30 Oktober 2017

opini musri nauli : Makna Inlander dalam Hukum Belanda


Jejak Inlander dapat dilihat didalam pasal 131 Indische Staatsregeling (IS). Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) kemudian diteruskan didalam Pasal 163 IS yang membagi penduduk di Hindia Belanda menjadi tiga Golongan penduduk, yaitu : Penduduk golongan Eropa, Penduduk golongan Timur Asing dan penduduk Golongan pribumi (Bumi Putera).


Dalam ayat (2) pasal 131 IS disebut perkataan “Europeanen”  dan “Indonesiers en Vreemde Oosterlingen.

Indische Staatsregeling memuat peraturan umum sebagai pengganti Reglement Regering. Berlaku sejak tanggal 23 Juli 1925 berdasarkan Stbld. 1925 No. 415.

Pasal.131 IS ini berasal dari ps.75 RR. IS sendiri terdiri dan 187 pasal yang disahkan dan diundangkan dalam Staatsblad 1925 No 415 dan No 416 dan mulai diberlakukan berdasarkan Staatsblad 1925 No 577.

Sedangkan RR (Reglement op het beleid der Regenng van Nederlands Indie) yang lama diberlakukan dengan Staatsblad 1855 dan diubah berdasarkan  Staatsblad 1919 No. 621.

Dengan demikian maka  tiap-tiap golongan berlaku hukumnya masing-masing. Masing-masing golongan punya staatsbladnya. Staatsblad No. 1849-25 untuk golongan Eropa. Staatsblad No. 1917-130 untuk golongan Timur Asing Tionghoa. Staatsblad No. 1920-751,  untuk golongan Indonesia  beragama Islam. Staatsblad No. 133-75 untuk golongan Indonesia beragama Kristen.

Golongan Eropa tunduk kepada hukum perdata, yaitu Burgelijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Kopphandel (WvK). Untuk hukum pidana materiil, berlaku Wetboek van Strafrecht (WvS) 1915 Nomor 732. Sedangkan untuk Hukum acara yang dilaksanakan dalam proses pengadilan bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura diatur dalam Reglement op de Burgerlijk Rechts Vordering untuk perkara perdata dan Reglement op de Straf Vordering.

Bagi golongan Timur Asing diterapkan dalam lapangan Hukum perdata dan hukum pidana adat menurut ketentuan Pasal 11 AB  berdasarkan Staatsblad 1855 Nomor 79 (untuk semua golongan timur asing). Hukum perdata golongan Eropa (BW) hanya bagi golongan Timur Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda melalui Staatsblad 1924 Nomor 557. Untuk daerah Kalimantan Barat berlakunya BW tanggal 1 September 1925 melalui Staatsblad 1925 Nomor 92.

Bumiputera atau Indonesia asli atau Keturunan lain yang sudah lama menetap di Indonesia sehingga sudah melebur ke dalam Indonesia asli sepanjang kepada mereka belum ditetapkan suatu peraturan yang sarna dengan bangsa Eropa, diperbolehkan "menundukkan diri” (onderwerpen) pada hukum yang berlaku bagi bangsa Eropa.

Belanda kemudian membagi pengadilan Landgerecht (untuk semua golongan), Inlandsche Rechtspraak (peradilan pribumi. Untuk daerah Jawa/Madura districtsgereeht/ regentschapsgerecht. Sedangkan untuk daerah di luar Jawa dan Madura dikenal negorijrechtbank, distrietsgerecht / districtsraad dan magistraatsgerecht). Dan Europeesche Rechtspraak.


Dalam Undang-undang Dasar 1945, konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar Sementara 1950 ada dimuat aturan peralihan.   Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 menentukan "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undangundang Dasar ini”. Kemudian Pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 juga menentukan "Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional Pusat”.

Berdasarkan Aturan Peralihan dalam Undang-undang Dasar 1945 itu, pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden mengadakan dan mengumumkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 ”Segala Badan-badan Negara dan peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar tersebut".

Peraturan pemerintah No. 2 Tahun 1945 menegaskan berlakunya Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945.

Jadi, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 dan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1945, maka keadaan hukum perdata tetap  berlaku.

Lalu bagaimana “makna inlander” didalam  Pasal-pasal 163 dan 131 IS.

Yurisprudensi, praktek perundang-undangan dan doktrin, semuanya berkesimpulan dan sependapat bahwa pada tanggal 17 Agustus 19445, IS (indische Staatsregeling) sebagai kodifikasi hukum pokok ketatanegaraan sudah tidak berlaku lagi. Aturan  dinilai, apakah sesuai atau bertentangan dengan semangat dan suasana kemerdekaan.

Khusus dalam menilai Pasal 131 dan 163 IS, pertama-tama harus diperhatikan ketentuan Pasal 26 ayat ( 1 ) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan "Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara " . Kemudian Pasal 27 ayat ( 1 ) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya “.

Dengan demikian maka Penghapusan penggolongan penduduk telah tegas diatur  didalam pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (1) konstitusi. Begitu juga diatur didalam UU No. 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara dan Penduduk Negara, UU No. 62 Tahun 1958 junto UU no. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Selain itu dapat dilihat didalam UU No. 26 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

Dengan demikaian maka UUD 1945 tidak mengenal adanya golongan-golongan warga negara Indonesia seperti disebut dalam Pasal 131 dan 163 IS.

Selain itu untuk menegaskan maka Melalui Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember 1966 telah ditetapkan pengha- pusan perbedaan golongan penduduk di Indonesia dengan pertimbangan bahwa demi tercapainya pembinaan kesatuan bangsa Indonesia yang bulat dan homogen, serta adanya perasaan persamaan nasib di antara sesama bangsa Indonesia.


Sementara itu Pasal-pasal didalam KUHPer dan KUHP kemudian mengalami perkembangan.

Di KUHPer, sedikit demi sedikit, pasal-pasal yang ada dalam BW dipreteli satu per satu. Setelah berlakunya UUPA, giliran selanjutnya yaitu terbitnya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963 perihal Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak sebagai Undang-Undang. Beberapa pasal dipandang sudah tidak berlaku lagi, yaitu: (a) Pasal 108-110 BW; (b) Pasal 284 ayat (3) BW; (c) Pasal 1682 BW; (d) Pasal 1579 BW; (e) Pasal 1238 BW; (f) Pasal 1460 BW; dan juga (g) Pasal 1603 ayat (1) dan (2) BW.

Sementara itu, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974  dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tanggal 1 April 1975 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan yang mengganggap tidak berlaku lagi semua peraturan yang mengatur perkawinan sepanjang telah diatur dalam undang-undang tersebut. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah mengantikan pengaturan tentang jaminan fidusia telah digunakan di Indonesia sejak jaman Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi pengadilan di Indonesia.

Dalam perkembangannya selama ini, kegiatan pinjam-meminjam dengan menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga hipotek atas tanah dan credietverband dalam BW.

Sedangkan didalam KUHP, berdasarkan UU No 1 Tahun 1946, setiap kata “Nederlandsch-Indie" atau “NederlandschIndisch” menjadi “Indonesia”. Begitu juga kata Nederlandsch-onderdaan” kemudian diganti menjadi “warga negara Indonesia”.

Sedangkana pasal 209, pasal 210, pasal 387, pasal 388, pasal 415, pasal 416, pasal 417 - pasal 420, pasal 423, pasal 425, pasal 435 KUHP yang kemudian ditarik kedalam UU Korupsi. Begitu juga terhadap kejahatan terhadap anak yang kemudian diadospi berdasarkan UU Perlindungan Anak. Atau MA mengeluarkan Perma No. 2 Tahun 2012 yang menetapkan kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” didalam pasal 362, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407 dan Pasal 482 KUHP menjadi Dua juta lima ratus ribu rupiah.

Belum lagi berbagai pasal-pasal “hatzakai artikelen” yang kemudian dicabut oleh MK.

Dengan demikian maka  “Indonesiers en Vreemde Oosterlingen” atau “Nederlandsch-onderdaan” diganti menjadi “warga negara Indonesia”. Dan penggolongan penduduk sebagaimana diatur didalam pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) dan Pasal 163 IS  telah dihapuskan sebagaimana  diatur  didalam pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (1) konstitusi. Begitu juga diatur didalam UU No. 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara dan Penduduk Negara, UU No. 62 Tahun 1958 junto UU no. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.


Dimuat di Harian Jambi Independent, 31 Oktober 2017