15 September 2018

opini musri nauli : Tatacara Penyelesaian (2)



Didalam menyelesaikan perselisihan kemudian dikenal “jenjang adat. Bertangkap naik. Bertangga turun”.

Di Marga Batin Pengambang dikenal Bertangkap naik, Berjenjang turun. Setiap proses dimulai dari Tuo Tengganai. Barulah diselesaikan di tingkat Desa. Atau juga dikenal Tegur Sapo. Tegur Ajar dan Guling Batang. Tiga Tali Sepilin. Didalam menyelesaikan perselisihan, maka adanya pemangku Desa, pegawai syara' dan lembaga adat.  Bebapak Kijang. Berinduk Kuaw. Apabila putusan telah dijatuhkan, maka tidak bisa dilaksanakan, maka tidak perlu diurus didalam pemerintahan desa[1].

Di Marga Batang Asai Tengah juga dikenal dengan JENJANG ADAT Setiap persoalan yang timbul, maka diselesaikan dengna hukum adat. Dimulai dari tuo tengganai dan apabila tidak diselesaikan maka diselesaikan nenek Mamak. Terhadap kesalahan maka diselesaikan setiap jenjang adat.  Dimulai dari Tegur sapo berupa ayam satu ekor dan beras segantang. Kemudian  Tegur pengajar berupa kambing 10 ekor dan beras 20 gantang. Guling batang berupa denda satu ekor kerbau dan beras seratus gantang[2]

Marga Datuk Nan Tiga[3], dikenal Datuk Demang. Datuk Temenggung berpusat di Dusun Mengkadai. Datuk Ranggo berpusat di Dusun Muara Mansao. Sedangkan Datuk Demang berpusat di Kampung Pondok

Datuk yang menguasai masing-masing wilayah kemudian dipilih oleh para Kepala Kampung. Sedangkan Datuk Petinggi kemudian dipilih oleh ketiga Datuk yaitu Datuk Temenggung, Datuk Ranggo Dan Datuk Demang.

Setelah masyarakat kemudian bermukim tetap, maka untuk menjamin kerukunan, ketertiban, perdamaian dan kesejahteraan maka dibentuk struktur social. Dimulai dari pemimpin “tengganai” yang disebut “tuo tengganai”. Sebagaimana ujaran “Rumah Betengganai”.

Kemudian dibentuk kampong yang biasa disebut Kepala Kampung sebagaimana ujaran “tuo bekampung”. Barulah kemudian Kepala Kampung memilih atau menunjuk Kepala Dusun yang kemudian disebut Datuk. Sebagaimana ujaran “Negeri bebatin”.

Di Marga Air Hitam[4], hanya Marga Air Hitam dikenal sebagai Tanah Bejenang.  Istilah Jenang adalah penamaan dari “orang yang dipercaya” dari Tumenggung yang Orang Rimba yang terdapat di Taman Nasional Bukit Dua Belas.

Sehingga Tanah bejenang diartikan sebagai tempat yang dipercaya orang Rimba dari Bukit Dua Belas untuk bertemu, berdagang hingga mengadakan berbagai aktivitas sosial lainnya.

Penamaan Tanah bejenang kemudian dipadankan seperti “tuo kampung, tanah bejenang, rajo bepenghulu, negeri bebatin.

Sedangkan didalam Struktur sosial di komunitas Orang Rimba Bukit Dua Belas Depati, Mangku dan Menti dikenal di dalam berbagai struktur sosial Marga/Batin di Jambi. Hanya Tumenggung yang tidak terdapat di dalam struktur Marga/Batin di Jambi.

Seorang Depati bertugas menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum. Pembantu lainnya adalah Mangku. Tugas Mangku hampir sama dengan Depati yaitu mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Bedanya kasus-kasus hukum yang ditangani oleh Mangku biasanya lebih kecil bobotnya apabila dibandingkan dengan kasus-kasus hukum yang ditangani oleh seorang Depati.

Debalang Batin bertugas menjaga dan menegakkan keamanan apabila terjadi situasi tak menentu, seperti konflik dengan orang/warga Desa. Menti adalah orang yang bertugas memanggil seorang warga apabila diperlukan oleh Tumenggung atau oleh tokoh Orang Rimba lainnya. Dalam bertugas seorang menti bisa meminta bantuan kepada Anak Dalam.

Jabatan lain yang juga cukup penting adalah dukun, tengganai dan penghulu. Dukun dipercaya dapat menyembuhkan penyakit dan berhubungan dengan mahluk halus. Petunjuk seorang Dukun, juga diperlukan oleh warga yang akan membuka ladang. Tengganai bertugas sebagai penasehat warga dalam urusan rumah tangga dan masalah hubungan antar anggota kelompok rombong. Seorang tengganai pada saat tertentu bisa memberi nasehat atau masukan pada Tumenggung di saat Tumenggung harus menghadapi tugas yang sangat berat. Penghulu bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan seperti upacara perkawinan, kematian, kelahiran bayi dan lain sebagainya.

Didalam Marga Batin VI Mandiangin[5], Setiap Dusun dipimpin oleh Seorang pemangku Dusun yang disebut Depati. Di bawah Depati adalah Punggawa

Di Marga Serampas, masing-masing Dusun kemudian diserahkan kepada Depati Seri Bumi Puti Pemuncak Alam Serampas, Depati Pulang Jawa, Depati Singo Negoro, Depati Karti Mudo Menggalo, Depati Seniudo, Depati Payung, Depati Kertau, Depati Siba[6].

Di Marga Sungai Tenang dapat dilihat struktur dalam Marga Sungai Tenang. Marga Sungai Tenang terdiri dari Pungguk 6, Pungguk 9, Koto 10. Pungguk 6 berpusat di Pulau Tengah, Pungguk 9 berpusat di Muara Mandaras. Koto 10 berpusat di Gedang.

Di Desa Gedang JENJANG ADAT ditandai dengan Seloko “Yang berhak untuk memutih menghitamkan. Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Betakap naik, berjenjang turun. Dari Suku membawa ke nenek mamak . Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu kepada kepala Desa[7].

Di Desa Kotobaru JENJANG ADAT. Kepala Desa “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek,  menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Betakah naik, berjenjang turun. Dari Suku membawa ke tuo tengganai Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka Dkepala Dusun memberitahu kepada Kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Desa dapat melaporkannya sesuai dengan hukum yang berlaku[8].

Di Desa Tanjung Benuang JENJANG ADAT “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Betakap naik, berjenjang turun.  Dari Suku membawa ke nenek mamak. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Debalang. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka Debalang memberitahu kepada Kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu kepada kepala Desa[9].

Di Desa Tanjung Alam JENJANG ADAT “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga adat.  Saksi melapor kepada Menti,2. Menti Melapor ke Kepala Dusun. Kepala Dusun memerintahkan Menti menghubungi/memberitahu Kepala Suku. Apabila Pelaku tidak mau melaksanakan putusan denda adat, Kepala Dusun melapor kepada Kepala Desa, Kepala Desa mengadakan rapat adat[10] .

Di Desa Tanjung Mudo  Kepala Desa “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga adat[11].

Di Marga Peratin Tuo, Masyarakat kemudian menyebutkan Depati Pemuncak Alam, tempatnyo di dusun Tuo.  Depati Karto Yudo, tempatnyo di dusun Tanjung Berugo, Nilo Dingin dan Sungai Lalang. Depati Penganggun Besungut Emeh, tempatnyo di dusun Koto Rami dan dusun Rancan dan Depati Purbo Nyato, tempatnyo di dusun Tiaro[12]

Di Marga Tiang Pumpung Didalam Marga Tiang Pumpung sebagaimana disampaikan oleh Sargawi didalam bukunya “Lintasan Sejarah Depati Sembilan Tiang Pumpung menyebutkan “Depati Manjuang di Muara Siau, Depati Agung di Pulau Raman, Rio Depati di Sekancing, Depati Purbo Alam di Dusun Baru, Renah Jelmu, Muara Sakai, Beringin Sanggul dan Renah Manggis. Depati Permai Yudo di Pulau Bayur, Depati Suko Berajo di Selango.

Di Marga Renah Pembarap, Hubungan kekerabatan dengan Marga Tiang Pumpung, Marga Senggrahan ditandai dengan seloko “Gedung di tiang pumpung, Pasak di Pembarap. Dan kunci di Senggrahan.  Mereka mengaku keturunan dari Sri Saidi Malin Samad. Sri Saidi Malin Samad mempunyai saudara Siti Baiti dan Syech Raja. Syech Raja diakui sebagai “puyang” Renah Pembarap. Sedangkan Siti Baiti “puyang” Marga Tiang Pumpung.[13]

Di Marga Senggrahan[14], Hubungan kekerabatan dengan Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap ditandai dengan seloko “Gedung di tiang pumpung, Pasak di Pembarap. Dan kunci di Senggrahan[15].  Mereka mengaku keturunan dari Sri Saidi Malin Samad. Sri Saidi Malin Samad mempunyai saudara Siti Baiti dan Syech Raja. Syech Raja diakui sebagai “puyang” Renah Pembarap. Sedangkan Siti Baiti “puyang” Marga Tiang Pumpung.  

Didalam sejarah yang disebut secara turun menurun sebelum menjadi desa Lubuk Beringin,  wilayah desa ini berada dalam wilayah Pesangggrahan yang di atur oleh Nenek Tigo Silo yang kemudian disebut dengan nama Tigo Pemangku Margo Pesanggrahan, mereka itu adalah :
·      Depati Surau Kembalo Hakim
·      Depati Manggalo
·      Depati Keramo
Ketiga pemangku Depati di  atas berada di dusun lubuk beringin dan desa kandang. Dan untuk Lubuk Birah pemangkunya adalh Depati Annggo, serta untuk Durian Rambun pemangkunya Adalah Depati Riyo Kemuyang[16].

Di Marga Pangkalan Jambu, Sebagai pemegang mandate dan kemudian bergelar “Datuk Raja Nan Putih.  Didalam struktur adat, maka  Datuk Raja Nan Putih dibantu oleh Datuk Monti Raja dan Datuk Pado Garang. Selain Datuk Raja Nan Putih yang dibantu oleh Datuk Monti Raja dan Datuk Pado Garang, mereka juga mengenal “Datuk berempat dan Menti nan Tigo”.

Datuk Berempat yaitu Datuk Penghulu Mudo, Datuk Penghulu Kayo, Datuk Bendaro Kayo dan Datuk Raja Tantan. Sedangkan “Menti nan Tigo yaitu Rio Niti di Dusun Baru, Rio Gemalo di Dusun Nangko dan Rio Sari di Dusun Sungai Jering)

Didalam struktur adat, mereka mengenal “Tiga Tali sepilin. Tungku Sejarangan”. Ikatan yang kuat antara struktur adat yaitu hukum Negara, hukum agama dan hukum adat kemudian diputuskan oleh Rio sebagai “pemutus akhir” dan pelaksana keputusan adat.

Marga Batin IX Ulu[17] Masing-masing dipimpin seorang Rio. Dibawah Rio dikenal sebagai Mangku. Rio adalah pemimpin setingkat Desa. Sedangkan Mangku adalah pemimpin setingkat dusun.

Berpusat di Pulau Rengas, Batin IX Ulu dipimpin 5 orang Datuk. Yaitu Datuk Melako, Depati, Penghulu Makin, Penghulu dan Sumono. Sumono adalah kekuasaan Tertinggi.  Selain Mangku dikenal juga patih. Mangku dan Patih adalah perangkat di Pemerintahan Dusun.

Marga Pelepat mempunyai cara didalam menyelesaikan. Seloko “Nengok tumbuh” adalah proses “pengaduan” dari salah satu terhadap setiap perselisihan[18].

Didalam masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih,  Struktur Kelembagaan Adat Pasal 5 Kelembagaan Masyarakat  Hukum Adat Datuk Sinaro Putih, terdiri dari :  Pimpinan Adat dan perangkatnya;  TuoNegeri; Pegawai Syara’; Tuo Tengganai; Dubalang; Monti Rajo; Manggung/Jonang; Rumah GodangTigoTaipah.

Perangkat pimpinan adat adalah Datuk Rangkayo Mulio dibantu oleh Sutan Marajo Lelo, Sutan Marajo Indo dan Rumah Gedang Tigo Taipah; Tiang Panjang dibantu oleh Datuk Rabun, Pangulu Alam dan Monti Rajo. Datuk Sinaro Putih sebagai pimpinan tertinggi yang meliputi masyarakat adat Desa Baru Pelepat dan Desa Batu Kerbau serta Dusun Lubuk Telau yang membawahi Datuk Rangkayo Mulio dan Tiang Panjang[19].

Di Marga Jujuhan, Tempat untuk menyelesaikan persoalan yang disebut Balairung.  Struktur adat ditandai dengan Banjar.  Istilah Banjar menunjuk kepada berbarisnya rumah-rumah yang terdiri dari 2 rumah atau 3 rumah.  Kemudian diikuti kampong, Batin dan Negeri.  Di berbagai tempat biasa disebut “kampong betuo, datuk bebatin dan Raja negeri”. Maknanya adalah setiap putusan baik putusan tuo kampong, datuk batin dan Raja negeri” harus diikuti oleh masyarakat berdasarkan tingkatannya[20].

Di Marga VII Koto, Untuk menyelesaikan persoalan rumit maka dapat menggunakan kiasan “fajarlah menyingsing. Murailah bekicau. Kilat beliung lah kekaki. Kilat cermin lah kemuko.

Didalam menyelesaikan persoalan adat maka harus bijaksana seperti ujaran “anak buayo tegontang-gontang. Anak cigak dalam perahu. Nak beiyo takut tehutang. Nak beidak oranglah tahu”.

Didalam struktur masyarakat dikenal “Depati” Diatas Depati disebut Temenggung. Sedangkan Temenggung dibantu Penghulu Mudo.

Sedangkan tiga Dusun (Dusun Tuo, Dusun Sukarame dan Dusun Sogo) dibawah oleh Datuk Temenggung Suto Yudho.

Namun yang unik. Dusun Tanjung, Dusun Kuamang dan Dusun Cermin Alam mempunyai struktur di keluarga Ibu. Mereka mempunyai “datuk seibu”. Datuk seibu kemudian disebut  “Mamak”, kemudian “datuk Suku”

Didalam menyelesaian persoalan dimulai dari berjenjang naik betangkap turun. Dimulai dari “mamak”. Apabila tidak diselesaikan maka diselesaikan “datuk Suku”. Sedangkan tidak bisa diselesaikan juga maka diserahkan kepada “Mangku”. Namun apabila tidak bisa diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada negeri”. Proses ini dapat dilihat dari seloko “tua betengganai, negeri bebatin”

Mangku terdiri dari “ninik mamak, tuo kampong, cerdik pandai, pegawai syara’.

Didalam menyelesaian persoalan dimulai dari berjenjang naik betangkap turun. Dimulai dari “mamak”. Apabila tidak diselesaikan maka diselesaikan “datuk Suku”. Sedangkan tidak bisa diselesaikan juga maka diserahkan kepada “Mangku”. Namun apabila tidak bisa diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada negeri”. Proses ini dapat dilihat dari seloko “tua betengganai, negeri bebatin”

Mangku terdiri dari “ninik mamak, tuo kampong, cerdik pandai, pegawai syara’[21].

Melihat persoalan yang timbul, maka menggunakan seloko “tumbuh diatas tumbuh. Tegak kedalam”. Tumbuh diatas tumbuh juga dikenal di Marga Sumay. Sedangkan di Marga IX Koto disebut “nengok tumbuh”. Sebagaimana seloko “Belum gajah lalu, belum rumput rendah. Belum enggang lalu, belumlah rantinglah patah”

Pelanggaran adat dijatuhi denda berdasarkan kesalahannya. Tingkatannya “ayam sekok. Beras segantang, selemak-semanis, kemudian “kambing sekok, beras sepuluh, selemak-semanis”, dan yang terberat “kerbau sekok, beras seratus, selemak-semanis”.

Untuk menyelesaikan persoalan rumit maka dapat menggunakan kiasan “fajarlah menyingsing. Murailah bekicau. Kilat beliung lah kekaki. Kilat cermin lah kemuko.

Didalam menyelesaikan persoalan adat maka harus bijaksana seperti ujaran “anak buayo tegontang-gontang. Anak cigak dalam perahu. Nak beiyo takut tehutang. Nak beidak oranglah tahu”.

Marga IX Koto[22], Struktur social di Marga IX Koto terdapat “ninik mamak”. Ninik mamak merupakan struktur social yang ditunjuk oleh masyarakat.

Dalam kerapatan adat, ninik mamak terdiri dari Kepala Dusun, orang tua yang bijaksana yang kemudian disebut “tuo tau”, pemangku agama yang terdiri dari Imam, Khatib dan bilal. Selain itu terdapat “Debalang Batin”. Debalang Batin merupakan tokoh Pemuda yang bisa bersifat bijaksana mengikuti pertemuan di Ninik Mamak sekaligus sebagai “orang yang lincah” untuk mengurusi urusan Dusun.

Debalang Batin berbeda dengan “kepak rambai hulubalang”. Apabila “kepak Rambai hulubalang bertugas “memanggil rapat”, menjemput ninik mamak atau pembesar negeri yang belum datang namun tidak bisa menjadi bagian dari rapat pemangku adat.

Namun Debalang Batin memang mempunyai fungsi khusus. Selain memastikan seluruh pemangku adat telah hadir, Debalang Batin juga menjadi bagian dari rapat pemangku adat. Posisinya sama dengan pemangku adat yang lain.

Begitu pentingnya posisi Debalang Batin, selain akan melaksanakan putusan rapat adat juga sebagai “orang kuat gawe” untuk melaksanakan pekerjaan yang membutuhkan tenaga orang mudo. Debalang Batin bisa menggerakkan untuk meringankan pekerjaan di dusun.

Selain itu, Debalang Batin juga bisa berfikir bijaksana didalam rapat pemangku adat.

Dengan mengikuti sistem kekerabatan matrilineal, maka “urusan keluarga besar” diserahkan kepada Mamak. Mamak adalah “saudara lelaki dari Ibu” yang kemudian mengurusi urusan keluarga besar.

Pemangku keluarga atau “kepala keluarga “sedatuk” dikenal sebagai Tengganai. “Urusan sedatuk” ini biasa dikenal  Di daerah hulu, kaum biasa disebut juga “kalbu”. Sedangkan di sebagian daerah hilir Jambi, biasa disebut juga “guguk”.. Sebuah komunitas dari keturunan Ibu. Sebagaimana menjadi seloko “Anak sekato Bapak. Kemenakan sekato Mamak”.

Setiap perselisihan di dusun, maka diselesaikan dahulu antara Tengganai. Fungsi Tengganai sering disebut didalam seloko “rumah betengganai”.

Setelah itu, maka antara masing-masing pihak yang berselisih kemudian mempertemukan “mamak” yang kemudian diselesaikan dengan cara “ninik mamak’.

Hubungan struktur social antara ninik mamak yang didalamnya terdapat “tuo Tau”, Tengganai, pegawai syarak dengan Debalang batin begitu erat.

Di Marga Sumay,  Di Desa Pemayungan[23], JENJANG ADAT[24].  Setiap perselisihan diselesaikan dengan berjenjang naik berjenjang turun (Jenjang adat) dengan cara seperti Saksi melaporkan Kepada Kelapa Dusun. Kepala Dusun melaporkan kepada Lembaga adat.Lembaga adat mengumpulkan anggota Lembaga adat termasuk tuo tengganai, ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai. Lembaga adat mengadakan sidang adat dengan menghadirkan saksi dan memanggil orang yang dituduh. Lembaga adat menjatuhkan sanksi. Bila tidak dilaksanakan sanksi putusan lembaga adat, lembaga adat melaporkan kepada Kepala Desa.

Di Desa Muara SekaloCARA MENYELESAIKAN (JENJANG ADAT)[25]Tumbuh diatas tumbuh. Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air.  Setiap persoalan harus dilihat sebab dan akibat.

Berjenjang naik, bertangga turun. Setiap persoalan maka disampaikan ke ninik mamak. Ninik kemudian mengundang untuk menyelesaikannya.

Ayam berpindes, beras segantang, kelapa sejinjing, selemak semanis. Didalam rapat ditentukan yang bersalah dan dijatuhi sanksi.  

Di Desa Semambu, CARA MENYELESAIKAN[26], Tumbuh diatas tumbuh. Setiap persoalan harus dilihat sebab dan akibat. Hukum Mendaki, hukum mendatar dan hukum menurun.  Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya. Setiap persoalan harus dibicarakan dan diberitahukan kepada orang ramai.  Berjenjang naik, bertangga turun. Setiap persoalan maka disampaikan ke ninik mamak. Ninik mamak kemudian Mangku. Mangku kemudian ke Depati. Depati kemudian mengundang didalam rapat adat. Didalam rapat adat kemudian ditentukan yang bersalah dan dijatuhi sanksi.   Depati kemudian melaksanakan putusan adat dan menyampaikan kepada yang bersalah untuk menjalankan sanksi.

Raja Melangkah maju, Rakyat bersimpuh Kebul. Apabila sanksi diberikan tidak dapat dipikul untuk membayarnya, maka dapat diberikan keringanan sesuai dengan kemampuannya.

Di Desa Suo-suo,  Jenjang Adat[27] Tumbuh diatas Tumbuh. Setiap persoalan harus dilihat sebab dan akibat.  Berjenjang Naik. Bertangga Turun. Setiap persoalan dilaporkan kepada ninik mamak. Dan hak ninik mamak untuk menyelesaikannya.

Di Dusun Talang Mamak[28],, Menurut jenjang adat, Bertangkap naik bertangga turun, proses penyelesaian dimulai dari keterangan dari masyarakat kepada Menti. Menti kemudian memberitahukan kepada Mangku. Kemudian Mangku memberitahukan kepada Patih dan Kepala Dusun. Ketiganya yaitu Patih, Mangku dan Kepala Dusun memanggil Debalang kepada yang dilaporkan menghadiri sidang adat. Didalam sidang adat kemudian dibicarakan pelanggaran terhadap masyarakat yang dituduhkan.

Dalam prosesi pelanggaran adat, maka proses ini didahului dengan Sirih Gambir sebagai tanda persetujuan untuk disidangkan dan mengikuti sanksi adat.

Ikrar Sirih gambir mengingatkan berbagai prosesi penyelesaian dan penghormatan hukum adat di Jambi sesuai dengan seloko “sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang.

Setiap pelanggaran dimulai dari ayam sekok beras segantang selemak semanis, kambing sekok beras sepuluh gantang, selemak semanis hingga kerbau sekok, beras seratus gantang selemak semanis diselesaikan di Dusun Simarantihan. Namun apabila tidak dapat diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada Batin. Batin kemudian diartikan diserahkan kepada proses hukum.

Tata cara untuk menyelesaikan perselisihan adat seperti Berjenjang naik, bertangga turun. Atau “Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya”. Atau “Tumbuh diatas Tumbuh

Pranata-pranata adat seperti Posisi tuo kampung, kepala Dusun, ninik mamak, Tuo Tengganai, alim ulama, cerdik pandai dan pegawai syara' merupakan proses yang dilalui untuk menyelesaikan perselisihan adat.

Untuk membuktikan hubungan antara masyarakat dengan hutan dapat ditandai dengan ujaran seperti “ke aek bebungo pasir, ke darat bebungo kayu. Ujaran ini maka dapat membuktikan “masih adanya pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari”.

Dengan melihat rumusan berdasarkan UU Kehutanan, maka Margo Sumay dapat mengidentifikasikan sebagai persekutuan masyarakat adat (rechsgemeenschap).

Penyelesaian perselisihan

Kata-kata “Tumbuh diatas tumbuh”, “Yang berjalan dengan air”, atau “Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya merupakan nilai-nilai filosofis yang agung. 

Tanpa dipengaruhi oleh hikayat, mitos ataupun cerita yang diterima dari nenek moyang, harus diakui, didalam melihat segala sesuatu dilatar belakang dengna pemikiran mistis dan rasional. Dikatakan mistis karena ada beberapa jawaban yang masih memerlukan kajian yang mendalam. Sedangkan apabila dikatakan rasional apabila jawaban diberikan, dapat diterima dengan akal pikiran yang rasional.

“Tumbuh diatas tumbuh”, “Yang berjalan dengan air”, atau “Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya adalah nilai filosofis yang fundamental. Dalam bacaan modern, nilai ini merupakan nilai fundamental (ground norm) dalam pemikiran Hans Kelsen[29] yang kemudian dapat ditarik menjadi norma-norma yang dapat diterapkan secara praktis.

Menurut teori ini, hukum yang lebih rendah dilarang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Azas yang sering digunakan adalah lex superiori derogate lex inferiori, dan semua hukum yang berada dibawahnya selalu bersumber dan mengacu pada hukum yang lebih tinggi kedudukannya hingga yang tertinggi yang disebut Grundnorm. Teori ini telah menjadi semacam ajaran hukum sehingga disebut lehre (ajaran) yaitu Rechtsreinelehre. Oleh karena itu, metode yang tepat adalah metode hukum normative dengan pendekatan undang-undang. Paradigma ini demikian kuat pengaruhnya hingga bertahan hingga kini dimanapun di dunia ini dan telah menjadi mainstream.

“Tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya apabila dilihat dari makna harfiahnya berarti “setiap persoalan harus dilihat dari sebab perbuatan itu terjadi”.

Sebagai contoh, sebuah perkelahian yang terjadi, tentu saja harus didengarkan dari keterangan dua pihak. Mengapa perkelahian itu terjadi. Sebelum dijatuhkan pidana adat (delik adat)[30] seperti “menguak daging. Merencong tulang”, harus dipastikan mengapa peristiwa itu terjadi.

Hukum adat delik, sebagaimana hukum adat umumnya sebagian besar tidak tertulis. Oleh karena sebagian besar tidak tertulis, maka cara untuk mensosialisasikan nilai- nilai dalam hukum adat sebagai landasan filosofisnya digunakan simbol-simbol. Simbol bukan tujuan melainkan cara untuk mencapai tujuan. Simbol dapat berbentuk tulisan, ukiran, lukisan, pahatan, patung, arah, gerak, nyanyian/tembang, drama, atau sendratari. Ada pula simbol itu dalam bentuk mitos, legenda, atau sage yang menggambarkan tentang perang antara kebaikan – kejahatan, kepahlawanan – pengkhianatan, atau antara kebenaran – kefasikan.

Tumbuh diatas tumbuh, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya, sebenarnya berangkat dari teori yang disampaikan oleh von Buri yang kemudian dikenal Teori hubungan sebab akibat yang biasa dikenal dengan istilah teori kausalitas (Teori conditio sine qua non). Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat).

Tiap faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap factor diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat.

Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie), karena tiap factor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan sederajat. Maka teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige causa)

Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat). Disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan.

Dengan melihat teori yang disampaikan oleh Von Buri, maka nilai filosofi dari “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya,  berangkat dari setiap perbuatan yang ditimbulkan merupakan akibat dari sebab sebuah peristiwa.

Tumbuh diatas tumbuh, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya merupakan salah satu nilai fundamental penting yang masih tetap kukuh dipertahankan masyarakat. Berangkat dari Tumbuh diatas tumbuh, mereka dapat menyelesaikan masalah yang timbul tanpa harus menghakimi dan memberikan putusan yang keliru.

Pesan dari pemberi tanda (sign) yang dimuat dari rumusan teks merupakan tanda-tanda atau proses “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” merupakan tanda (sign) dari perumus teks.

Teks didalam peraturan yang disampaikan dalam pertemuan merupakan cara memahami (versterhen) para perumus teks untuk memberikan tanda sebagai proses tatacara pembukaan hutan.

tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” merupakan isyarat yang harus dapat diamati melalui pancaindera. Isyarat yang diberikan merupakan pemahaman kolektif masing-masing dusun untuk mendukung sistem hukum adat yang sudah berlangsung lama.

Isyarat ini telah memenuhi syarat seperti (1) interest yang benar-benar murni, (2) wujud dari isyarat yang telah baku dan tetap yang telah berlangsung lama (3) telah dihasilkan sesuai dengan aturan mengadakan interpretasi yang sudah baku untuk menyampaikan pesan.

Dengan demikian, maka pesan seperti “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, sebagai interpretasi obyektif dan pemahaman yang kuat[31].

Isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, telah memenuhi proses yang panjang baik ditinjau dari filologi[32], kritik[33], psikologi[34] dan morfologi-teknis[35].

Isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, pada hakekatnya bersifat normatif yaitu mengenai keadaan sebagaimana mestinya. Artinya mengaitkan apa spesifik dan kongkret dengan sesuatu yang bersifat lebih menyeluruh dan abstrak.

Isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” harus diartikan keseluruhan (gestalt/gestaltwithch). Isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” tidak boleh ditafsirkan bermakna ganda.

Isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” harus ditafsirkan dapat memenuhi rasa keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan (zweckmagheit). Rumusan isyarat ini tercapainya kepastian hukum (rechtssicherheit) bagi semua orang yang membaca isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dalam teks.

tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air  tidak hanya mengatur yang berkaitan dengan tertib sosial (social order) mengenai tata cara pengelolaan sumber daya alam, tapi juga penyelesaian sengketa (dispute settlement). “Tumbuh diatas tumbuh” dapat digunakan sebagai nilai-nilai yang disepakati didalam melihat dan menyelesaikan persoalan. Tata cara “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dapat digunakan sebagai pemberian sanksi didalam penyelesaian konflik yang terjadi.

Dalam hal inilah “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, hukum berperan sebagai penetralisasi penyimpangan-penyimpangan[36]. Hukum diberlakukan melalui proses pelembagaan nilai-nilai yang dianut bersama. Masyarakatpun kemudian kembali berperilaku menurut pola-pola yang telah terlembagakan dengan isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”.

tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dapat dibaca sebagai materi yang dikonstruksikan yang dapat diterima sebagai pandangan yang sejalan dengan ajaran yang masih diakui sebagai masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap) yang tetap mengikuti perkembangan jaman, diterima sebagai sistem hukum adat yang logis dan memperhatikan segi-segi kesederhanaan[37]

Dalam “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dapat dibaca sebagai aliran hukum kodrat[38]. “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan airyang merupakan simbol yang ditafsirkan sebagai muatan hukum alam (law of nature).

Mengapa digunakan “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” sebagai simbol (sign), penulis tidak menemukan jawaban yang memuaskan. “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” merupakan ajaran yang diwariskan turun temurun. Tidak ada penjelasan mengapa “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” digunakan.

Namun ketika “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dijadikan nilai-nilai yang dirumuskan dan menjadi pengetahuan kolektif masyarakat, maka “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” telah menjadi norma yang berlaku (asas aliran positivisme)[39].

Tumbuh diatas tumbuh”, “Lambas, sak sangkut, takuk pohon” merupakan grundnorm[40] didalam melihat nilai-nilai terhadap tata cara pengelolaan sumber daya alam.

tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”adalah simbol (sign) yang ditangkap sebagai grundnorm untuk “membaca” teks-teks yang memuat aturan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan.

Dalam penjelasan yang lain juga disebutkan[41], metode untuk mengambil cara mempertentangkan dalam teksnya (binary oppositions), seperti laki-laki/ perempuan, bermakna/tanpa makna, jelas/kabur, dan sebagainya.

Penelitian ini membaca kritis komunitas masyarakat adat tanpa pengakuan negara, sejauh mana perlindungan yang diberikan oleh negara dan bagaimana efektifitasnya di lapangan. Selain itu, diperlukan logika melalui suatu pengujian jejak,  apa yang terlihat dan apa yang tersembunyi. Suplemen dan membuka tabir teks itu sendiri. Hal ini diperlukan dalam penelitian untuk melihat koherensi dan inkoherensi pengakuan hukum hak masyarakat adat.

Hal ini dipengaruhi oleh cara berfikir ala Jacques Derrida[42], yang menegaskan bahwa dekonstruksi (pembongkaran) dilakukan sebagai upaya untuk membuka teks untuk memahami batasan pengertian dan penafsiran.

Dengan membaca teks dan kontek dilihat dari simbol (sign), maka “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, merupakan hubungan masyarakat adat dengan sumber daya alam, lingkungan atau wilayah kehidupannya lebih tepat dikategorikan sebagai hubungan kewajiban daripada hak

Padahal Hak atas tanah dan sumber daya alam merupakan salah satu hak paling penting bagi masyarakat adat sebab keberadaan hak tersebut menjadi salah satu ukuran keberadaan suatu komunitas masyarakat adat.

Dalam pandangan E Sumaryono menyebutkan asas-asas kebenaran dan keadilan bersifat kodrati dan berlaku universal. Kebenaran disebutkan sebagai “Validitas hukum”. Manusia diperbolehkan membuat hukumnya sendiri (lex humana atau human law). Hukum harus sah, mengikat dan mempunyai kewajiban sepanjang dapat menunjukkan konsistensi dengan moralitas[43].

Hukum adalah aturan perilaku (rule of conduct) yang mengikat. Dalam arti ini, hukum dikaitkan dengan tindakan manusia yang diatur dan dikontrol secara formal oleh suatu otoritas dalam masyarakat

Sehingga teori von Buri ternyata merupakan teori yang universal, rasional dan dapat digunakan masyarakat didalam menyelesaikan berbagai persoalan.


Mekanisme Penyelesaiannnya

Dalam proses penyelesaian dikenal dengan istilah “jenjang adat”. “Berjenjang naik bertangga turun.

Dalam masyarakat Desa Semambu dikenal dengan hukum mendaki, hukum menurun dan hukum mendatar.  Hukum mendaki contohnya “mencecak telur, menikam bumi”.

Di Desa Pemayungan dimulai dari saksi melaporkan kepada Kepala Dusun dan kemudian melaporkan ke Lembaga Adat. Lembaga adat yang mengumpulkan anggota lembaga adat seperti tuo tengganai, ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai. Lembaga adat menjatuhkan sanksi dan Kepala Desa melaksanakan putusan adat.

Di Desa Semambu selain menggunakan nilai “tumbuh diatas tumbuh” dikenal juga “Pulai berpangkat naik. Tinjau ruas dengan bukunya”. Berjenjang naik bertangga turun”. Dimulai dari ninik mamak kemudian ke Mangku[44]. Mangku kemudian ke Depati. Depati kemudian mengundang  dalam rapat adat dan ditentukan siapa yang bersalah dan sanksi diberikan. Depati yang melaksanakan putusan adat dan menyampaikannya.

Ninik mamak diselesaikan. Setelah putus runding, maka hasil rindungan kemudian Barulah keputusan diserahkan kepada Kepala Desa.

Namun di Desa Suo-suo setiap persoalan dapat diputuskan dalam tingkatan ninik mamak.

Dalam penjelasan lain disebutkan, bahwa hukum mendaki adalah hukum yang putusannya harus diselesaikan oleh Depati. Terhadap hukum yang harus diselesaikan oleh Depati termasuk kesalahan “mencecak telur. Menikam bumi.

Dengan demikian, maka hukum mendaki sebenarnya adalah hukum yang dijatuhkan oleh Depati. Bukan kategori dari “mencecak telur. Menikam bumi.

Sedangkan hukum mendatar adalah hukum yang diputuskan oleh ninik mamak. Hukum ini adalah sengketa para pihak dimana, tidak dapat diselesaikan di tingkat keluarga.

Sedangkan hukum menurun adalah hukum yang diputuskan cukup kedua belah pihak semata. Para pihak yang berselisih dapat menyelesaikan sendiri. Seperti dalam ujaran “Ular tau dibiso. Rimau tau di belang[45].

Apabila dapat diselesaikan oleh kedua belah, maka tidak dapat dimajukan ke ninik mamak atau kepada Depati. Sebagaimana didalam ujarannya “Berunding sudah tetap. Kato pertamo ditepati. Kato kedua dicari-cari”.

Terhadap tanah “sesap jerami, tanaman tunggul[46], maka tetap menggunakan nilai filosofi “tumbuh diatas tumbuh”. Hubungan sebab akibat (causaliteitsleer). Dilihat apakah terhadap pemilik sebelumnya ada tanaman bekas yang menunjukkan status kepemilikan atau tidak. Tidak boleh seseorang mengaku-mengaku telah membuka hutan.

Dengan perumpamaan yang telah disampaikan, maka terhadap laporan terhadap sebuah peristiwa berangkat dari sebab mengapa perbuatan itu terjadi. Pendekatan inilah yang kemudian digunakan didalam melihat sebuah persoalan.

Cara ini menarik. Selain memang ajaran kausalitas sering digunakan dalam praktek pengadilan, ternyata hukum adat juga menggunakan pendekatan ajaran kausalitas. Sehingga teori ini selain digunakan dalam praktek pengadilan yang cenderung positivisme, teori ini ternyata effektif digunakan dalam konsepsi hukum adat.

Terhadap sanksi adat, Desa Pemayungan memberikan sanksi cukup berat terhadap pohon sialang dengan istilah “membuka pebalaian” yaitu kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp 30 juta.

Muara Sekalo memberikan istilah “ayam berpindes, beras segantang, kelapa sejinjing, selemak semanis”. Begitu juga Desa Suo-suo memberikan sanksi adat “ayam sekok, beras segantang dan selemak semanis”.

Istilah sanksi adat seperti “membuka pebalaian” yaitu kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp 30 juta merupakan  sanksi adat. Sanksi adat telah mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan.

Fungsi sanksi adat merupakan salah satu bentuk mengembalikan sengketa baik kepada pelaku, korban dan kepada alam. Dengan mengembalikan fungsi sanksi adat, maka alam diharapkan dapat kembali kedalam fungsinya dan melindungi masyarakat.

Dominikus Rato  menyebutkan sebagai “mengembalikan keseimbangan kosmis[47]. ‘Mengembalikan keseimbangan kosmis’ atau ‘mengembalikan ketentraman magis’ yaitu: penggantian kerugian-kerugian immaterial dalam berbagai bentuk seperti paksaan kepada seorang laki-laki untuk menikahi gadis yang telah dicemari/dihamili; membayar uang adat kepada yang terkena berupa benda sakti (keris, tombak pusaka, pedang pusaka, dan sebagainya) sebagai pengganti kerugian rohani; selamatan (ritual) bersih desa; membayar denda penutup malu; hukuman badan mulai dari pecut hingga hukuman mati; dan pengasingan.

Dalam uraian yang lain, Prof. Dr. H. Kaelani, MS menjelaskan[48]
Dalam kosmologis-ekologis ini menunjukkan kehidupan manusia senantiasa dalam kondisi lingkungan yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Manusia haruslah ditempatkan dalam konteks real dan kongkrit. Unsur dimensi materialis merupakan perspektif manusia yang bersifat real dan alamiah.

Memahami manusia berarti menempatkannya dalam konteks kehidupan yang nyata. Dalam kaitannya dengan alam lingkungannya. Dalam pengertian inilah maka manusia harus senantiasa membudayakan dirinya dan menyosialisasikan dirinya demi kehidupan dan meningkatkan harkat dan martabatnya.

Desa Lubuk Mandarsyah[49],  Kedudukan “induk semang” adalah sebagai “tuo tengganai” dari anak kemenakan. Kesalahan “anak kemenakan” kemudian harus diselesaikan oleh “tuo tengganai”. Kesalahan harus dipertanggungjawabkan baik melalui hukum adat maupun sosial.

Di Marga Pemayung Ulu[50], Setiap dusun dipimpin oleh Penghulu. Penghulu kemudian dibantu oleh Mangku yang menguasai Kampung[51]. Di Marga Pemayung Ilir[52],

Sebagai kekuasaan kerajaan Tanah Pilih, maka Rajo kemudian menyusuri Sungai Batanghari untuk melihat wilayah Kerajaan Tanah Pilih. Menggunakan perahu yang dikenal dengan cara “mengayuh mencalang”. Setiap pemberhentian maka diperlukan “kermit” untuk mengabarkan kampong sebelumnya. Biasa dikenal “kemit”. Di Marga Pemayung Ulu di Kuap maka telah menunggu pula “kemit” untuk mengayuh perahu (ngayuh mencalang). Dengan demikian maka Kermit selain bertugas mengayuh perahu (ngayuh mencalang), kermit juga “pemayung Rajo”.

Kermit bertugas “disuruh pergi. Dipanggil datang’. Melihat tugasnya maka “Kermit” juga dikenal sebagai “kepak rambai hululang”. “Menjemput yang tinggal. Mengangkat yang berat.

Selain itu dikenal “Debalang rajo’ yang berkedudukan di Dusun Kuap. Orang Kuap terkenal dengan omongan yang tegas dan keras. Sebagai keturunan “debalang Rajo”. Debalang Rajo juga bertugas kepada rakyat Jambi “agar bersatu padu. Untuk masyarakat sejahtera” [53]..
Struktur Pemerintahan Margo memiliki jenjang sebagai berikut:
  1. Tengganai sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok yang ada dalam wilayah.
  2. Punggawo pemimpin wilayah setingkat  Kepala Dusun.
  3. Depati pemimpin wilayah setingkat Kepala Desa.
Pesirah pemimpin wilayah margo sekarang setingkat Camat.

Batin IX Ilir (Marga Telik Kamisan Batin 9 Ilir) Struktur Pemerintahan Margo memiliki jenjang. Tengganai sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok yang ada dalam wilayah. Punggawo pemimpin wilayah setingkat  Kepala Dusun. Depati pemimpin wilayah setingkat Kepala Desa. Pesirah pemimpin wilayah margo sekarang setingkat Camat[54].

Desa Soko Besar[55].
Tata cara proses sidang adat desa sebagai berikut : Tata Cara Sidang Adat : (1) Pembukaan dilaksanakan oleh Sekretaris Desa, (2) Pembacaan kronologis oleh Kepala Desa, (3) Kepala Desa memanggil pelapor dan pelapor dipersilakan duduk dan menyampaikan laporan dan kronologisnya setelah itu dipersilakan untuk keluar, (4) Kepala Desa menyerahkan kepada Ketua Adat untuk mencari kejelasan tentang kronologis kejadian, (5) Kepala Desa memanggil terlapor dan terlapor dipersilakan duduk dan menyampaikan laporan dan kronologisnya setelah itu dipersilakan untuk keluar,(6) Kemudian dipanggil beberapa saksi yang disampaikan oleh pelapor dan terlapor untuk diperiksa satu persatu, (7) Pelapor, terlapor dan para saksi semuanya dipersilakan duduk dalam ruangan tersebut, (8) Setelah semuanya diperiksa Kepala Desa membacakan pengajuan dan tuntutan dan uraian yang disampaikan para saksi-saksi tersebut, (9) Dilaksanakan Tanya jawab bersama peserta sidang baik kepada pelapor maupun terlapor dan saksi-saksi, (10) Peserta sidang (Ketua Adat, Kepala Desa dan Pengawai Sya’ra) musyawarah dan mufakat untuk mengambil keputusan tanpa dihadiri oleh pihak yang bersengketa, (11) Setelah ditemukan kesepakatan baru disampaikan oleh Kepala Desa dalam sidang tentang hasil keputusan termasuk penyampaian sanksi dan denda, (12) Setelah keputusan disampaikan baru dikembalikan kepada Sekretaris Desa. Selanjutnya, makan bersama, dan kedua belah pihak yang bertikai angkat dulur (saudara).

Marga Kumpeh Ilir, Desa Sungai Bungur[56], Setiap perselisihan yang timbul akibat terlanggarnya “pantang larang” maka diselesaikan dengan berjenjang (jenjang adat). Bertangkap naik bertangga turun[57].

Dimulai dari laporan Ketua Rukun Tetangg (RT) kemudian dibawa ke Kepala Dusun. Dari Kepala Dusun kemudian disampaikan ke Ketua Adat. Dari Ketua Adat kemudian dibawa ke Kepala Desa.

Didalam rapat adat kemudian ditentukan ganti rugi siapapun yang  melanggar pantang larang.

Kepala Desa kemudian melaksanakan putusan rapat adat. Kepala Desa “Yang berhak untuk memutih menghitamkan. Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat.

Di Desa Sogo CARA MENYELESAIKAN PERSELISIHAN (JENJANG ADAT), Setiap perselisihan yang timbul akibat terlanggarnya “pantang larang” maka diselesaikan dengan berjenjang (jenjang adat). Berjenjang naik bertangga turun[58].

Di Desa Sponjen, Setiap perselisihan yang timbul akibat terlanggarnya “pantang larang” maka diselesaikan dengan berjenjang (jenjang adat). Berjenjang naik bertangga turun.

Dimulai dari laporan Ketua Rukun Tetangg (RT) kemudian dibawa ke Kepala Dusun. Dari Kepala Dusun kemudian disampaikan ke Ketua Adat. Dari Ketua Adat kemudian dibawa ke Kepala Desa.Didalam rapat adat kemudian ditentukan ganti rugi siapapun yang  melanggar pantang larang.

Kepala Desa kemudian melaksanakan putusan rapat adat. Kepala Desa “Yang berhak untuk memutih menghitamkan. Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat[59].

Di Marga Maro Sebo Desa Rukam Tata cara menyelesaikan sengketa,  Musywarah adat yang di hadiri oleh Ketua adat, Pemuka agama, Pemerintahan desa, Yang bersengketa, Saksi ahli waris kedua belah pihak[60].

Marga Tungkal Ulu[61], Setiap dusun dipimpin oleh seorang Penghulu atau Demang.

Didalam menyelesaikan setiap perselisihan, maka diselesaikan oleh pemangku adat yang disebut Waris nan Delapan. Waris Nan delapan yaitu Waris Aur Duri, Waris Kebun Tengah, Waris Pulau Ringan, Waris Kuburan Panjang, Waris Gemuruh, Waris Langkat, Waris Bukit Telang dan Waris Teluk.

Setiap pemangku Waris dipilih oleh kaumnya sendiri. Di daerah hulu, kaum biasa disebut juga “kalbu”. Sedangkan di sebagian daerah hilir Jambi, biasa disebut juga “guguk”.. Sebuah komunitas dari keturunan Ibu. Sebagaimana menjadi seloko “Anak sekato Bapak. Kemenakan sekato Mamak”.

Di berbagai tempat, susunan struktur ini biasa disebut “tengganai” sebagaimana sering disampaikan “rumah betengganai, rantau bejenang, kampong bepenghulu dan negeri bebatin.

Sebagai pemangku adat, posisinya begitu penting dan dihormati sebagaimana seloko “memakan habis. Memancung putus”. Di tangan merekalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum adat dapat diselesaikan.

Dalam proses penyelesaiannya, maka Pesirah sebagai Pemangku adat marga kemudian memanggil para penghulu masing-masing setiap dusun untuk menyelesaikannya. Tata cara memanggil dilakukan oleh Pesirah dengan menyuruh “Kermit”. Kermitlah menggunakan canang (semacam gong kecil) memanggil kabar kepada seluruh negeri. Kermit kemudian menyampaikan maksud dari pertemuan yang akan diadakan oleh Pesirah.

Setelah diputuskan oleh pemangku adat, maka terhadap sanksi haruslah dilaksanakan. Pelanggaran atau pengingkaran terhadap sanksi ataupun perundingan tidak dapat diselesaikan maka diserahkan kepada Pemangku Negeri yang ditandai dengan seloko “alam berajo, negeri bebatin”.

Di Marga Tungkal Ilir Desa Makmur Jaya[62],  Tatacara Penyelesaian, Penyelesaian masalah yang diterapakan di desa Makmur Jaya ini adalah dengan cara musyawarah bertahap. Apabila terdapat permasalahandi desa maka yang melakukan kesalahan akan dibawa ke ketua RT, setelah itu dibawa kepada kepala dusun dan dibawa ke kepala desa dan para petinggi desa untuk dilakukan musyawarah bersama untuk mengambil tindakan lebih lanjut[63].


Di Desa Serdang Jaya, TATA CARA PENYELESAIAN, Pengambilan keputusan untuk penyelesaian masalah, konfik, dan sengketa dilakukan dengan musyawarah melalui forum desa dengan dihadiri oleh perangkat desa, Kadus, ketua RT, tetua desa dan  BPD.  Apabila masalah belum dapat diselesaikan dari forum desa maka dapat dilakukan melalui jalur hukum[64].

Di Marga Dendang/Sabak Desa  Sungai Beras[65],  Penyelesaian masalah yang diterapkan di Sungai Beras adalah dengan cara kekeluargaan, musyawarah berjenjang. Penyelesaian masalah secara berjenjang yang dimaksud adalah penyelesaian hanya melibatkan ketua RT dan beberapa tokoh, apabila tidak putus, maka dinaikan ke Kepala Dusun, selanjutnya Kepala Desa, dan diserahkan kepihak berwajib.

Segala sesuatu diputuskan di Desa, semua potensi dan kekeyaan yang berada di Desa dan hutan desa di gunakan dalam masyarakat. Segala pengaturan dibicarakan. “pegi Nampak muka balik Nampak punggung”

Di Marga Berbak,  Untuk menegakkan hukum adat, masyarakat mengenal “tegur ajar’. Istilah Tegur ajar juga dikenal di Marga Batin Pengambang. Terhadap kesalahan dijatuhi sanksi adat berupa “kambing sekok, berat 20 gantang, selemak-semanis” [66].





            [1] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
            [2] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [3] Bustami, Dusun Pulau Pandan, 5 Agustus 2016
            [4] Muktar, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, 24 Oktober 2017
            [5] M. Zen, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Mandiangin, Mandiangin, 24 Oktober 2017
            [6] Pasal 9 ayat (1) Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang  Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Marga Serampas.
[7] Pasal 9 Peraturan Desa Gedang Nomor  3 tahun 2011 Tentang Keputusan Adat Istiadat Depati Suko Merajo
[8] Perdes Kotobaru No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
            [9] Pasal 9 PERATURAN DESA TANJUNG BENUANG  No. 09 Tahun 2011 Tentang Keputusan Depati Suko Menggalo
            [10] Pasal 9 Peraturan Desa Tanjung Alam No. 3 Tahun 2011 Tentang Piagam Depati Duo Menggalo

[11] Pasal 9 PERATURAN DESA TANJUNG MUDO NO. 7 TAHUN 2011  TENTANG  PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
            [12] Desa Tuo, 21 Agustus 2010
[13] Kepala Dusun Lubuk Beringin, Desa Lubuk Beringin 27 Maret 2016
[14] Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kelembagaan dan Pengelolaan Hutan Desa Rio Kemunyang Desa Durian Rambun
[15] Seloko ini juga disebutkan oleh Samsuddin, Lembaga Adat Kecamatan Renah Pembarap, Guguk, 16 Maret 2016
            [16] Profile Desa Lubuk Beringin Kecamatan Muara Siau, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [17] Marzuki, Desa Mudo, 17 Agustus 2017
            [18] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat.16 Agustus 2016
[19] Desa Baru Pelepat, Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau dapat dilihat di Perda Kabupaten Bungo Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih
            [20] Eson, Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
[21] Abdulah TH, Mantan Depati Suko Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[22] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali, 16 Agustus 2016
            [23] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012
            [24] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012
            [25] Muara Sekalo, Maret 2013
            [26] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[27] Desa Suo-suo, 21 Maret 2013
[28] Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
[29] Hans Kelsen mengembangkan teori lain yaitu Teori Anak Tangga (Stuffenbau Theorie) yang dicetus oleh Adolf Merkl (1836- 1396).
[30] Hukum pidana adat atau delik adat berbeda dengan hukum pidana yang bersumber dari hukum Eropa. Hukum adat bersifat holistik karena tidak ada perbedaan antara hukum public – privat, bidang hukum pidana, perdata, tata Negara, hukum agraria, dan sebagainya. Hukum Eropa bersifat parsial, sebaliknya hukum adat delik bersifat holistik.
[31] Sidharta, Op. Cit, Hal 114
[32] Aspek Filologi yaitu rekonstruksi terhadap kohensi suatu ungkapan dari sisi gramatika dan logika. Aspek ini bernilai efektif dalam usaha memahami secara permanen simbol-simbol yang sudah pasti.
[33] Aspek kritik kegiatan ini dihadapkan pada hal-hal yang membutuhkan sikap untuk dipertanyakan, misalnya mengenai suatu pernyataan yang tidak logis atau adanya jarak (gap) yang muncul dalam sekumpulan argmen.
[34] Aspek psikologis ini diberlakukan ketika penafsir meletakkan dirinya dalam diri pengarang, yaitu memahami dan menciptakan kembali personalitas dan posisi intelektual si pengarang.
[35] Aspek morfologis-teknis ditujukan kepada pemahaman isi arti kata yang bersifat mental obyektif dalam hubungannya dengan logika khusus dan prinsip yang digunakannya.
[36] Emile Durkheim, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1985, Hal. 54-56
[37] Paul Scholten, Hal. 65-66
[38] Aliran Hukum Kodrat
[39] Sidharta, Op. Cit. Hal. 197
[40] Sidharta, Ibid, Hal 199
[41] Antara Teks dan Konteks -  Dinamika pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia, HuMa, Jakarta,  2010, Hal. 73
[42] Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Dalam Satu tema tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks. Antara Teks dan Konteks -  Dinamika pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia, HuMa, Jakarta,  2010. Hal. 73
[43] Sidharta, Op.cit, Hal 147
[44] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
[45] Khatib Kharim, Desa Teriti, Kecamatan Sumay, 21 Maret 2013
[46] Desa Semambu dan Desa Muara Sekalo mengenal istilah “Sesap jerami. Tunggul pemarasan”. Terhadap istilah ini, antara Desa Semambu dan Desa Muara Sekalo mempunyai penafsiran yang berbeda. Desa Semambu meyakini, “sesap jerami. Tunggul pemarasan”, maka haknya menjadi hilang apabila tidak ditanami. Sedangkan di Desa Muara Sekalo, “sesap jerami. Tunggul pemarasan”, haknya miliknya tidak hilang. Walaupun mempunyai penafsiran yang berbeda-beda, menurut penulis, keduanya mempunyai pandangan logis. Desa Semambu menganggap bahwa, “sesap jerami, tunggul pemarasan” yang tidak ditanami, maka menjadi hilang karena dia tidak mengerjakan tanah. Sedangkan di di Desa Muara Sekalo, walaupun tidak dikerjakan, namun karena sudah dibuka, diberi tanda lambas dengan takuk pohon, ada sak sangkut, maka tetap menjadi miliknya. Menurut penulis, keduanya tetap bisa terima. Sebagaimana keyakinan mereka yang berpandangan. Adat selingkung Negeri. Artinya, adat mereka berlaku untuk mereka sendiri.
[47] Dominikus Rato, “Memahami Istilah Keseimbangan Kosmis dalam Hukum Adat Delik”, Konferensi Nasional Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia di Surabaya, Surabaya, 27-28 Agstus 2013,
[48] H. Kaelani, MS, Negara – Kebangsaan – Pancasila – Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta, 2013, Hal. 235.
            [49] Dusun Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsyah, Tebo, 22 Agustus 2016
            [50] Cikman, Desa Tebing Tinggi, 20 Agustus 2016
            [51] Cikman, Desa Tebing Tinggi, 20 Agustus 2016
            [52] M. Yunus Kadir, Desa Lubuk Ruso, 21 Juli 2018
            [53] M. Yunus Kadir, Desa Lubuk Ruso, 21 Juli 2018
            [54] Laporan AMAN Jambi, 2012
            [55] Laporan AMAN Jambi, 2012
            [56] PERATURAN DESA SUNGAI BUNGUR No.    Tahun 2016 TENTANG PIAGAM TUMENGGUNG BUJANG PEJANTAN
            [57] PERATURAN DESA SUNGAI BUNGUR No.    Tahun 2016 TENTANG PIAGAM TUMENGGUNG BUJANG PEJANTAN
            [58] PERATURAN DESA SOGO NOMOR :    Tahun 2018 TENTANG  PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN KAWASAN DESA SOGO
            [59] Desa SPONJENPERATURAN DESA SEPONJENNo.  10 /SPJ/1/ 2018 TENTANG  BUYUT DAYUT
            [60] Desa Rukam, 22 - 24 Agustus 2017
            [61] M. Syafe’I Achmad, mantan Pesirah dan mantan Kepala Desa Merlung, 14 Agustus 2016
            [62] PERATURAN DESA MAKMUR JAYA NO  TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT
[63] PERATURAN DESA MAKMUR JAYA NO  TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT
            [64] PERATURAN DESA SERDANG JAYA NO TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT DESA SERDANG JAYA KECAMATAN BETARA KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT
            [65] PERATURAN DESA SUNGAI BERAS NO   2018 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT  DESA SUNGAI BERAS
[66] Desa Rantau Rasau, Kecamatan Berbak, Tanjabtim, 10 Juli 2018