02 Agustus 2016

opini musri nauli : istilah Marga di Jambi



8 Tahun terakhir ini, istilah “Marga” dan Batin sering “mengganggu” pikiran saya. Ketidaksengajaan menemukan istilah “Marga” bermula ketika mendampingi masyarakat yang menolak perusahaan HTI yang hendak “menghancurkan” kawasan hulu Batanghari.


Dengan runut masyarakat kemudian bertutur tentang sejarah keberadaan, wilayah bahkan tata cara mengelola termasuk melindungi kawasan sehingga terbukti masih terjaga baik.

Dalam menjelaskan tentang sejarah (tembo), maka istilah Marga kemudian sering disebutkan dan tidak dapat dipisahkan tentang sejarahnya. Dengan Tembo selain dapat menerangkan tentang “puyang”, juga “mengetahui” wilayah dan batas-batas Dusun satu dengan dusun yang lain dan batas Marga satu dengan yang lain.

Didalam menyelesaikan persoalan terutama mengenai batas-batas wilayah baik antara Dusun satu dengan yang lain maupun antara marga satu dengan yang lain, tembo merupakan “alat dan panduan sehingga dapat diselesaikan. Dengan tembo masyarakat kemudian berikrar dan menjadi identitas sebagai masyarakat hukum adat (rechtsgemeenshap).

Rasa penasaran itulah kemudian “memaksa” saya untuk menggali document untuk memperkuat “tembo” masyarakat. Dan dokumen yang tersedia baik di berbagai perpustakaan Belanda maupun di Amerika kemudian meyakini, sejarah Marga kemudian menjadi sejarah yang yang diwariskan turun temurun dalam tradisi “kenduri Pseko”.
Di tengah masyarakat, istilah Marga (margo) menjadi identitas yang khas sebagai perwujudan persekutuan masyarakat adat (rechtsgemeenshap). Namun berbeda dengan Marga seperti di Batak dan Minang yang berasal dari factor geneologis. Marga di wilayah Jambi berasal dari factor pertumbuhan persekutuan hukum teritorial.
Sejarah Margo ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Dari berbagai sumber disebutkan, marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Menurut Regeering Reglement (RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Nederland secara sentralistis. Daerah Nederlandse Indie dibagi dalam dua kategori besar yaitu daerah Indirect Gebied dan Direct Gebied. Daerah Indirect Gebied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa Batavia.
Daerah Direct Gebeid adalah yang diperintah secara langsung oleh Batavia secara hirarkis. Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah colonial Belanda Tertanggal 25 Desember 1862. Tapi, tahun 1928, pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing. Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan. 
Di Jambi sendiri, penetapan Marga berdasarkan Inlandshce Gemeente Ordonatie vor Buitengewestten (I.G.O.B) tahun 1937 (Lihat Budihardjo, Perkembangan ekonomi masyarakat daerah Jambi, 2001). Marga kemudian dijadikan “groep-gemeenschappen” menggantikan pemerintahan adat. Namun sebelum diberlakukannya I.G.O.B, di Jambi sudah dikenal pemerintahan setingkat dusun yang diakui berdasarkan Ordonasi Desa 1906.

Didalam dokumen-dokumen Belanda wilayah Jambi sebagai bagian dari kekuasaan Belanda dapat dilihat pada Peta Belanda seperti Schetkaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 : 750.000, Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld en Uitgegeven door Koniklijke , Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1 : 1.500.000, Economical MAP of The island Of Sumatra, Gold and silver, Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000, Verkeers en Overzichtskaart van het eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala 1.650.000, dan Kaart van het eiland Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000, Aangevende de ligging Der Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra, Tahun 1914, Skala 1 : 2.000.000 telah jelas menerangkan posisi Residentie Jambi.

Berdasarkan peta Schetkaart Resindentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, maka daerah-daerah di Jambi telah dibagi berdasarkan Margo.

Didalam peta Schetkaart Resindentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Marga terletak di hulu Sungai Batanghari. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar dalam karya klasiknya “De Djambi” menuliskannya ““di daerah hulu Sungai Batanghari, masyarakat mengenal dusun sebagai pemerintahan terendah (village government). Dusun terdiri dari beberapa kampung, Mengepalai Kepala Dusun adalah Depati. Dibawah Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian menjadi Margo. Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan gelar Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman)

Sedangkan Batin kemudian terletak di daerah perlindatasan jalur perdagangan. Sehingga tidak salah kemudian, batin merupakan suku penghulu atau pendatang.

Namun yang unik. Masyarakat di Hulu Batang Sumay, masyarakat kemudian berikrar “Marga Sumay bebathin 12”. 12 menunjukkan jumlah dusun didalam Marga Sumay.

Keberadaan Marga maupun penamaan Marga masih banyak ditemukan di berbagai tempat. Marga Sungai Tenang, Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap, Marga Pangkalan Jambi, Marga Tanah Sepenggal, Marga Cerminan Nan Gedang, Marga Batang Asai, Marga Sungai Pinang,  Marga Air Hitam, Marga Maro Sebo, Marga Sumay, Marga Tungkal Ulu, Marga Air Hitam, Marga Durian Luncuk, Mersam, Tungkal Ulu, Tungkal Ilir, Marga Dendang, Marga Sabak, Marga Kumpeh Ilir dan Kumpeh Ulu, Marga Pelepat, Batin 3, Batin III Ulu, Batin V, Batin 24 masih terdapat di pusat pemerintahan Kecamatan.

Sedangkan Marga Serampas kemudian masuk kedalam Kecamatan Jangkat, Marga Senggrahan masuk kedalam Kecamatan Muara Siau. Sedangkan Marga Petajin Ulu kemudian menjadi Kecamatan Tebo Ulu, Marga Petajin ilir kemudian menjadi Kecamatan Tebo ilir,
 Melihat “cara merawat tutur” dengan tembo dan kemudian penamaan Marga yang masih hidup di tengah masyarakat, maka “cara lisan” sebagai pengetahuan kolektif masyarakat masih terjaga baik.

Kekayaan ini haruslah dijaga agar tidak hilang dan kemudian tenggelam bersamanya waktu.