8 Tahun terakhir ini, istilah
“Marga” dan Batin sering “mengganggu” pikiran saya. Ketidaksengajaan menemukan
istilah “Marga” bermula ketika mendampingi masyarakat yang menolak perusahaan
HTI yang hendak “menghancurkan” kawasan hulu Batanghari.
Dengan runut masyarakat
kemudian bertutur tentang sejarah keberadaan, wilayah bahkan tata cara
mengelola termasuk melindungi kawasan sehingga terbukti masih terjaga baik.
Dalam menjelaskan tentang sejarah (tembo), maka istilah Marga kemudian sering disebutkan dan tidak dapat dipisahkan tentang sejarahnya. Dengan Tembo selain dapat menerangkan tentang “puyang”, juga “mengetahui” wilayah dan batas-batas Dusun satu dengan dusun yang lain dan batas Marga satu dengan yang lain.
Didalam menyelesaikan persoalan
terutama mengenai batas-batas wilayah baik antara Dusun satu dengan yang lain
maupun antara marga satu dengan yang lain, tembo merupakan “alat dan panduan
sehingga dapat diselesaikan. Dengan tembo masyarakat kemudian berikrar dan
menjadi identitas sebagai masyarakat hukum adat (rechtsgemeenshap).
Rasa penasaran itulah kemudian
“memaksa” saya untuk menggali document untuk memperkuat “tembo” masyarakat. Dan
dokumen yang tersedia baik di berbagai perpustakaan Belanda maupun di Amerika
kemudian meyakini, sejarah Marga kemudian menjadi sejarah yang yang diwariskan
turun temurun dalam tradisi “kenduri Pseko”.
Di tengah masyarakat, istilah Marga (margo) menjadi
identitas yang khas sebagai perwujudan persekutuan masyarakat adat (rechtsgemeenshap). Namun
berbeda dengan Marga seperti di Batak dan Minang yang berasal dari factor
geneologis. Marga di wilayah Jambi berasal dari factor pertumbuhan persekutuan
hukum teritorial.
Sejarah
Margo ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Dari
berbagai sumber disebutkan, marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial.
Menurut Regeering Reglement (RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu
Nederland secara sentralistis. Daerah Nederlandse Indie dibagi dalam dua kategori besar yaitu daerah Indirect Gebied
dan Direct Gebied. Daerah Indirect Gebied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa
Batavia.
Daerah Direct Gebeid adalah yang diperintah secara
langsung oleh Batavia secara hirarkis. Secara historis sistem
pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah colonial Belanda Tertanggal 25 Desember 1862. Tapi, tahun 1928,
pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga
teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing. Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas
dasar pemilihan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan
hasil pemilihan.
Di Jambi sendiri, penetapan
Marga berdasarkan Inlandshce Gemeente Ordonatie vor Buitengewestten (I.G.O.B)
tahun 1937 (Lihat Budihardjo,
Perkembangan ekonomi masyarakat daerah Jambi, 2001). Marga kemudian
dijadikan “groep-gemeenschappen” menggantikan pemerintahan adat. Namun
sebelum diberlakukannya I.G.O.B, di Jambi sudah dikenal pemerintahan setingkat
dusun yang diakui berdasarkan Ordonasi Desa 1906.
Didalam dokumen-dokumen Belanda wilayah Jambi sebagai bagian
dari kekuasaan Belanda dapat dilihat pada Peta Belanda seperti Schetkaart
Residentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000,
Schetskaart Van de Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000,
Schetskaart Van de Residentie Djambi, Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau
1922 – 1923, Skala 1 : 750.000, Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld en
Uitgegeven door Koniklijke , Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1 :
1.500.000, Economical MAP of The island Of Sumatra, Gold and silver, Tahun
1923, Skala 1 : 1.650.000, Verkeers en Overzichtskaart van het eiland Sumatra,
Tahun 1929, Skala 1.650.000, dan Kaart van het eiland Sumatra, Tahun 1909,
Skala 1 : 2.000.000, Aangevende de ligging Der Erfachtsperceelen en
Landbrouwconcessies Of Sumatra, Tahun 1914, Skala 1 : 2.000.000 telah jelas
menerangkan posisi Residentie Jambi.
Berdasarkan peta Schetkaart Resindentie Djambi
Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, maka daerah-daerah di Jambi telah
dibagi berdasarkan Margo.
Didalam
peta Schetkaart Resindentie Djambi
Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Marga terletak di hulu Sungai
Batanghari. F. J. Tideman dan P.
L. F. Sigar dalam karya klasiknya “De Djambi” menuliskannya ““di daerah hulu Sungai Batanghari, masyarakat
mengenal dusun sebagai pemerintahan terendah (village government). Dusun
terdiri dari beberapa kampung, Mengepalai Kepala Dusun adalah Depati. Dibawah
Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian menjadi Margo. Pembagian kekuasaan
dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan gelar Rio, Rio
Depati atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu
oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman)
Sedangkan
Batin kemudian terletak di daerah perlindatasan jalur perdagangan. Sehingga
tidak salah kemudian, batin merupakan suku penghulu atau pendatang.
Namun yang unik. Masyarakat di Hulu Batang Sumay, masyarakat
kemudian berikrar “Marga Sumay bebathin 12”. 12 menunjukkan jumlah dusun
didalam Marga Sumay.
Keberadaan Marga maupun penamaan Marga masih banyak ditemukan di
berbagai tempat. Marga Sungai Tenang, Marga Tiang Pumpung, Marga Renah
Pembarap, Marga Pangkalan Jambi, Marga Tanah Sepenggal, Marga Cerminan Nan
Gedang, Marga Batang Asai, Marga Sungai Pinang, Marga Air Hitam, Marga Maro Sebo, Marga Sumay,
Marga Tungkal Ulu, Marga Air Hitam, Marga Durian Luncuk, Mersam, Tungkal Ulu,
Tungkal Ilir, Marga Dendang, Marga Sabak, Marga Kumpeh Ilir dan Kumpeh Ulu, Marga
Pelepat, Batin 3, Batin III Ulu, Batin V, Batin 24 masih terdapat di pusat
pemerintahan Kecamatan.
Sedangkan Marga Serampas kemudian masuk kedalam Kecamatan
Jangkat, Marga Senggrahan masuk kedalam Kecamatan Muara Siau. Sedangkan Marga
Petajin Ulu kemudian menjadi Kecamatan Tebo Ulu, Marga Petajin ilir kemudian
menjadi Kecamatan Tebo ilir,
Melihat “cara merawat tutur” dengan tembo dan kemudian
penamaan Marga yang masih hidup di tengah masyarakat, maka “cara lisan” sebagai
pengetahuan kolektif masyarakat masih terjaga baik.
Kekayaan ini haruslah dijaga agar tidak hilang dan kemudian
tenggelam bersamanya waktu.