27 Oktober 2018

opini musri nauli : Asas-asas Hukum Tanah Melayu Jambi



Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena asas hukum merupakan dasar lahirnya peraturan hukum[1]. Asas hukum merupakan ratio legisnya peraturan hukum. asas hukum (rechtsbeginsel) adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret (hukum positif) dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret[2].

Didalam Hukum Tanah Melayu Jambi dikenal asas-asas Hukum Tanah Melayu Jambi. Asas-asas ini  diatur didalam UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) dan  ditemukan baik didalam melihat seloko yang mengatur tentang Hukum Tanah Melayu Jambi maupun dalam praktek-praktek yang dilakukan.

Asas Pengakuan Hak

Asas ini mengakui terhadap hak komunal yang didapatkan melalui prosesi hukum Tanah Melayu Jambi. Didalam Pasal 3 UUPA disebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Asas ini berangkat dari penghormatan prosesi mendapatkan tanah dan penanda tanah.

Prosesi mendapatkan tanah dikenal “pamit ke penghulu. Prosesi dikenal seperti Setawar dingin[3] seperti “rembug”, “nasi putih air jernih”,  “betahun bersamo, Rapat kenduri, Melambas, Belukar tuo, Empang krenggong, Nasi putih air jernih, Kelapp Sekok, Selemak Semanis, “harta berat ditinggal, harta ringan dibawa. Selain penanda tanah seperti “takuk pohon”,  “tuki”, “sak Sangkut” , “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas”,  Lambas berbanjar didaerah ulu Batanghari.

Di Marga Batang Asai Tengah dikenal pegang pakai[4].   Di Desa Paniban Baru[5] dikenal tatacara membuka hutan yang dimulai dari “Betaun bersamo, Rapat kenduri, melambas, Nasi putih Air jernih, Kelapa sekok, selemak semanis.  Di Marga Serampas dikenal tanah ajun dan tanah arah[6]

Bagi masyarakat desa Renah Pelaan (Merangin), untuk membuka lahan pertanian baru, biasanya mereka meminta izin terlebih dahulu yang dikenal “puji perago”[7].   Di Marga Sumay[8] dikenal “Maro ladang/Maro Banjara”, “Behumo rimbo”, “behumo Ronah”. Prosesi yang dijalani berupa “lambas”, sak sangkut”, “Banjar bertindih galang”, “Bidang’, “pemarasan hutan”, “ Manugal-beselang”, Menanami”, “nyisip”, dan “beumo”.

Di Marga Batin II Ulu,  Masyarakat menyebutkan istilah “kebun” untuk tanah yang sudah dibuka dan ditanami. Utamanya karet. Sedangkan terhadap tanah yang telah dibuka namun belum ditanami dikenal dengan istilah “sesap” atau “belukar”[9]. Di Marga Pelepat dikenal membuka hutan yang disebutkan didalam “mati tanah. buat tanaman”[10]. Di Desa Baru Pelepat, Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau dikenal “tando kayu batakuk lopang, tando kulik kaliki aka”, “harus sompak, kompak, setumpak”, “umpang boleh disisip”, “bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk ali baganti ali”,  “lapuk pua jalipung tumbuh”, “kadarek babungo kayu, kayak babungo pasir”, “tanah lombang, umput layu”[11]. Di Marga Pemayung Ilir terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman”[12].

Didaerah hilir  seperti Di Desa Sungai Bungur[13], Desa Sponjen[14], Desa Sogo[15], Desa Sungai Beras[16]dikenal istilah “pancung alas”. Pancung alas” atau dengan penamaan lain adalah  setiap kepala keluarga yang hendak membuka hutan harus seizin dari Kepala Desa.

Diluar dari prosesi diatas maka dikenal beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil”. Terhadap kesalahan kemudian dijatuhi sanksi. Sedangkan apabila dijatuhi sanksi namun tidak dipatuhi dikenal “Plali”. Ditandai dengan Seloko ”Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo.

Selain itu pengakuan hak dikenal “empang krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman”. Atau sejarah pembukaan lahan yang umumnya diketahui oleh masyarakat (cencang latih) dan jambu keloko (tanaman yang ada dilahan tersebut) atau bedah nang berantai (saluran air persawahan) merupakan bukti legalitas klaim[17]. Selain itu juga dikenal Dendang kayu betakuk baris. Kayu belepang, takuk kayu,  atau Dendang hutan besawa sulo.

Di Marga Pemayung Ilir terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman

Di daerah hilir dikenal “Larangan krenggo”,  “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” maka Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami dan tidak dirawat maka akan dijatuhi sanksi adat. Bahkan hak milik terhadap tanah kemudian hapus.

Asas Tanah Terlantar

Apabila tanah yang kemudian tidak dirawat maka dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar. Kategori tanah terlantar kemudian dikenal seperti (1) Apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifatnya. (2).Apabila tanah tersebut tidak dipergunakan  sesuai  dengan tujuan pemberian haknya. (3) Tanah tersebut tidak dipelihara dengan baik. (Pasal 3 dan pasal 4 PP No. 36 Tahun 1998 junto PP No. 11 Tahun 2010).

Dengan demikian apabila tanah kemudian tidak dirawat maka terhadap tanahnya menjadi hilang. Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Dan kemudian harus dirawat.

Di Marga Tenang dikenal “sesap rendah jerami tinggi”. Sedangkan di Marga Sumay dikenal  “sesap rendah tunggul pemarasan”. Di Marga Pratin Tuo dikenal istilah “perimbun[18]. Di Marga Pelepat dikenal istilah “Mati tanah. Buat tanaman”.  Di Marga Batang Asai Tengah dikenal “umbo rimbo”, “umo belukar tuo”, “uma belukar mudo dan “umo sesap.

Mahkamah Agung berdasarkan Yurisprudensi No. 329 K/Sip/1957 tanggal 24 September 1958 kemudian menyebutkan “di Tapanuli Selatan apabila sebidang tanah yang diperoleh secara merimba, maka hak atas tanah dapat dianggap dilepaskan dan tanah itu oleh Kepala Persekutuan kampong dapat diberikan kepada orang lain.

Begitu juga Yurusprudensi Mahkamah Agung Nomor 59 K/Sip/1958 tanggal 7 Februari 1959 kemudian menyebutkan “menurut adat Karo sebidang tanah “kesian” yaitu sebidang tanah kosong yang letaknya dalam kampong bisa menjadi hak milik perseorangan setelah tanah itu diusahai secara intensif oleh seorang penduduk kampong itu.

Putusan Mahkamah Agung No. 1192 K/Sip/1973 Tanggal 27 Maret 1975 menyebutkan “Menurut peraturan adat setempat, hak semula dari seseorang atas tanah usahanya gugur apabiia ia telah cukup lama belum/tidak mengerjakan lagi tanahnya, kemudian ia diberi teguran oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung untuk mengerjakannya, tetapi teguran itu tidak diindahkannya; dalam hal ini bolehlah tanah itu oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung diberikan kepada orang lain yang memerlukannya.

Putusan Mahkamah Agung No. 590 K/Sip/1974 tanggal 3 Desember 1975 menyebutkan “Menurut hukum, baik hukum adat maupun ketentuan-ketentuan U.U.P.A. tahun 1960 hapusnya hak atas tanah adalah antara lain karena diterlantarkan.

Asas Landreform

Asas Landreform dapat ditemukan didalam pasal 7, pasal 10 UUPA. Pada prinsipnya, kepemilikan dan penguasaan tanah tidak boleh melampaui batas.

Pengaturan terhadap kepemilikan dan penguasaan tanah dapat dilihat baik yang berhak memiliki tanah maupun luasnya.

Di Marga Batin pengambang, Luas tanah yang diberikan 2 hektar. Tanah harus ditanami. Selama 4 tahun tidak dibenarkan membuka rimbo.

Selain itu dikenal prosesi nasi putih. Air Jernih. Pemberian tanah kepada masyarakat yang berasal dari luar desa kemudian bermukim didesa. Seluas 2 hektar. Model yang lain adalah pemberian dari nenek mamak desa sesudah pernikahan yang disebut rimbo along kumpalan paku[19].

Di Marga Batang Asai Tengah[20], tanah didapatkan yang dikenal Membuka hutan atau rimbo atau tanah untuk Pertanian sawah yang dikenal Umo dan Talang. Prosesi yang dilalui seperti Betaun bersamo[21], Rapat Kenduri[22], Melambas[23], Lemah Paradun[24]. Masing-masing mendapatkan 2 hektar.

Di Marga Simpang Tigo Pauh dikenal Seloko “Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano tamilang dicacak disitu tanaman tumbuh[25]. Luasnya sesuai untuk kebutuhan membuat rumah dan membuka lahan untuk berkebun[26]

Di Marga Air Hitam dikenal “tanah bejenang”. Tanah diberikan untuk kebutuhan rumah dan “umo” [27].

Di Marga Sungai Tenang dikenal berbagai model pengelolaan. Di Desa Tanjung Mudo[28], Prosesi dimulai dari “Alam sekato Rajo, Negeri sekato batin”, dibuka berkelompok, Setiap Kepala Keluarga hanya boleh membuka 1 ha.  Selain itu dikenal “sepenegak rumah’. Dimana luas tanah yang dberikan untuk perumahan[29].

Di Marga Sumay setelah prosesi Maro Ladang/Maro Banjar, “Behumo rimbo”, “behumo Ronah” Ditentukan setiap orang mendapatkan 2 hektar.Sempadan tanah (setelah ditentukan dibuat batas ladang[30].

Di Desa Rantau Bedaro terdapat 15 Hektar dan yang berhak menanam di lahan tersebut adalah keturunan nenek 4, yaitu kalbu Rendah, kalbu Solok, kalbu Cabul dan kalbu Talang, yang kesemuanya sudah dibedakan lokasi masing-masing. Kalbu Rendah sebelah ilir, kalbu solok sebelah tengah, kalbu cabul sebelah atas dan kalbu talang sebelah atas juga[31].

Di Lubuk Mandarsyah setiap keluarga diberikan dengan membuka lebar 25 meter dan panjang 100 meter atau istilah dikampung dinamakan dengan “tapak”[32]. Sedangkan di Marga Kumpeh Ilir dikenal dengan istilah “Bidang” setelah melalui prosesi “Pancung alas”. 30 depo kali 50 depo.

Marga Jebus di Desa Rukam dikenal “jejawi berbaris dan tali gawe’.  Di Marga Berbak dikenal “umo Genah’.

Asas Terang dan Tunai

Asas terang dan tunai dapat dilihat didalam berbagai ketentuan. Pasal 1868, Pasal 1870 dan pasal 1873 KUHPer (kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW). Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 kemudian menegaskan.

Yurisprudensi Mahkamah Agung kemudian menyebutkan asas Terang dan tunai Sifat terang atau riil artinya jual beli tersebut dilakukan dihadapan Pejabat Umum yang berwenang dengan dibuatkan akta jual beli yang ditandatangani penjual dan pembeli. Tunai artinya harga jual belinya dan penyerahan obyek langsung atau serentak dilakukan pada waktu bersamaan (lunas/kontan) (Putusan M.A Nomor 271/K/Sip/1956 dan Putusan M.A Nomor 840/K/ Sip/1971).

Sedangkan asas Terang karena dilakukan dihadapan kepala adat, agar diketahui oleh umum.

Dalam hukum adat Melayu Jambi maka setiap prosesi terhadap pemindahan hak terhadap tanah dihadapan Pemangku adat. Dengan pemangku adat maka terhadap tanah dapat ditentukan. Apakah dapat beralih atau tidak.

Terhadap hak atas tanah dimana salah satu warganya kemudian meninggalkan Desa, maka tanah kembali ke penghulu. Sesuai dengan Seloko “Harta berat ditinggal. Harta ringan dibawa. Seloko ini mirip prinsip “siliah jariah” sesuai dengan Tembo di Minangkabau kabau pai. Kubangan tinggal”.

Asas Ius Curia Novit

Asas ini menyebutkan dimana hakim  selalu dianggap tahu hukumnya. Dalam seloko Jambi, pemangku adat diibaratkan “Tempat orang bertanyo. Tempat orang bercerito”.

“Seorang pemimpin “didahulukan selangkah”. Dilebihkan sekata'. Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. Kata-kata “Yang memakan habis, memancung putus” dimaknai sebagai “kata-kata pemimpin didalam mengambil keputusan dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya. Kata-katanya didengar dan merupakan solusi yang disampaikannya.

Pemangku adat adalah tempat “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah.

Fungsi Pemangku adat (volksrechter) didalam menyelesaikan perselisihan tanah Melayu Jambi dilakukan secara berjenjang yang ditandai dengan “jenjang adat”. Betangkap naik. Bertangga turun.

Dimuat di kajanglako.com, 29 Oktober 2018
http://kajanglako.com/id-6096-post-asasasas-hukum-tanah-melayu-jambi.html?fbclid=IwAR24GG5jhT0bmlJJbOpy4h-2ZIkARhqq4bShM0Wq2mpWi111YRfdkOfFMBc


            [1] Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 85
            [2] Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, hlm. 32.
            [3] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
            [4] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [5] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [6] Pasal 1 angka 25 Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang  Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Marga Serampas.
            [7] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal, Walhi, 2015
            [8] PERDES  NO   TAHUN 2012 KEPUTUSAN ADAT KETURUNAN DATUK DOMANG MUNCAK KOMARHUSIN
            [9] Rio Dusun Senamat Ulu, Lubuk Beringin, 2015
            [10] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat.
            [11] Pasal 33 Perda Kabupaten Bungo Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih
            [12] M. Yunus Kadir, Desa Lubuk Ruso, 21 Juli 2018
            [13] Perdes Sungai Bungur No 2 Tahun 2018 Tentang Piagam Tumenggung Bujang Pejantan
            [14]  PERATURAN DESA SEPONJEN No.  10 /SPJ/1/ 2018 TENTANG  BUYUT DAYUT
            [15] Desa Sogo, 4 Februari 2016
            [16] Desa Sungai Beras, 4 Februari 2018
            [17] Hal. 25
[18] Riset Walhi Jambi, 2013
            [19] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [20] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [21] Betaun bersamo. Waktu ditentukan. Yaitu habis lebaran haji atau habis lebaran besar
            [22] Rapat Kenduri. Diadakan didalam rapat kenduri yang akan membuka rimbo.
            [23] Melambas. Rimbo yang akan dibuka diberi tanda “kayu pengaikit. Kemudian ditanami seperti kleko, durian. Waktu melambas selama 3 bulan. Apabila selama 3 bulan tidak ditanami, maka tanah kembali ke desa
            [24] Lemah Paradun. Rimbo yang telah dibuka, ditanami tanaman mudo (padi dan sayur- sayuran) namun ternyata tidak lagi ditanami selama = 3 tahun, maka kembali ke Desa.
            [25] BUKU PERJUANGAN MASYARAKAT DESA KARANG MENDAPO DALAM UPAYA MENDAPATKAN HAK ATAS TANAH DAN KEBUN SAWIT, Walhi Jambi, 2009
[26] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
            [27] Muktar, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, 24 Oktober 2017
            [28] PERATURAN DESA TANJUNG MUDO  NO. 7 TAHUN 2011  TENTANG  PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
            [29] RIset Walhi Jambi, 2010
            [30] PERDES  NO   TAHUN 2012 KEPUTUSAN ADAT KETURUNAN DATUK DOMANG MUNCAK KOMARHUSIN
            [31] Kusyari, kades Rantau Bedaro, Wawancara, 23 November 2015
,  Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal, Walhi, 2015
            [32] Dusun Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsyah, Tebo, 22 Agustus 2016