05 November 2017

opini musri nauli - Rio atau Kerio



Istilah Rio begitu hidup di tengah masyarakat. Rio Pembarap di Dusun Koto Teguh, Rio Penganggun Jago Bayo di Dusun Tanjung Mudo. Rio Kemunyang di Dusun Durian Rambun. Nama Rio Kemunyang kemudian dijadikan nama Hutan Desa.


Di Marga Batin Pengambang dikenal Rio Cekdi Pemangku Rajo. Yang bertugas menjaga pintu dari Timur. Dengan wilayahnya Bathin Pengambang, Batu berugo, Narso.Di Batin V Sarolangun dikenal “Rio Depati Jayaningat Singodilago”.

Di Batin III Ulu juga dikenal Rio yang memimpin di Dusun Senamat Ulu, Lubuk Beringin dan Aur Chino. Begitu juga di Marga Pelawan.

Istilah Kerio disampaikan oleh Yamin  didalam tesisnya menyebutkan “Marga mempunyai beberapa desa (dusun) yang dikepalai oleh kerio, sama dengan lurah. Dusun ibu marga (semacam ibu kota, yaitu tempat kedudukan pasirah) dikepalai oleh pembarab yang sewaktu-waktu dapat mewakili pasirah, manakala pasirah itu berhalangan. Urusan agama disusun pasirah itu dikuasai penghulu yang dibantu katib (di dusun-dusun dikepalai katib).  Istilah ini bisa ditemukan didalam “Sistem Pemerintahan Tradisional Rejang: Marga atau Kutei” dan Disertasi Mawardi J.

Mawardi J kemudian menyebutkan Hierarki pemerintahan di bawah sultan terdiri dari daerah-daerah yang dipimpin pejabat setingkat gubernur masa sekarang yang disebut Rangga. Kerangga, atau Tumenggung,wilayah kekuasaannya disebut Ketemenggungan. Daerah kekuasaan Rangga terdiri beberapa Marga yang dipimpin Pesirah Marga. Para pesirah yang banyak berjasa kepada sultan diberi gelar Adipati atau Depati. Sebuah marga terdiri sejumlah desa yang dipimpin Kerio atau Proatin. Kepala desa yang di desanya terdapat Pesirah tidak disebut Kerio tetapi disebut Pembarap. Kedudukan pembarap sedikit lebih tinggi dari kerio, karena pembarap juga merupakan wakil Pesirah. Setiap desa terdiri beberapa kampung yang dipimpin Penggawa. Pada tahun 1826 sistem pemerintahan marga diambil alih pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sejak itu dalam struktur pemerintahan, marga berada di bawah dan tunduk kepada kekuasaan Residen.

Ketiga daerah yaitu Palembang, Bengkulu dan Lampung tunduk kepada Undang-undang Simbur Cahaya. Kitab yang berisikan kodifikasi ketentuan hukum kerajaan yang berlaku abad ke-17 di wilayah Kesultanan Palembang. Kodifikasi undang-undang itu dilakukan oleh Ratu Sinuhun Sending, permaisuri Sultan Sending Kenayan (1629 – 1636).

Selain Rio dikenal Depati. Depati adalah raja atau penguasa adat yang mengepalai wilayah tertentu. Perubahan Pamuncak ke Depati terjadi pada masa Adityawarman menjadi raja Melayu yang berpusat di Pagaruyung (1347-1376). Ia mengganti gelar dengan gelar Depati. Gelar Depati berasal dari kata Adipati yang berarti jabatan tertinggi.

Setelah kekuasaan raja Adityawarman berakhir (1350-1526), daerah Kerinci dan Merangin menjadi negeri merdeka dengan nama negeri Pucuk Jambi dengan raja Pangeran Temenggung Kabul Dibukit, di bawah kesultanan Jambi. Kerajaan berpusat di Ujung Tanjung Muaro Masumai.

Namun, pada tahun 1524 M, untuk menjaga wilayah dari para pendatang, Pamuncak dan Pembarap membentuk 3 wilayah Depati dan wilayah Mangku.

Istilah Depati dapat ditemukan didalam Surat Sutan Anum Seri Ingalaga (1743-1770). Surat dari Raja biasa dikenal di masyarakat sebagai piagam, titah, surat, cap and undang-undang. Di Marga Renah Pembarap dikenal Sultan Anom Seri Mogoro yang disebut tanah Depati atau  Tanah Batin Yang ditandai dengan Piagam Lantak Sepadan yang menyatakan wilayah Marga Renah Pembarap. Menurut Datuk H Abubakar didalam tulisannya “Masyarakat Adat Guguk Jambi”, Piagam Lantak Sepadan  bertarikh 1170 h/1749 Masehi. Dalam silsilah Raja Jambi, periode 1740-1770 dipimpin oleh Sultan Astra Ingologo.


Dalam Buku Encydopaedie van Nederland Indie, tahun 1918 yang bahannya diambil dari Tambo Adat Kerajaan Manjuto di Renah Kemumu Serampas dengan dipimpin oleh Depati Pulang Jawa. Selain itu dikenal Depati Singo Negaro dan Depati Karti Mudo Menggalo.

Bambang Hariyadi, didalam bukunya ‘Orang Serampas: Tradisi dan Pengetahuan Lokal di Tengah Perubahan menyebutkan “Depati Singo Negaro di Tanjung Kasri. Depati Pulang Jawo di Renah Kemumu. Depati karti Mudo Menggalo di Renah Alai, Rantau Kermas dan Lubuk Mentilin”

Dalam penjelasan F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar diterangkan, “Kepala-kepala Adat di Kesultanan – Federasi, dusun, kampung menggunakan berbagai macam-macam gelar, seperti Rio, Rio Depati, Rio Pamuncak, Tumenggung, Depati, Kedenang, Lurah, Penghulu, Mangku. Mereka memiliki wewenang pelaksanaan hukum besar atau hukum kecil.

Bandingkan Pemerintahan Marga dimulai sejak tahun 1904, ketika Sultan Taha wafat yang sekaligus merupakan tahun jatuhnya Kesultanan Jambi di bawah taklukan. Belanda dan dimasukkan oleh Belanda dalam Keresidenan Palembang. Baru pada tahun 1906, Jambi dijadikan satu Residen yang dipimpin Resident OI Relfricht.

Sebelumnya sejarah Margo ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Dari berbagai sumber disebutkan, marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Menurut Regeering Reglement (RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Nederland secara sentralistis. Daerah Nederlandse Indie dibagi dalam dua kategori besar yaitu daerah Indirect Gebied dan Direct Gebied. Daerah Indirect Gebied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa Batavia. Istilah Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang pegawai Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927).

Tahun 1928, Belanda menetapkan Ordonansi yang disebut Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan (IGOB). Dengan peraturan ini, marga diberi legitimasi struktural dalam pemerintahan Hindia Belanda. Kepala-kepala marga (Pasirah) dipilih dari para pemimpin adat tingkat marga.

Pemerintah Hindia Belanda secara resmi mengakui kedudukan Marga sebagai kesatuan adat yang berbadan hukum baru pada tahun 1938 melalui IGOB (Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesten) Stbl 1938 No. 490, Dalam IGOB (Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesten) Stbl 1938 no. 490

Dengan demikian maka istilah “rio” sudah dikenal sebelum penetapan Marga oleh Belanda

Namun di Jambi, wilayah Jambi tidak tunduk dan bagian dari Kerajaan Palembang. Menurut H. Rotani Yutaka, Undang-undang Jambi diputuskan oleh para tokoh yang hadir dalam rapat adat di bukit Sitinjau Laut Kerinci. Biasa dikenal Deklarasi Bukit Sitinjau Laut.

Peserta yang hadir antara lain adalah Tuangku Mangkudum Sumanik Batu Sangkar, Tuan Kadi Padang Ganting, Datuk Parapatih Nan Sabatang, Pangeran Temenggung Kabul Dibukit, Datuk Duo Duko Berhalo Pematang Serampeh Tuo. Hasil pertemuan dalam tambo adat disebut dengan istilah “sijambak sijambu tanam, mano urat, manolah batang, mano dahan, manolah ranting, manolah daun penutup buah, batang yang tiado boleh di tinggalkan, kayu “RU” medang cerano”. Maksudnya adalah bahwa pemimpin dengan masyarakat merupakan kearifan lokal di masa itu, pemimpin adalah orang yang memimpin masyarakat dan masyarakat yang pimpin kepada pemimpin. Hubungan baik ini sering diibaratkan dalam ungkapan “lukah dengan air, apakah lukah dalam air atau air di dalam lukah”. Kesepakatan lain dalam pertemuan para tokoh di bukit Sitinjau Laut Kerinci tersebut adalah kesepakatan menentukan batas-batas yang saat ini disebut “sepucuk Jambi sembilan lurah”.

Undang-undang adat Jambi memuat aturan-aturan hukum adat istiadat masyarakat di kerajaan Melayu Jambi. Undang-undang Jambi menyebut hukum pidana adat dengan istilah “kesalahan” atau “salah” dan “sumbang” untuk menyatakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat. Ada dua bentuk kesalahan atau sumbang, yaitu kesalahan kecil atau sumbang kecil dan kesalahan besar atau sumbang besar.

Daerah Jambi mempunyai undang-undang adat yang disebut “undang nan dua puluh” yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun juga. Undang-undang nan dua puluh terbagi menjadi dua bagian. (1). Undang nan delapan yaitu undang-undang yang menyatakan perbuatan kejahatan, dengan kata lain tindak kejahatan itu adalah tindak pidana. (2).Undang nan dua belas yaitu yang disebut undang-undang pemakaian, sifatnya lebih merupakan pelanggaran, dalam beberapa hal merupakan hukum perdata.

Dan dalam praktek di tengah masyarakat, berbagai nilai-nilai dan pranata-pranata norma didalam UU SImbur Cahaya sama sekali tidak dikenal dan diterapkan di masyarakat.

Istilah “ringgit” dalam sanksi denda sama sekali tidak dikenal. Dalam praktek yang masih diterapkan, denda disesuaikan dengan tingkat kesalahan. Dimulai dari sanksi “ayam sekok. Beras segantang. Selemak-semanis”, “kambing sekok. Beras 10 gantang. Selemak semanis” hingga “kerbau sekok. Beras seratus gantang. Selemak semanis”.

Sedangkan sanksi adat didalam UU Simbur Cahaya mengenal  pelayanan “ringgit” dan “tengang satu kambing”.

Masyarakat masih menggunakan aturan adat sebagaimana norma yang telah diperlakukan sebelum kedatangan Belanda. Aturan yang masih diterapkan hingga kini.

Dengan demikian berdasarkan Surat Sutan Anum Seri Ingalaga (1743-1770), Piagam Lantak Sepadan, Encydopaedie van Nederland Indie, tahun 1918, Piagam Serampas, Bukunya F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar Djambi, Koninklijke Vereeniging, Amsterdam, 1938 dan deklarasi Bukit Sitinjau Laut maka UU Simbur Cahaya “tidak pernah” diperlakukan di wilayah residen Jambi.

Penetapan Marga yang mengatur Rio tahun 1904 kemudian mengikuti cara yang digunakan Kerajaan Palembang setelah sebelumnya Belanda menetapkan Marga di Palembang tahun 1825. 

04 November 2017

opini musri nauli : Problema pasal zinah menurut hukum


Akhir-akhir ini seruan agar pasal perzinahan di KUHP disesuaikan dengna perkembangan dan pandangan masyarakat Indonesia. Problema makna “zinah” didalam KUHP dan makna “zinah” menurut hukum adat dan agama di Indonesia menjadi hukum tidak sesuai dengan perkembangan di Indonesia.


Problema mulai muncul ketika pasal perzinahan didalam KUHP tidak sesuai dengan pandangan di Indonesia.

Didalam KUHP, pasal perzinahan termasuk kedalam TITEL XIII MISDRIJVEN TEGEN DE BURGERLIJKE STAAT (Bab XIII - Kejahatan Terhadap Asal-Usul Dan Perkawinan). Menurut KUHP, pasal 284 KUHP “(1) Met gevangenisstraf van ten hoogste negen maanden wordt gestraft, 1.    a.    de gehuwde man die wetende dat art. 27 van het Burgerlijk Wetboek op hem toepasselijk is, overspel, b.    de gehuwde vrouw die overspel pleegt. 2.    a.    de man die het feit medepleegt, wetende dat de medeschuldige gehuwd is. b.    de ongehuwde vrouw die het feit medepleegt, wetende dat de medeschuldige gehuwd en dat art. 27 van het Burgerlijk Wetboek op hem toepasselijk is.

Pasal 284 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:l. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; 2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;  b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

Dari berbagai terjemahan WvS yang beredar di pasaran, para pakar hukum Indonesia berbeda pendapat mengenai penggunaan istilah pengganti dari overspel.

Ada pendapat yang menggunakan istilah zina. Sedangkan pendapat lain menggunakan kata atau istilah mukah atau gendak. Hal ini tampak dalam terjemahan KUHP hasil karya Moelyatno, Andi Hamzah, R. Soesilo, Soenarto Soerodibroto atau terjemahan KUHP dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman.

Menurut Van Dale’s Groat Woordenboek Nederlanche Taag kata overspel berarti echbreuk, schending ing der huwelijk strouw yang kurang lebih berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan. Menurut putusan Hooge Raad tanggal 16 Mei 1946, overspel  berarti sebagai berikut:
“is niet begrepenvleeselijk gemeenschap met een derde onder goedkeuring van den anderen echtgenoot. De daad is dan geen schending van de huwelijk strouw. I.c. was de man souteneur; hij had zijn vrouw tot publiek vrouw gemaakt. Hij keurde haar levenswijze zonder voorbehoud goed”.
Artinya “di dalamnya tidak termasuk hubungan kelamin dengan seorang ketiga dengan persetujuan suami atau isterinya, perbuatan itu bukan pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan yaitu andaikata suaminya adalah germo maka dia telah membuat isterinya menjadi pelacur, ia menganggap cara hidupnya itu lebih baik tanpa pengecualian.

Demikian pula overspel menurut Noyon-Langemayer yang menegaskan bahwa overspel kan aller door een gehuwde gepleegd woorden; de angehuwde met wie het gepleegd wordt is volgent de wet medepleger. Perzinahan hanya dapat dilakukan oleh orang yang menikah.

R. Soesilo didalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dimaksud dengan zinah adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Jadi maknanya adalah “terikat perkawinan”. Sedangkan Andi Hamzah menyebutkan zinah disebut overspel. Pengertian overspel ini adalah hubungan kelamin di luar nikah, khusus hanya bagi pihak yang terikat perkawinan dengan orang lain. Andi Hamzah memakai terminologi “mukah” dalam KUHP yang diterjemahkan olehnya. Jadi, kata “zinah” di sini sama sekali bukan “zinah” dalam terminologi Islam. Zinah dalam KUHP mengacu kepada bahasa pendahulunya yaitu overspel.

Sejarah Overspel mengacu kepada pandangan agama yang menempatkan perzinahan sebagai bentuk pengingkaran terhadap lembaga perkawinan. Oleh karena itu, perzinahan dipandang sebagai perbuatan dosa yang dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, dan dipandang sebagai inbreuk op de heilige band van het huwelijk atau suatu penodaan terhadap ikatan suci dari perkawinan.

Gereja Katholik tentang kedudukan hukum yang sederajat antara pria dengan wanita itu telah diikuti oleh pembentuk undang-undang di negeri Belanda yang dapat dilihat cara mereka merumuskan ketentuan-ketentuan pidana dalam Pasal 340 sampai dengan Pasal 344 Criminal Wetboek voor het Koninklijk Holland (KUHP Belanda) yang mengatur perzinahan sebagai sutau perbuatan yang terlarang dan dapat diancam pidana.

Semula saat Wetboek van Strafrecht (KUHP) itu dibentuk, perzinahan tidak dimasukkan ke KUHP sebagai sebuah delik (kejahatan). Akan tetapi atas usul Mr. Modderman, perzinahan dimasukkan sebagai salah satu perbuatan yang terlarang dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Alasan yang dipakai Mr. Modderman adalah apabila perzinahan itu tidak diatur dalam WvS dikhawatirkan akan mendatangkan kerugian bagi kesusilaan.

Atas usul Modderman itu, kemudian perzinahan dicantumkan sebagai salah satu delik kesusilaan di dalam WvS yang sedang dibentuk. Dengan demikian wanita diberi kedudukan yang sama dengan pria yaitu bukan hanya berkedudukan sebagai subyek dari tindak pidana perzinahan akan tetapi berkedudukan pula sebagai pihak yang sama. Artinya, pihak wanita berhak pula mengajukan pengaduan dan gugatan perceraian jika perbuatan itu dipandang perlu baginya.

Dengan mengikuti makna “overspel” yang menempatkan unsur “zinah” sebagai salah satu terikat perkawinan maka menimbulkan problema di masyarakat Indonesia.

Lalu bagaimana apabila adanya hubungan yang dilakukan “bukan terikat perkawinan” ? Atau dengan kata lain “pelaku” dalam keadaan bebas (lajang).

Dalam alam pikiran Eropa, hubungan antara orang dalam keadaan bebas (lajang) adalah tidak terikat kepada hukum. Sehingga perbuatannya tidak dapat dihukum. Bahkan di kalangan kaum barat pandangan ini biasa dikenal “samenliven”. Indonesia sering menyebutkan “kumpul kebo” atau “gendak” atau “gundik”. Yang tidak terikat perkawinan. Kesemuanya tidak dapat dihukum berdasarkan kepada pasal 284 KUHP.

Menurut Mr. J. E Jonkers, 1946, overspel dikategorikan sebagai “niet-klachtdelict” (Delik aduan bersifat absolut). Waar de wet dezen toestand aanwezig achtte — intusschen kan men hierover met den wetgever van meening verschillen — heeft zij het delict tot een klacht-delict gemaakt en de vervolging afhankelijk gesteld van een door of namens den gelae- deerde in te dienen klacht. Voorbeelden van klacht-delicten zijn. overspel (art. 284 W. v. S.).

Jadi yang berhak melaporkan adalah “pihak lain yang terikat perkawinan (bisa suami atau istri dari pelaku). Begitu pentingnya menempatkan “niet-klachtdelict” adalah penghormatan terhadap pihak perempuan sebagaimana semangat didalam memasukkan pasal 284 KUHP.

Dengan demikian maka pemberitaan terhadap “tertangkap basah dua muda-mudi” atau “tertangkap basah seorang pria berkeluarga dengan seorang perempuan bukan istrinya” tidak dapat dikategorikan sebagai “perbuatan zinah (overspel/gundik/gendak) sebagaimana diatur didalam pasal 284 KUHP. Sehingga penyidik tidak dapat memproses secara hukum. 

Tidak salah kemudian ketika “pasangan yang tertangkap basah” diarak dimuka kampung namun kemudian hanya diminta buat surat pernyataan didepan penyidik dan tidak dapat diproses ke muka pengadilan.

Dalam perkembangannya, pasal ini banyak menimbulkan persoalan sosial di tengah masyarakat. Keenganan penyidik untuk memproses selain tidak dibenarkan menurut pasal 284 KUHP dan bersifat klachtdelict kemudian sering menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat.

Terlepas pasal ini kemudian “diperbaiki” didalam rumusan RUU-KUHP yang tengah digodok di parlemen, berbagai Perda kemudian menetapkan sebagai “tindak pidana ringan’. Sehingga pelaku tetap dapat diproses dan dijatuhi denda.

Baca : RUU Pornografi

Advokat. Tinggal di  Jambi

opini musri nauli : Batin III Ilir



Masyarakat mengenal sebagai Batin III. Tidak mengenal Batin III Ilir. Disebut Batin III terdiri dari tiga dusun asal. Yaitu Dusun Air Gemuruh, Dusun Teluk Panjang dan Dusun Tanjung Menanti. Masing-masing dipimpin oleh pemangku Dusun yang disebut Datuk Rio. Sehingga dikenal Datuk Rio Air Gemuruh, Datuk Rio Teluk Panjang dan datuk Rio Tanjung Menanti. Berpusat di Kampung Baru. Kemudian diberi gelar Rio Peniti Ulu Bungo (Kampung Baru). Ulu Bungo atau Kampung Baru kemudian dikenal sebagai nama tempat Muara Bungo. Pusat Pemerintahan Kabupaten Bungo.


Dahulu tempat di ulu Bungo adalah “tempat umo” yang disebut “umo jajah”. Tempat ini adalah tempat umo dari orang Dusun Lubuk Masam. Sehingga apabila ke Ulu Bungo disebut “ku umo”. Sedangkan balik ke Lubuk Masam kemudian dikenal “balik ke dusun”.

Kampung Lubuk, Lubuk Masam dan Kampung Manggis adalah Dusun Ulu Bungo. Kemudian ditempat “umo jajah” sebagai perkampungan kemudian dikenal sebagai Tanjung Gedang. Tanjung Gedang sering juga disebut sebagai Anaka kandung dari Dusun Manggis. Dusun Kampung Manggis dan Dusun Tanjung Gedang dipimpin oleh Mangku. Mangku adalah pemangku Kampung dibawah pemerintahan Rio.

Atau dengan kata lain, masyarakat berasal dari Kampung Manggis dan “berhumo” di Tanjung Gedang.

Selain itu juga di Ulu Bungo adalah tempat “Nunggu Rajo’. Tempat “Nunggu Rajo” adalah pelabuhan yang biasa disinggahi oleh Raja dari Jambi. Tempat ini terletak Sungai yang membentang antara Dusun Tanjung Gedang dengan Dusun Tanjung Menanti.

Semakin ramainya “umo jajah” dan terjadinya tukar menukar barang sehingga tempat ini kemudian sering dijadikan pasar mingguan (Kalangan). Yang diadakan setiap sabtu sore.

Pesatnya “umo jajah” selain dilintasi oleh batang Tebo dan Batang Bungo yang dialiri air sehingga memudahkan pusat perdagangan. Baik kapal-kapal yang besar hingga hasil panen di tepi batang Tebo dan batang Bungo. Sehingga dengan demikian maka Raja Jambi kemudian menempatkan Rio Peniti yang berpusat di Kampung Baru di Ulu Bungo. Tempat inilah yang kemudian dikenal sebagai tempat Muara Bungo.

Penyebaran masyarakat Tanjung Gedang kemudian ditemukan di Talang Pantai, Sungai Arang. Dalam kekerabatan maka tidak dibenarkan perkawinan antara orang Tanjung Gedang dan Rantau Duku.

Berbatasan langsung dengan Marga Pelepat ditandai dengan Benit. Batin II Babeko di Lubuk Kulim di Danau di daerah Tanjung Menanti, Batin VII di Sungai Tembang dusun Tanjung Agung.

Batin III Ilir kemudian menjadi Kecamatan Batin III dan kecamatan Bungo Dani dan Kecamatan Pasar Muara Bungo. Kecamatan batin III terdiri dari Kelurahan Manggis, Kelurahan Bungo Taman Agung Kelurahan Sungai Binjai, Dusun Lubuk Benteng, Dusun Air Gemuruh, Dusun Purwo Bakti, Dusun Sarana Jaya, Dusun Teluk Panjang. Sedangkan Kecamatan Bungo Dani terdiri Kelurahan Sungai Pinang, Kelurahan Sungai Kerjan, Dusun Sungai Arang, Dusun Talang Pantai, Dusun Pulau Pekan.

Sedangkan Tanjung Gedang kemudian masuk kedalam Kecamatan Pasar Muara Bungo bersama-sama dengan Kelurahan Batang Bungo, Kelurahan Bungo Barat, Kelurahan Bungo Timur,  Kelurahan Jaya Setia.
  
Sedangkan Dusun Tanjung Menanti kemudian masuk kedalam Kecamatan II Babeko. Kecamatan II Babeko adalah Batin II Babeko. 


Catatan Rio dapat dilihat Machmud, A.S, Pedoman Adat Kabupaten Bungo. Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo, Muara Bungo. Indonesia, 2005

30 Oktober 2017

opini musri nauli : Makna Inlander dalam Hukum Belanda


Jejak Inlander dapat dilihat didalam pasal 131 Indische Staatsregeling (IS). Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) kemudian diteruskan didalam Pasal 163 IS yang membagi penduduk di Hindia Belanda menjadi tiga Golongan penduduk, yaitu : Penduduk golongan Eropa, Penduduk golongan Timur Asing dan penduduk Golongan pribumi (Bumi Putera).

opini musri nauli : Batin VI Mandiangin




Disebut Batin VI Mandiangin terdiri dari 6 Dusun Asal. Dusun Muara Ketalo, Dusun Kertopati, Dusun Mandiangin, Dusun Rangkiling, Dusun Gurun Tuo Dan Dusun Gurun Mudo. Batin VI Mandiangin berpusat di Mandiangin. Setiap Dusun dipimpin oleh Seorang pemangku Dusun yang disebut Depati. Di bawah Depati adalah Punggawa.

Kata Mandiangan juga terdapat di Musi Rawas. Kabupaten yang langsung berbatasan dengan Kabupaten Sarolangun.

Sehingga Sejarah kedatangan berasal dari Beringin Teluk dari Mandiangin di Musi Rawas. Mereka kemudian menyebar ke Muara Ketalo, ke Dusun Kertopati, menetap di Mandiangin,

Sedangkan Dusun Rangkiling mengaku keturunan dari Serampas. Salah satu marga yang termasuk kedalam Luak XVI (Marga Serampas, Marga Sungai Tenang, Marga Peratin Tuo, Marga Tiang Pembarap, Marga Renah Pelaan dan Marga Senggrahan). Terletak di dataran tinggi Bangko.

Sehingga Disebut Dusun Muara Ketalo adalah Dusun yang terletak di Muara Ketalo. Sedangkan Kertoparti adalah keturunan yang diperkiran dari Kertopati. Nama Kertoparti adalah nama tempat di Palembang.

Pengakuan yang berasal dari Beringin Teluk, Mandiangin, Musi Rawas dapat ditemui dalam berbagai dialek yang berbeda dengan masyarakat Jambi pada umumnya. Sehingga jejaknya masih diketahui berasal dari Sumsel.

Cerita berasal dari Rawas juga terjadi di Dusun Batu Ampar. Cerita berasal dari Rawas menimbulkan berbagai versi.

Barbaya Watson Andaya menyebutkan “ikrar” masyarakat yang kemudian memilih untuk “berajo” kepada Sultan Palembang dan kemudian bagian dari daerah uluan Musi adalah ketegangan antara Kerajaan Jambi dengan kerajaan Palembang.

Daerah hulu Tembesi, Merangin dan Hulu Batanghari terlalu jauh dari Ibukota. Namun aliran ke Sungai Musi. Bahkan Merangin terkenal sebagai penghasil merica.

Berbeda dengan Sungai Batanghari yang kemudian mengalir ke hilir Jambi sehingga menjadi kontrol Raja Jambi.

Namun cerita berasal Rawa kurang dikenal di Batu Ampar. Desa Batu ampar merupakan kampong tertua sejak 1889, sebelum berada di Muaro Merangin dengan sebutan dusun Balai Melintang di pimpin oleh depati Gelar singo delago.

Mengenai Dusun Guruh Tuo dan Dusun Guruh Mudo mempunyai banyak versi. Menurut  Survey Sebaran Suku Anak Dalam, AMAN Wilayah Jambi, 2012, Dusun Sepintun, Dusun Lamban Sigatal, Dusun Lubuk Napal, Dusun Seko Besar, Dusun Guruh Baru dan Dusun Taman Bandung termasuk kedalam Marga Telisak Sekamis Batin Sembilan. Tahun 1926 kemudian bergabung ke Marga Simpang Tiga Pauh.

Namun menurut Ketua Lembaga Adat Kecamatan Pauh, Dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga Simpang III Pauh adalah Dusun Pauh, Batu Ampar, Karang Mendapo, Pangindaran, Batu Kucing, Kasang Melintang, Pangkal Bulian, Samaran, Lubuk Napal, Sepintun, Lamban Sigatal.

Dengan demikian maka Dusun-dusun yang semula termasuk kedalam Marga Telisak Kamis Batin Sembilan seperti Lamban Sigatal, Dusun Lubuk Napal, Dusun Sepintun kemudian masuk tergabung kedalam Marga Simpang III Pauh. Sedangkan Dusun Taman Bandung, Dusun Guruh Tuo dan Dusun Guruh Mudo termasuk kedalam Batin VI Mandiangin.   

Batin VI Mandiangin berbatasan dengan Marga Simpang III Pauh, Batin 24 di Durian Luncuk, Batin 5 berpusat di Matagual.

Wilayah Batin VI Mandiangin berbatasan dengan Marga Air Hitam. Yang ditandai dengan Tembo “Kebun nenas, Pematang kancil, Air Bekuak yang terletak di Dusun kasang Melintang. Terus ke Batu nangoi.

Dengan Marga Simpang III Pauh ditandai dengan daerah “Semapit besar” di Sungai Itam. Dan langsung berbatasan dengan Propinsi Sumatera Selatan yang ditandai dengan Sungai Kapas dan Batang Merekeh.

Dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat, batas Jambi - Sumsel biasa disebut didalam Tembo “Sialang belantak besi”.

Dusun-dusun Batin VI Mandiangin kemudian berkembang menjadi Dusun Guruh Baru, Dusun Buntang Baru, Dusun Petiduran Baru, Dusun Jati Baru, Dusun Meranti Baru, Dusun Meranti Jaya. Dan kemudian berkembang menjadi Kecamatan Mandiangin yang terdiri dari Desa Bukit Peranginan, Desa Butang Baru, Desa Guruh Baru, Desa Guruh Mudo, Desa Gurun Tuo, Desa Gurun Tuo Simpang. Desa Jati Baru, Desa Jati Baru Mudo, Desa Jernang Baru, Desa Kertopati, Desa Kute Jaye, Desa Mandiangin, Desa Mandiangin Pasar, Desa Meranti Baru, Desa Meranti Jaya, Desa Muara Ketalo, Desa Pemusiran, Desa Petiduran Baru, Desa Rangkiling, Desa Rangkiling Simpang, Desa Simpang Gurun Tuo, Desa Simpang Kertipati, Desa Suka Maju, Desa Sungai Butang, Desa Sungai Rotan, Desa Talang Serdang dan Desa Taman Dewa.

28 Oktober 2017

opini musri nauli : Koto Sebagai Simbol Pertahanan


Dalam menyusuri perjalanan ke berbagai tempat di Jambi, penamaan “Koto” menunjukkan jejak peradaban. Koto adalah simbol penghormatan terhadap leluhur sekaligus sebagai benteng pertahanan.

27 Oktober 2017

opini musri nauli : SESAT PIKIR MEMANDANG GAMBUT - Catatan Hukum Putusan MA tentang Gambut


Dunia hukum geger. Permohonan pengajuan keberatan terhadap berlakunya peraturan (hak judicial review) yang diajukan oleh DPD RIau - KSPSI) kemudian dikabulkan Mahkamah Agung yang amarnya  "Menyatakan Pasal 1 angka 15 d, Pasal 7 huruf d, Pasal 8A, Pasal 8B, Pasal 8C ayat (1), Pasal 8D huruf a, Pasal 8E ayat (1), Pasal 8G dan Pasal 23A ayat (1) Peraturan Menteri LHK Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,”

26 Oktober 2017

opini musri nauli : Buku Putih Orang Rimba Bukit 12


Akhir-akhir ini pembicaraan mengenai Orang Rimba Bukit 12 menarik perhatian publik. Kedatangan Jokowi menemui SAD dari kelompok Ninjo dan kelompok Tumenggung Grip termasuk dengan Tumenggung Tarib akhir tahun 2015 membuat berita tentang Orang Rimba menjadi pembicaraan nasional. (Detik, 2 November 2015).

opini musri nauli : NEGARA MENGURUSI PERIBADATAN


Ketika saya menemukan sebuah peristiwa peribadatan yang diposting di Facebook lengkap dengan “anjuran” dari Kepala Daerah, pertanyaan menggelitik seketika mengemuka. Apakah “diperlukan” campur tangan negara” didalam mengatur tentang peribadatan ?

25 Oktober 2017

opini musri nauli : Marga Air Hitam


Disebut sebagai Marga Air hitam adalah sungai yang berwarna air hitam. Sungai air hitam mengelilingi Marga dan mengitari Dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga Air Hitam. Pusat Marga terletak di Lubuk Kepayang.

Adapun dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga Air Hitam adalah Dusun Lubuk Kepayang, Dusun Baru, Dusun Semurung, Dusun Jernih Tuo dan Dusun Lubuk Jering.

Kisah rakyat tentang Marga Air Hitam tidak dapat dipisahkan dari cerita rakyat tentang Orang Kayo Hitam. Orang Kayo hitam adalah putra dari Datuk Paduko Berhalo. Datuk Paduko berhalo sering disebut sebagai orang yang meneruskan kerajaan Tanah Pilih. Saudara Rang Kayo Hitam adalah Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran dan Orang kayo Gemuk.

Orang Kayo hitam adalah Kemenakan Tumenggung Merah Mato. Tumenggung Merah Mato berasal dari Pagaruyung. Istri Tumenggung Merah Mato disebut Susu Tunggal. Disebut sebagai Susu Tunggal karena menurut legenda, setiap menyusu putranya, putranya selalu meninggal. Akhirnya diperah air susu dan diberikan anjing. Melihat anjing mati maka salah satu susunya mengandung racun. Sejak itu disebut Susu Tunggal.

Lubuk Kepayang berasal dari tempat Lubuk yang terdapat buah kepayang. Buah kepayang berupa sejenis asam belimbing yang dicampurkan dengan gulai dan ditambah daging. Apabila tidak tepat penyajiannya, maka akan menimbulkan seperti mabuk. Pusing-pusing kepala.

Istilah Kepayang sering didalam perumpamaan. “Mabuk kepayang” adalah orang yang sedang jatuh cinta. Sehingga tempat pemukiman yang terdapat buah kepayang kemudian dikenal dengan nama Lubuk Kepayang.

Sedangkan disebut Dusun Jernih Tuo dimana dusun terdapat sungai yang jernih. Penamaan Tuo adalah Dusunnya adalah termasuk dusun Tuo. Sehingga penamaan kemudian disebut Dusun Jernih Tuo.

Sedangkan Dusun Lubuk Jering adalah tempat (lubuk) yang terdapat pohon jering. Jering adalah istilah yang digunakan masyarakat di Jambi untuk penamaan jengkol. Sehingga Lubuk Jering adalah Lubuk yang terdapat pohon jengkol (jering).

Marga Air Hitam dipimpin seorang pesirah. Setiap Dusun kemudian dipimpin Kepala Dusun. Namun dengan penamaan yang berbeda-beda antara satu dusun dengan dusun yang lain. Untuk pemangku Dusun Lubuk Kepayang diberi gelar Penghulu. Pemangku Dusun Baru disebut Menti. Untuk pemangku Dusun Semurung adalah Patih. Sedangkan pemangku Dusun Jernih Tuo dan Dusun Lubuk Jering diberi gelar Rio.

Lubuk Kepayang disebut “Penghulu” karena Desanya adalah penghulu. Penghulu artinya “keduluan”. Atau Dusun pertama.

Sedangkan Dusun Baru disebut “Menti” karena Dusun Baru dikenal sebagai tempat pemberhentian.

Penggabungan antara Penghulu, Menti, Patih, Rio adalah keunikan tersendiri dari marga Air Hitam. Istilah penghulu dikenal di Marga-marga yang terletak di daerah hilir Jambi. Seperti Marga Kumpeh Ulu, Marga Kumpeh, Marga Jebus.

Sedangkan istilah menti adalah perangkat dari Pemangku Dusun di Marga Sumay. Jadi kedudukan menti dibawah kepala Dusun. Dibawah Penghulu/Menti/Patih/Rio adalah Punggawa.

Istilah patih hanya dikenal di Dusun Simarantihan. Dusun simarantihan termasuk kedalam Marga Sumay. Selain itu praktis tidak dikenal istilah patih. Dusun Simarantihan kemudian menginduk kepada Desa Suo-suo, Kecamatan Sumay, Tebo.

Sedangkan istilah Rio berbeda-beda penggunaannya. Didalam Luak XVI, Depati membawahi Rio atau Mangku. Misalnya Depati Suko Merajo yang membawahi “Rio Penganggung jagobayo di Tanjung Mudo, Depati Gento Rajo yang membawahi “Rio Pembarap” dan “Rio Gento Pedataran”. Depati Kuraco membawahi Rio Kemuyang.

Begitu juga di Marga Senggrahan. Marga Senggrahan yang terdiri dari Dusun Kandang, Dusun Lubuk Beringin, Dusun Lubuk Birah dan Dusun Durian Rambun. Setiap pemangku Dusun kemudian diberi gelar Depati. Kecuali Dusun Durian Rambun yang diberi gelar rio. Disebu Rio Kemunyang yang kemudian dilekatkan dengan Nama Hutan Desa.

Didalam dokumen Tideman didalam buku klasiknya “Djambi” menyebutkan Rio dan Depati di wilayah dusun. Sedangkan Elizabeth “Rio” di tingkat Marga, sedangkan Depati di tingkat dusun didukung oleh dokumen Tijdschrift voor Nederlandsch Indië.

Namun berbeda di berbagai Marga didalam dusun. Depati membawahi Dusun dengan dibantu “Rio” di Kampung.

Didalam catatan lain ditemukan, “Rio” adalah Kepala Pemerintahan Margo. “Rio” merupakan Putra Asli. Pernyataan ini didukung oleh Elizabeth justru menyebutkan “Rio pemimpin di tingkat Marga. Depati di tingkat Dusun”. Bandingkan dengan Keterangan F. J. Tideman yang menganggap “Rio” adalah Kepala Pemerintahan setingkat Dusun.

Didalam Marga Sumay disebutkan yang menyatakan “Margo adalah kepala Pemerintahan. Pesirah merupakan orang semendo. Rio merupakan putra asli.  Sedangkan Depati dan Bathin merupakan Kepala Pemerintahan di tingkat Dusun. Depati merupakan orang semendo. Bathin merupakan putra asli.

Sedangkan menurut F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Dusun adalah kumpulan kampung atau kelabu. Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan gelar Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman).

Dengan melihat keterangan yang disampaikan oleh Khatib Karim dan F. J Tideman, maka ada perbedaan yang mendasar mengenai istilah “Rio”. Khatib Karim menyatakan “Rio” adalah Kepala Pemerintahan Margo. “Rio” merupakan Putra Asli. Bandingkan dengan Keterangan F. J. Tideman yang menganggap “Rio” adalah Kepala Pemerintahan setingkat Dusun.

Dalam penjelasan lebih lanjut F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar diterangkan, “Kepala-kepala Adat di Kesultanan – Federasi, dusun, kampung menggunakan berbagai macam-macam gelar, seperti Rio, Rio Depati, Rio Pamuncak, Tumenggung, Depati, Kedenang, Lurah, Penghulu, Mangku. Mereka memiliki wewenang pelaksanaan hukum besar atau hukum kecil.

Di  Kabupaten Bungo, penggantian Nama Desa menjadi “dusun” dan Kepala Desa menjadi “rio”.

Didalam Marga/batin di Jambi, hanya Marga Air Hitam dikenal sebagai Tanah Bejenang.
Istilah Jenang adalah penamaan dari “orang yang dipercaya” dari Tumenggung yang Orang Rimba yang terdapat di Taman Nasional Bukit Dua Belas.

Sehingga Tanah bejenang diartikan sebagai tempat yang dipercaya orang Rimba dari Bukit Dua Belas untuk bertemu, berdagang hingga mengadakan berbagai aktivitas sosial lainnya.

Penamaan Tanah bejenang kemudian dipadankan seperti “tuo kampung, tanah bejenang, rajo bepenghulu, negeri bebatin.

Wilayah Marga Air berbatasan dengan Marga Batin 6 Mandiangin. Yang ditandai dengan Tembo “Kebun nenas, Pematang kancil, Air Bekuak yang terletak di Dusun kasang Melintang. Terus ke Batu nangoi.

Kemudian berbatasan dengan Sungai Ruan yang ditandai dengan daerah Kejasung. Di daerah tabir berbatasasn dngan Muara Delang. Sedangkan Pamenang berbatasan dengan Ulu Mentawak. Ulu Mentawak berbatasan dengan Dusun Empang Benao. Dusun Empang Benao dan Pamenang dikenal termasuk kedalam Marga Batin IX Ilir. Sedangkan batas dengan Merangin (Bangko) ditandai dengan “Jelatang”.

Perbatasan Marga Air Hitam dengan Marga Maro Sebo Ulu, Marga Simpang Tiga Pauh dan Marga IX Ilir telah disesuaikan dengan penggalian Marga di Marga di Maro Sebo Ulu , Marga Simpang Tiga Pauh dan Marga IX Ilir.