Perjalanan ke Simarantihan
merupakan perjalanan akhir dusun-dusun didalam Marga Sumay. Februari 2013, perjalanan
menyusuri Dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga Sumay
Marga Sumay terdiri dari Dusun
Tuo Sumay, Dusun Teluk, Dusun Langkap, Dusun Napal Putih, Dusun Muara Sekalo,
Dusun Sungai Pinang, Dusun Semambu, Dusun Suo-suo, Dusun Pemayungan, Dusun
Simarantihan, Dusun Batu Cuguk dan Dusun Koto Tinggi. Ada juga menyebutkan
dusun yang termasuk kedalam Marga Sumay adalah Dusun Pemayungan, Dusun Semambu,
Dusun Muara Sekalo, Dusun Suo-suo, Dusun Simarantihan, Dusun Teluk Singkawang,
Dusun Teliti, Dusun Punti Kalo, Dusun Teluk Langkap, Dusun Tambung Arang dan
Dusun Bedaro Rampak.
Sementara ditengah masyarakat
dikenal Dusun Tuo Sumay sebagai Dusun Muko-muko, Dusun Pinang Kedap sebagai
Dusun Muara Sekalo, Dusun Bukit Selasih sebagai Dusun Semambu dan Dusun Tanah
Bedentum sebagai Dusun Pemayungan.
Didalam riset Walhi 2013,
Marga Sumay berbatasan dengan Marga VII Koto dan Marga Petajin Ulu.
Sebagai Dusun yang termasuk
kedalam Marga Sumay, perkembangan penduduk di Dusun Semerantihan sangat lambat.
Hingga kedatangan saya kesana, jumlah Kepala Keluarganya masih berkisar 50 kk.
Sehingga tidak salah kemudian Dusun Simarantihan masih tetap menjadi Dusun
didalam Desa Suo-suo.
Dalam ikrar di tengah
masyarakat[1],
mereka lebih suka disebut Dusun Simarantihan Suku Talang Mamak.
Suku Talang Mamak mempunyai
hubungan kekerabatan dan berasal dari Suku Talang Mamak di Datai yang termasuk
kedalam Propinsi Riau.
Suku Talang Mamak berasal dari
Sungai Gangsal yang terletak di Propinsi Riau. Wilayahnya sebagian termasuk
kedalam Taman Nasional Bukit 30.
Sebagai masyarakat hukum adat,
mereka menghormati hukum adat sebagaimana seloko “amanat tinggal di cucu.
Pusaka tinggal di Anak”. Atau Pergi tinggalkan pesan. Mati tinggalkan amanat.
Mati adat karena amanat. Mati anak karena manusia.
Mereka menyusuri Sungai
Gangsal, terus ke Sungai Manggatal dan kemudian pindah ke Kemumu. Daerah kemumu
inilah yang kemudian dijadikan Dusun Semerantihan hingga sekarang.
Batas wilayah Simarantihan
dengan Desa Suo-suo ditandai dengan tembo “Kemumu
di Sungai Manggatal’. Batas ini sesuai dengan tembo yang disampaikan di
Desa Suo-suo[2]
Mereka dipimpin seorang patih
yang bernama Serunai. Patih Serunai telah dilantik pada tahun 2014.
Mereka sangat menghormati
wilayah didalam kawasan hutan yang ditandai dengan Sungai Kupang di Pemandian
Gajah yang kemudian termasuk kedalam izin perusahaan PT. LAJ.
Selain itu juga, wilayah
kemudian dimasukkan kedalam wilayah izin restorasi ekosistem PT. ABT. Biasa
dikenal dengan blok I PT. ABT. Sedangkan Blok II adalah wilayah masyarakat Desa
Pemayungan[3].
Dalam catatan berbagai sumber,
Dusun Semerantihan masih termasuk kedalam masyarakat yang masih tergantung dan
mengelola kawasan hutan. Wilayah Semerantihan langsung berbatasan dengan Taman
Nasional Bukit 30 yang ditandai dengan “kuburan” di sepanjang Sungai Menggatal,
Kedemitan yang terletak didalam bukit 30, Sungai Sako, Talang Betung, Sungai
Semerantihan, Sungai Kupang yang terletak di Pemandian gajah, Lubuk Laweh,
Sungai Beringin, Pengian Hilir, Sungai Pauh, Pangian Ulu, Kemumu, Bukit Tambun
Tulang, Hutan Keramat, Lupak Pendanauan, Pinang Belaian, Mendelang, Rimbo
Siaga, Rimbo Lampau-lampau.
Nama tempat Sungai Kupang di
Pemandian Gajah adalah nama tempat seluruh satwa di Bukit Tigapuluh sebagai
tempat peminuman air. Sehingga tempat itu harus dilindungi sebagai wilayah
konservasi untuk satwa.
Bukit Tambun Tulang terletak
di anak Sungai Manggatal atau di Ulu Bukit Tambun Tulang.
Nama-nama tempat yang
dihormati dan dilarang untuk dibuka termasuk kedalam kawasan penyangga Taman
Nasional Bukit Tigapuluh. Sehingga terbukti masyarakat mempunyai cara dan
handal menjaga kawasan hutan sehingga tetap menjadi tutupan hutan yang baik
(forest cover).
Bukit Tambun Tulang disebutkan
sebagai batas wilayah Propinsi Jambi dengan Propinsi Riau.
Jalur ini dimulai dari Tanjung
Samalidu, Durian Takuk Rajo, Sialang Belantak Besi yang terletak di Marga IX
Koto, Salo Belarik, Bekal Bekuak terletak di Marga Sumay dan Bukit Tambon Arang
yang terletak di Semerantihan.
Selain tempat dihormati,
mereka juga menghormati Harimau yang dianggap sebagai saudara yang melindungi
Desa. Beruang sebagai hewan peliharaan. Namun terhadap gajah, binantang ini
sering dianggap merusak tanaman masyarakat.
Selain itu juga mereka
menghormati pohon-pohon yang tidak boleh ditebang. Seperti pohon bulian, pohon
durian, pohon duku, pohon macang dan pohon manggis, pohon sirih dan pohon
gambir dan pohon rambutan.
Perkampungan Suku Talang Mamak
bermukim di Tepi menggatal kemudian pindah ke Kemumu. Nama Tempat Kemumu
menjadi pemukiman yang dihuni hingga sekarang[4].
Sebagai masyarakat yang
menjunjung dan menghormati hutan, masyarakat juga mengenal tatacara didalam
mengelola sumber daya alam. Istilah seperti Langsat-durandan, Manggis-Manggupo,
Durian-Kepayang, Sialang-Pendulangan, Sesap-Belukar, Suak-Sungai, Lupai
Pendanauan.
Suak adalah Sungai yang kecil
diantaranya berisikan jenis ikan kelubar. Sedangkan Sungai adalah sungai yang
deras yang berjeniskan ikan seperti Kelari, Seliman.
Lupak merupakan danau yang
tercipta dengan sendirinya dari proses alam.
Sedangkan pendanauan adalah genangan air berupa danau.
Sesap adalah belukar yang baru
ditinggalkan. Sedangkan belukar adalah
semak yang sudah lama ditinggalkan namun masih terdapat tanaman tua seperti
durian, macang, jengkol. Peninggalan dari “puyang’.
Sialang adalah pohon yang
terdapat lebah untuk menghasilkan madu. Sedangkan pendulangan, pohon yang terdapat
lebah namun pohonnya terdapat di hutan.
Manggis adalah tanaman yang
ditanami. Sedangkan Manggupo adalah tanaman manggis yang tumbuh sendiri di
hutan.
Selain itu dikenal istilah
Titak Tikal Embang. Titak adalah pohon yang sekali ditebang langsung putus.
Tikal adalah pohon yang direbahkan. Sedangkan Embang adalah bekas belukar.
Belukar adalah tanah yang sudah dibuka namun kemudian ditinggalkan.
Mereka sudah mengenal tradisi
“huma”. Prosesi dimulai dengan “mancah rimbo”. Mancah rimbo bertujuan memohon
izin kepada penguasa rimbo agar dalam proses tidak menimbulkan masalah seperti
kayu rebah mengenai masyarakat, api yang tidak merembet dan tidak ada gangguan
dari penghuni rimbo.
Bahkan
dalam tradisi “merun”, dikenal mantra. Dengan pembacaan mantra, maka api tidak
menjalar dan dapat dikendalikan hingga masa menugal.
Selain
itu masyarakat mampu mengidentifikasi lahan gambut dengan kedalaman yang
ditandai dengan “akar bekait, pohon jernang dan pakis”. Lahan yang tidak boleh
dibuka berdasarkan hukum adat. Cara ini sudah dikenal ratusan tahun yang
lalu. Di Marga Kumpeh Ilir, tradisi ini
telah dikenal sejak abad XVIII[5].
Prosesnya dimulai dari
“mancah”, bakar, nugal, nuai. Waktu untuk mancah diperlukan 2 hari. Untuk bakar
dilakukan sebulan. Sedangkan untuk “nuai” dilakukan pada malam hari. Setiap
proses ini ditentukan oleh Dukun padi. Setiap proses dilakukan dengan cara
bergotong royong yang dikenal dengan istilah “Beselang’.
Setelah dilakukan pembersihan,
maka dalam proses nugal kemudian ditanami jenis padi. Padi dikenal ada tiga
jenis. Yaitu Padi Tuo, Padi Seni dan Padi
Pulut.[6]
Cara penanamannya adalah pada
seni selalu diletakkan di sebelah kanan galangan huma. Sedangkan untuk padi
pulut harus ditanami sebelah kiri galangan huma. Dan padi tuo harus diletakkan
di tengah-tengah galangan huma. Alasan meletakkan padi Tuo di tengah-tengah
galangan huma karena padi tuo sering juga disebutkan sebagai padi jantan.
Masyarakat mengenal tradisi
“Sialang”. Baik didalam menetapkan pohon yang kemudian dihinggapi lebah dengan
menghasilkan madu yang biasa disebut sialang, menentukan pengambilan lebah
bahkan tradisi untuk menjaga pohon sialang tetap menghasilkan. Ada sekitar 50
pohon sialang di Dusun Simirantihan.
Bahkan mereka mengenal
tatacara untuk menjaga pohon sialang agar tidak dicuri orang lain.
Selain itu penghormatan
terhadap pohon sialang ditandai dengan ujaran seperti “sialang pendulangan’. Sialang
pendulangan tidak semata-mata pelarangan penebangan pohon yang terdapat lebah
(sialang) tapi juga dilarangnya membuka kawasan sekitar pohon sialang untuk
ditebang. Areal yang tidak boleh dibuka sekita 300 meter persegi.
Setiap pengambilan hasil panen
dari pohon sialang memerlukan tradisi yang dipimpin oleh seorang Dukun Sialang.
Setiap proses dikenal dengan istilah Lantak dan Lais. Lantak adalah kayu yang
ditancapkan ke pohon sebagai anak tangga. Sedangkan lais adalah rotan yang
menjuntai dari sisi pohon menggantikan tali untuk menaiki dan sekaligus tempat
bergantung.
Terhadap pelanggaran adat
dikenal sanksi berupa ayam sekok beras segantang selemak semanis, kambing sekok
beras sepuluh gantang, selemak semanis dan kerbau sekok, beras seratus gantang
selemak semanis.
Gantang terdiri dari 4 cupak.
Satu cupak terdiri dari 3 canting. Sehingga satu gantang adalah 12 canting.
Ganting adalah takaran beras
seukuran kaleng susu. Masyarakat mengenal pengukuran kaleng susu sebagai
takaran besar. Kaleng susu adalah kaleng sebagai wadah susu kental yang sudah
lama dipergunakan di pelosok-pelosok Jambi.
Selain itu dikenal Selendang
matahari, timban tasik (piring) dan tongkat bumi (tombak). Setiap pelanggaran
harus mencantumkan selendang matahari, timban tasik dan tongkat bumi.
Menurut jenjang adat,
Bertangkap naik bertangga turun, proses penyelesaian dimulai dari keterangan
dari masyarakat kepada Menti. Menti kemudian memberitahukan kepada Mangku.
Kemudian Mangku memberitahukan kepada Patih dan Kepala Dusun. Ketiganya yaitu
Patih, Mangku dan Kepala Dusun memanggil Debalang kepada yang dilaporkan
menghadiri sidang adat. Didalam sidang adat kemudian dibicarakan pelanggaran
terhadap masyarakat yang dituduhkan.
Dalam prosesi pelanggaran
adat, maka proses ini didahului dengan Sirih Gambir sebagai tanda persetujuan
untuk disidangkan dan mengikuti sanksi adat.
Ikrar Sirih gambir
mengingatkan berbagai prosesi penyelesaian dan penghormatan hukum adat di Jambi
sesuai dengan seloko “sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang.
Setiap pelanggaran dimulai
dari ayam sekok beras segantang selemak semanis, kambing sekok beras sepuluh
gantang, selemak semanis hingga kerbau sekok, beras seratus gantang selemak
semanis diselesaikan di Dusun Simarantihan. Namun apabila tidak dapat
diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada Batin. Batin kemudian diartikan
diserahkan kepada proses hukum.
[1] Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun
Semerantihan, 24 September 2016
[3] Catatan lengkap di Desa Pemayungan akan dituliskan
secara terpisah
[4] Menurut Kepala Dusun, Fahmi, pemukiman dibangun di
Kemumu merupakan proyek dari Dinas Sosial tahun 1984
[5] Hasil riset Walhi Jambi 2016
[6] Padi yang berupa mirip ketan