Hampir
7 tahun yang lalu, dunia hiburan (entertainment)
dan dunia hukum diserbu berita tentang “energy”
bangsa untuk Kasus heboh artis Arief Peterpan-Luna Maya. Kritik saya terhadap
perkara ini kemudian sudah saya tuliskan “Mengintip Kamar”. Artis, 7 Agustus
2010.
Kritik
saya dilandasi ketika tidak tepat Ariel “dipersalahkan”
melakukan perbuatan “tidak senonoh”
yang divideokan dan menjadi viral di berbagai dunia maya. Selain itu penggunaan
UU Pornografi yang diberlakukan setelah perbuatan Ariel-Luna Maya menjadi asas
“berlaku surut (retroaktif)” menjadi
cacat formil.
Namun
“kemuakkan” public terhadap perbuatan
Ariel kemudian menghantarkan Ariel harus menanggung di penjara. Dan apapun
putusan terhadap Ariel menimbulkan persoalan dimuka hukum. Baik didalam asas “retroaktif”, prosedur hukum acara dan
prinsip keadilan terhadap Ariel.
Tanpa
mengenyampingkan “urusan moral”,
perbuatan yang dilakukan Ariel merupakan permasalahan yang serius dalam tataran
praktek penegakkan hukum.
“Ruang sepi” dan “urusan ranjang”, wilayah privat yang tidak menjadi urusan public
kemudian menjadi gegap gempita dalam urusan public. Dari ranah inilah kemudian
UU Pornografi memang menjadi masalah didalam penegakkan hukum.
Roda
kemudian berputar. 7 tahun kemudian, tema ini kembali memantik wacana public.
Seorang tokoh yang disebut tokoh agama kemudian dilaporkan telah melakukan “chatting” dengan perempuan yang bukan
muhrimnya. Percakapan dan gambar dalam wattapp dapat dikategorikan “tidak senonoh” dan tidak pantas dan
dapat dijadikan dasar diterapkan UU Pornografi.
Menyikapi
peristiwa diatas, maka UU Pornografi kembali memakan korban. Perbuatan yang
masuk kedalam “urusan bilik” atau “urusan ranjang” dan menjadi domain
wilayah privat. Namun kembali “Negara” turun tangan mengurusinya. Sebuah
esensi yang jauh dari pendekatan filosofi.
Tanpa
bermaksud memasuki wilayah hukum, persoalan “klasik’ menimbulkan masalah. Apa urgensinya Negara “mengurusi ranjang” rakyatnya. Selama
perbuatan yang dilakukan adalah “suka
sama suka”, tidak ada keluarga yang mengadukan, maka Negara kemudian tidak
bisa menggunakan perangkat besinya untuk mempersalahkan dan membawa kasus ini
dimuka hukum.
Urusan
kesusilaan kemudian “dipaksa” menjadi
“urusan hukum” maka menimbulkan “ketidakadilan”. Dari ranah inilah, maka
saya menolak diterapkannya UU Pornografi dalam peristiwa diatas. Baik terhadap
kasus Ariel-Maya maupun kasus yang akan menimpa tokoh diatas. Sikap saya tidak
berubah sejak 7 tahun yang lalu.
Namun
tulisan kali ini tidak membicarakan dari pendekatan hukum. Baik dari penerapan
norma maupun dari makna UU Pornografi yang bermasalah. Selain memang pembahasan
ini sudah saya tuliskan 7 tahun yang lalu, tema ini akan berkesudahan dalam
proses hukum yang kemudian menjerat Ariel-Luna Maya.
Namun
“ketika” energy bangsa kemudian “dikerahkan” untuk digunakan menghabisi
tokoh-tokoh yang dianggap berseberangan dengan pandangan Pemerintah. Cara dan model
yang digunakan adalah cara-cara yang digunakan sebagaimana disampaikan oleh Niccolo Machiavelli (1469-15270, seorang ahli
berkebangsaan Italia didalam buku yang terkenal “II Principe”. II Prinsip (Sang
Penguasa) disebut sebagai buku “petunjuk
untuk para dictator”. Tahun 1559 Gereja Katolik kemudian memasukkana dalam
daftar Indeks sebagai buku yang dilarang dibaca dan diedarkan dalam komunitas
gereja katolik.
Machiavelli menyebutkan “seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya
haruslah menggunakan tipu muslihat, licik, dusta digabung dengan kekejaman dan
kekuatan. Cara ini kemudian menempatkan para dictator disebut “Makiavelis”.
Dalam kata pengantar edisi
bahasa Indonesia buku ini, M. Sastrapratedja dan Frans M. Parera (1991)
menyebutkan “konon Napoleon, sang
diktator Prancis itu, senantiasa menyelipkan buku Sang
Penguasa di bawah bantal
kepalanya, sama halnya dengan tingkah laku Hitler, Mussolini dan Stalin. Hanya
Benito Mussolini salah seorang dari sedikit penguasa negara-negara modern yang
secara terang-terangan di depan publik menyatakan kekagumannya atas ajaran
Machiavelli. Para pemimpin lainnya tidak atau enggan berterus-terang”.
Ketika Negara mengurusi “ranjang” dari rakyatnya, maka disaat
itulah kemudian hukum menemukan momentum. Hukum digunakan untuk menjerat dan
menghabisi orang-orang yang berseberangan dengan Negara. Hukum kemudian menjadi
tirani.
Selain itu, tema Negara
mengurusi “ranjang” dari rakyatnya
merupakan salah satu pemikiran dari Negara-negara sebelum abad XII di Eropa.
Sering disebut masa kegelapan bangsa Eropa.
Para Raja kemudian “mengurusi” segala sesuatu yang berkaitan
dengan rakyatnya. Mengurusi pakaian, mengurusi moral bahkan mengurusi segala
aspek privat rakyatnya sendiri.
Tumbangnya kekuasaan absolute
dan pertentangan antara Raja dan Gereja kemudian berhasil memisahkan urusan
public dan urusan privat. Masa ini kemudian dikenal sebagai “Negara ketertiban. Sebagian menyebutkan
sebagai “Negara penjaga malam”. Negara
kemudian mengurusi “urusan public” di
tengah pasar, di tengah Negara dan huruhara yang menyebabkan kehebohan di
tengah masyarakat.
Konsepsi ini kemudian
ditinggalkan dan Negara tidak dibenarkan mengurusi yang berkaitan dengna privat.
Di Indonesia kemudian diatur didalam UU berkaitan pidana dan ranah privat yang
diatur didalam hukum Perdata/hukum dagang (Burgelijk
van Wetboek).
Saya sering memberikan
perumpamaan. Diluar rumah, Negara harus melindungi masyarakat dan diperlakukan
tidak adil (ranah public). Namun Negara
bertugas sampai dipintu rumah. Negara tidak boleh masuk ke rumah apalagi masuk apalagi
sampai mengurus “ke bilik ranjang”.
(wilayah privat).
Peristiwa diatas “terlepas”
benar atau salah merupakan ranah moral dan kesusilaan. Dan Negara tidak
dibenarkan membicarakan moral dan kesusilaan. Biarlah itu menjadi penilaian
dari masyarakat baik terhadap kebenaran maupun ketidakbenaran itu sendiri.
Dan energy bangsa terlalu
besar digunakan untuk mengurusi ranjang dari rakyatnya.
Padahal, masih banyak “dugaan” pelanggaran hukum yang dapat
diproses untuk menjerat Proses hukum
baik “pelecehan bendera”, “pelecehan
lambang Negara”, penghinaan agama tertentu, “penistaan mata uang” adalah
berbagai proses hukum yang sedang bergulir. Dan semuanya disampaikan dimuka
hukum dan menjadi ranah public untuk disikapi oleh Negara. Dan secara hukum,
proses yang sedang bergulir juga menempatkan Negara yang harus melindungi
masyarakat dari penghinaan dari sang Tokoh.
Sehingga menggunakan UU
Pornografi selain melambangkan cara-cara yang digunakan “Makiavelis” juga digunakan oleh Raja-raja Eropa sebelum abad XII.
Apakah kita mau “seatback” dan hidup dalam dunia Eropa
sebelum abad XII ?
Baca : RUU Pornografi
Advokat,
Tinggal di Jambi