Ketika
ayat pertama “Iqra” diturunkan, maka makna harfiahnya “bacalah” tidak serta
merta ditafsirkan “sekedar” membaca.
Kata
iqro’ dalam bahasa Arab adalah berbentuk fi’lul Amr /kata perintah/ affirmative
dari kata qoro’a –yaqro’u-iqro’-qiroatan. Iqra’ adalah fi’il
amar (kalimat
perintah). “Bacalah”. Kata “bacalah” kemudian “perintah” untuk membaca.
Konsepsi
“iqra” kemudian harus dimaknai dengan “akal (aqli)”. Iqra’ dari kata “qara’a”
yang kemudian menghimpun. Dengan merujuk “menghimpun” maka ketika membaca tidak
sekdar membaca, tapi kemudian menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti baik
teks tertulis maupun tidak.
Dengan
membaca maka kemudian belajar, membuka wawasan, mengembangkan gagasan, membuka
tabir rahasianya, meluas cakrawara berfikir dan menemukan kebenaran.
Dengan
Iqra’, maka kemudian Al Qur’an meletakkan pengetahuan dan melibatkan akal dan
kalbu untuk memahaminya. Sehingga setiap petunjuk, perintah, ajaran yang
terkandung didalam Al Qur’an dapat dipahami bagi mereka yang berfikir.
Dalam
kerangka fiqh Islam, kebabasan mengemukakan pendapat biasa disebut dengan
istilah hurriyyah al-ra’y (menurut etimologis berarti kebebasan berpendapat
yang juga berarti kebebasan berbicara).
Hurriyyah
al-ra’y kemudian memperketat pemikiran yang matang, mendalam dan
sungguh-sungguh. Quraish Shihab menyebutkan Al-din Al-nashihah (keberagaman
adalah nasehat). Nurcholish Madjid menyebutkan Kebutuhan berkumpul dengan sesame
(le desire d’etre ensemble). Ibnu Khaldum menyebutkan “Manusia
pada dasarnya adalah makhluks social (al-nas madaniyun bi al-thabi’I)
Itulah
materi dasar didalam Pendidikan dasar HMI (Basic Training HMI). Materi itulah
yang kemudian membuka cakrawala berfikir dan kemudian “memaksa” saya membuka
semua pemikiran tokoh-tokoh yang mempengaruhi dunia.
Sehingga
tidak salah kemudian dalam berbagai dimensi saya bisa “menari-nari” pemikiran
antara Marx namun kemudian membenturkan dengan H. Misbach. Dalam tarik menarik
pemikiran, saya kemudian “mentertawakan” konsep usang Marx ketika saya sodorkan
konsep “Madilog” Tan Malaka.
Dalam
melihat konsitusi, saya kemudian menganggumi pemikiran KH. Wahid Hasyim, Hatta
yang meletakkan konsep dalam percaturan konstitusi. Makna pasal 33 yang
membicarakan konsepsi sosialis berangkat dari larangan Islam menumpuk harta
(Surat Al Humazah ayat 1-4), larangan memakan harta orang lain (surat Al
Baqarah ayat 188). Sehingga tidak salah kemudian saya menjadikan Islam sebagai
agama yang membela orang yang tertindas/Musdatafi’in (surat Al Qashash ayat 5
dan 6). Saya kemudian mengagumi M. Natsir, tokoh Masyumi yang dilarang Soekarno
untuk menghadiri pertemuan sosialisme Internasional.
Dari
cakrawala yang telah dibuka, maka saya kemudian melihat perdebatan sengit
antara Soekarno dan M. Natsir didalam konsep Negara dan Agama. Atau perdebatan
klasik antara M. Natsir dengan Syahrir. Dan perdebatan Agus Salim dengan
Belanda yang hendak datang ke Indonesia.
Dengan
sosok dan pemikiran tokoh-tokoh Islam, saya kemudian menemukan relasi antara
islam dan perkembangan dunia. Bagaimana mereka meletakkan konsep pemikirna di
dalam islam didalam menjawab berbagai pemikiran tokoh-tokoh dunia.
Lalu
ketika saya menemukan cakrawala yang diterima di basic training kemudian HMI
harus dipersalahkan dalam berbagai kasus hukum dan tarik menari politik.
Suka
atau tidak suka, pemikiran Islam juga menjadi wacana yang kuat di dalam HMI.
Tipe
seperti Nurcholish Majid, Dawan
Rajadjo, Kuntowidjojo, Djohan Effendi atau Yudi Latif, Anies Baswedan,
Airlangga Pribadi menjadi rujukan dan salah satu panutan didalam meletakkan
pemikiran di Islam. Suasana pemikiran terus hidup dan menjadi kajian dalam
diskusi-diskusi kecil dan rutin diselenggarakan.
Namun pilihan kemudian seperti yang dilakukan Akbar
Tanjung, Anas Urbaningrum, Jusuf Kalla masuk ke dunia politik juga tidak dapat
dihindarkan. Resiko masuk ke dunia politik adalah sebuah pilihan yang kemudian
dapat lihat dari jejak rekamnya. Waktu yang menjawabnya apakah “resiko” masuk
dunia politik kemudian berakhir “happy ending” atau kemudian berakhir karir
politiknya.
Namun kemudian “menuduh” HMI sebagai kader yang
menciptakan koruptor justru akan bertentangan dengan logika itu sendiri. Proses
hukum terhadap Anas Urbaningrum justru disaat Pimpinan KPK justru berasal dari
kader HMI (Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Abraham Samad). Dari
posisi inilah kemudian harus obyektif sehingga proses hukum terhadap Anas
Urbaningrum adalah proses hukum dimana menurut Seloko Jambi “tangan
mencincang. Bahu memikul”.
Selain itu yang sering dilupakan adalah ketika
masih banyak kader-kader HMI yang masih “membawa spidol, poster”
berkeliling kampong membangkitkan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan.
Pematangan materi yang meletakkan Islam sebagai Islam sebagai agama
yang membela orang yang tertindas/Musdatafi’in begitu mengejawantah dalam
kehidupan sehari-hari.
Tokoh
seperti Munir merupakan salah satu inspirasi yang tetap berdiri di barisan
orang tertindas (Musdatafi’in). Mereka terus bekerja diruang sunyi, jauh dari
hiruk pikuk politik, polemic keagamaan. Mereka terus mengulurkan tangan dan
tidka pernah membicarakan agama yang ditolong. Mereka terinspirasi dari
pemikiran Ali Syari’ati. Mereka tidak terjebak dalam taqlid dan ritus, Ibadah
keagamaan dan dogma teologis.
Milad, HMI.