05 Februari 2017

opini musri nauli : Catatan kritis P.83


Di tengah “eforiaPutusan Nomor 35/PUU-X/2012 (MK No 35), public kemudian dikejutkan dengan lahirnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/102016 (P 83). Lahirnya P83 menimbulkan implikasi hukum baik dilihat dari formil maupun materi yang diatur. Pendekatan formil maupun pendekatan materiil merupakan salah satu “pisau analisis” didalam melakukan penilaian terhadap sebuah peraturan (judicial review).

Dari segi formil, lahirnya P83 merupakan Peraturan Setingkat Menteri. Padahal Putusan MK No. 35 kemudian menugaskan kepada Pemerintah untuk mengakui hutan adat[1].

Mengikuti alur putusan MK No. 35, maka Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat adat yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah[2]. Dan ketentuan mengenai pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat adat ditetapkan Peraturan Pemerintah[3]. Dengan demikian ketika “ditugaskan” oleh MK untuk mengatur pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat adat “haruslah” ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah.

Sehingga ketika “ditugaskan” oleh MK didalam pengaturan pengukuhan keberadan dan hapusnya masyarakat adat yang berupa Peraturan Pemerintah kemudian “direduksi” menjadi Peraturan setingkat Menteri (Permen). Sebuah “beleid” yang tidak mendapatkan kewenangan (baik atribusi, delegasi maupun mandate) dari peraturan diatasnya.

Dari pendekatan materiil, mekanisme pengajuan hutan adat dan meletakkan hutan adat sebagai “Perhutanan Sosial” adalah bertentangan dengan semangat didalam Putusan MK 35.

Sebagai putusan MK dan menjadi sumber hukum lahirnya berbagai peraturan berkaitan dengan hutan adat, Menurut M.P. Stein sebagaimana dikutip Maruarar Siahaan dalam bukunya berjudul Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya.”

Menjatuhkan putusan merupakan salah satu kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 200. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum  yang bisa ditempuh (inkracht van gewijsde). Sifat final dalam putusan MK dalam UU ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Dengan demikian maka putusan MK kemudian merupakan kebenaran formil (res judicata pro veritate habetur)[4].

Melihat pertimbangan MK didalam Putusan MK No. 35, maka kata negara dihapus dari rumusan Pasal 1 Angka 6 UU Kehutanan hingga menjadi, “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Menurut MK, berdasarkan Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan,  maka status hutan dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataan masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

Sehingga makna filosofi lahirnya P 83 sebagaimana didalam pertimbangan P 83 yang menyebutkan “… maka diperlukan kegiatan perhutanan social melalui upaya pemberian akses legal kepada masyarakat setempat berupa pengelolaan hutan desa, izin usaha hutan kemasyarakatan, hutan tanaman Rakyat, kemitraan kehutanan atau pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan”, menimbulkan implikasi hukum.

Pertama. Paradigma Negara yang masih menempatkan hutan adat sebagai “akses legal” bertentangan dengan pertimbangan MK No. 35. Pertimbangan MK No. 35 yang “menugaskanPemerintah kemudian mengeluarkan wilayah hukum adat dari kawasan hutan negara. Jadi tidak sekedar cuma “akses legal” sebagaimana pertimbangan didalam P 83.

Atau dengan kata lain, Hutan adat yang “dikeluarkan” dari kawasan hutan Negara namun “direduksi” cuma sekedar “akses legal”. Sebuah pengingkaran konstitusi oleh Negara didalam P 83.

Kedua. Menempatkan hutan adat didalam sub bagian dari Perhutanan social bersama-sama dengan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, hutan tanaman Rakyat dan kemitraan kehutanan merupakan “kekeliruan” didalam menafsirkan putusan MK No. 35.

Padahal dengan pertimbangan MK No. 35 yang kemudian didalam pertimbangannya  Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”, maka menggunakan penafsiran argumentum a contrario, hutan adat kemudian sejajar dengan hutan Negara. Sehingga “menempatkan” hutan adat didalam sub bagian dari perhutanan social kemudian “kembali” menempatkan hutan adat termasuk kedalam wilayah cakupan hutan Negara. Dengan demikian maka selain tidak sesuai dengan pertimbangan MK 35 juga merendahkan makna konstitusi dari Hutan Adat.

Dengan melihat kesalahan Negara didalam P 83 baik dari pendekatan formil maupun dari segi materiil maka P 83 bertentangan dengan MK No. 35. Oleh karena itu terhadap materi yang berkaitan dengan hutan adat harus dikeluarkan dari P 83.

Selain itu “perintah” MK 35 yang menugaskan Negara untuk mengatur keberadaan maupun hapusnya masyarakat hukum adat diatur didalam PP. Tidak direduksi peraturan dibawahnya.

Dimuat di Mongabay.co,id tanggal 17 Februari 2017
http://www.mongabay.co.id/2017/02/17/opini-catatan-kritis-atas-keputusan-menteri-soal-penetapan-hutan-adat/




[1] Makna Putusan MK 35, Musri Nauli, Mongabay, 25 Mei 2015
[2] Pasal 67 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
[3] Pasal 67 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
[4] Asas res judicata pro veritate habetur biasa dikenal sebagai apa yang diputus hakim harus dianggap benar.  Lihat Sudikno Mertokusumo, berjudul Penemuan Hukum Sebuah Pengantar