Hiruk pikuk menjelang Pemilihan legislative (Pileg) diwarnai dengan Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU No. 20 tahun 2018).
Polemik
kemudian dimulai dengan Pasal 7 ayat (1) huruf g dan h PKPU No. 20 tahun 2018.
Didalam Pasal 7 ayat (1) huruf g disebutkan “Bakal calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah warga negara Indonesia dan harus
memenuhi persyaratan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan
pidana penjara 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap; bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan
seksual terhadap anak, atau korupsi.
Dilanjutkan dengan pasal 7 ayat (1)
huruf h “bukan
mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi;
Namun pasal 7 tidak dapat dilepaskan
pasal 7 ayat (4) huruf a yang menyebutkan “Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf g, dikecualikan bagi : mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa
pemidanaannya, dan secara kumulatif bersedia secara
terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik, bukan sebagai pelaku kejahatan
yang berulang, serta mencantumkan dalam daftar riwayat hidup.
Sedangkan
Pasal 7
ayat (4) huruf b “terpidana karena
kealpaan ringan (culpa levis) atau terpidana karena alasan politik yang tidak
menjalani pidana dalam penjara, dan secara terbuka dan jujur mengumumkan kepada
publik.
Polemik
mengenai Caleg koruptor pernah mewarnai perdebatan media massa. Ratna Dewi
(Ketua KPU Kota Jambi 2009 – 2014) menulis opini yang berjudul ““Mantan
Napi dan hak-hak yang dipulihkan (surat terbuka untuk Musri Nauli, SH[1]).
Opini
kemudian ditanggapi dengan Judul BEBERAPA ALASAN MENOLAK PEMIKIRAN
RATNA DEWI - Otokritik pemikiran dalam konsep “hak dipilih”[2].
PROBLEMA
YURIDIS
Terhadap
Napi mengenai “hak dipilih” menjadi problema yuridis. Hakekat Wewenang
pencabutan “hak dipilih” merupakan kewenangan yang terletak di pengadilan. Pencabutan
“hak dipilih” dikategorikan sebagai “pencabutan hak-hak tertentu”.
Pencabutan
“hak dipilih” telah diatur didalam
pasal 10 huruf 1 KUHP junto pasal 35 yat (1) angka 1 KUHP. Pencabutan “hak dipilih”, “hak memilih” dan “perampasan barang-barang tertentu“ dikenal sebagai
pidana tambahan.
Pasal
35 ayat (1) angka 1 KUHP menyebutkan “Hak-hak
terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan
dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah hak memilih
dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum”
Polemik
Napi koruptor telah diselesaikan oleh MK berdasarkan Putusan MK No.
4/PUU-V/2009. Didalam pertimbangannya MK telah menegaskan, “pengurangan hak yang dapat
dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu dan tidak sesuai dengan
Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP hak memilih dan dipilih dapat dicabut dengan
putusan pengadilan.
Padahal UU tidak dapat mencabut hak pilih, Melainkan UU hanya memberi pembatasan sesuai Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan hak napi untuk mencalonkan adalah bentuk diskriminasi warga negara Indonesia.
Namun
“pernyataan
terbuka dan jujur dari mantan narapidana kepada masyarakat umum adalah bentuk
notoir feiten. Selain itu juga Putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 juga telah memberi jalan keluar, yaitu memberi
kesempatan bagi mantan narapidana untuk menduduki jabatan publik yang dipilih
(elected officials).
Dan kemudian diserahkan pada akhirnya masyarakatlah yang menentukan
pilihannya mau memillih mantan narapidana atau tidak.
Materi ini juga sudah ditegaskan mengenai Kepala Daerah terhadap UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota (UU Pilkada) berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015.
Dengan
demikian berdasarkan Putusan MK No. 4/PUU-V/2009 dan Putusan MK 42/PUU-XIII/2015 maka berdasarkan putusan MK kemudian menegaskan “hak
dipilih” adalah hak yang dicabut oleh Pengadilan. Apabila tidak adanya putusan
terhadap pidana tambahan “hak dipilih” yang dicabut maka tidak mempunyai
kewenangan lembaga negara lain membuat norma baru.
Atau
dengan kata lain Putusan Pengadilan yang tidak pernah mencabut hak untuk
dipilih tidak akan “diambil alih” oleh siapapun termasuk oleh kewenangan
konstitusional oleh KPU berdasarkan Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018.
Sehingga pencantuman pasal 7 ayat
(1) huruf h PKPU No. 20 Tahun 2018 “bukan
mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual
terhadap anak, atau korupsi” adalah bentuk norma baru yang bertentangan dengan
putusan MK No. 4/PUU-V/2009 dan Putusan MK 42/PUU-XIII/2015.
Dalam praktek Peradilan, Beberapa nama kemudian disebut dihukum “pidana
tambahan pencabutan hak politik tertentu” seperti Akil
Mochtar (Mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi),Irman Gusman (Mantan Ketua
DPD RI), Ridwan Mukti (Gubernur
Nonaktif Bengkulu Ridwan Mukti), Lutfi Hasan Ishaaq (Presiden PKS) dan Anas Urbaningrum (Mantan
Ketua Umum DPP Partai Demokrat)
KEWENANGAN KPU
Didalam konstitusi Pasal 22E UUD
1945 disebutkan “Pemilihan umum diselenggarakan
oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Kewenangan
ini kemudian diturunkan didalam Pasal 13 Huruf B UU No. 7 Tahun 2017 yang
menyebutkan “KPU mempunyai wewenang “menetapkan Peraturan KPU untuk setiap tahapan
Pemilu”.
Dengan
melihat kewenangan yang diatur didalam Pasal 22E UUD 1945 junto Pasal 13 Huruf B UU
No. 7 Tahun 2017 maka KPU kemudian mengatur tahapan Pemilu.
Namun menambah norma “bukan mantan
terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”
terlalu jauh melebihi wewenangnya “memutuskan” hak dipilih yang menurut
hukum tidak dicabut oleh Pengadilan.
EXTRA
ORDINARY CRIME
Namun kasus korupsi bukanlah kasus
biasa. Makna didalam UU No. 31 Tahun 1999 “bahwa
tindakan pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara dan menghambat pembangunan nasional,sehingga harus diberantas dalam
rangka mewujudkan masyarakatadil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dan “bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi
selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi
tinggi” Sebagai bentuk ikrar melawan korupsi.
Kejahatan
korupsi bukan masalah local. Bentuk perlawanan korupsi Indonesia ditandai
dengan Meratifikasi UU No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption. Sehingga tidak salah kemudian “korupsi”
ditempatkan sebagai “kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Sebagai kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime) maka cara perlawanan haruslah menggunakan cara-cara luarbiasa.
Negara berusaha mengatur didalam UU.
Namun kandas ditangan MK. Sehingga materi ini tidak perlu lagi diatur didalam
peraturan perundang-undangan. Sikap ini menggambarkan kondisi politik
(political will dari negara).
Rendahnya putusan Pengadilan
berbagai kasus korupsi, sedikit sekali yang masih menjatuhkan putusan “pencabutan
hak politik tertentu” haruslah disikapi secara serius. Diperlukan cara-cara
luarbiasa. Upaya perlawanan harus disuarakan dari berbagai kalangan.
Namun walaupun tersangka ternyata
masih dipilih oleh masyarakat seperti Jefferson Soleman Rumanjar (Walikota
Tomohon), Hambit Bintih (Bupati Gunung Mas), Yusak Yaluwo (Bupati Boven Digul),
Samsu Umar Abul Samiur (Bupati Buton), Sahry Mulyo (Tulung Agung).
Kandasnya materi UU di MK, rendahnya
putusan pengadilan dan masih sedikitnya yang mencabut hak untuk dipilih dan
masih dipilihnya napi koruptor untuk menduduki posisi public berbanding
terbalik dengan upaya pemberantasan “cara-cara luar biasa’. Belum lagi “masih
permisif” terhadap penerimaan pelaku korupsi menyebabkan agenda pemberantasan
korupsi tidak begitu kuat.
Tidak memilih Napi koruptor yang
pernah tersangkut korupsi adalah bentuk perlawanan dari masyarakat. Masyarakat
harus dididik terhadap “pemimpin yang tidak amanah”. Masyarakat harus
disadarkan tentang “arti suara” terhadap masa depan. Masyarakat tidak boleh “permisif”
dengan menerima napi korupsi dan menempatkan posisi-posisi penting dalam
struktur social dan keagamaan.
Dengan perlawanan massif maka
diharapkan dapat melahirkan generasi yang bersih dari skandal-skandal politik.
Advokat
Dimuat di kajanglako.com, 6 Juli 2018