03 Juli 2013

opini musri nauli : Atas nama Hukum Bertindak represif




Mungkin atau barangkali “lupa” anggota parlemen terhadap kejahatan yang dilakukan oleh penguasa orde baru. Atau mungkin mereka mungkin “tidak mengalami” bagaimana “diperlakukan” keterlaluan oleh penguasa.

Atas nama “hukum” dengan melahirkan UU yang bersifat represif, Anggota parlemen melahirkan UU ormas. Atas nama “peraturan” mereka menjadi alat penguasa untuk “mengawasi” rakyat yang bersifat kritis. Mereka mengawasi dan menganggap “rakyat” yang perlu diatur.

Rasa marah inilah yang kita lihat ketika parlemen mengesahkan RUU ORMAS.

Didalam RUU Ormas, secara limitatif maka kita dapat membedah berbagai pasal-pasal yang melihat pandangan dari negara didalam melihat organisasi massa.

Pasal 23 “Ormasi lingkup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasai B huruf a memiliki struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah provinsi di seluruh Indonesia.

Pasal 29 ayat (1) Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara rnusyawarah dan mufakat.

Dengan melihat pasal 23 dan pasal 29 ayat (1) RUU Ormas, maka menjadi pertanyaan. Bagaimana dengan ketentuan pasal itu dengan UU Yayasan. Apakah tidak bertentangan atau saling semrawut ?

Secara limitatif pasal-pasal itu malah menganulir pasal-pasal mengenai keorganisasian yang tunduk kepada UU Yayasan yang saling menegasikan.

Bandingkan pula antara pasal 35 “(1)Keputusan Ormas di setiap tingkatan dilakukan dengan musyawarah dan mufakat sesuai dengan AD dan/atau ART. (2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat Ormas.

Padahal didalam ketentuan UU Yayasan secara tegas dinyatakan “kewenangan” baik didalam menentukan pengurus maupun terhadap pembentukan pengurus merupakan “kewenangan” dari pengurus Yayasan. Apakah tidak menimbulkan persoalan. Siapa yang berwenang ? Apakah keputusan dari setiap tingkatan sebagaimana didalam RUU ormas atau tunduk kepada UU Yayasan ?

Yang lebih rumit adalah pasal 57 “Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, pemerintah dapat memfasilitasi mediasi atas permintaan para pihak yang bersengketa”. Yang kemudian ditegaskan “Pasal 60 ayat (1) Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya menjatuhkan sanksi administratif terhadap Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2I dan Pasal 59.

Pertanyaan yang mengganggu adalah, apakah kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah untuk “menjadi pihak sebagai mediator” ? Apa kewenangan yang diberikan kepada negara “untuk” bertindak menjatuhkan “sanksi administrasi” atau “pencabutan status hukum” ? Apa kewenangan yang diberikan kepada negara sebagai turunan dari “hak berserikat” ?

Paradigma negara kemudian dapat kita lihat didalam Pasal 64 ayat (2) “Dalam hal Ormas tidak memperoleh bantuan danlatau hibah, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b”.

Begitu juga Pasal 68 ayat (1) Dalam ha1 Ormas berbadan hukum tidak mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b, Femerintah menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum”.

Paradigma negara sebagai “pengadil” telah mengambil wewenang lembaga yudikatif yang bisa menentukan baik sebagai “sanksi penghentikan sementara” maupun sebagai “sanksi pencabutan status badan hukum”. Wewenang apa yang diberikan oleh konstitusi terhadap negara untuk menjalankan “sanksi penghentikan sementara” maupun sebagai “sanksi pencabutan status badan hukum

Paradigma inilah yang menjadi “bukti” bagaimana semrawutnya peraturan perundang-undangan.

Padahal sebagaiman kita ketahui, Yayasan telah diatur berdasarkan Undang-undang nomor 16/2001 yang kemudian diperbarui berdasarkan Undang-undang nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 16 tahun 2001. Begitu juga Peraturan Pemerintah nomor 63/2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang Yayasan.

Dengan melihat cara-cara parlemen “memperlakukan” rakyat sebagai “biang kerok” kerusuhan, biang keladi segala keributan, mereka “memaksa” rakyat agar patuh. Mereka menjadikan “peraturan” sebagai alat represif. Menjadikan peraturan sebagai “alat represif”.

Dalam kajian sosiologi hukum, diterangkan Rezim represif adalah rezim yang menempatkan seluruh kepentingan dalam bahaya, terutama kepentingan yang tidak dilindungi oleh sistem yang berlaku dalam keistimewaan kekuasaan. Bentuk represi yang paling jelas adalah penggunaan kekuasaan yang tidak terkontrol untuk menegakkan perintah, menekan pihak yang tidak patuh atau menghentikan demokrasi. Meskipun tatanan hukum dapat menggunakan paksaan (concercion) atau bergantung pada kekuasaan pamungkas untuk melakukan paksaan, namun tatanan hukum tidak semata membuat sistem menjadi represif.

Paksaan cenderung mendorong menjadi represi karena karena :
  1. Tersedianya alat-alat pemaksa memberikan alternatif yang nyaman dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan akomodasi
  2. Penggunaan kekuatan merupakan suatu dehumanisasi. Ketika pemerintah mendapatkan legitimasi karena ia memelihara kebiasaan umum untuk taat (the general habit of obedience)

Secara sistematis, hukum represif menunjukkan karakter-karakter berikut ini :
  1. Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik, hukum diidentifikasikan sama dengan negara dan disubordinasikan pada tujuan negara
  2. Langgengnya sebuah otoritas merupaka urusan yang paling penting dalam administrasi hukum. Dalam perspektif resim yang dibangun, manfaat dari keraguan (the benefit of doubt) masuk ke dalam sistem dan kenyamanan administratif menjadi titik berat perhatian.
  3. Lembaga-lembag kontrol yang terspesialisasi, seperti polisi, menjadi pusat kekuasaan yang independen, mereka terisolasi dari dari konteks sosial yang berfungsi memperlunak, serta mampu menolak otoritas politik.
  4. Sebuah rezim berganda (dual law) melembagakan keadilan berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola subordinal sosial
  5. Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan, moraisme hukum yang akan menang.

Represi adalah sesuatu yang alami, bahwa penilaian kritis tehadap hukum represif harus dimulai dari pemahaman yang simpatik bagaimana ia muncul. Sumber umum bagi suatu represi adalah miskinnya sumber daya yang tersedia bagi elit-elit yang memerintah. Karena alasan ini, represi adalah sesuatu yang besar kemungkinannya mengiringi pembentukan dan terpeliharanya tatanan politik, dan dapat terjadi dapat disengaja dalam upaya mencari tujuan-tujuan yang baik.

Dengan demikian, maka Produk hukum yang dihasilkannya menjadi represif karena :
  1. Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa, misalnya dengan memaksakan tanggung jawab, namun mengabaikan klaim-klaim dari para pegawai, penyewa dan pengutang. Penghilangan hak-hak istimewa tidak harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dari kelas bawah.
  2. Hukum melembagakan ketergantungan. Kaum miskin dianggap sebagai tanggungan negara, bergantung pada lembaga-lembaga khusus (kesejahteraan, perumahan umum), kehilangan harga diri karena pengawasan oleh birokrasi dan terstigma oleh klasifikasi resmi . jadi maksud baik untuk menolong jika didukung dengan penuh keengganan dan ditujukan pada penerima yang tidak berdaya, maka akan menciptakan pola baru sub-ordinasi.
  3. Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial terhadap kelas yang berbahaya, misalnya mengkriminalisasikan kondisi kemiskinan dalam hukum tentang gelandangan.

Meminjam konsep berhukum Philippe Nonet dan Philip Selznick maka Tujuan hukum represif menurut Nonet dan Selznick adalah ketertiban. Peraturan perundang-undangan pada hukum represif bersifat keras dan rinci, namun tingkat keberlakuannya pada pembuat hukum sangat lemah. Contoh hukum represif yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yaitu hukum yang menyalahi moral konstitusionalisme yang pengelolaan hukumnya berada di tangan para pejabat pemerintah dan digunakan sebagai instrumen legal untuk menjamin keutuhan dan keefektifan kekuasaan pemerintah berdasarkan sanksi-sanksi pemaksa. Tipe hukum represif banyak mengandalkan penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada di pihak rakyat.

Sehingga tidak salah apabila RUU Ormas berangkat dari konsep “represif” yang cenderung mengedepankan “ketertiban” sebagai alat kekuasaan negara. Dan bandul hukum sedang bergeser dari hukum yang bersifat responsif dan otonom menjadi hukum yang bersifat represif. Dan tidak salah kemudian tuduhan dari sebagian kalangan, kita mundur kembali ke alam orde baru.