Akhir-akhir ini, Presiden Jokow Widodo (Jokowi) betul-betul merasa gerah dengan kekalahan Indonesia terhadap gugatan Uni Eropa di WTO.
Kegeraman Jokowi tentu saja dilatarbelakangi sikap Uni Eropa yang tetap menginginkan Ekspor bijih nikel.
Padahal menurut mandat UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Minerba yang tegas memerintahkan nikel yang di ekspor harus melalui pengolahan dan pemurnian didalam negeri (smelter).
Menteri ESDM kemudian mengukuhkan pelarangan ekspor biji nikel sejak 1 Januari 2020 berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019.
Perbandingan Ekspor biji nikel dengan ekspor melalui smelter tentu saja bak “Langit dan Bumi”.
Diberbagai kesempatan Jokowi menegaskan, apabila ekspor biji nikel cuma menghasilkan US$ 2 miliar/setahun. Atau menghasilkan pendapatan negara cuma Rp 28 trilyun rupiah.
Bandingkan dengan ekspor setelah smelter yang dapat meraup US$ 20 miliar/setahun. Atau mampu meraup Rp 280 trilyun rupiah.
Tentu saja amanat UU No. 3 Tahun 2020 yang menegaskan peningkatan nilai tambah nikel melalui smelter selain akan menumbuhkan peningkatan nilai tambah (hilirisasi) nikel tentu saja akan membuat Indonesia menjadi negara berdaulat.
Menurut Jokowi, Indonesia berkepentingan membentuk ekosistem kendaraan listrik. Dengan demikian maka produk turunan nikel sebagai bahan baku mutlak diperlukan.
Belum lagi upaya serius Indonesia untuk mempercepat hilirisasi barang tambang, seperti nikel, akan menciptakan banyak lapangan kerja dan peningkatan nilai ekspor.
Indonesia berkepentingan agar Ekosistem seperti chip (komponen digital).
Sehingga cadangan nikel yang menempatkan Indonesia sebagai cadangan nikel terbesar didunia akan berkonstribusi nyata membangun ekosistem electric vehicle (kendaraan listrik). Termasuk timah (cadangan nomor 2 terbesar di dunia), bauksit (cadangan nomor 6 terbesar di dunia), dan tembaga (cadangan nomor 7 terbesar di dunia).
Bahan nikel yang dbutuhkan pasaran global terhadap ekosistem kendaraan listrik demi mengejar target nol emisi karbon di tahun 2060.
Larangan ekspor biji nikel membuat Uni Eropa kemudian “uring-uringan”. Uni Eropa kemudian menuduh Indonesia.
Menurut data berbagai sumber menyebutkan, WTO berdasarkan hasil putusan panel WTO tanggal 17 Oktober 2022 kemudian menyatakan “kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.
Atau dengan kata lain, Putusan WTO tegas menyebutkan “ekspor melalui smelter terbukti melanggar ketentuan WTO”. Atau Indonesia dituduh melarang ekspor yang bertentangan dengan keterbukaan perdagangan internasional (pasar global).
Tentu saja perbandingan antara putusan WTO dengan perintah UU No. 3 Tahun 2020 akan menarik untuk dilihat lebih jauh.
Menurut website resmi Kemenlu RI, disebutkan “World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun 1995, WTO berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah besar negara di dunia dan diratifikasi melalui parlemen. Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam melakukan kegiatannya.
Terhadap Putusan WTO, Indonesia tegas menyatakan, keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum yang tetap. Sehingga dapat dilakukan upaya banding.
Dan itu juga belum berdampak serius pada minat investasi pada pabrik pengolahan mineral di dalam negeri.
Selain itu juga laporan final dari putusan panel itu akan didistribusikan kepada anggota WTO. Setelah itu, putusan panel itu bakal dimasukkan ke dalam agenda dispute settlement body (DSB) pada 20 Desember 2022.
Atau dengan kata lain, Putusan Panel WTO belumlah menjadikan Indonesia menjadi “kiamat”.
Lalu apa yang bisa dilakukan Jokowi ?
Pertama. Jokowi sebagai pelaksana dari amanat UU Minerba tentu saja tetap tunduk dengan regulasi di Indonesia.
Sebagai “pelaksana konstitusi”, Jokowi harus tetap melaksanakan amanat dari UU Minerba.
Baik dengan cara tidak tunduk terhadap kepentingan diluar dari kepentingan Indonesia. Maupun tidak tunduk dan terpengaruh dengan agenda-agenda global yang mengancam kedaaulatan Indonesia didalam memutuskan kepentingan nasional .
Kedua. Upaya mempercepat hilirisasi harus terus dilakukan. Selain akan menumbuhkan peningkatan nilai tambah nikel sekaligus akan menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat.
Upaya sistematis mempercepat hilirisasi tentu saja akan disampaikan didalam Panel WTO. Sehingga WTO akan menjadikan Indonesia didalam upaya serius didalam hilirisasi nikel.
Ketiga. Apabila Panel WTO maupun putusan banding WTO kemudian tetap menyatakan Indonesia kalah, maka Indonesia dapat melakukan upaya penghentian “pengiriman ekspor” dalam bentuk apapun.
Baik biji nikel maupun hasil hilirisasi (hasil smelter).
Cara ini akan dilakukan. Sehingga kebutuhan dunia terhadap nikel akan menempatkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Sebagai “petarung ulung”, daya juang dan keberanian Jokowi bolehlah patut diuji.
Setelah menyelesaikan berbagai persoalan rumit di Indonesia, daya juang dan keberanian Jokowi telah teruji, maka Sudah saatnya “daya juang” dan “keberanian” Jokowi di kancah dunia.
Sebagai “Pemimpin” yang Hidup dalam pandangan kosmopolitan Jawa, daya juang dan “keberanian” Jokowi diikrarkan sebagai Pemimpin yang Tangguh, berani, tidak mudah menyerah dan siap dengan resiko apapun (Hambeging Kisma).
Sikap kepemimpinan ini terus menjadi inspirasi dan menjadi watak Bumi. Seorang kepemimpinan yang mampu memberikan keteladanan.
Sebagai “Anak bangsa” maka sikap “keberanaian” tanpa harus takut dengan tekanan apapun akan membuat Indonesia diperhitungkan dalam kancah dunia.
Mari kita tunggu lakon dan genderang yang akan semakin asyik untuk dinikmati.
Advokat. Tinggal di Jambi.