13 September 2018

opini musri nauli : CALEG KORUPTOR




Hiruk pikuk menjelang Pemilihan legislative (Pileg) diwarnai dengan Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU No. 20 tahun 2018).

Polemik kemudian dimulai dengan Pasal 7 ayat (1) huruf g dan h PKPU No. 20 tahun 2018. Didalam Pasal 7 ayat (1) huruf g disebutkan Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.

Dilanjutkan dengan pasal 7 ayat (1) huruf hbukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi;

Namun pasal 7 tidak dapat dilepaskan pasal 7 ayat (4) huruf a yang menyebutkan Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, dikecualikan bagi : mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pemidanaannya, dan secara kumulatif bersedia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang, serta mencantumkan dalam daftar riwayat hidup.

Sedangkan 
Pasal 7 ayat (4) huruf b “terpidana karena kealpaan ringan (culpa levis) atau terpidana karena alasan politik yang tidak menjalani pidana dalam penjara, dan secara terbuka dan jujur mengumumkan kepada publik.

Polemik mengenai Caleg koruptor pernah mewarnai perdebatan media massa. Ratna Dewi (Ketua KPU Kota Jambi 2009 – 2014) menulis opini yang berjudul ““Mantan Napi dan hak-hak yang dipulihkan (surat terbuka untuk Musri Nauli, SH[1]).

Opini kemudian ditanggapi dengan Judul BEBERAPA ALASAN MENOLAK PEMIKIRAN RATNA DEWI - Otokritik pemikiran dalam konsep “hak dipilih”[2].

PROBLEMA YURIDIS

Terhadap Napi mengenai “hak dipilih” menjadi problema yuridis. Hakekat Wewenang pencabutan “hak dipilih” merupakan kewenangan yang terletak di pengadilan. Pencabutan “hak dipilih” dikategorikan sebagai “pencabutan hak-hak tertentu”.  

Pencabutan “hak dipilih” telah diatur didalam pasal 10 huruf 1 KUHP junto pasal 35 yat (1) angka 1 KUHP. Pencabutan “hak dipilih”, “hak memilih” dan “perampasan  barang-barang tertentu“ dikenal sebagai pidana tambahan.

Pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP menyebutkan “Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang  ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum”  

Polemik Napi koruptor telah diselesaikan oleh MK berdasarkan Putusan MK No. 4/PUU-V/2009. Didalam pertimbangannya MK telah menegaskan, “pengurangan hak yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu dan tidak sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP hak memilih dan dipilih dapat dicabut dengan putusan pengadilan.

Padahal UU tidak dapat mencabut hak pilih, Melainkan UU hanya memberi pembatasan sesuai Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan hak napi untuk mencalonkan adalah bentuk diskriminasi warga negara Indonesia.

Namun “pernyataan terbuka dan jujur dari mantan narapidana kepada masyarakat umum adalah bentuk notoir feiten. Selain itu juga Putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 juga  telah memberi jalan keluar, yaitu memberi kesempatan bagi mantan narapidana untuk menduduki jabatan publik yang dipilih (elected officials).

Dan kemudian diserahkan  pada akhirnya masyarakatlah yang menentukan pilihannya mau memillih mantan narapidana atau tidak.

Materi ini juga sudah ditegaskan mengenai Kepala Daerah terhadap UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota (UU Pilkada) berdasarkan Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 42/PUU-XIII/2015.  

Dengan demikian berdasarkan Putusan MK No. 4/PUU-V/2009 dan Putusan MK 42/PUU-XIII/2015 maka berdasarkan putusan MK kemudian menegaskan “hak dipilih” adalah hak yang dicabut oleh Pengadilan. Apabila tidak adanya putusan terhadap pidana tambahan “hak dipilih” yang dicabut maka tidak mempunyai kewenangan lembaga negara lain membuat norma baru.

Atau dengan kata lain Putusan Pengadilan yang tidak pernah mencabut hak untuk dipilih tidak akan “diambil alih” oleh siapapun termasuk oleh kewenangan konstitusional oleh KPU berdasarkan Peraturan KPU No. 20  Tahun 2018.

Sehingga pencantuman pasal 7 ayat (1) huruf h PKPU No. 20 Tahun 2018 “bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi” adalah bentuk norma baru yang bertentangan dengan putusan  MK No. 4/PUU-V/2009 dan Putusan MK 42/PUU-XIII/2015.

Dalam praktek Peradilan, Beberapa nama kemudian disebut dihukum “pidana tambahan pencabutan hak politik tertentu” seperti Akil Mochtar (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi),Irman Gusman (Mantan Ketua DPD RI), Ridwan Mukti (Gubernur Nonaktif Bengkulu Ridwan Mukti), Lutfi Hasan Ishaaq (Presiden PKS) dan Anas Urbaningrum  (Mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat)

KEWENANGAN KPU

Didalam konstitusi Pasal 22E UUD 1945 disebutkan “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat  nasional, tetap, dan mandiri. Kewenangan ini kemudian diturunkan didalam Pasal 13 Huruf B UU No. 7 Tahun 2017 yang menyebutkan “KPU mempunyai wewenang “menetapkan Peraturan KPU untuk setiap tahapan Pemilu”.

Dengan melihat kewenangan yang diatur didalam Pasal 22E UUD 1945 junto Pasal 13 Huruf B UU No. 7 Tahun 2017 maka KPU kemudian mengatur tahapan Pemilu.

Namun menambah norma “bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi” terlalu jauh melebihi wewenangnya “memutuskan” hak dipilih yang menurut hukum tidak dicabut oleh Pengadilan.

EXTRA ORDINARY CRIME

Namun kasus korupsi bukanlah kasus biasa. Makna didalam UU No. 31 Tahun 1999 “bahwa tindakan pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional,sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakatadil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan “bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi” Sebagai bentuk ikrar melawan korupsi.

Kejahatan korupsi bukan masalah local. Bentuk perlawanan korupsi Indonesia ditandai dengan Meratifikasi UU No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption. Sehingga tidak salah kemudian “korupsi” ditempatkan sebagai “kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) maka cara perlawanan haruslah menggunakan cara-cara luarbiasa.

Negara berusaha mengatur didalam UU. Namun kandas ditangan MK. Sehingga materi ini tidak perlu lagi diatur didalam peraturan perundang-undangan. Sikap ini menggambarkan kondisi politik (political will dari negara).

Rendahnya putusan Pengadilan berbagai kasus korupsi, sedikit sekali yang masih menjatuhkan putusan “pencabutan hak politik tertentu” haruslah disikapi secara serius. Diperlukan cara-cara luarbiasa. Upaya perlawanan harus disuarakan dari berbagai kalangan.

Namun walaupun tersangka ternyata masih dipilih oleh masyarakat seperti Jefferson Soleman Rumanjar (Walikota Tomohon), Hambit Bintih (Bupati Gunung Mas), Yusak Yaluwo (Bupati Boven Digul), Samsu Umar Abul Samiur (Bupati Buton), Sahry Mulyo (Tulung Agung).

Kandasnya materi UU di MK, rendahnya putusan pengadilan dan masih sedikitnya yang mencabut hak untuk dipilih dan masih dipilihnya napi koruptor untuk menduduki posisi public berbanding terbalik dengan upaya pemberantasan “cara-cara luar biasa’. Belum lagi “masih permisif” terhadap penerimaan pelaku korupsi menyebabkan agenda pemberantasan korupsi tidak begitu kuat.

Tidak memilih Napi koruptor yang pernah tersangkut korupsi adalah bentuk perlawanan dari masyarakat. Masyarakat harus dididik terhadap “pemimpin yang tidak amanah”. Masyarakat harus disadarkan tentang “arti suara” terhadap masa depan. Masyarakat tidak boleh “permisif” dengan menerima napi korupsi dan menempatkan posisi-posisi penting dalam struktur social dan keagamaan.

Dengan perlawanan massif maka diharapkan dapat melahirkan generasi yang bersih dari skandal-skandal politik.

Advokat 

Dimuat di kajanglako.com, 6 Juli 2018
http://kajanglako.com/id-4803-post-caleg-koruptor.html



            [1] Jambi Independent, 12, Agustus 2012
            [2] Posmetro, 18 Agustus 2012.