Di
tengah “eforia” Putusan Nomor 35/PUU-X/2012
(MK No 35), public kemudian dikejutkan dengan lahirnya Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/102016 (P 83).
Lahirnya P83 menimbulkan implikasi hukum baik dilihat dari formil maupun materi
yang diatur. Pendekatan formil maupun pendekatan materiil merupakan salah satu
“pisau analisis” didalam melakukan
penilaian terhadap sebuah peraturan (judicial
review).
Dari segi formil, lahirnya
P83 merupakan Peraturan Setingkat Menteri. Padahal Putusan MK No. 35 kemudian
menugaskan kepada Pemerintah untuk mengakui hutan adat[1].
Mengikuti alur putusan MK No.
35, maka Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat adat yang ditetapkan
dengan Peraturan Daerah[2].
Dan ketentuan mengenai pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat adat
ditetapkan Peraturan Pemerintah[3].
Dengan demikian ketika “ditugaskan”
oleh MK untuk mengatur pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat adat “haruslah” ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah.
Sehingga ketika “ditugaskan” oleh MK didalam pengaturan
pengukuhan keberadan dan hapusnya masyarakat adat yang berupa Peraturan
Pemerintah kemudian “direduksi”
menjadi Peraturan setingkat Menteri (Permen). Sebuah “beleid” yang tidak mendapatkan kewenangan (baik atribusi, delegasi maupun mandate) dari peraturan diatasnya.
Dari pendekatan materiil,
mekanisme pengajuan hutan adat dan meletakkan hutan adat sebagai “Perhutanan
Sosial” adalah bertentangan dengan semangat didalam Putusan MK 35.
Sebagai putusan MK dan
menjadi sumber hukum lahirnya berbagai peraturan berkaitan dengan hutan adat, Menurut M.P.
Stein sebagaimana dikutip Maruarar Siahaan dalam bukunya berjudul Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan dalam peradilan merupakan
perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum dan dibuat tertulis untuk mengakhiri sengketa yang
dihadapkan para pihak kepadanya.”
Menjatuhkan
putusan merupakan salah satu kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1)
UU No. 24 Tahun 200. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011,
putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak
ada upaya hukum yang bisa ditempuh (inkracht van gewijsde). Sifat
final dalam putusan MK dalam UU ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final
and binding). Dengan demikian maka putusan MK kemudian merupakan kebenaran formil (res
judicata pro veritate habetur)[4].
Melihat
pertimbangan MK didalam Putusan MK No. 35, maka kata negara dihapus dari rumusan Pasal 1 Angka 6 UU
Kehutanan hingga menjadi, “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat.” Menurut MK, berdasarkan Pasal 5 ayat (3) UU
Kehutanan, maka status hutan dan hutan adat ditetapkan sepanjang
menurut kenyataan masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui
keberadaannya.”
Sehingga
makna filosofi lahirnya P 83 sebagaimana didalam pertimbangan P 83 yang
menyebutkan “… maka diperlukan kegiatan
perhutanan social melalui upaya pemberian akses legal kepada masyarakat
setempat berupa pengelolaan hutan desa, izin usaha hutan kemasyarakatan, hutan
tanaman Rakyat, kemitraan kehutanan atau pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan”,
menimbulkan implikasi hukum.
Pertama.
Paradigma Negara yang masih menempatkan hutan adat sebagai “akses legal” bertentangan dengan
pertimbangan MK No. 35. Pertimbangan MK No. 35 yang “menugaskan” Pemerintah kemudian mengeluarkan
wilayah hukum adat dari kawasan hutan negara. Jadi tidak sekedar cuma “akses legal” sebagaimana pertimbangan
didalam P 83.
Atau dengan kata lain, Hutan adat yang “dikeluarkan” dari kawasan hutan Negara namun
“direduksi” cuma sekedar “akses legal”. Sebuah pengingkaran
konstitusi oleh Negara didalam P 83.
Kedua. Menempatkan hutan adat didalam sub
bagian dari Perhutanan social bersama-sama dengan Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, hutan tanaman Rakyat dan kemitraan kehutanan merupakan “kekeliruan”
didalam menafsirkan putusan MK No. 35.
Padahal dengan pertimbangan MK No. 35 yang
kemudian didalam pertimbangannya “Hutan adat adalah hutan yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”, maka menggunakan penafsiran argumentum
a contrario, hutan adat kemudian sejajar dengan hutan Negara. Sehingga “menempatkan”
hutan adat didalam sub bagian dari perhutanan social kemudian “kembali”
menempatkan hutan adat termasuk kedalam wilayah cakupan hutan Negara. Dengan
demikian maka selain tidak sesuai dengan pertimbangan MK 35 juga merendahkan makna konstitusi dari Hutan Adat.
Dengan melihat kesalahan Negara didalam P 83
baik dari pendekatan formil maupun dari segi materiil maka P 83 bertentangan
dengan MK No. 35. Oleh karena itu terhadap materi yang berkaitan dengan hutan
adat harus dikeluarkan dari P 83.
Selain itu “perintah” MK 35 yang menugaskan
Negara untuk mengatur keberadaan maupun hapusnya masyarakat hukum adat
diatur didalam PP. Tidak direduksi peraturan dibawahnya.
Dimuat di Mongabay.co,id tanggal 17 Februari 2017
http://www.mongabay.co.id/2017/02/17/opini-catatan-kritis-atas-keputusan-menteri-soal-penetapan-hutan-adat/
http://www.mongabay.co.id/2017/02/17/opini-catatan-kritis-atas-keputusan-menteri-soal-penetapan-hutan-adat/
[1] Makna Putusan MK 35, Musri Nauli, Mongabay, 25 Mei
2015
[2] Pasal 67 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan
[3] Pasal 67 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan
[4] Asas res judicata pro veritate
habetur biasa dikenal sebagai apa yang diputus hakim harus
dianggap benar. Lihat Sudikno Mertokusumo, berjudul Penemuan Hukum Sebuah Pengantar