19 Desember 2016

opini musri nauli : KESALAHAN PARADIGMA TENTANG KARHUTLA



Didalam sebuah pertemuan di Jakarta dengan Tema penegakkan hukum dan kebakaran hutan dan lahan (KARHUTLA), saya kaget mengetahui bagaimana pandangna para pihak didalam melihat persoalan hukum (KARHUTLA). Dari para pihak yang mewakili unsur akademisi, penegak hukum hingga berbagai pihak saya kemudian menyadari ada persoalan di tataran paradigm. Tulisan ini mencoba untuk memotret bagaimana pandangan parapihak sekaligus sebagai otokritik paradigm didalam persoalan hukum.
Pandangan pertama. Masih ada anggapan terhadap kesulitan mencari barang bukti dan bukti-bukti lain untuk menjerat para pelaku kebakaran hutan dan lahan. 

Pandangan kedua. Kesulitan untuk menerapkan tindak pidana yang dituduhkan.

Pandangan ketiga. Masih menuduh masyarakat sebagai penyumbang kebakaran.

Pandangan keempat. Kesulitan koordinasi terhadap masing-masing pihak untuk memproses hukum kepada para pelaku.  Pandangan Kelima. Apabila sudah diterapkan proses hukum administrasi ataupun proses hukum perdata, maka proses hukum pidana tidak perlu diterapkan lagi.

Mari kita mulai melihat persoalan diatas sehingga lebih utuh dan dapat menjawab problema-problema yang timbul.

Kesulitan Pembuktian

Tema ini cukup menarik sekaligus menjawab kegundahan yang timbul selama ini di pikiran saya.

Kegundahan disebabkan, bagaimana mungkin kebakaran yang massif sejak 6 tahun terakhir, namun praktis, para pelaku “lenggangkangkung” dan “terkesan” tidak tersentuh.

Dalam upaya pembuktian, kemampuan penyidikan di Indonesia haruslah diacungi jempol dalam kasus-kasus pelik seperti kasus terorisme, narkoba, korupsi dan kasus pembunuhan.

Masih ingat kasus Bom Bali I yang dalam hitungan dibawah satu bulan hingga bisa terungkap.

Atau kasus-kasus pembunuhan seperti terbunuhnya Nazaruddin yang dalam hitungan bulanan mampu terungkap.

Bayangkan. Dengan ditemukannya mayat, kemampuan penyidik dapat mengungkapkan kasus-kasus yang pelik sehingga tidak perlu diragukan lagi.

Namun dalam kebakaran sejak tahun 2010, kemampuan penyidik tidak memberikan kabar yang menggembirakan.

Dalam rentang kebakaran tahun 2015 di Jambi, dari 69 perusahaan yang terbakar, 15 perusahaan kemudian “disebut-sebut” sebagai  dalam proses, namun hanya dua yang kemudian hingga di muka persidangan. Padahal dengan terbakarnya areal 135 ribu hektar, kebakaran tahun 2015 adalah kebakaran yang paling mengerikan dalam sejarah di Indonesia.

Dengan kebakaran tahun 2015 saja, menghasilkan emisi karbon yang setara dengan emisi karbon Jerman tahunan.

Dari diskusi, persoalan muncul dengan alasan “kesulitan” untuk mendapatkan barang bukti maupun bukti-bukti lain.

Argumentasi ini cukup mengganggu sekaligus menjadi kesempatan bagi saya untuk mendalami persoalan ini lebih jauh.

Kesulitan apakah sehingga untuk mendapatkan barang bukti ataupun bukti-bukti lain menyebabkan kasus-kasus ini kemudian mandeg di tingkat penyidikan.

Apakah disebabkan karena “mencari saksi” atau mencari “barang bukti’ semisal korek api ataupun bensin melihat kebakaran tersebut.

Apabila merujuk kepada pemikiran diatas, maka sudah menjadi terkonfirmasilah penyebab kesulitan (paradigm penyidik) selama ini.

Padahal dengan “mencari barang bukti” seperti korek api atau bensin atau saksi yang melihat terjadinya kebakaran maka paradigm ini harus ditinggalkan.

Paradigma (sebagaimana sering sudah saya sampaikan) berangkat dari sistem hukum eropa continental yang berasas “tiada pidana tanpa kesalahan” (Geen straft vonder schuld).  Pada dasarnya “setiap orang tidak dapat dihukum/dipertanggungjawabkan apabila tidak ada kesalahan. Asas ini menjadi prinsip baik  diatur didalam pasal 1 KUHP maupun prinsip-prinsip sebagai Negara hukum (Rechtstaat).

Namun didalam UU yang berkaitan dengan Sumber daya alam seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Perkebunan, UU Air, UU Pesisir dan Pulau Kecil dan sebagainya, berbagai asas sudah menempatkan Indonesia juga menganut sistem hukum Anglo Saxon.

Asas-asas seperti “Tanggungjawab mutlak (strict liability), pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), tanggungjawab pengganti (vicarious liability), gugatan kelompok (class action) ataupun gugatan organisasi (legal standing) adalah asas didalam sistem hukum Anglo saxon. Sehingga sudah jamak, Indonesia sudah menerapkan asas-asas hukum anglo saxon.

Untuk “memastikan” agar tidak adanya tumpang tindih, maka apabila kita perhatikan mengenai pertanggungjawaban didalam hukum pidana, apabila UU sudah mengamanatkan tanggungjawab mutalk (strict liability) maka mekanisme pembuktian terhadap kesalahan tidak perlu lagi menggunakan kesalahan (schuld) dengan pendekatan kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culva). Dengan demikian, maka langsung diterapkan mekanisme didalam sistem hukum Anglo saxon.

Berpihak kepada persoalan kebakaran, maka terhadap areal yang terbakar, maka pemegang izin dimintakan pertanggungjawaban. Baik merujuk kepada pasal 48, Pasal 49 UU Kehutanan, Pasal 56 UU Perkebunan, PP No. 4 Tahun 2004, PP No. 45 tahun 2004, Permentan 47 Tahun 2014. Asas ini dikenal sebagai absolute liability.

Asas absolute liability lebih ketat daripada asas strict liability sebagaimana diatur didalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Asas absolute liability kemudian menempatkan pemegang tidak perlu lagi dibuktikan kesalahan. Aas ini kemudian dikenal sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault).

Sedangkan pemegang izin maka dapat diterapkan UU No. 40  Tahun 2007 Tentang Perusahaan Terbatas yang menggantikan UU No. 1 Tahun 1995. Didalam pasal 98 ayat  (1) UU No. 40 Tahun 2007 secara tegas dinyatakan “Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan”.

Asas terhadap Dewan Direksi yang bertanggungjawab terhadap urusan perusahaan baik didalam maupun diluar pengadilan inilah yang biasa disebut “tanggungjawab pengganti (vicarious liability)

Menilik kepada kalimat diatas, maka pemegang izin yang terbakarlah yang dimintakan pertanggungjawaban (absolute liability). Terhadap pemegang izin haruslah dimintakan pertanggungjawaban dan tidak perlu dibuktikan kesalahan (asas liability with fault). Sedangkan terhadap pemegang izin, maka Dewan Direksi yang bertanggungjawab dimuka hukum (asas vicarious liability).

Menggunakan asas-asas didalam sistem hukum Anglo saxon maka selain akan mempermudah pembuktian dan tidak membuktikan kesalahan dari pelaku juga sesuai dengan asas-asas anglo saxon didalam UU berkaitan dengan sumber daya alam.

Sehingga alasan “kesulitan mencari saksi yang melihat siapa yang membakar” atau mencari barang bukti terhadap terhadap kebakaran tidak perlu lagi terjadi.

Dengan penjelasan yang telah dipaparkan diatas, maka alasan lain seperti “kesulitan untuk menerapkan tindak pidana yang dituduhkan” menjadi tidak relevan lagi dibahas.

Masyarakat sebagai penyumbang kebakaran

Disisi yang lain, tuduhan masyarakat sebagai penyumbang kebakaran selain tidak sesuai dengan fakta-fakta dilapangan, menyakitkan juga bertentangan dengan konsepsi masyarakat sekaligus menutupi kedok perusahaan yang terbukti terbakar 5 tahun terakhir.

Apabila kita bandingkan dengan titik-titik api baik sejak tahun 2010 hingga 2015 maka terbukti kesemuanya berada di areal perusahaan.

Selain itu didaerah gambut, maka gambut yang diberikan izin kepada perusahaan terletak di gambut dalam. Wilayah yang tidak dikerjakan oleh masyarakat selama ini.

Selain wilayah gambut dalam merupakan wilayah yang tidak dikelola masyarakat, Negara kemudian memberikan konsensi di areal gambut dalam juga tidak melakukan pengawasan. Baik dengan model pengelolaan tanpa membakar hingga peralatan yang diperlukan untuk melakukan pemadaman.

Pemberian izin di gambut dalam selain merusak hidrologi gambut juga menghancurkan kawasan ekologi gambut. Dengan rusaknya hidrologi gambut dan kawasan ekologi gambut mengakibatkan gambut menjadi rusak.

Cara ini kemudian diperparah kebakaran yang tidak mampu lagi fungsi gambut sebagai daya dukung mengembalikan hidrologi gambut.

Dengan pemberian izin di lahan gambut dalam oleh Negara untuk dikelola maka kemudian “pemegang izin” melepaskan tanggungjawabnya. Dari ranah ini, maka tuduhan kepada masyarakat sebagai penyumbang kebakaran menemukan momentum sehingga kebakaran dan beban kesalahan dari perusahaan dapat dikesampingkan.

Lihatlah bagaimana upaya Negara maupun perusahaan yang berkelit untuk melepaskan tanggungjawabnya. Baik dengan alasan “tidak mungkun perusahaan” yang membakar, argumentasi lain seperti, “bukan satu perusahaan saja yang terbakar” adalah upaya untuk menutupi persoalan kebakaran yang sebenarnya.

Sehingga tuduhan  kepada masyarakat merupakan salah satu upaya untuk melepaskan kesalahan dan membebankan kepada masyarakat.

Dari ranah inilah kemudian menyebabkan penegakkan hukum menjadi kurang maksimal dari paradigm para penegak hukum.

Berangkat dari paparan diatas maka problema penegakkan hukum dalam kasus kahutla berangkat dari kesalahan cara pandang (paradigma) didalam meletakkan hukum.

Menjadi tugas bersama untuk kembali merumuskan agenda-agenda penegakkan hukum karhutla. Kesalahan paradigma haruslah diluruskan. Sehingga proses hukum tidak berhenti di proses penyidikan. Namun memberikan efek jera kepada pemegang izin yang berambisi menguasai tanah. Tapi tidak mampu mengelola izin yang diberikan. 



http://www.jambi-independent.co.id/read/2016/12/20/11955/polemik-undangundang-payung