Sebagai putusan hukum maka apresiasi tetap diletakkan sebagai bagian dari proses penghormatan negara hukum. Namun sebagai bahan kajian ilmu hukum, putusan MA menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.
Argumentasi hukum didalam pertimbangan MA meletakkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 (Permen LHK 17/2017) disandingkan dengan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dan UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (UU Tata Ruang) dapat dilihat dari dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan formal. Dan kedua adalah pendekatan materiil.
Isu hukum dari pendekatan formal adalah apakah Permen LHK 17/2017 mendapatkan delegasi dari UU Kehutanan ?. Sedangkan dari pendekatan materiil dilihat dari pendekatan apakah KLHK berwenang untuk mengatur materi tentang HTI di kawasan gambut ?
Dilihat dari ranah formal maka MA mempertimbangkan yang pada pointnya dinyatakan “Selanjutnya terkait dengan permohonan pemohon yang mempersoalkan mengenai apakah kawasan Ekosistem Gambut dapat dikategorikan sebagai kawasan hutan atau tidak, yang tunduk kepada UU No.41 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, menurut Mahkamah Fungsi pokok hutan tersebut bersifat limitatif, yang mengandung arti bahwa fungsi utama yang diemban oleh suatu hutan hanya pada konservasi, lindung dan produksi, bukan berfungsi tambahan sebagai ekosistem gambut.
Dengan demikian, perluasan makna “fungsi pokok hutan” dalam ketentuan pasal 1 angka 15 d PERMENLHK P.17/2017, yaitu dengan menambah fungsi yang diemban oleh suatu hutan menjadi ekosistem gambut, adalah nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 6 ayat 1 UU Kehutanan.
Selain dari pendekatan UU Kehutanan, MA juga mendasarkan kepada UU Tata Ruang. Pertimbangan ini dapat dilihat “Menimbang bahwa terkait persoalan yang diajukan Pemohon yakni apakah kewajiban pemegang IUPHHK-HTI untuk melakukan penyesuaian tata ruang IUPHHK-HTI sebagaimana yang dimaksud oleh ketentuan pasal 8 A ayat (1) dapat diterapkan atau tidak, menurut Mahkamah oleh karena Penataan ruang dalam ketentuan pasal 6 ayat (2) dan pasal 15 UU No 26 tahun 2007 bersifat imperatif, maka hal tersebut mengandung arti bahwa penataan ruang harus dilaksanakan, bukan dengan penyesuaian atau usulan revisi tata ruang sebagaimana yang dimaksud oleh ketentuan pasal 8 A ayat (1) Permen P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017.
Selanjutnya MA kemudian menjelaskan “Fungsi ekosistem gambut dalam ketentuan pasal 1 angka 15 d Permen P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 adalah bertentangan dengan Pasal 6 ayat 1 UU Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Perluasan fungsi hutan dalam ketentuan tersebut tidak sesuai dengan prinsip Lex Superior Derogate Legi Inferiori, yaitu suatu perundang- undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu bertentangan pula dengan prinsip hukum yang berlaku secara universal yakni prinsip Lex Certa, suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundangan (Lex Stricta), atau dengan kata lain prinsip suatu ketentuan atau perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan. Pertimbangan MA inilah yang kemudian mendasarkan didalam putusan akhir (vonis).
Membaca konstruksi pertimbangan MA maka menimbulkan kerancuan berfikir. Asas yang digunakan “lex superior derogat lex inferior” untuk “mematahkan” Permen LHK 17/2017 dengan UU Kehutanan dan UU Tata Ruang tidak tepat.
Dari pendekatan pertama, MA kemudian menyebutkan “Permen LHK 17/2017” tidak mengatur sesuatu yang bukan menjadi menjadi kewenangan Peraturan Menteri untuk mengaturnya dan juga tidak diperintahkan UU Kehutanan (ultra vires).
Konstruksi Permen LHK 17/2017 merupakan wewenang (delegasi) dari PP No. 57 Tahun 2016. Permen LHK 17/2007 telah menegaskan.
Sedangkan PP No 57 Tahun 2016 junto PP No. 71 Tahun 2014 merupakan wewenang (delegasi) dari Pasal 11, Pasal 12, Pasal 21 ayat (3) huruf f dan ayat (5), Pasal 56, Pasal 57 ayat (5), Pasal 75 dan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dengan demikian berdasarkan Pasal 1 angka (7) PP No. 57 Tahun 2016 maka Kementerian Lingkungan Hidup “mendapatkan wewenang (delegasi)” dari PP No. 57 Tahun 2016 junto PP No. 71 Tahun 2014.
Berdasarkan wewenang (delegasi) dari PP No. 57 Tahun 2016 junto PP No. 71 Tahun 2014 maka Kementerian Lingkungan Hidup dapat “melakukan penetapan wilayah ekoregion” dengan mempertimbangkan karakteristik bentang alam.
Baik penetapan fungsi lindung ekosistem gambut (Pasal 9 ayat 2 huruf a PP No. 57 Tahun 2016) maupun fungsi budidaya gambut (Pasal 9 ayat 2 huruf b PP No. 57 Tahun 2016). Termasuk penetapan kubah gambut (Pasal 9 ayat (3) dan ayat 4 PP No. 57 Tahun 2016).
Atau dengan kata lain, Kementerian Lingkungan Hidup berwenang menurut hukum (rechts bevoegd) untuk menetapkan kawasan dengan karakteristik (baca gambut).
Sehingga pertimbangan MA “Permen LHK 17/2017” tidak mengatur sesuatu yang bukan menjadi menjadi kewenangan Peraturan Menteri untuk mengaturnya dan juga tidak diperintahkan UU Kehutanan (ultra vires”) menjadi keliru.
Menempatkan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dengan UU Kehutanan adalah perumpamaan yang tidak tepat untuk diterapkan asas “lex superior derogat lex inferior”. Seharusnya MA mendasarkan Permen LHK 17/2017 disandingkan dengan PP No. 57 Tahun 2016 junto PP No. 71 Tahun 2014 junto UU No. 32 Tahun 2009.
Selanjutnya Kementerian Lingkungan Hidup berwenang menurut hukum (rechts bevoegd) kemudian “ditugaskan” PP No. 57 Tahun 2016 kemudian “berkoordinasi” dengan Menteri yang bertanggungjawab bidang kehutanan di kawasan hutan dan bidang sumber daya air dan penataan ruang di kawasan diluar kawasan hutan.
Dengan demikian maka penetapan perlindungan dan pengelolaan gambut dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup (Pasal 16 ayat (1) PP No. 57 Tahun 2016).
Membaca gambut harus dilihat dari pendekatan dan menempatkan UU No. 32 Tahun 2009 sebagai UU Payung (UU Payung (umbrella act, umbrella provision, raamwet, modewet).
Dalam praktek perundang-undangan, Indonesia sudah menerapkan berbagai peraturan dengan menempatkan kata “Pokok” sebagai pedoman UU payung ataupun penegasan didalam pasal-pasal tertentu.
UU No. 14 tahun 1969 adalah UU Pokok Tentang Tenaga Kerja yang kemudian dicabut dengan UU No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan. UU No. 25 Tahun 1997 kemudian melahirkan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
UU Pokok Kekuasaan Kehakiman juga sebagai UU Pokok berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman. UU No. 14 Tahun 1970 kemudian melahirkan UU UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, UU No. 5 Tahun 1986 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 51 tahun 2009 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, UU No. 8 Tahun 1989 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama dan UU No. 31 Tahun 1997 Pengadilan Militer.
UU Kepegawaian No. 8 tahun 1974 yang kemudian diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 menempatkan sebagai UU Pokok. UU ini kemudian diganti dengan UU No. 5 Tahun 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Begitu juga UU No. 5 Tahun 1974 yang kemudian dikenal sebagai UU Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini kemudian diubah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004. UU ini kemudian melahirkan UU No. 6 Tahun 2014.
Ataupun mekanisme hak menguji UU (judicial review), putusan MK menjadikan berbagai UU Pokok didalam mempertimbangkan permohonan terhadap UU.
Didalam memeriksa perkara No. 11 Tahun 2008 berkaitan dengan UU No. 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, UU No. 32 Tahun 2004 menjadikan batu uji untuk memutuskan perkaranya. Sehingga UU No. 29 Tahun 2009 tetap mendasarkan kepada UU No. 32 Tahun 2004.
UU No. 32 Tahun 2009 sebagai UU Payung (UU Payung (umbrella act, umbrella provision, raamwet, modewet) dapat dilihat didalam Makna pasal 44 dan penjelasan umum angka (5) UU No. 32 Tahun 2009. UU Lingkungan Hidup kemudian mengamanatkan sebagai UU Payung didalam perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga seluruh UU yang berkaitan dengan sumber daya alam kemudian harus memperhatikan ketentuan didalam UU No. 32 Tahun 2009. Makna ini kemudian dipertegas dengan menggunakan istilah “Ketentuan Lingkungan Hidup strategis” didalam UU No. 32 Tahun 2009.
UU Payung atau UU Pokok (umbrella act, umbrella provision, raamwet, modewet) tidak tepat disandingkan dengan asas “lex specialis derogate lex generalis”. UU Payung merupakan UU yang mengatur dengan issu hukum tertentu. Sehingga penerapan asas ini menjadi tidak relevan.
Dengan demikian maka batu uji MA (toetsingrecht) Permen LHK 17/2017 dengan UU Kehutanan dan UU Tata Ruang tidak dapat dibenarkan menurut hukum. Sehingga argumentasi MA didalam pertimbangan hukumnya tidak mendasarkan kepada praktek peraturan perundang-undangan.
Baca juga : Gambut dari pendekatan Etnografi dan "Hukum Kebakaran Hutan dan Lahan