Didalam
menyelesaikan perselisihan kemudian dikenal “jenjang adat. Bertangkap naik.
Bertangga turun”.
Di
Marga Batin Pengambang dikenal Bertangkap naik, Berjenjang turun. Setiap
proses dimulai dari Tuo Tengganai. Barulah diselesaikan di tingkat Desa. Atau
juga dikenal Tegur Sapo. Tegur Ajar dan Guling Batang. Tiga Tali Sepilin.
Didalam menyelesaikan perselisihan, maka adanya pemangku Desa, pegawai syara'
dan lembaga adat. Bebapak Kijang. Berinduk
Kuaw. Apabila putusan telah dijatuhkan, maka tidak bisa dilaksanakan, maka
tidak perlu diurus didalam pemerintahan desa[1].
Di Marga Batang Asai
Tengah juga dikenal dengan JENJANG ADAT Setiap persoalan yang timbul, maka
diselesaikan dengna hukum adat. Dimulai dari tuo tengganai dan apabila tidak
diselesaikan maka diselesaikan nenek Mamak. Terhadap kesalahan maka
diselesaikan setiap jenjang adat. Dimulai dari Tegur
sapo berupa ayam satu ekor dan beras segantang. Kemudian Tegur pengajar berupa kambing 10 ekor dan
beras 20 gantang. Guling batang berupa denda satu ekor kerbau dan beras seratus
gantang[2]
Marga Datuk Nan Tiga[3], dikenal Datuk Demang. Datuk Temenggung berpusat
di Dusun Mengkadai. Datuk Ranggo berpusat di Dusun Muara Mansao. Sedangkan
Datuk Demang berpusat di Kampung Pondok
Datuk yang menguasai masing-masing
wilayah kemudian dipilih oleh para Kepala Kampung. Sedangkan Datuk Petinggi
kemudian dipilih oleh ketiga Datuk yaitu Datuk Temenggung, Datuk Ranggo Dan
Datuk Demang.
Setelah
masyarakat kemudian bermukim tetap, maka untuk menjamin kerukunan, ketertiban,
perdamaian dan kesejahteraan maka dibentuk struktur social. Dimulai dari
pemimpin “tengganai” yang disebut “tuo tengganai”. Sebagaimana ujaran “Rumah
Betengganai”.
Kemudian
dibentuk kampong yang biasa disebut Kepala Kampung sebagaimana ujaran “tuo
bekampung”. Barulah kemudian Kepala Kampung memilih atau menunjuk Kepala Dusun
yang kemudian disebut Datuk. Sebagaimana ujaran “Negeri bebatin”.
Di
Marga Air Hitam[4], hanya Marga Air Hitam dikenal sebagai Tanah
Bejenang. Istilah Jenang adalah penamaan
dari “orang yang dipercaya” dari Tumenggung yang Orang Rimba yang terdapat di
Taman Nasional Bukit Dua Belas.
Sehingga Tanah bejenang diartikan sebagai
tempat yang dipercaya orang Rimba dari Bukit Dua Belas untuk bertemu, berdagang
hingga mengadakan berbagai aktivitas sosial lainnya.
Penamaan
Tanah bejenang kemudian dipadankan seperti “tuo kampung, tanah bejenang,
rajo bepenghulu, negeri bebatin.
Sedangkan didalam Struktur sosial di komunitas Orang Rimba Bukit Dua Belas Depati, Mangku
dan Menti dikenal di dalam berbagai struktur sosial Marga/Batin di Jambi. Hanya
Tumenggung yang tidak terdapat di dalam struktur Marga/Batin di Jambi.
Seorang
Depati bertugas menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum. Pembantu
lainnya adalah Mangku. Tugas Mangku hampir sama dengan Depati yaitu mengurus
masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Bedanya kasus-kasus hukum yang
ditangani oleh Mangku biasanya lebih kecil bobotnya apabila dibandingkan dengan
kasus-kasus hukum yang ditangani oleh seorang Depati.
Debalang
Batin bertugas menjaga dan menegakkan keamanan apabila terjadi situasi tak
menentu, seperti konflik dengan orang/warga Desa. Menti adalah orang yang
bertugas memanggil seorang warga apabila diperlukan oleh Tumenggung atau oleh
tokoh Orang Rimba lainnya. Dalam bertugas seorang menti bisa meminta bantuan
kepada Anak Dalam.
Jabatan
lain yang juga cukup penting adalah dukun, tengganai dan penghulu. Dukun
dipercaya dapat menyembuhkan penyakit dan berhubungan dengan mahluk halus.
Petunjuk seorang Dukun, juga diperlukan oleh warga yang akan membuka ladang.
Tengganai bertugas sebagai penasehat warga dalam urusan rumah tangga dan
masalah hubungan antar anggota kelompok rombong. Seorang tengganai pada saat
tertentu bisa memberi nasehat atau masukan pada Tumenggung di saat Tumenggung
harus menghadapi tugas yang sangat berat. Penghulu bertugas memimpin
upacara-upacara keagamaan seperti upacara perkawinan, kematian, kelahiran bayi
dan lain sebagainya.
Didalam
Marga Batin VI Mandiangin[5],
Setiap Dusun dipimpin oleh Seorang pemangku Dusun yang disebut Depati. Di bawah
Depati adalah Punggawa
Di
Marga Serampas, masing-masing Dusun kemudian diserahkan kepada Depati Seri Bumi
Puti Pemuncak Alam Serampas, Depati Pulang Jawa, Depati Singo Negoro, Depati
Karti Mudo Menggalo, Depati Seniudo, Depati Payung, Depati Kertau, Depati Siba[6].
Di
Marga Sungai Tenang dapat dilihat struktur dalam Marga Sungai Tenang. Marga
Sungai Tenang terdiri dari Pungguk 6, Pungguk 9, Koto 10. Pungguk 6 berpusat di
Pulau Tengah, Pungguk 9 berpusat di Muara Mandaras. Koto 10 berpusat di Gedang.
Di
Desa Gedang JENJANG ADAT ditandai
dengan Seloko “Yang berhak untuk memutih menghitamkan. Yang memakan habis,
memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan
dengan cara Jenjang Adat. Betakap naik, berjenjang turun. Dari Suku membawa ke
nenek mamak . Apabila tidak dapat
diselesaikan, maka memberitahu kepada kepala
Dusun.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu
kepada kepala Desa[7].
Di Desa Kotobaru JENJANG ADAT. Kepala Desa
“Yang berhak untuk memutih menghitamkan
Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek,
menyelesaikan dengan cara Jenjang
Adat. Betakah naik, berjenjang turun. Dari Suku membawa ke tuo tengganai
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Kepala Dusun. Apabila
tidak dapat diselesaikan, maka Dkepala Dusun memberitahu kepada Kepala Dusun.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Desa dapat melaporkannya sesuai
dengan hukum yang berlaku[8].
Di Desa Tanjung Benuang JENJANG ADAT “Yang berhak untuk
memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak,
diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Betakap naik,
berjenjang turun. Dari Suku membawa ke
nenek mamak.
Apabila tidak dapat
diselesaikan, maka memberitahu kepada Debalang.
Apabila tidak
dapat diselesaikan, maka Debalang memberitahu kepada
Kepala Dusun.
Apabila tidak
dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu
kepada kepala Desa[9].
Di Desa Tanjung Alam JENJANG ADAT “Yang berhak untuk
memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak,
diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku, Mati
Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga
adat. Saksi melapor kepada Menti,
2. Menti Melapor ke Kepala Dusun. Kepala Dusun memerintahkan
Menti menghubungi/memberitahu Kepala Suku.
Apabila
Pelaku tidak mau melaksanakan putusan denda adat, Kepala Dusun melapor kepada
Kepala Desa, Kepala Desa mengadakan rapat adat[10] .
Di Desa
Tanjung Mudo Kepala Desa “Yang
berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan
jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang
Adat. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala
Desa/Kepala Adat, Lembaga adat[11].
Di Marga Peratin Tuo, Masyarakat kemudian menyebutkan Depati
Pemuncak Alam, tempatnyo di dusun Tuo.
Depati Karto Yudo, tempatnyo di dusun Tanjung Berugo, Nilo Dingin dan
Sungai Lalang. Depati Penganggun Besungut Emeh, tempatnyo di dusun Koto Rami
dan dusun Rancan dan Depati Purbo Nyato, tempatnyo di dusun Tiaro[12]
Di Marga Tiang Pumpung Didalam Marga
Tiang Pumpung sebagaimana disampaikan oleh Sargawi didalam bukunya “Lintasan
Sejarah Depati Sembilan Tiang Pumpung menyebutkan “Depati Manjuang di Muara
Siau, Depati Agung di Pulau Raman, Rio Depati di Sekancing, Depati Purbo Alam
di Dusun Baru, Renah Jelmu, Muara Sakai, Beringin Sanggul dan Renah Manggis.
Depati Permai Yudo di Pulau Bayur, Depati Suko Berajo di Selango.
Di Marga Renah Pembarap, Hubungan kekerabatan dengan Marga Tiang Pumpung,
Marga Senggrahan ditandai dengan seloko “Gedung
di tiang pumpung, Pasak di Pembarap. Dan kunci di Senggrahan. Mereka mengaku keturunan dari Sri Saidi Malin
Samad. Sri Saidi Malin Samad mempunyai saudara Siti Baiti dan Syech Raja. Syech
Raja diakui sebagai “puyang” Renah Pembarap. Sedangkan Siti Baiti “puyang”
Marga Tiang Pumpung.[13]
Di Marga Senggrahan[14],
Hubungan kekerabatan dengan Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap ditandai
dengan seloko “Gedung di tiang pumpung,
Pasak di Pembarap. Dan kunci di Senggrahan[15]. Mereka mengaku keturunan dari Sri Saidi Malin
Samad. Sri Saidi Malin Samad mempunyai saudara Siti Baiti dan Syech Raja. Syech
Raja diakui sebagai “puyang” Renah Pembarap. Sedangkan Siti Baiti “puyang”
Marga Tiang Pumpung.
Didalam sejarah yang
disebut secara turun menurun sebelum menjadi desa Lubuk Beringin, wilayah desa ini berada dalam wilayah
Pesangggrahan yang di atur oleh Nenek Tigo Silo yang kemudian disebut dengan
nama Tigo Pemangku Margo Pesanggrahan, mereka itu adalah :
·
Depati Surau
Kembalo Hakim
·
Depati
Manggalo
·
Depati
Keramo
Ketiga
pemangku Depati di atas berada di dusun
lubuk beringin dan desa kandang. Dan untuk Lubuk Birah pemangkunya adalh Depati
Annggo, serta untuk Durian Rambun pemangkunya Adalah Depati Riyo Kemuyang[16].
Di Marga Pangkalan Jambu, Sebagai pemegang mandate dan kemudian bergelar
“Datuk Raja Nan Putih. Didalam struktur adat, maka Datuk Raja Nan Putih dibantu oleh Datuk Monti
Raja dan Datuk Pado Garang. Selain Datuk Raja Nan Putih yang dibantu oleh Datuk
Monti Raja dan Datuk Pado Garang, mereka juga mengenal “Datuk berempat dan
Menti nan Tigo”.
Datuk
Berempat yaitu Datuk Penghulu Mudo, Datuk Penghulu Kayo, Datuk Bendaro Kayo dan
Datuk Raja Tantan. Sedangkan “Menti nan Tigo yaitu Rio Niti di Dusun Baru, Rio
Gemalo di Dusun Nangko dan Rio Sari di Dusun Sungai Jering)
Didalam
struktur adat, mereka mengenal “Tiga Tali sepilin. Tungku Sejarangan”. Ikatan
yang kuat antara struktur adat yaitu hukum Negara, hukum agama dan hukum adat
kemudian diputuskan oleh Rio sebagai “pemutus akhir” dan pelaksana keputusan
adat.
Marga
Batin IX Ulu[17] Masing-masing
dipimpin seorang Rio. Dibawah Rio dikenal sebagai Mangku. Rio adalah pemimpin
setingkat Desa. Sedangkan Mangku adalah pemimpin setingkat dusun.
Berpusat di Pulau Rengas, Batin IX
Ulu dipimpin 5 orang Datuk. Yaitu Datuk Melako, Depati, Penghulu Makin,
Penghulu dan Sumono. Sumono adalah kekuasaan Tertinggi. Selain Mangku dikenal juga patih. Mangku dan
Patih adalah perangkat di Pemerintahan Dusun.
Marga
Pelepat mempunyai cara didalam menyelesaikan. Seloko “Nengok tumbuh” adalah
proses “pengaduan” dari salah satu terhadap setiap perselisihan[18].
Didalam masyarakat Hukum Adat Datuk
Senaro Putih, Struktur Kelembagaan
Adat
Pasal 5
Kelembagaan
Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro
Putih, terdiri dari : Pimpinan Adat dan
perangkatnya; TuoNegeri;
Pegawai Syara’;
Tuo Tengganai;
Dubalang;
Monti Rajo;
Manggung/Jonang;
Rumah GodangTigoTaipah.
Perangkat pimpinan adat adalah Datuk Rangkayo Mulio
dibantu oleh Sutan Marajo Lelo, Sutan Marajo Indo dan Rumah Gedang Tigo Taipah;
Tiang Panjang dibantu oleh Datuk Rabun, Pangulu
Alam dan Monti Rajo.
Datuk Sinaro Putih sebagai pimpinan tertinggi yang meliputi masyarakat
adat Desa Baru Pelepat dan Desa Batu Kerbau serta Dusun Lubuk Telau yang
membawahi Datuk Rangkayo Mulio dan Tiang Panjang[19].
Di Marga Jujuhan, Tempat untuk menyelesaikan persoalan yang disebut Balairung. Struktur
adat ditandai dengan Banjar. Istilah
Banjar menunjuk kepada berbarisnya rumah-rumah yang terdiri dari 2 rumah atau 3
rumah. Kemudian
diikuti kampong, Batin dan Negeri. Di berbagai tempat biasa disebut “kampong betuo,
datuk bebatin dan Raja negeri”. Maknanya adalah setiap putusan baik putusan tuo
kampong, datuk batin dan Raja negeri” harus diikuti oleh masyarakat berdasarkan
tingkatannya[20].
Di
Marga VII Koto, Untuk menyelesaikan persoalan rumit maka dapat menggunakan
kiasan “fajarlah menyingsing. Murailah
bekicau. Kilat beliung lah kekaki. Kilat cermin lah kemuko.
Didalam
menyelesaikan persoalan adat maka harus bijaksana seperti ujaran “anak buayo tegontang-gontang. Anak cigak
dalam perahu. Nak beiyo takut tehutang. Nak beidak oranglah tahu”.
Didalam
struktur masyarakat dikenal “Depati” Diatas Depati disebut Temenggung.
Sedangkan Temenggung dibantu Penghulu Mudo.
Sedangkan
tiga Dusun (Dusun Tuo, Dusun Sukarame dan
Dusun Sogo) dibawah oleh Datuk Temenggung Suto Yudho.
Namun
yang unik. Dusun Tanjung, Dusun Kuamang dan Dusun Cermin Alam mempunyai
struktur di keluarga Ibu. Mereka mempunyai “datuk seibu”. Datuk seibu kemudian
disebut “Mamak”, kemudian “datuk Suku”
Didalam
menyelesaian persoalan dimulai dari berjenjang naik betangkap turun. Dimulai
dari “mamak”. Apabila tidak diselesaikan maka diselesaikan “datuk Suku”.
Sedangkan tidak bisa diselesaikan juga maka diserahkan kepada “Mangku”. Namun
apabila tidak bisa diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada negeri”. Proses
ini dapat dilihat dari seloko “tua betengganai, negeri bebatin”
Mangku
terdiri dari “ninik mamak, tuo kampong, cerdik pandai, pegawai syara’.
Didalam
menyelesaian persoalan dimulai dari berjenjang naik betangkap turun. Dimulai
dari “mamak”. Apabila tidak diselesaikan maka diselesaikan “datuk Suku”.
Sedangkan tidak bisa diselesaikan juga maka diserahkan kepada “Mangku”. Namun
apabila tidak bisa diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada negeri”. Proses
ini dapat dilihat dari seloko “tua betengganai, negeri bebatin”
Mangku
terdiri dari “ninik mamak, tuo kampong, cerdik pandai, pegawai syara’[21].
Melihat
persoalan yang timbul, maka menggunakan seloko “tumbuh diatas tumbuh. Tegak
kedalam”. Tumbuh diatas tumbuh juga dikenal di Marga Sumay. Sedangkan di Marga
IX Koto disebut “nengok tumbuh”. Sebagaimana seloko “Belum gajah lalu, belum
rumput rendah. Belum enggang lalu, belumlah rantinglah patah”
Pelanggaran
adat dijatuhi denda berdasarkan kesalahannya. Tingkatannya “ayam sekok. Beras
segantang, selemak-semanis, kemudian “kambing sekok, beras sepuluh,
selemak-semanis”, dan yang terberat “kerbau sekok, beras seratus,
selemak-semanis”.
Untuk
menyelesaikan persoalan rumit maka dapat menggunakan kiasan “fajarlah
menyingsing. Murailah bekicau. Kilat beliung lah kekaki. Kilat cermin lah
kemuko.
Didalam
menyelesaikan persoalan adat maka harus bijaksana seperti ujaran “anak buayo
tegontang-gontang. Anak cigak dalam perahu. Nak beiyo takut tehutang. Nak
beidak oranglah tahu”.
Marga
IX Koto[22],
Struktur social di Marga IX Koto terdapat “ninik mamak”. Ninik mamak merupakan
struktur social yang ditunjuk oleh masyarakat.
Dalam
kerapatan adat, ninik mamak terdiri dari Kepala Dusun, orang tua yang bijaksana
yang kemudian disebut “tuo tau”, pemangku agama yang terdiri dari Imam, Khatib
dan bilal. Selain itu terdapat “Debalang Batin”. Debalang Batin merupakan tokoh
Pemuda yang bisa bersifat bijaksana mengikuti pertemuan di Ninik Mamak
sekaligus sebagai “orang yang lincah” untuk mengurusi urusan Dusun.
Debalang
Batin berbeda dengan “kepak rambai hulubalang”. Apabila “kepak Rambai
hulubalang bertugas “memanggil rapat”, menjemput ninik mamak atau pembesar negeri
yang belum datang namun tidak bisa menjadi bagian dari rapat pemangku adat.
Namun
Debalang Batin memang mempunyai fungsi khusus. Selain memastikan seluruh
pemangku adat telah hadir, Debalang Batin juga menjadi bagian dari rapat
pemangku adat. Posisinya sama dengan pemangku adat yang lain.
Begitu
pentingnya posisi Debalang Batin, selain akan melaksanakan putusan rapat adat
juga sebagai “orang kuat gawe” untuk melaksanakan pekerjaan yang membutuhkan
tenaga orang mudo. Debalang Batin bisa menggerakkan untuk meringankan pekerjaan
di dusun.
Selain
itu, Debalang Batin juga bisa berfikir bijaksana didalam rapat pemangku adat.
Dengan
mengikuti sistem kekerabatan matrilineal, maka “urusan keluarga besar”
diserahkan kepada Mamak. Mamak adalah “saudara lelaki dari Ibu” yang kemudian
mengurusi urusan keluarga besar.
Pemangku
keluarga atau “kepala keluarga “sedatuk” dikenal sebagai Tengganai. “Urusan
sedatuk” ini biasa dikenal Di
daerah hulu, kaum biasa disebut juga “kalbu”. Sedangkan di sebagian daerah hilir
Jambi, biasa disebut juga “guguk”.. Sebuah komunitas dari keturunan Ibu.
Sebagaimana menjadi seloko “Anak sekato Bapak. Kemenakan sekato Mamak”.
Setiap
perselisihan di dusun, maka diselesaikan dahulu antara Tengganai. Fungsi
Tengganai sering disebut didalam seloko “rumah betengganai”.
Setelah
itu, maka antara masing-masing pihak yang berselisih kemudian mempertemukan
“mamak” yang kemudian diselesaikan dengan cara “ninik mamak’.
Hubungan
struktur social antara ninik mamak yang didalamnya terdapat “tuo Tau”,
Tengganai, pegawai syarak dengan Debalang batin begitu erat.
Di Marga Sumay, Di
Desa Pemayungan[23], JENJANG ADAT[24]. Setiap
perselisihan diselesaikan dengan berjenjang naik berjenjang turun (Jenjang
adat) dengan cara seperti Saksi melaporkan Kepada Kelapa Dusun. Kepala Dusun
melaporkan kepada Lembaga adat.Lembaga adat mengumpulkan anggota Lembaga adat
termasuk tuo tengganai, ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai. Lembaga adat
mengadakan sidang adat dengan menghadirkan saksi dan memanggil orang yang
dituduh. Lembaga adat menjatuhkan sanksi.
Bila tidak dilaksanakan sanksi putusan lembaga
adat, lembaga adat melaporkan kepada Kepala Desa.
Di
Desa Muara SekaloCARA MENYELESAIKAN (JENJANG ADAT)[25]Tumbuh
diatas tumbuh. Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang
berjalan dengan air. Setiap persoalan
harus dilihat sebab dan akibat.
Berjenjang naik, bertangga turun. Setiap persoalan
maka disampaikan ke ninik mamak. Ninik kemudian mengundang untuk
menyelesaikannya.
Ayam berpindes, beras segantang, kelapa sejinjing,
selemak semanis. Didalam rapat ditentukan yang bersalah dan dijatuhi sanksi.
Di
Desa Semambu, CARA MENYELESAIKAN[26], Tumbuh diatas tumbuh. Setiap persoalan harus
dilihat sebab dan akibat. Hukum Mendaki, hukum
mendatar dan hukum menurun. Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya.
Setiap persoalan harus dibicarakan dan diberitahukan kepada orang ramai. Berjenjang naik,
bertangga turun. Setiap persoalan maka disampaikan ke ninik mamak. Ninik mamak
kemudian Mangku. Mangku kemudian ke Depati. Depati kemudian mengundang didalam
rapat adat. Didalam rapat adat kemudian ditentukan yang bersalah dan dijatuhi
sanksi. Depati kemudian
melaksanakan putusan adat dan menyampaikan kepada yang bersalah untuk
menjalankan sanksi.
Raja Melangkah maju, Rakyat bersimpuh Kebul.
Apabila sanksi diberikan tidak dapat dipikul untuk membayarnya, maka dapat
diberikan keringanan sesuai dengan kemampuannya.
Di Desa Suo-suo,
Jenjang Adat[27]
Tumbuh diatas Tumbuh. Setiap persoalan harus
dilihat sebab dan akibat. Berjenjang Naik. Bertangga Turun. Setiap
persoalan dilaporkan kepada ninik mamak. Dan hak ninik mamak untuk
menyelesaikannya.
Di Dusun Talang Mamak[28],, Menurut
jenjang adat, Bertangkap naik bertangga turun, proses penyelesaian dimulai dari
keterangan dari masyarakat kepada Menti. Menti kemudian memberitahukan kepada
Mangku. Kemudian Mangku memberitahukan kepada Patih dan Kepala Dusun. Ketiganya
yaitu Patih, Mangku dan Kepala Dusun memanggil Debalang kepada yang dilaporkan
menghadiri sidang adat. Didalam sidang adat kemudian dibicarakan pelanggaran
terhadap masyarakat yang dituduhkan.
Dalam prosesi
pelanggaran adat, maka proses ini didahului dengan Sirih Gambir sebagai tanda
persetujuan untuk disidangkan dan mengikuti sanksi adat.
Ikrar Sirih gambir
mengingatkan berbagai prosesi penyelesaian dan penghormatan hukum adat di Jambi
sesuai dengan seloko “sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang.
Setiap
pelanggaran dimulai dari ayam sekok beras segantang selemak semanis, kambing
sekok beras sepuluh gantang, selemak semanis hingga kerbau sekok, beras seratus
gantang selemak semanis diselesaikan di Dusun Simarantihan. Namun apabila tidak
dapat diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada Batin. Batin kemudian
diartikan diserahkan kepada proses hukum.
Tata
cara untuk menyelesaikan perselisihan adat seperti Berjenjang naik,
bertangga turun. Atau “Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya”.
Atau “Tumbuh diatas Tumbuh”
Pranata-pranata
adat seperti Posisi tuo kampung, kepala
Dusun, ninik mamak, Tuo Tengganai, alim ulama, cerdik pandai dan pegawai syara'
merupakan proses yang dilalui untuk menyelesaikan perselisihan adat.
Untuk
membuktikan hubungan antara masyarakat dengan hutan dapat ditandai dengan
ujaran seperti “ke aek bebungo pasir, ke darat bebungo kayu. Ujaran ini
maka dapat membuktikan “masih adanya pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari”.
Dengan
melihat rumusan berdasarkan UU Kehutanan, maka Margo Sumay dapat
mengidentifikasikan sebagai persekutuan masyarakat adat (rechsgemeenschap).
Penyelesaian
perselisihan
Kata-kata
“Tumbuh diatas tumbuh”, “Yang berjalan dengan
air”, atau “Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya”
merupakan nilai-nilai filosofis yang agung.
Tanpa
dipengaruhi oleh hikayat, mitos ataupun cerita yang diterima dari nenek moyang,
harus diakui, didalam melihat segala sesuatu dilatar belakang dengna pemikiran
mistis dan rasional. Dikatakan mistis karena ada beberapa jawaban yang masih
memerlukan kajian yang mendalam. Sedangkan apabila dikatakan rasional apabila
jawaban diberikan, dapat diterima dengan akal pikiran yang rasional.
“Tumbuh diatas tumbuh”, “Yang berjalan dengan air”, atau “Pulai berpangkat
naik. Tinjau Ruas dengan bukunya
adalah nilai filosofis yang fundamental. Dalam bacaan modern, nilai ini
merupakan nilai fundamental (ground norm) dalam pemikiran Hans Kelsen[29]
yang kemudian dapat ditarik menjadi norma-norma yang dapat diterapkan secara
praktis.
Menurut
teori ini, hukum yang lebih rendah dilarang bertentangan dengan hukum yang
lebih tinggi. Azas yang sering digunakan adalah lex superiori derogate lex
inferiori, dan semua hukum yang berada dibawahnya selalu bersumber dan
mengacu pada hukum yang lebih tinggi kedudukannya hingga yang tertinggi yang
disebut Grundnorm. Teori ini telah
menjadi semacam ajaran hukum sehingga disebut lehre (ajaran) yaitu
Rechtsreinelehre. Oleh karena itu, metode yang tepat adalah metode hukum
normative dengan pendekatan undang-undang. Paradigma ini demikian kuat
pengaruhnya hingga bertahan hingga kini dimanapun di dunia ini dan telah
menjadi mainstream.
“Tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai
berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya apabila dilihat dari makna harfiahnya berarti “setiap persoalan
harus dilihat dari sebab perbuatan itu terjadi”.
Sebagai
contoh, sebuah perkelahian yang terjadi, tentu saja harus didengarkan dari
keterangan dua pihak. Mengapa perkelahian itu terjadi. Sebelum dijatuhkan
pidana adat (delik adat)[30]
seperti “menguak daging. Merencong tulang”, harus dipastikan mengapa
peristiwa itu terjadi.
Hukum
adat delik, sebagaimana hukum adat umumnya sebagian besar tidak tertulis. Oleh
karena sebagian besar tidak tertulis, maka cara untuk mensosialisasikan nilai-
nilai dalam hukum adat sebagai landasan filosofisnya digunakan simbol-simbol.
Simbol bukan tujuan melainkan cara untuk mencapai tujuan. Simbol dapat
berbentuk tulisan, ukiran, lukisan, pahatan, patung, arah, gerak,
nyanyian/tembang, drama, atau sendratari. Ada pula simbol itu dalam bentuk
mitos, legenda, atau sage yang menggambarkan tentang perang antara kebaikan –
kejahatan, kepahlawanan – pengkhianatan, atau antara kebenaran – kefasikan.
Tumbuh diatas tumbuh, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai
berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya, sebenarnya berangkat dari teori yang disampaikan oleh von Buri yang
kemudian dikenal Teori hubungan sebab akibat yang biasa dikenal dengan istilah
teori kausalitas (Teori conditio sine qua non). Teori ini pertama kali
dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau
mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak
dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang
menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat).
Tiap
faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor
penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap factor
diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari
rangkaian faktor-faktor penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan
timbulnya akibat.
Teori
conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent
theorie), karena tiap factor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama
dan sederajat. Maka teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige
causa)
Sebutan
lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat).
Disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan
sebab (causa) tidak ada perbedaan.
Dengan
melihat teori yang disampaikan oleh Von Buri, maka nilai filosofi dari “tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan
bukunya, berangkat dari setiap perbuatan yang
ditimbulkan merupakan akibat dari sebab sebuah peristiwa.
Tumbuh diatas tumbuh, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai
berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya merupakan salah satu nilai fundamental penting yang masih tetap
kukuh dipertahankan masyarakat. Berangkat dari Tumbuh diatas tumbuh, mereka
dapat menyelesaikan masalah yang timbul tanpa harus menghakimi dan memberikan
putusan yang keliru.
Pesan
dari pemberi tanda (sign) yang dimuat
dari rumusan teks merupakan tanda-tanda atau proses “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air”
merupakan tanda (sign) dari perumus
teks.
Teks
didalam peraturan yang disampaikan dalam pertemuan merupakan cara memahami (versterhen) para perumus teks untuk
memberikan tanda sebagai proses tatacara pembukaan hutan.
“tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” merupakan isyarat yang harus dapat diamati
melalui pancaindera. Isyarat yang diberikan merupakan pemahaman kolektif
masing-masing dusun untuk mendukung sistem hukum adat yang sudah berlangsung
lama.
Isyarat
ini telah memenuhi syarat seperti (1) interest yang benar-benar murni, (2)
wujud dari isyarat yang telah baku dan tetap yang telah berlangsung lama (3)
telah dihasilkan sesuai dengan aturan mengadakan interpretasi yang sudah baku
untuk menyampaikan pesan.
Dengan
demikian, maka pesan seperti “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air”,
sebagai interpretasi obyektif dan pemahaman yang kuat[31].
Isyarat
“tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, telah memenuhi proses yang panjang baik
ditinjau dari filologi[32],
kritik[33],
psikologi[34]
dan morfologi-teknis[35].
Isyarat
“tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, pada hakekatnya bersifat normatif yaitu
mengenai keadaan sebagaimana mestinya. Artinya mengaitkan apa spesifik dan
kongkret dengan sesuatu yang bersifat lebih menyeluruh dan abstrak.
Isyarat
“tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” harus diartikan keseluruhan (gestalt/gestaltwithch). Isyarat “tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” tidak boleh ditafsirkan bermakna ganda.
Isyarat
“tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” harus ditafsirkan dapat memenuhi rasa keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan (zweckmagheit). Rumusan isyarat ini
tercapainya kepastian hukum (rechtssicherheit)
bagi semua orang yang membaca isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air”
dalam teks.
“tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” tidak
hanya mengatur yang berkaitan dengan tertib sosial (social order) mengenai tata cara pengelolaan sumber daya alam, tapi
juga penyelesaian sengketa (dispute
settlement). “Tumbuh diatas tumbuh”
dapat digunakan sebagai nilai-nilai yang disepakati didalam melihat dan
menyelesaikan persoalan. Tata cara “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air”
dapat digunakan sebagai pemberian sanksi didalam penyelesaian konflik yang
terjadi.
Dalam
hal inilah “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu
terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, hukum berperan sebagai penetralisasi
penyimpangan-penyimpangan[36].
Hukum diberlakukan melalui proses pelembagaan nilai-nilai yang dianut bersama.
Masyarakatpun kemudian kembali berperilaku menurut pola-pola yang telah
terlembagakan dengan isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air”.
“tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dapat dibaca sebagai materi yang
dikonstruksikan yang dapat diterima sebagai pandangan yang sejalan dengan
ajaran yang masih diakui sebagai masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap) yang
tetap mengikuti perkembangan jaman, diterima sebagai sistem hukum adat yang
logis dan memperhatikan segi-segi kesederhanaan[37]
Dalam
“tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dapat dibaca sebagai aliran hukum kodrat[38].
“tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” yang
merupakan simbol yang ditafsirkan sebagai muatan hukum alam (law of nature).
Mengapa
digunakan “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu
terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” sebagai simbol (sign), penulis tidak menemukan jawaban yang memuaskan. “tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” merupakan ajaran yang diwariskan turun temurun.
Tidak ada penjelasan mengapa “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air”
digunakan.
Namun
ketika “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu
terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dijadikan nilai-nilai yang dirumuskan dan
menjadi pengetahuan kolektif masyarakat, maka “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air”
telah menjadi norma yang berlaku (asas
aliran positivisme)[39].
“Tumbuh diatas tumbuh”, “Lambas, sak sangkut,
takuk pohon” merupakan grundnorm[40]
didalam melihat nilai-nilai terhadap tata cara pengelolaan sumber daya alam.
“tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”adalah
simbol (sign) yang ditangkap
sebagai grundnorm untuk “membaca” teks-teks yang memuat aturan yang berkaitan
dengan pengelolaan hutan.
Dalam
penjelasan yang lain juga disebutkan[41],
metode untuk mengambil cara mempertentangkan dalam teksnya (binary
oppositions), seperti laki-laki/ perempuan, bermakna/tanpa makna, jelas/kabur,
dan sebagainya.
Penelitian
ini membaca kritis komunitas masyarakat adat tanpa pengakuan negara, sejauh
mana perlindungan yang diberikan oleh negara dan bagaimana efektifitasnya di
lapangan. Selain itu, diperlukan logika melalui suatu pengujian jejak, apa yang terlihat dan apa yang tersembunyi.
Suplemen dan membuka tabir teks itu sendiri. Hal ini diperlukan dalam
penelitian untuk melihat koherensi dan inkoherensi pengakuan hukum hak
masyarakat adat.
Hal
ini dipengaruhi oleh cara berfikir ala Jacques Derrida[42],
yang menegaskan bahwa dekonstruksi (pembongkaran) dilakukan sebagai upaya untuk
membuka teks untuk memahami batasan pengertian dan penafsiran.
Dengan
membaca teks dan kontek dilihat dari simbol (sign), maka “tumbuh diatas
tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, merupakan hubungan masyarakat adat dengan
sumber daya alam, lingkungan atau wilayah kehidupannya lebih tepat
dikategorikan sebagai hubungan kewajiban daripada hak
Padahal
Hak atas tanah dan sumber daya alam merupakan salah satu hak paling penting
bagi masyarakat adat sebab keberadaan hak tersebut menjadi salah satu ukuran
keberadaan suatu komunitas masyarakat adat.
Dalam
pandangan E Sumaryono menyebutkan asas-asas kebenaran dan keadilan bersifat
kodrati dan berlaku universal. Kebenaran disebutkan sebagai “Validitas hukum”. Manusia diperbolehkan
membuat hukumnya sendiri (lex humana atau
human law). Hukum harus sah, mengikat dan mempunyai kewajiban sepanjang
dapat menunjukkan konsistensi dengan moralitas[43].
Hukum
adalah aturan perilaku (rule of conduct)
yang mengikat. Dalam arti ini, hukum dikaitkan dengan tindakan manusia yang
diatur dan dikontrol secara formal oleh suatu otoritas dalam masyarakat
Sehingga
teori von Buri ternyata merupakan teori yang universal, rasional dan dapat
digunakan masyarakat didalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Mekanisme
Penyelesaiannnya
Dalam
proses penyelesaian dikenal dengan istilah “jenjang adat”. “Berjenjang naik
bertangga turun.
Dalam
masyarakat Desa Semambu dikenal dengan hukum mendaki, hukum menurun dan hukum
mendatar. Hukum mendaki contohnya “mencecak
telur, menikam bumi”.
Di
Desa Pemayungan dimulai dari saksi melaporkan kepada Kepala Dusun dan kemudian
melaporkan ke Lembaga Adat. Lembaga adat yang mengumpulkan anggota lembaga adat
seperti tuo tengganai, ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai. Lembaga adat
menjatuhkan sanksi dan Kepala Desa melaksanakan putusan adat.
Di
Desa Semambu selain menggunakan nilai “tumbuh diatas tumbuh” dikenal juga
“Pulai berpangkat naik. Tinjau ruas dengan bukunya”. Berjenjang naik bertangga
turun”. Dimulai dari ninik mamak kemudian ke Mangku[44].
Mangku kemudian ke Depati. Depati kemudian mengundang dalam rapat adat dan ditentukan siapa yang
bersalah dan sanksi diberikan. Depati yang melaksanakan putusan adat dan
menyampaikannya.
Ninik
mamak diselesaikan. Setelah putus runding, maka hasil rindungan kemudian
Barulah keputusan diserahkan kepada Kepala Desa.
Namun
di Desa Suo-suo setiap persoalan dapat diputuskan dalam tingkatan ninik mamak.
Dalam
penjelasan lain disebutkan, bahwa hukum mendaki adalah hukum yang putusannya
harus diselesaikan oleh Depati. Terhadap hukum yang harus diselesaikan oleh
Depati termasuk kesalahan “mencecak telur. Menikam bumi.
Dengan
demikian, maka hukum mendaki sebenarnya adalah hukum yang dijatuhkan oleh Depati.
Bukan kategori dari “mencecak telur. Menikam bumi.
Sedangkan
hukum mendatar adalah hukum yang diputuskan oleh ninik mamak. Hukum ini adalah
sengketa para pihak dimana, tidak dapat diselesaikan di tingkat keluarga.
Sedangkan
hukum menurun adalah hukum yang diputuskan cukup kedua belah pihak semata. Para
pihak yang berselisih dapat menyelesaikan sendiri. Seperti dalam ujaran “Ular
tau dibiso. Rimau tau di belang”[45].
Apabila
dapat diselesaikan oleh kedua belah, maka tidak dapat dimajukan ke ninik mamak
atau kepada Depati. Sebagaimana didalam ujarannya “Berunding sudah tetap.
Kato pertamo ditepati. Kato kedua dicari-cari”.
Terhadap
tanah “sesap jerami, tanaman tunggul”[46],
maka tetap menggunakan nilai filosofi “tumbuh diatas tumbuh”. Hubungan
sebab akibat (causaliteitsleer). Dilihat apakah terhadap pemilik
sebelumnya ada tanaman bekas yang menunjukkan status kepemilikan atau tidak.
Tidak boleh seseorang mengaku-mengaku telah membuka hutan.
Dengan
perumpamaan yang telah disampaikan, maka terhadap laporan terhadap sebuah
peristiwa berangkat dari sebab mengapa perbuatan itu terjadi. Pendekatan inilah
yang kemudian digunakan didalam melihat sebuah persoalan.
Cara
ini menarik. Selain memang ajaran kausalitas
sering digunakan dalam praktek pengadilan, ternyata hukum adat juga menggunakan
pendekatan ajaran kausalitas. Sehingga teori ini selain digunakan dalam praktek
pengadilan yang cenderung positivisme,
teori ini ternyata effektif digunakan dalam konsepsi hukum adat.
Terhadap
sanksi adat, Desa Pemayungan memberikan sanksi cukup berat terhadap pohon
sialang dengan istilah “membuka pebalaian”
yaitu kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir,
selemak semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp 30 juta.
Muara
Sekalo memberikan istilah “ayam berpindes, beras segantang, kelapa
sejinjing, selemak semanis”. Begitu juga Desa Suo-suo memberikan sanksi
adat “ayam sekok, beras segantang dan selemak semanis”.
Istilah
sanksi adat seperti “membuka pebalaian” yaitu kain putih 100 kayu,
kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam
segaram dan ditambah denda Rp 30 juta merupakan
sanksi adat. Sanksi adat telah mendapatkan perhatian dari berbagai
kalangan.
Fungsi
sanksi adat merupakan salah satu bentuk mengembalikan sengketa baik kepada
pelaku, korban dan kepada alam. Dengan mengembalikan fungsi sanksi adat, maka
alam diharapkan dapat kembali kedalam fungsinya dan melindungi masyarakat.
Dominikus
Rato menyebutkan sebagai “mengembalikan
keseimbangan kosmis”[47].
‘Mengembalikan keseimbangan kosmis’ atau ‘mengembalikan ketentraman
magis’ yaitu: penggantian kerugian-kerugian immaterial dalam berbagai
bentuk seperti paksaan kepada seorang laki-laki untuk menikahi gadis yang telah
dicemari/dihamili; membayar uang adat kepada yang terkena berupa benda sakti (keris,
tombak pusaka, pedang pusaka, dan sebagainya) sebagai pengganti kerugian
rohani; selamatan (ritual) bersih desa; membayar denda penutup malu; hukuman
badan mulai dari pecut hingga hukuman mati; dan pengasingan.
Dalam
uraian yang lain, Prof. Dr. H. Kaelani, MS menjelaskan[48]
“Dalam kosmologis-ekologis ini menunjukkan
kehidupan manusia senantiasa dalam kondisi lingkungan yang tidak terpisahkan
satu dengan yang lain. Manusia haruslah ditempatkan dalam konteks real dan kongkrit.
Unsur dimensi materialis merupakan perspektif manusia yang bersifat real dan
alamiah.
Memahami
manusia berarti menempatkannya dalam konteks kehidupan yang nyata. Dalam
kaitannya dengan alam lingkungannya. Dalam pengertian inilah maka manusia harus
senantiasa membudayakan dirinya dan menyosialisasikan dirinya demi kehidupan
dan meningkatkan harkat dan martabatnya.
Desa
Lubuk Mandarsyah[49],
Kedudukan “induk semang” adalah sebagai “tuo tengganai”
dari anak kemenakan. Kesalahan “anak kemenakan” kemudian harus
diselesaikan oleh “tuo tengganai”. Kesalahan harus dipertanggungjawabkan
baik melalui hukum adat maupun sosial.
Di
Marga Pemayung Ulu[50],
Setiap
dusun dipimpin oleh Penghulu. Penghulu kemudian dibantu oleh Mangku yang
menguasai Kampung[51]. Di
Marga Pemayung Ilir[52],
Sebagai
kekuasaan kerajaan Tanah Pilih, maka Rajo kemudian menyusuri Sungai Batanghari
untuk melihat wilayah Kerajaan Tanah Pilih. Menggunakan perahu yang dikenal
dengan cara “mengayuh mencalang”. Setiap pemberhentian maka diperlukan “kermit”
untuk mengabarkan kampong sebelumnya. Biasa dikenal “kemit”. Di Marga Pemayung
Ulu di Kuap maka telah menunggu pula “kemit” untuk mengayuh perahu (ngayuh
mencalang). Dengan demikian maka Kermit selain bertugas mengayuh perahu (ngayuh
mencalang), kermit juga “pemayung Rajo”.
Kermit
bertugas “disuruh pergi. Dipanggil datang’. Melihat tugasnya maka “Kermit” juga
dikenal sebagai “kepak rambai hululang”. “Menjemput yang tinggal. Mengangkat
yang berat.
Selain
itu dikenal “Debalang rajo’ yang berkedudukan di Dusun Kuap. Orang Kuap
terkenal dengan omongan yang tegas dan keras. Sebagai keturunan “debalang
Rajo”. Debalang Rajo juga bertugas kepada rakyat Jambi “agar bersatu padu.
Untuk masyarakat sejahtera” [53]..
Struktur
Pemerintahan Margo memiliki jenjang sebagai berikut:
- Tengganai sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok yang ada dalam wilayah.
- Punggawo pemimpin wilayah setingkat Kepala Dusun.
- Depati pemimpin wilayah setingkat Kepala Desa.
Pesirah
pemimpin wilayah margo sekarang setingkat Camat.
Batin
IX Ilir (Marga Telik Kamisan Batin 9 Ilir) Struktur Pemerintahan Margo memiliki
jenjang. Tengganai sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok yang ada dalam
wilayah. Punggawo pemimpin wilayah setingkat
Kepala Dusun. Depati pemimpin wilayah setingkat Kepala Desa. Pesirah
pemimpin wilayah margo sekarang setingkat Camat[54].
Desa
Soko Besar[55].
Tata
cara proses sidang adat desa sebagai berikut : Tata Cara Sidang Adat : (1)
Pembukaan dilaksanakan oleh Sekretaris Desa, (2) Pembacaan kronologis oleh
Kepala Desa, (3) Kepala Desa memanggil pelapor dan pelapor dipersilakan duduk
dan menyampaikan laporan dan kronologisnya setelah itu dipersilakan untuk
keluar, (4) Kepala Desa menyerahkan kepada Ketua Adat untuk mencari kejelasan
tentang kronologis kejadian, (5) Kepala Desa memanggil terlapor dan terlapor
dipersilakan duduk dan menyampaikan laporan dan kronologisnya setelah itu
dipersilakan untuk keluar,(6) Kemudian dipanggil beberapa saksi yang
disampaikan oleh pelapor dan terlapor untuk diperiksa satu persatu, (7)
Pelapor, terlapor dan para saksi semuanya dipersilakan duduk dalam ruangan
tersebut, (8) Setelah semuanya diperiksa Kepala Desa membacakan pengajuan dan
tuntutan dan uraian yang disampaikan para saksi-saksi tersebut, (9)
Dilaksanakan Tanya jawab bersama peserta sidang baik kepada pelapor maupun
terlapor dan saksi-saksi, (10) Peserta sidang (Ketua Adat, Kepala Desa dan
Pengawai Sya’ra) musyawarah dan mufakat untuk mengambil keputusan tanpa
dihadiri oleh pihak yang bersengketa, (11) Setelah ditemukan kesepakatan baru disampaikan
oleh Kepala Desa dalam sidang tentang hasil keputusan termasuk penyampaian
sanksi dan denda, (12) Setelah keputusan disampaikan baru dikembalikan kepada
Sekretaris Desa. Selanjutnya, makan bersama, dan kedua belah pihak yang
bertikai angkat dulur (saudara).
Marga
Kumpeh Ilir, Desa Sungai Bungur[56], Setiap perselisihan
yang timbul akibat terlanggarnya “pantang larang” maka diselesaikan dengan
berjenjang (jenjang adat). Bertangkap naik bertangga turun[57].
Dimulai dari laporan Ketua Rukun Tetangg (RT) kemudian
dibawa ke Kepala Dusun. Dari Kepala Dusun kemudian disampaikan ke Ketua Adat.
Dari Ketua Adat kemudian dibawa ke Kepala Desa.
Didalam rapat adat kemudian ditentukan ganti rugi
siapapun yang melanggar pantang larang.
Kepala Desa kemudian melaksanakan putusan rapat
adat. Kepala Desa “Yang berhak untuk
memutih menghitamkan. Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan
berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat.
Di Desa Sogo CARA
MENYELESAIKAN PERSELISIHAN (JENJANG ADAT), Setiap perselisihan yang timbul
akibat terlanggarnya “pantang larang” maka diselesaikan dengan berjenjang
(jenjang adat). Berjenjang naik bertangga turun[58].
Di
Desa Sponjen, Setiap perselisihan yang timbul akibat terlanggarnya “pantang larang”
maka diselesaikan dengan berjenjang (jenjang adat). Berjenjang naik bertangga turun.
Dimulai dari laporan Ketua Rukun Tetangg (RT)
kemudian dibawa ke Kepala Dusun. Dari Kepala Dusun kemudian disampaikan ke
Ketua Adat. Dari Ketua Adat kemudian dibawa ke Kepala Desa.Didalam rapat adat
kemudian ditentukan ganti rugi siapapun yang
melanggar pantang larang.
Kepala Desa kemudian melaksanakan putusan rapat
adat. Kepala Desa “Yang berhak untuk
memutih menghitamkan. Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan
berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat[59].
Di Marga Maro Sebo Desa Rukam Tata
cara menyelesaikan sengketa, Musywarah adat yang di hadiri oleh Ketua adat,
Pemuka agama, Pemerintahan desa, Yang bersengketa, Saksi ahli waris kedua belah
pihak[60].
Marga
Tungkal Ulu[61], Setiap
dusun dipimpin oleh seorang Penghulu atau Demang.
Didalam
menyelesaikan setiap perselisihan, maka diselesaikan oleh pemangku adat yang
disebut Waris nan Delapan. Waris Nan delapan yaitu Waris Aur Duri, Waris Kebun
Tengah, Waris Pulau Ringan, Waris Kuburan Panjang, Waris Gemuruh, Waris
Langkat, Waris Bukit Telang dan Waris Teluk.
Setiap
pemangku Waris dipilih oleh kaumnya sendiri. Di daerah hulu, kaum biasa disebut
juga “kalbu”. Sedangkan di sebagian daerah hilir Jambi, biasa disebut juga
“guguk”.. Sebuah komunitas dari keturunan Ibu. Sebagaimana menjadi seloko “Anak
sekato Bapak. Kemenakan sekato Mamak”.
Di
berbagai tempat, susunan struktur ini biasa disebut “tengganai” sebagaimana
sering disampaikan “rumah betengganai, rantau bejenang, kampong bepenghulu dan
negeri bebatin.
Sebagai
pemangku adat, posisinya begitu penting dan dihormati sebagaimana seloko
“memakan habis. Memancung putus”. Di tangan merekalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan hukum adat dapat diselesaikan.
Dalam
proses penyelesaiannya, maka Pesirah sebagai Pemangku adat marga kemudian
memanggil para penghulu masing-masing setiap dusun untuk menyelesaikannya. Tata
cara memanggil dilakukan oleh Pesirah dengan menyuruh “Kermit”. Kermitlah
menggunakan canang (semacam gong kecil) memanggil kabar kepada seluruh negeri.
Kermit kemudian menyampaikan maksud dari pertemuan yang akan diadakan oleh
Pesirah.
Setelah
diputuskan oleh pemangku adat, maka terhadap sanksi haruslah dilaksanakan.
Pelanggaran atau pengingkaran terhadap sanksi ataupun perundingan tidak dapat
diselesaikan maka diserahkan kepada Pemangku Negeri yang ditandai dengan seloko
“alam berajo, negeri bebatin”.
Di Marga Tungkal Ilir Desa Makmur Jaya[62],
Tatacara Penyelesaian, Penyelesaian
masalah yang diterapakan di desa Makmur Jaya ini adalah dengan cara musyawarah
bertahap. Apabila terdapat permasalahandi desa maka yang melakukan kesalahan
akan dibawa ke ketua RT, setelah itu dibawa kepada kepala dusun dan dibawa ke
kepala desa dan para petinggi desa untuk dilakukan musyawarah bersama untuk
mengambil tindakan lebih lanjut[63].
Di
Desa Serdang Jaya, TATA CARA PENYELESAIAN, Pengambilan keputusan untuk
penyelesaian masalah, konfik, dan sengketa dilakukan dengan musyawarah melalui
forum desa dengan dihadiri oleh perangkat desa, Kadus, ketua RT, tetua desa
dan BPD. Apabila masalah belum dapat diselesaikan dari
forum desa maka dapat dilakukan melalui jalur hukum[64].
Di
Marga Dendang/Sabak Desa Sungai Beras[65], Penyelesaian masalah yang diterapkan di Sungai
Beras adalah dengan cara kekeluargaan, musyawarah berjenjang. Penyelesaian
masalah secara berjenjang yang dimaksud adalah penyelesaian hanya melibatkan
ketua RT dan beberapa tokoh, apabila tidak putus, maka dinaikan ke Kepala Dusun,
selanjutnya Kepala Desa, dan diserahkan kepihak berwajib.
Segala sesuatu diputuskan di Desa, semua potensi
dan kekeyaan yang berada di Desa dan hutan desa di gunakan dalam masyarakat.
Segala pengaturan dibicarakan. “pegi Nampak muka balik Nampak punggung”
Di
Marga Berbak, Untuk menegakkan hukum
adat, masyarakat mengenal “tegur ajar’. Istilah Tegur ajar juga dikenal di
Marga Batin Pengambang. Terhadap kesalahan dijatuhi sanksi adat berupa “kambing
sekok, berat 20 gantang, selemak-semanis” [66].
[6]
Pasal 9 ayat (1) Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat
Marga Serampas.
[7] Pasal 9 Peraturan Desa Gedang
Nomor 3 tahun 2011 Tentang Keputusan
Adat Istiadat Depati Suko Merajo
[8] Perdes Kotobaru No. Tahun 2014 KEPUTUSAN
DEPATI SUKO DERAJO
[11] Pasal 9 PERATURAN DESA TANJUNG
MUDO NO. 7 TAHUN 2011 TENTANG PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
[13] Kepala Dusun Lubuk Beringin,
Desa Lubuk Beringin 27 Maret 2016
[14] Peraturan Desa Nomor 2 Tahun
2012 Tentang Kelembagaan dan Pengelolaan Hutan Desa Rio Kemunyang Desa Durian
Rambun
[15] Seloko ini juga disebutkan oleh
Samsuddin, Lembaga Adat Kecamatan Renah Pembarap, Guguk, 16 Maret 2016
[19] Desa Baru Pelepat,
Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau dapat dilihat di Perda Kabupaten Bungo Nomor 3
Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih
[21] Abdulah TH, Mantan Depati Suko
Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[22] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali,
16 Agustus 2016
[27] Desa Suo-suo, 21 Maret 2013
[28] Kepala Dusun Fahmi dan Patih
Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
[29] Hans Kelsen mengembangkan teori
lain yaitu Teori Anak Tangga (Stuffenbau Theorie) yang dicetus oleh Adolf Merkl
(1836- 1396).
[30] Hukum pidana adat atau delik
adat berbeda dengan hukum pidana yang bersumber dari hukum Eropa. Hukum adat
bersifat holistik karena tidak ada perbedaan antara hukum public – privat,
bidang hukum pidana, perdata, tata Negara, hukum agraria, dan sebagainya. Hukum
Eropa bersifat parsial, sebaliknya hukum adat delik bersifat holistik.
[31] Sidharta, Op. Cit, Hal 114
[32] Aspek Filologi yaitu
rekonstruksi terhadap kohensi suatu ungkapan dari sisi gramatika dan logika.
Aspek ini bernilai efektif dalam usaha memahami secara permanen simbol-simbol
yang sudah pasti.
[33] Aspek kritik kegiatan ini
dihadapkan pada hal-hal yang membutuhkan sikap untuk dipertanyakan, misalnya
mengenai suatu pernyataan yang tidak logis atau adanya jarak (gap) yang muncul
dalam sekumpulan argmen.
[34] Aspek psikologis ini
diberlakukan ketika penafsir meletakkan dirinya dalam diri pengarang, yaitu
memahami dan menciptakan kembali personalitas dan posisi intelektual si
pengarang.
[35] Aspek morfologis-teknis
ditujukan kepada pemahaman isi arti kata yang bersifat mental obyektif dalam
hubungannya dengan logika khusus dan prinsip yang digunakannya.
[36] Emile Durkheim, Perspektif
Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1985, Hal. 54-56
[37] Paul Scholten, Hal. 65-66
[38] Aliran Hukum Kodrat
[39] Sidharta, Op. Cit. Hal. 197
[40] Sidharta, Ibid, Hal 199
[41] Antara Teks dan Konteks - Dinamika pengakuan hukum terhadap hak
masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia, HuMa, Jakarta, 2010, Hal. 73
[42] Jacques Derrida menunjukkan
bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Dalam Satu
tema tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai
makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu,
kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran
objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita
kritis terhadap teks. Antara Teks dan Konteks -
Dinamika pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya
alam di Indonesia, HuMa, Jakarta, 2010.
Hal. 73
[43] Sidharta, Op.cit, Hal 147
[44] F. J. Tideman dan P. L. F.
Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
[45] Khatib Kharim, Desa Teriti,
Kecamatan Sumay, 21 Maret 2013
[46] Desa Semambu dan Desa Muara
Sekalo mengenal istilah “Sesap jerami.
Tunggul pemarasan”. Terhadap istilah ini, antara Desa Semambu dan Desa
Muara Sekalo mempunyai penafsiran yang berbeda. Desa Semambu meyakini, “sesap jerami. Tunggul pemarasan”, maka
haknya menjadi hilang apabila tidak ditanami. Sedangkan di Desa Muara Sekalo,
“sesap jerami. Tunggul pemarasan”, haknya miliknya tidak hilang. Walaupun
mempunyai penafsiran yang berbeda-beda, menurut penulis, keduanya mempunyai
pandangan logis. Desa Semambu menganggap bahwa, “sesap jerami, tunggul
pemarasan” yang tidak ditanami, maka menjadi hilang karena dia tidak
mengerjakan tanah. Sedangkan di di Desa Muara Sekalo, walaupun tidak dikerjakan,
namun karena sudah dibuka, diberi tanda lambas dengan takuk pohon, ada sak
sangkut, maka tetap menjadi miliknya. Menurut penulis, keduanya tetap bisa
terima. Sebagaimana keyakinan mereka yang berpandangan. Adat selingkung Negeri.
Artinya, adat mereka berlaku untuk mereka sendiri.
[47] Dominikus Rato, “Memahami
Istilah Keseimbangan Kosmis dalam Hukum Adat Delik”, Konferensi Nasional
Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia di Surabaya, Surabaya, 27-28 Agstus 2013,
[48] H. Kaelani, MS, Negara –
Kebangsaan – Pancasila – Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan
Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta, 2013, Hal. 235.
[63] PERATURAN DESA MAKMUR
JAYA NO TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM
GAMBUT
[66] Desa Rantau Rasau, Kecamatan
Berbak, Tanjabtim, 10 Juli 2018