHULUAN
Kebakaran tahun 2015 memasuki tahun
kelam[2].
Selama tiga bulan ditutupi asap. Hingga Oktober
2015, berdasarkan citra satelit, WALHI mencatat terdapat sebaran
kebakaran 52.985 hektar di Sumatera dan 138.008 di Kalimantan. Total 191.993
hektar. Indeks mutu lingkungan hidup kemudian tinggal 27%[3]. Instrumen
untuk mengukur mutu lingkungan Hidup dilihat dari “daya dukung” dan “daya
tampung”, Instrumen Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, penggunaan
“scientific” dan pengetahuan local masyarakat memandang lingkungan hidup.
Kebakaran
kemudian menyebabkan asap pekat. Menghasilkan
emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang berkontribusi terhadap perubahan
iklim. NASA memperkirakan 600 juta ton gas rumah kaca telah
dilepas akibat kebakaran hutan di Indonesia tahun ini. Jumlah itu kurang lebih
setara dengan emisi tahunan gas yang dilepas Jerman.
25,6 juta orang terpapar asap dan mengakibatkan 324.152 jiwa yang menderita ISPA dan
pernafasan lain akibat asap[4].
Indeks standar pencemaran udara (ISPU) melampaui batas berbahaya. Bahkan hingga
enam kali lipat seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
12 orang anak-anak meninggal dunia akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan.
4 balita di Kalteng, 3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3 di Riau dan 1 orang
di Sumsel.
Kualitas udara
yang sangat berbahaya juga mengakibatkan anak-anak terpaksa diliburkan dari
sekolah. Di Riau, 1,6 juta anak-anak sekolah diliburkan. Di Jambi sudah dua
bulan diliburkan. Bahkan di Sumsel, pemerintah baru meliburkan sekolah walaupun
status ISPU sudah sangat berbahaya. Penerbangan terganggu di Kalbar dan Sumsel.
Bahkan lumpuh di Riau, Jambi dan Kalteng.
Kebakaran
terbesar dan terluas terjadi pada tahun 1982-1983 yang mencapai 3,2 juta
hektare. Kemudian disusul pada 1997 seluas 1,3 juta hektare. The Singapore
Center for Remote Sensing menyebutkan 1,5 juta hektar[5].
Kebakaran tahun 1997 diperparah dengan El Nino, gejala kekeringan yang meliputi
17 Propinsi di Indonesia.
Kelima
daerah kemudian menyatakan “darurat asap” sehingga diperlukan upaya Negara
untuk memadamkan api selama tiga bula lebih.
Kebakaran
dapat mengakibatkan kerusakan fungsi lingkungan, menimbulkan kerugian bagi
masyarakat, bangsa, dan negara serta polusi asap akan mengganggu hubungan
regional dan internasional. Malaysia sudah menyampaikan nota protes kepada
Indonesia. Singapura melalui National Enviroment Agency (NEA) melayangkan gugatan
terhadap lima perusahaan terbakar yang terdaftar di Singapura
Walhi
sendiri mencatat, hasil analisis menunjukkan mayoritas titik api di dalam
konsesi perusahaan. Di HTI 5.669 titik api, perkebunan sawit 9.168 titik api.
Daftar
berbagai grup besar terlibat membakar hutan dan lahan, di Kalteng Sinar Mas
tiga anak perusahaan, Wilmar 14. Di Riau, anak usaha Asia Pulp and Paper (APP)
enam, Sinar Mas (6), APRIL (6), Simederby (1), First Resources (1) dan
Provident (1),
Di
Sumsel (8) Sinar Mas dan 11 Wilmar, (4) Sampoerna, (3) PTPN, (1) Simederby, (1)
Cargil dan (3) Marubeni. Kalbar Sinar Mas (6), RGM/ APRIL (6). Di Jambi Sinar
Mas (2) dan Wilmar (2).
Tabel 1. Jumlah
Perusahaan yang terbakar tahun 2015[6]
Walhi, 2015
Berdasarkan
data LAPAN periode Januari-September 2015 ada 16.334 titik api, 2014 ada
36.781. Adapun estimasi luas daerah terbakar di Indonesia ialah
Sumatera seluas 832.999 hektar, yang terdiri dari 267.974 hektar lahan gambut
dan 565.025 hektar non-gambut, kemudian Kalimantan dengan luas 806.817 hektar.
Jumlah tersebut terdiri dari 319.386 hektar lahan gambut dan 487.431 hektar
lahan non-gambut. Untuk Papua, lahan yang terbakar seluas 353.191 hektar. Luas
tersebut terdiri dari 31.214 hektar lahan gambut dan 321.977 hektar lahan non-gambut,
kemudian Sulawesi seluas 30.912 hektar yang merupakan lahan non-gambut. Bali
dan Nusa Tenggara mencapai 30.162 hektar, yang terdiri dari lahan non-gambut.
Selanjutnya, untuk Pulau Jawa, lahan yang terbakar seluas 18.768 hektar yang
terdiri dari lahan non-gambut. Di
Maluku, lahan terbakar mencapai 17.063 hektar, yang juga terdiri dari lahan
non-gambut. Selain dari data yang diperoleh menggunakan satelit, hasil tersebut
juga diperoleh dengan membandingkan data dari peta lahan gambut Kementerian
Pertanian[7]. Bandingkan data NASA FIRM 2015 ada 24.086 titik api, dan 2014 ada
2.014.
Peta 1.
Titik Api tahun 2015 di Propinsi Jambi[8]
Sumber
Walhi Jambi, 2015
Kebakaran
hutan dan lahan menyebabkan warga terserang ISPA. Di Jambi ada 20.471 orang,
Kalteng 15.138, Sumsel 28.000, dan Kalbar 10.010 orang.
Dalam laporan Indonesia Economic
Quarterly (IEQ) yang dikeluarkan hari Selasa, Bank Dunia menyatakan antara
bulan Juni dan Oktober 2015 menyebutkan
Kerugian akibat kebakaran 2015 mencapai US$ 16 milyar (Rp221 trilyun) dari 2
juta hektar. Atau setara dengan
dengan 1,9% PDB Indonesia atau dua kali lipat biaya rekonstruksi Aceh pasca
tsunami[9].
Angka kerugian Rp 221 trilyun masih
terlalu kecil. Sekedar gambaran, didalam putusan PT. Kalista Alam akibat
kebakaran seluas 1000 ha, Pengadilan Negeri Meulaboh kemudian menjatuhkan
putusan dengan total biaya yang harus dikeluarkan oleh PT. Kalista Alam senilai
320 Milyar rupiah[10].
Dengan demikian, maka kebakaran di Jambi saja yang mencapai 133 ribu hektar
akan menyebabkan kerugian mencapai 10 bilyun lebih. Atau 5 kali APBN Indonesia.
Bahkan menurut penghitungan Basuki
Wasis, peneliti IPB yang melakukan penghitungan kerugian kebakaran tahun 2014,
dengan areal terbakar 286 hektar untuk tahun 2014 menimbulkan kerugian 44 trilyun. Sehingga
dengan kalkulasi 286 hektar saja kemudian dikonversi ke areal terbakar 2 juta
hektar maka merugikan 5,2 bilyun atau 2 kali APBN Indonesia.
Ditengah kebakaran sejak tahun 2010,
hukum belum mampu menjangkau korporasi untuk diminta pertanggungjawaban (liability). Selain putusan PT. Kalista
alam dan Putusan PT. Adei Plantation, hampir praktis korporasi belum bisa
dimintakan pertanggungjawaban (liability).
Untuk menganalisisnya, maka
diperlukan penelitian mendalam untuk menjawab persoalan hukum diatas. Penelitian
diharapkan dapat menambah diskursus di tengah “keringnya” wacana dengan tema
kebakaran didalam melihat persoalan kebakaran.
Untuk memudahkan pembahasan,
penelitian ini kemudian didasarkan kepada perumusan masalah yaitu :
- Bagaimana aturan normative yang mengatur tentang kebakaran ?
- Bagaimana implementasi aturan normative didalam kasus kebakaran ?
II.
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi dilakukan dengan metode
pustaka dengan menyandingkan berbagai peraturan yang berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya alam seperti UU No. 32 Tahun 2009, UU No. 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan, UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, Peraturan Pemerintah
dan peraturan lainnya.
Setelah menggunakan prinsip-prinsip
didalam berbagai peraturan maka, penelitan kemudian dilihat bagaimana asas-asas
yang melingkupi seperti asas “absolute
liability, asas “strict liability”,
asas geen straft zonder schuld.
Selain itu juga dianalisis teori sebab akibat (causalitet), teori kesengajaan (dolus), teori kealpaan (culpa),
teori Kesalahan (schuld),
Pertanggungjawaban (liability) dan
niat/kehendak jahat (mens rea).
Kemudian setelah menganalisis
berbagai peraturan, asas dan teori yang melingkupinya kemudian dilihat putusan
Pengadilan Negeri Meulaboh, Putusan Pengadilan Negeri Palembang dan Pengadilan
Negeri Pekanbaru. Selain itu kemudian berbagai pemberitaan yang dimuat di
Kompas, tribun Jambi untuk menopang pemberitaan berkaitan dengan kebakaran.
Hasil analisis penelitian kemudian
dilakukan analisis mendalam dalam kebakaran sejak tahun 2010. Hasil analisis
kemudian disajikan untuk memotret dan memandang lebih utuh kebakaran tahun 2015
III.
PEMBAHASAN
Didalam melihat persolan kebakaran,
berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan tidak dapat dipisahkan dari
berbagai ketentuan yang berkaitan dengan UU Sumber daya alam. Penulis mencatat
18 UU yang berkaitan dengan sumber daya alam yang memberikan perlindungan
terhadap hutan dan lahan. UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
Perkebunan, UU Kehutanan merupakan UU yang berkaitan dengan sumber daya alam.
Pasal 69 ayat (1) UU Lingkungan
Hidup, Pasal 56 UU Perkebunan dan pasal 50 ayat (3) huruf d UU Kehutanan
secara tegas mencantumkan “larangan
membakar”.
Namun didalam ketiga UU kemudian dimaknai
dengna “perbuatan sengaja (dolus)”
yang dilakukan oleh korporasi dan perorangan. Dalam sistem eropa continental
kemudian harus dibuktikan hubungan sebab akibat (causalitet) dan hubungan antara kesalahan (schuld) dan pertanggungjawaban (liability).
Asas ini kemudian dikenal dengan istilah “tiada pemidanaan tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens
sir rea). Adanya hubungan antara kesalahan dengan
pertanggungjawaban, maka tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (liability based on fault).
Sehingga kemudian membuktikan “perbuatan sengaja (kehendak jahat/mens rea)”
menimbulkan kesulitan proses penegakkan hokum. Putusan Pengadilan Negeri
Palembang No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg yang menolak gugatan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan mengkonfirmasikannya.
Padahal didalam hukum yang mengatur
kebakaran hutan dan lahan, mekanisme sistem pembuktian dalam sistem hukum Eropa
Kontinental haruslah ditinggalkan. Merujuk pasal 48 ayat (3) UU Kehutanan
dinyatakan “Pemegang izin usaha
pemanfaatan hutan diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya”. Pasal
49 justru menegaskan “Pemegang hak atau
izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Pasal 56 ayat (2) UU Perkebunan
kemudian memerintahkan kepada “pelaku
usaha perkebunan” untuk menyiapkan sistem, sarana dan prasarana
pengendalian kebakaran lahan dan kebun. Ketentuan ini kemudian diatur lebih
rinci di Peraturan Menteri Pertanian Nomor 47 tahun 2014.
Menilik pasal 48 dan pasal 49 UU
Kehutanan, pasal 56 ayat (2) UU Perkebunan maka “pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal didalam izinnya. Makna
ini kemudian dapat dilihat didalam pasal 20 PP No. 4 Tahun 2001 maupun pasal 18
UU PP No. 45 tahun 2004 dan Permentan No. 47 tahun 2014.
Dengan melihat makna “pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal
didalam izinnya”, maka pemilik izin kemudian tidak dapat melepaskan
tanggungjawab terhadap kebakaran di arealnya. Asas ini kemudian dikenal asas absolute liability.
Absolute liability kemudian
mengenyampingkan asas “tiada pemidanaan tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens
sir rea). Dengan demikian maka asas absolute liability kemudian dapat meminta pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (liability without fault)
dan mengenyampingkan asas liability based
on fault.
Asas Absolute liability memberikan beban tanggungjawab lebih besar
kepada pemilik izin daripada asas "strict
liability". Strict liability dimungkinkan
untuk melepaskan tanggung jawab dengan berbagai persayaratan. Misalnya dengan
pembagian resiko atau berbagai model melepaskan tanggungjwabnya (defende).
Sedangkan terhadap absolute liabilty tidak dimungkinkan
lepas dari pertanggungjawaban. Kecuali force
mayour, the act of god dan bencana alam. Putusan PT. Kalistra Alam dan PT.
Ade plantation[11] jelas
menyebutkan tanggungjawab korporasi. Putusan PT. Kalista Alam[12]
dapat dijadikan yurisprudensi karena telah mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkracht van gewijsde). Namun upaya ini
kemudian tidak diikuti KLHK dalam perkara melawan PT. BMH di Palembang terhadap
kebakaran tahun 2014[13]
Dengan menggunakan pasal 49 UU
Kehutanan, pasal 56 UU Perkebunan, Pasal 20 PP No. 4 Tahun 2001, PP No. 45
tahun 204 dan Permentan No. 47 tahun 2014 sebagai dasar penggunaan asas Absolute liability, maka korporasi
kemudian bertanggungjawab terhadap kebakaran dan juga menyebabkan penurunan
baku mutu emisi. Sehingga berdasarkan pasal 98 atau pasal 108 UU Lingkungan
hidup, korporasi tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban. Baik terhadap
ganti rugi maupun pemulihan terhadap lingkungan hidup.
Merujuk kepada berbagai peraturan
perundang-undangan, maka Pasal 48 dan pasal 49 UU Kehutanan ditujukan kepada “pemegang izin” yang bergerak di sector
kehutanan. Atau dengan kata lain aktivitas “pemegang izin” dikawasan hutan yang
telah ditetapkan oleh Pemerintah. Sedangkan Pasal 56 UU Perkebunan ditujukan
kepada “pemegang izin” yang bergerak di sector perkebunan. Baik “Pemegang izin”
yang bergerak di sector kehutanan maupun di sector perkebunan, berdasarkan
pasal 18 PP No. 4 tahun 2001 maupun pasal 20 PP No. 45 tahun 2004
“bertanggungjawab” secara hukum terhadap kebakaran yang terjadi di areal
“pemegang izin”. Asas ini sudah menjadi norma yang telah diatur didalam
berbagai peraturan perundang-undangan bahkan sudah menjadi yurisprudensi yang
ditandai dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/PDT/2015. Namun masih banyak
ahli hukum yang belum memahami sebagaimana ahli hukum didalam putusan
Pengadilan Negeri Palembang.
Dengan memperhatikan berbagai
ketentuan perundang-undangan, asas “absolute
liability”, maka rekonstruksi terhadap pertanggungjawaban yang dibebankan
kepada “pemegang izin” dapat diterapkan pasal 108 UU Lingkungan Hidup.
Mekanisme ini sudah diterapkan didalam Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh dalam
perkara PT. Kalista Alam dan Pengadilan Negeri Pelalawan dalam perkara PT. Ade
Plantation.
Namun dalam penegakkan hukum, aparat
penegak hukum kesulitan untuk “menjerat” pelaku tindak pidana yang dianggap
bertanggungjawab terhadap kebakaran tahun 2015.
Ketika kebakaran semakin massif,
medio Oktober, Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan 12 perusahaan yang
kemudian dijadikan tersangka[14]. 12 perusahaan tersebut beroperasi di
berbagai wilayah, termasuk Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat[15].
Kapolri menyebutkan perusahaan yang
dijadikan tersangka di bidang HTI dan sawit. Dari 12 perusahaan yang dijadikan
tersangka, ada empat kasus yang masuk tahap satu. Artinya penyidik dari
kepolisian telah menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU). Selain
perusahaan, sebanyak 209 orang juga dikenai status tersangka.
Menempatkan
12 perusahaan yang dijadikan tersangka dengan 209 orang sebagai pelaku yang
berasal bukan “pemegang izin” tidak menjawab persoalan “siapa pelaku utama
(dader)”. Titik api (hotspot) dari berbagai data dengan tegas telah menempatkan
“pemegang izin” harus bertanggungjawab secara hukum dalam kebakaran tahun 2015.
Sedangkan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan memberikan
sanksi administratif kepada 124 perusahaan. Mereka diduga terlibat kasus
kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan[16].
Di Sumatera Utara ada tiga
perusahaan, yakni PT SSL, Kop, HGU (dalam proses). Di Riau 25 perusahaan, yakni
PT SPM, PT SPA, PT SRL (IV), PT HSL, PT SRL, PT AA, PT RRL, PT SSL, PT RPT, PT
RUJ, PT DRT, PT RAP, PT MMJ, PT SS, PT SDA, PT P (SG), PT SG, Kop, PT EI, PT
PU, PT GMS, PT PSA, PT SG, PT AIP, dan PT P (AP). Di Sumatera Selatan terdapat
19 perusahaan, yakni PT BMH, PT RHM, PT SWI, PT BAP, PT BPU, PT GAL, PT WLM, PT
CMB, PT TPJ, PT DGS, PT RPP (I), PT IAL, PT BKI, PT BSC, PT SAM, PT RE, PT DAS,
PT CT dan HGU.
Sebanyak 14 perusahaan berdiri di
Jambi, yakni PT PBP, PT DHL, PT WKS, PT REI, PT PDI, PT AAS, PT TPJ, PT LAJ, PT
LKU, PT KU, PT BGR (I), PT JAW, PT BGR (II) dan HGU.
Di Bangka Belitung terdapat lima
perusahaan, yakni PT BRS, PT BN, PT AG, PT IH dan HGU. Sementara itu, di
Kalimantan Barat terdapat 14 perusahaan, yakni PT MAS, PT BMH, PT IH (3), PT
BMJ, PT SP, PT BP, PT FWL, CV P , PT LIM, PT MWP, PT BSS, PT MPK, PT PIG, dan
HGU.
Di wilayah Kalimantan Timur terdapat
14 perusahaan yang terindikasi terlibat dalam pembakaran hutan, yakni PT MTI,
PT JBP, PT IHM, PT IH 91, PT TD, PT BJA, PT AHL, HGU, KALSEL, PBT, KALTARA, PT
SI, PT BAM dan PBT.
Padahal sebelumnya Pemerintah hanya
menetapkan 10 perusahaan sebagai tersangka pembakar hutan, yaitu PT PMH, PT
RPP, PT RBS, PT LIH, PT MBA, PT GAP, PT ASP, PT KAL, PT RJP dan PT SKM[17].
Selain dilakukan penetapan tersangka
kepada perusahaan, KLHK juga melakukan upaya paksa lain[18]
seperti pencabutan hak pengusahaan hutan[19],
pencabutan izin lingkungan[20],
paksaan Pemerintah untuk menguasai lahan[21]
dan pembekuan izin[22].
Dengan melihat luas terbakar
mencapai 2 juta hektar, maka penetapan sebagai tersangka terhadap perusahaan
yang dianggap bertanggungjawab kebakaran hukum belum memadai. Selain belum
menggambarkan “modus operandi” terhadap
kebakaran 2015, perusahaan yang disampaikan oleh KLHK belum dapat dikategorikan
sebagai actor kunci (dader) yang
menyebabkan kebakaran.
Selain itu juga, penggunaan asas “geen straft zonder schuld” dan
menggunakan teori “kesalahan” dan pertanggungjawaban” masih menjadi
mainstream pola pikir dari pengambil keputusan. Belum lagi dari “bantahan” dari pihak perusahaan yang
berkilah “tidak mungkin kami membakar dan
justru menjadi korban”[23],
atau “tidak hanya kami saya terbakar[24]”
merupakan pola pikir (mainstream) yang masih mengaitkan kebakaran dengan “teori” kesalahan (schuld) dan
pertanggungjawaban (liability). Berbagai upaya melepaskan tanggung jawab
dari “pemegang izin” yang ditandai
dengan pernyataan “tidak mungkin membakar
areal” kemudian menyatakan sebagai “areal
yang terbakar dan menjadi korban”. Kesemuanya membuktikan “pemegang izin” masih menggunakan
pemikiran asas “geen straft zonder schuld”
yang meminta kepada Negara untuk membuktikan teori kesalahan (Schuld). Dengan menggunakan teori
kesalahan maka menjadi beban pembuktian terhadap pembuktian dari teori hubungan
sebab akibat (causalitet).
Ditambah Pernyataan dari Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menyebutkan “petani” yang membakar lahan bertentangan dengan fakta-fakta yang
disampaikan oleh berbagai kalangan[25].
Menempatkan pelaku “petani” sebagai penyumbang asap sama sekali kurang didukung
dengan fakta-fakta berbagai sumber yang menyebutkan titik api berasal dari
perusahaan “pemegang izin”. Baik pemegang izin kehutanan maupun “pemegang izin”
perkebunan. Selain itu juga menempatkan “petani” merupakan sebuah pemahaman
yang keliru apabila pernyataan kemudian disandarkan kepada pasal 69 UU
Lingkungan Hidup.
Dengan memperhatikan asas “geen straft zonder schuld” yang
disampaikan oleh aparat penegak hukum, pertimbangan hakim didalam putusan
Pengadilan Negeri Palembang dalam perkara KLHK vs PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)
dan pemikiran dari perusahaan yang diarealnya terbukti terbakar, maka
mainstream didalam melihat kebakaran masih merujuk kepada asas “geen straft zonder schuld”.
Sebuah upaya serius didalam memahami
persoalan kebakaran apabila merujuk kepada berbagai ketentuan. Padahal berbagai
peraturan perundang-undangan bahkan Mahkamah Agung telah mengabulkan asas “absolute liability” sebagaimana didalam
putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/PDT/2015. Dengan demikian maka asas “absolute liability” merupakan asas
didalam memotret persoalan kebakaran tahun 2015.
Didalam literature internasional,
tema “Absolute liability” masih
menjadi tema yang menarik perhatian. Di beberapa Negara, pemisahan “absolute liability” dengan “strict Lialibility” tidak secara tegas
dipisahkan. Selain itu juga, literature internasional juga sering
mencampuradukkan antara “absolute
liability” dengan Strict liability”.
Vernon Palmer[26]
didalam tulisannya “A General Theory of The Inner Structure of Strict Liability
: Common Law, Civil Law and Comparative law” hanya menyebutkan “Strict liability. Namun didalam
menjelaskan Strict liability kemudian menyebutkan unsur-unsur seperti “General theory custodial liability dengan
“unlawfulness, causation, defenses (irresistible force yang terdiri “act of
god, force majeure, Faulut of third person dan fault of the victim)[27].
Padahal “act of god, force majeure, fault
of third person dan fault of the victim merupakan prasyarat untuk
melepaskan tanggungjawab (defence)
dari asas strict liability.
Sedangkan Lalin Kovudhikulrungsri
dan Duangden Nakseeharach[28]
didalam tulisannya “Liability Regime of international Space law : Some Lesson
From International nuclear Law”[29]
menyebutkan sejak tragedi Chernobyl, dunia internasional memberikan respek
untuk meminta pertanggungjawaban tanpa membuktikan kesalahan. Walaupun keduanya
“meminta pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (liability without fault) dan mampu merinci definisi antara strict liability dan absolute liability, namun kedua-kedunya
tidak merinci secara jelas pemisahan antara “strict liability” dengan absolute
liability.
Zeldine
Niamh O’Brien didalam tulisannya “Theories of Liability for Space Activities[30]”,
menyebutkan, merujuk kepada “Kitab Undang-undang Eropa”, pertanggungjawaban
dalam sistem hukum internasional (Liabilitiy
in international law), absolute
liability dimaknai dan diterapkan diterapkan dalam mekanisme internasional
terhadap kegiatan berbahaya termasuk kegiatan dilakukan nuklir. Titik tekan “absolute liability” disandarkan “damage
(kerusakan)” sehingga terhadap
kesalahan (schuld) tidak perlu dibuktikan. Dengan demikian, maka
pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault) dimana
kerusakan dari kegiatan nuklir mengakibatkan kerusakaan terhadap bumi sudah
seharusnya dimintakan pertanggungjawaban. Dengan menghitung kerusakan seperti
musnahnya kehidupan, kesehatan, musnahnya kepemilikan maka dampak kerusakan
merupakan pertanggungjawaban (liability)
dari kegiatan yang dilakukan.
Dengan
demikian, maka Absolute liability disandarkan
kepada “kerusakan yang massif” yang
bisa diminta pertanggungjawaban kepada penanggung jawab kegiatannya.
Pendapat
Zeldine Niamh O’Brien apabila kita sandingkan dengan berbagai peraturan
perundang-undangan mengenai kebakaran[31], terhadap
kebakaran tahun 2015 dapat dikategorikan sebagai “absolute liability”. Dan
terhadap penanggungjawab kegiatan (pemegang izin) tidak dapat dilepaskan
tanggungjawab (defence).
Maka
melihat dampak kebakaran tahun 2015[32],
tidak salah kemudian menurut Zeldine Niamh O’Brien dapat dikategorikan sebagai
“absolute liability”
Sedangkan
didalam Pertemuan Internasional Hukum Lingkungan, Georgetown University,
Chicago, 1998[33], disebutkan untuk melihat
dari kesalahan (dolus) tidak semata-mata melihat kepada kelalaian (culpa) namun
juga diharapkan perlindungan dari pemerintahan yang baik untuk melindungi
lingkungan.
Sehingga
tidak salah kemudian, Andreas Wibisono didalam makalahnya
“Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan[34]”
menyampaikan, tema Absolute Liability belum menjadi pengetahuan. Banyak Negara
memang tidak begitu membedakan antara strict
liability dan absolute liability.
Walaupun banyak literature/rujukan yang menggunakan istilah “absolute liability, tetapi sebenarnya
merujuk kepada strict liability.
Konsep “strict liability” masih
menggunakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan tetapi masih menggunakan “defence”. Selain itu juga di Indonesia,
banyak ahli hukum masih belum memahami strict
liability. Konsideran dengan melihat “kesalahan
(dolus)” atau “kelalaian (culpa)”
masih jamak terjadi[35].
Dengan demikian, maka wacana
“absolute liability” sudah termaktub didalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Asas “absolute liability” merupakan asas
“pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault) yang berangkat
dari sistem hukum Anglo Saxon. Asas ini berbeda dengan asas Kesalahan dan
pertanggungjawaban didalam sistem hukum Eropa Kontinental. Asas “tiada
pemidanaan tanpa kesalahan (Geen straf
zonder schuld/actus non facit reum nisi mens sir rea), Adanya hubungan antara kesalahan dengan
pertanggungjawaban, maka tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (liability based on fault)
haruslah ditinggalkan.
Paradigma “kesalahan”, kelalaian”
dan pertanggungjawaban didalam sistem pembuktian dalam hukum Eropa continental
tidak tepat diletakkan dalam persoalan asap tahun 2015.
Sehingga terhadap “pemegang izin”
baik sector kehutanan maupun perkebunan kelapa sawit tidak dapat dilepaskan
tanggungjawab dimuka hukum. Baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum
tatausaha Negara. Alasan seperti “kami tidak membakar” atau “bukan kami
penyebab kebakaran tahun 2015” merupakan sesat berfikir (mistake) dan
“terkesan” untuk menghilangkan tanggungjawab (defence).
Dengan demikian, kerancuan berfikir
menurut Andrias Wibisana, baik didalam putusan Pengadilan Negeri Palembang,
pernyataan petinggi perusahaan, penegak hukum haruslah dihilangkan. Sudah
saatnya penegakkan hukum (law enforcement) dalam kebakaran tahun 2015 dilakukan.
Baca : Hutan di mata Rakyat
IV.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan kepada paparan yang
telah disampaikan, maka terhadap makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut
:
1.
Kebakaran tahun 2015 Kebakaran tahun
2015 telah meluluhlantakkan 5 Propinsi (RIau, Jambi, Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah). Membakar 2 juta hektar. 25,6 juta
orang terpapar asap yang mengakibatkan 342.152 jiwa terserang ISPA. Menimbulkan
kerugian US$ 16 milyar (Rp 221 Trilyun). Namun upaya meminta pertanggungjawaban
dari “pemegang izin” masih jauh dari harapan. Padahal peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang kebakaran telah tercantum didalam Pasal
48, Pasal 49 UU Kehutanan, Pasal 56 UU Perkebunan, Pasal 20 PP No. 4 tahun
2001, PP No. 45 Tahun 2004 dan Permentan No. 47 Tahun 2014.
2.
Hingga tulisan ini dibuat, dalam
penegakkan hukum, aparat penegak hukum kesulitan untuk “menjerat” pelaku tindak
pidana yang dianggap bertanggungjawab terhadap kebakaran tahun 2015. Bahkan ditambah
Pernyataan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menyebutkan “petani” yang membakar lahan, Alasan
seperti “kami tidak membakar” atau “bukan kami penyebab kebakaran tahun 2015”
merupakan sesat berfikir (mistake) dan “terkesan” untuk menghilangkan
tanggungjawab (defence). Sehingga upaya penegakkan hukum (law enforcement)
dalam kebakaran hutan 2015 belum maksimal.
B.
Rekomendasi
Dalam paparan ini, berbagai
rekomendasi diperlukan untuk memberikan penyadaran dan mendudukkan persoalan
kebakaran ditinjau dari berbagai asas seperti asas “absolute liability” maupun memudahkan
pembuktian. Rekomendasi yang dihasilkan yaitu :
1.
Menyampaikan kepada public edukasi
terhadap dampak kebakaran terhadap kesehatan dan tubuh manusia yang terpapar
asap.
2.
Menyampaikan kepada public dan
sosialisasi pemahaman tentang “absolute liability”, membuka ruang perdebatan
public sehingga terhadap kebakaran tahun 2015 dapat diminta pertanggungjawaban.
3.
Meminta tanggungjawab Negara didalam
pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur
didalam konstitus.
Baca : Hukum Kebakaran Hutan dan Lahan dan Menghukum Pembakar lahan dimuka persidangan dan Hutan di mata Rakyat
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU
ANOTASI
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP (Edisi Pertama) Penyunting Henri Subagiyo,S.H.,M.H, Penerbit,
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Jakarta, 2014
Chairul Huda, DARI TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN MENUJU
KESALAHAN MENUJU KEPADA TIADA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TANPA KESALAHAN –
Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan TIndak pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, Penerbit Kencana, Jakarta, 2008
Deni
Bram, HUKUM LINGKINGAN INTERNASIONAL – Penerapan Prinsip Tanggungjawab Negara,
Penerbit, Cintya Press, Jakarta, 2008
KEBAKARAN HUTAN INDONESIA – SIAPA YANG MELANGGENGKAN ?,
Penerbit Perkumpulan Sawit Watch, Jakarta, 2014
KEJAHATAN
KEHUTANAN DI BUMI LANCANG KUNING, , Penerbit Jikalahari – Bahana Press,
Jakarta, 2013
Koesnadi Hardjasoemantri, HUKUM TATA LINGKUNGAN, Penerbit
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2009
Moeljatno, ASAS-ASAS HUKUM PIDANA, Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta, 1993
Wirjono Prodjodikoro, ASAS-ASAS HUKUM PIDANA DI INDONESIA, Penerbit
Refika Aditama, Jakarta, 2010
JURNAL
Jurnal Konsitusi,
Penerbit Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Juni 2011
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang
Dasar 1945
Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Perkebunan
Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan Atau
Pencemaran Lingkungan Hidup Yang berkaitan dengan kebakaran Hutan dan Lahan
Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Kehutanan
PUTUSAN
PENGADILAN
Putusan Pengadilan
Negeri Pelalawan Nomor Perkara Nomor 228/Pid.Sus/2013/PN.Plw
Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor Perkara No
12/PDT.G/2012/PN-MBO
Putusan Pengadilan Negeri Palembang No 24/Pdt.G/2015/PN.PLG
Putusan Mahkamah
Agung Nomor Nomor 651 K/PDT/2015
MEDIA MASSA
Kompas, 30 Oktober 2015
Kompas, 17
Desember 2015
Kompas, 13
Oktober 2015
Kompas, 20
Oktober 2015
Kompas, 7 Oktober
2015
Kompas, 30 September 2015
Kompas, 7
September 2015
Tribun Jambi, 18
September 2015
Tribun jambi, 21
Desember 2015
[1] Direktur Walhi Jambi,
Advokat
[2] Penulis berkonsentrasi
di 5 Propinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah. Pertimbangan berkonsentrasi di 5 Propinsi selain mendapatkan
data-data yang mendukung penelitian, peliputan berbagai media massa juga didasarkan
informasi di Walhi.
[3] Untuk mengukur status lingkungan hidup dilakukan dengan berbagai instrument.
Instrumen pertama digunakan adalah merujuk kepada UU No. 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup). Didalam
mekanisme ini digunakan dengan istilah “daya dukung[3] dan
daya tampung[3]” lingkungan hidup. Instumen
Kedua adalah membicarakan hak. Dengan mengukur instrument mutu lingkungan hidup
berdasarkan HAM. Didalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”. Ketiga. Mengukur instrument mutu lingkungan hidup
berdasarkan pengetahuan (scientific). Instrument yang
digunakan dengna mengggunakan indeks udara, air dan tanah. Hasil pengukuran
dari berbagai peristiwa memberikan penilaian dari lingkungan hidup dan cara
beradaptasi masyarakat (mitigasi)
menghadapi perubahan lingkungna hidup. Keempat. mengukur instrument mutu
lingkungan hidup dengan kondisi faktual. Mekanisme ini digunakan dengan
menggali informasi kunci di tengah masyarakat. Baik terhadap penurunan mutu
lingkungan dari kehidupan sehari-hari, hilangnya biodiversity hingga tumbuhan
endemik. Konferensi Pers Hari Lingkungan
Hidup, Jambi, 5 Juli 2015
[4] Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan warga terserang ISPA.
Di Jambi ada 20.471 orang, Kalimantan Tengah 15.138, Sumatera Selatan 28.000,
dan Kalimantan Barat 10.010 orang. Data dari berbagai sumber. Diolah Walhi
[5] Walhi, 2015
[6] Didalam melakukan
penelitian, berbagai titik api kemudian dikonsentrasikan kepada
perusahaan-perusahaan yang berafiliasi kepada group-group besar seperti Sinar
Mas (APP dan GAR), Barita Pasifik Group, SIme Darby, Asian Agri dan Wilmar. Konsentrasi
mengidentifikaskan perusahaan yang terbakar dengan melihat afiliasi untuk
membuktikan tesis “keterlibatan perusahaan besar” dengan penegakkan hukum.
[7] Lapan: Tahun Ini, Dua Juta Hektar
Hutan Hangus Terbakar, Kompas, 30 Oktober 2015
[8] Data didapatkan dari
NOAAA, LAPAN, situs KLHK kemudian diolah berdasarkan konsesi perizinan yang
berada di Jambi. Kemudian diolah Walhi Jambi tahun 2015
[9] Rp 221 Trilyun kerugian
akibat kebakaran hutan, Kompas, 17 Desember 2015
[10] Pengaturan tentang biaya kerugian dan biaya pemulihan telah
diatur didalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 tahun 2011 (Permen
LH). Peraturan ini kemudian menjadi dasar Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh
didalam putusannya Nomor 12 Tahun 2012. Putusan ini kemudian diperkuat hingga di
tingkat kasasi sehingga layak menjadi bahan pertimbangan hakim terhadap perkara
berkaitan kebakaran (yurisprudensi). Permen LH No. 13 Tahun 2013 yang kemudian
diperbaharui dengan Permen LH No. 6 Tahun 2013. Didalam Permen LH disebutkan
kerugian ekologis, Biaya kerusakan ekonomi terdiri dari Hilangnya umur pakai
Akibat kegiatan pembakaran, Kerusakan tidak ternilai (Inmaterial) dan biaya
pemulihan. Dengan menentukan variabel
biaya kerugian dan biaya pemulihan, maka kita bisa menentukan besaran angka
untuk menentukan besaran ganti rugi yang menjadi tanggungjawab kebakaran.
[11] Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan Nomor Perkara Nomor
228/Pid.Sus/2013/PN.Plw
[12] Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor Perkara No
12/PDT.G/2012/PN-MBO
[13] Putusan Pengadilan Negeri (PN Palembang No 24/Pdt.G/2015/PN.PLG
[14] Pelaku kemudian
dikenakan pasal 108 UU No. 32 Tahun 2009 dengan ancamana penjaran minimal tiga
tahun dan maksimal 10 tahun dan denda minimal Rp 3 milyar maksimal 10 milyar.
[15] PERUSAHAAN JADI
TERSANGKA PEMBAKAR HUTAN, PEMILIK “HARUS DIUSUT, Kompas, 13 Oktober 2015
[16] Terkait Kebakaran
Hutan, 4 Perusahaan kena Sanksi Kementerian KLHK, Kompas, 20 Oktober 2015
[17] Daftar 124 Perusahaan
Diduga Membakar Hutan, Tribun Jambi, 18 September 2015
[18] Inilah Daftar
Perusahaan Pembakar Hutan Dijatuhi Sanksi, Tribun jambi, 21 Desember 2015
[19] HSL (Riau)
[20] PT. DHL (Jambi), PT.
MAS (Kalimantan Barat)
[21] PT. WKS, PT. KU (Jambi), PT. IHM (Kalimantan Timur), PT. BSS
(Kalimantan Barat)
[22] PT. BMH dan PT. SWI, PT.
TPR, PT. WAJ, PT. RPP (Sumatera Selatan), PT. SRL (Riau), PT. PBP (Jambi), PT.
BMJ (Kalimantan Barat), PT. IFP (Kalimantan Tengah), PT. TKM (Kalimantan
Tengah), PT. KH (Kalimantan Tengah), PT. DML (Kalimantan Timur), PT. SPW, PT. HE (Kalimantan Tengah), PT. LIH
(Riau), PT. BACP (Kalimantan Utara)
[23] Sementara itu, Ketua Bidang Agraria Kelapa Sawit Indonesia
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan,
perusahaan perkebunan sawit tak mungkin membakar lahannya secara sengaja karena
sudah dianggap sebagai bagian dari mesin produksi dan ada ancaman hukuman berat
yang akan dihadapi.Lihat
Tahun Ini, Dua Juta Hektar Hutan
Hangus Terbakar, Kompas, 30 Oktober 2015.
[24] Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy
Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengklaim, perusahaan sawit selalu menjadi
korban kasus kebakaran lahan dan hutan. Karena itu, sejumlah pihak mendesak
pemerintah untuk menerapkan pembuktian menyeluruh ketika menetapkan sejumlah
perusahaan sawit menjadi tersangka kasus kebakaran lahan. Sementara itu, Ketua Bidang Agraria Kelapa
Sawit Indonesia Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono
mengatakan, perusahaan perkebunan sawit tak mungkin membakar lahannya secara
sengaja karena sudah dianggap sebagai bagian dari mesin produksi dan ada
ancaman hukuman berat yang akan dihadapi. Pengusaha Sawit menolak dituding
sebagai Pembakar Lahan, Kompas, 30 September 2015
[25] Kompas, 7 September 2015
[26] Vernon Palmer adalah
seorang Profesor di bidang hukum di Universitas Sorbonne. Tulisan ini dibuat
1987.
[27] Vernon Palmer, A General Theory of The Inner Structure of Strict Liability
: Common Law, Civil Law and Comparative law, Citation : 62 Tul.L. Rev. 1303,
1987-1988, hal. 1342-1352
[28] Lalin Kovudhikulrungsri adalah Doktor dari Universitas
Leiden, Belanda. Sedangkan Duangden Nakseeharach Dosen dari Universitas
Mahasarakham, Thailand.
[29] Lalin Kovudhikulrungsri dan Duangden Nakseeharach, Liability
Regime of international Space law : Some Lesson From International nuclear Law,
Citation: 4 J. E. Asia &
Int'l L. 291 2011
[30] Makalah disampaikan
pada Dublin Legal Workshop, Januari 2007
[31] Pasal 48, pasal 49 UU
Kehutanan, Pasal 56 UU Perkebunan, Pasal 108 UU Lingkungan Hidup, Pasal 18 PP
No. 4 Tahun 2001, Pasal 20 PP No. 45 tahun 2004 dan Permentan No. 47 Tahun
2014.
[32] Kebakaran tahun 2015 telah meluluhlantakkan 5 Propinsi
(Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah).
Membakar 2 juta hektar. 25,6 juta orang terpapar asap yang mengakibatkan 342.152
jiwa terserang ISPA. Menimbulkan kerugian US$ 16 milyar (Rp 221 Trilyun).
[33] Resolution on
Responsibility and Liability, Final Report Prepared for The Eighth Committee of
International Law By The Rapporteur On The Subject Of Environmental
Responbility and Liability, Georgetown University, Chicago, 1998
[34] Makalah disampaikan
pada pembuatan Gugatan Asap tahun 2014, Palembang, 30 September 2014
[35] Pertimbangan Hakim
didalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang dalam perkara PT. BMH
mengkonfirmasikan.