07 November 2008

opini musri nauli : RUU Pornografi dan Persepsi Kita tentang Porno




Akhirnya RUU Pornografi telah ditetapkan. Terlepas dari pro dan kontra, RUU Pornografi ternyata telah menyita Pemerintah didalam issu yang menarik perhatian. RUU Pornografi telah memberikan porsi yang cukup luas selain juga RUU Pemilihan Presiden. 
Konsentrasi RUU Pornografi ternyata telah membelah barisan yang menyetujui dan menolak. Stigmapun berkembang. 

Pendukung RUU Pornografi memandang, issu tentang terjadinya persoalan kekerasan sexual di tengah masyarakat, didukung oleh informasi bebas yang memberikan ruang yang tidak terbatas. 

Sementara yang menolak berlakunya RUU Pornografi, persoalan pokok yang menyebabkan terjaddinya masalah yang berkaitan tentang persoalan sexual tidak dapat diselesaikan dengan berlakunya RUU Pornografi. 

Tapi kepada persoalan sosial di tengah masyarakat itu sendiri. Justru dengan berlakunya RUU Pornografi, menghilangkan kebhinekaan Tunggal Eka yang mempunyai ciri khas sebagai negara besar yang menghargai pluralisme di tengah masyarkat. 

Bahkan, dengan berlakunya RUU Pornografi mematikan budaya lokal yang tidak ada hubungan dengan masalah sosial di tengah masyarakat. 

Sebagai penulis yang mempunyai latar belakang ilmu hukum, penulis sangat menyesalkan dengan berlakunya RUU Pornografi. 

Terlepas dari masalah sosial dan masalah yang terjadi, menurut penulis, masalah pokok dengna berlakunya RUU Pornografi justru menimbulkan persoalan dilihat dari prinsip hukum Pidana, pembuktian dan nilai keadilan di tengah terjadi tengah masyarakat. 

Berangkat dari pemikiran itu, maka penulis ingin rembug membahasnya. Apabila kita perhatikan dari berlakunya sebuah peraturan (dapat dibaca UU), maka diharapkan rakyat dapat mematuhi hukum. 

Hukum tidak mempunyai makna, apabila ternyata tidak dipatuhi. Terlepas dari persoalan sebagaimana yang disampaikan oleh Friedman untuk melihat dapat berlakunya hukum, yaitu dilihat dari materi, struktur dan budaya hukum, maka dengan berlakunya RUU Pornografi, mengingatkan kepada berlakunya UU seperti UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalulintas. 

Walaupun UU itu ternyata telah berlaku secara formal, namun penolakan masyarakat masih kuat. 

Hukum itu ternyata secara materiil tidak dipatuhi sampai sekarang. UU itu pada awalnya menimbulkan penolakan yang luar biasa sehingga secara nasional, justru dengan berlakunya UU menimbulkan protes yang kemudian tidak berlaku secara effektif. 

Sebagai contoh, UU Perkawinan yang menyatakan, sahnya perkawinan dilakukan menurut agama yang dianutnya, namun dinyatakan secara resmi apabila telah dicatat oleh negara. Kita megetahui, bagaimana effektif berlakunya UU itu. 

Hampir praktis, masih banyak perkawinan yang tidak dicatat oleh negara. Selain itu juga, Perkawinan yang menghebohkan Syeh Budi dengan perempuan yang berumur 12 tahun membuktikan, bahwa tenyata UU tidak dipatuhi. 

Belum lagi yag berkaitan dengan UU No. 1 tahun 1974 tentang Poligami Kita juga masih ingat dengan penolakan berlakunya UU No. 14 tahun 1992 Tentang Lalulintas Penolakan yang besar menyebabkan berlakunya UU itu sempat ditunda berlakunya (dipending) dan sampai sekarang tidak pernah diterapkan UU itu dengan ancaman sesuai dengan UU. A

rtinya, UU ini tidak diterapkan sebagaimanaa mestinya. Kedua UU itu mengingatkan kepada kita semua, walaupun sebuah UU telah berlaku, apabila tidak dipatuhi masyarakat, maka sebenarnya itu hanyalah lembaran kertas yang tidak dapat dihormati masyarakat apabila diharapkan masyarakat dapat mematuhinya 

Sebelum penulis menguraikan pokok-pokok pikiran penulis membahas tentang RUU Pornografi, penulis mendasarkan kepada teori kesalahan dan pertanggungjawaban dan asas kepastian hukum. 

Sehingga untuk melihat daripada UU maka dapat ditemukan nilai keadilan sebagai pondasi penting terhadap ilmu hukum pidana. 

Sebelum penulis membahas tentang RUU Pornografi dilihat dari ilmu hukum pidana, pembuktian dan nilai keadilan dari RUU itu, penulis akan mencoba melihat tujuan dengan berlakunya RUU Pornografi. 

Dilihat dari pertimbangan dan tujuan RUU ini, maka dengan berlakunya RUU Pornografi, diharapkan dapat mencegah terjadinya masalah maksiat secara meluas. 

Mari kita lihat apakah alasan ini dapat diterima dengan pemikiran yang jernih. Apakah terjadinya masalah sexual seperti free sex, kekerasan sexual dan yang berkaitan dengan pornografi dikarenakan tidak adanya UU yang mengatur itu. 

Apakah KUHP tidak dapat menjangkau dan memberikan perlindungan. Apabila alasan itu digunakan, maka kita sebenarnya keliru besar. 

Berbagai rumusan didalam KUHP sudah memberikan porsi yang cukup untuk menghukum pelaku yang berkaitan dengan pornografi. 

Persoalan yang terjaddinya, menurut penulis disebabkan aparatur penegak hukum yang tidak secara konsisten menerapkan berlakunya berbagai aturan yang telah ditetapkan dalam KUHP. 

Dengan demikian, masalah itu sebenarnya disebabkan karena tidak diterapkan hukum itu secara konsekwen. Mari juga kita lihat dengan telah berlakunya UU Tentang Informasi dan Transaksi Elektonika yang bertujuan untuk menghapus pornografi di dunia maya. 

Apakah dengan telah ditetapkannya UU itu, maka persoalan pornografi didunia maya telah selesai. Kita tentu saja menjawabnya secara gampang, UU Tentang Informasi dan Transaksi Elektronika sama sekali tidak dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan dunia maya. 

Sekarang mari kita lihat rumusan yang ada didalam RUU Pornografi. Apabila kita perhatikan RUU Pornografi maka kita dapat menyatakan bahwa RUU Pornografi tidak sesuai dengan teori kesalahan dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Kata-kata seperti “mempertontonan telanjang” mempunyai makna yang tidak seragam dan dapat menimbulkan persoalan didalam menerapkan. 

Apakah Orang Rimba yang sehari-hari berpakaian tidak sama dengan kita akan dapat diterapkan dengan RUU Pornografi ? 

Waduh. Keterlaluan, memaksa Hukum yang tidak mempunyai dasar itu dengan budaya dan bertentangan dengan segala pernik yang berkaitan dengan alam pikir orang Rimba. 

Apakah hukum sudah sangat keterlaluan apabila hal-hal yang berkaitan dengan pakaian harus diatur dengan norma negara. 

Dengan kata lain, apakah yang berkaitan dengan norma-norma kesusilaan, norma agama dan adat istiadat yang semestinya tidak sama antara berbagai daerah kemudian “dipaksa” oleh hukum negara. 

Apa arti penghormatan kepada budaya dengan mengabaikan perbedaan budaya harus diselesaikan oleh negara. 

Hukum ternyata tidak berpihak dan lebih mengedepankan sebagai alat represif. Hukum dijadikan alat untuk menekan kelompok minoratis yangn kalah bertarung secara politik di parlemen. 

RUU Pornografi telah membuktikan, kelompok mayoritas menggunakan tangan negara dan menciptakan tirani mayoritas. 

Tidak ada ada lagi penghormatan. Semua harus seragam dengan pola pikir alam modern yang sebenarnya jauh dari akar budaya yang menghargai pluralisme. Berangkat dari pemikiran itu, maka didalam pembuktian dalam melihat kesalahan dari pelaku akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebuah asas pondasi penting dalam hukum pidana. Apakah dapat diterapkan hukum yang berdasarkan asumsi-asumsi sepihak. Ukuran “mempertontonkan telanjang” tiap-tiap daerah berbeda-beda. Di Bali dengan budayanya, berpakaian adat di Bali akan bertentangan dengan ukuran “telanjang” di Aceh atau daerah-daerah yang mayoritas muslimin. Ukuran tentang “telanjang” juga berbeda-beda di berbagai tempat. Apakah perempuan yang mandi di tepi sungai dapat “dituntut” dimuka persidangan ?. Logika hukum tidak memberikan kepastian hukum dan juga bertentangan dengan logika umumnya yang masih menimbulkan multitafsir. Dengan demikian, maka ukuran selain tidak menimbulkan kepastian hukum juga mengakibatkan ketidakadilan. 

Ukuran yang digunakan yang berbeda-beda tiap-tiap daerah menyebabkan pelaksanaan unsur “telanjang” juga berbeda-beda. 

Dengan demikian, maka dapat dinyatakan bahwa unsur “telanjang” menjadi tidak seragam dan sulit dibuktikan di berbagai daerah. 

Bahkan dapat juga dikatakan, adanya kecendrungan keengganan aparatur penegak hukum untuk menerapkan RUU Pornografi itu.

 Namun dari seluruh paparan yang telah penulis sampaikan, RUU Pornografi dilahirkan dari konsepsi berfikir yang tidak tepat melihat akar persoalan. Pornografi memang telah memberikan dampak buruk di tengah masyarakat. 

Berbagai studi membuktikan, pornografi telah menyita dan menimbulkan persoalan dan berbagai penyakit di tengah masyarakat. 

Hasil studi ini tentu saja sudah dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hasil studi ini dapat diterima apabila dilihat di sekitar kita. Namun mempersamakan pornografi dengan persoalan budaya adalah keliru besar. 

Pemberantasan pornografi harus dilihat dari akar masalah. Apakah informasi yang sangat deras harus dibendung oleh sistem hukum negara. Menurut penulis, tidak tepat. Informasi yang deras baik melalui media massa termasuk internet adalah dampak dari informasi. Masih banyak manfaat positif dari deras informasi yang beredar di tengah termasuk internet. Yang bisa kita lakukan melakukan filter terhadap informasi yang beredar. 

Justru menjadi rancu dan sangat tidak tepat, mempersamakan persoalan pornografi dengan budaya lokal yang berkaitan dengan ukuran-ukuran yang berbeda-beda. Budaya di Indonesia merupakan akar yang berbeda dengan alam pikiran anggota parlemen. 

Sehingga alam pikiran anggota parlemen yang berpikiran berbeda dengan budaya lokal yang memandang ukuran “telanjang” dan mempersamakan persoalan pornografi dengan budaya lokal. 

Maka selain makna kata-kata “telanjang” yang berbeda-beda tiap daerah mengakibatkan didalam pembuktian unsur “telanjang” menjadi tidak seragam. 

Pembuktian unsur “telanjang” tentu saja menimbulkan tafsiran yang beragam dan multitafsir sehingga unsur “telanjang” sulit dibuktikan. Bahkan aparatur penegak hukum di daerah-darah seperti Bali, Yogyakarta, ataupun Kepolisian Bangko tidak dapat menerapkan unsur “telanjang” untuk melihat kesalahan pelaku. 

Perbedaan tafsiran dan menimbulkan persoalan di tengah masyarakat mengakibatkan hukum pidana tidak dapat menjangkau pelaku yang diduga dan dituduh sebagian kalangan melakukan perbuatan “telanjang”. 

Sebagian kalangan termasuk kalangan seni justru unsur “telanjang” tidak dapat diterapkan dalam kasus-kasus itu. 

Perbedaan ini justru menimbulkan perpecahan di tengah masyaarakat. Upaya partisipasi masyarakat mendukung RUU Pornografi berbenturan dengan aparatur penegak hukum yang tidak menerapkan RUU Pornografi. 

Selain itu juga apabila aparatur penegak ingin menegakkan RUU Pornografi justru akan berhadapan dengan sebagian masyarakat yang menganggap hukum ternyata diskriminasi dan bertentangan dengan nilai-nilai di tengah masyarakat. 

Dengan kata lain, hukum menjadi tidak pasti. Hukum hanyalah asumsi-asumsi sepihak. Hukum adalah praduga-praduga yang tidak mendasar. Maka dengan demikian, tujuan hukum pidana tidak tercapai. 

Selain tidak terpenuhinya asas kepastian hukum, tidak tercapainya keadilan, maka hukum pidana sulit didalam pembuktian terpenuhinya unsur yang dituduhkan. 

Sudah seharusnya porsi negara harus lebih memprioritas kepada hal-hal langsung bersentuhan dengan persoalan dan kebutuhan riil di tengah masyarakat. 

Janganlah membuat aturan hukum yang justru menimbulkan ketidakpastian di tengah masyarakat. 

 Dimuat di Jambi Ekspress, 10 November 2008