Mungkin atau barangkali
“lupa” anggota parlemen terhadap kejahatan yang dilakukan
oleh penguasa orde baru. Atau mungkin mereka mungkin “tidak
mengalami” bagaimana “diperlakukan” keterlaluan oleh
penguasa.
Atas nama “hukum”
dengan melahirkan UU yang bersifat represif, Anggota parlemen
melahirkan UU ormas. Atas nama “peraturan” mereka menjadi
alat penguasa untuk “mengawasi” rakyat yang bersifat
kritis. Mereka mengawasi dan menganggap “rakyat” yang
perlu diatur.
Rasa marah inilah yang
kita lihat ketika parlemen mengesahkan RUU ORMAS.
Didalam RUU Ormas, secara
limitatif maka kita dapat membedah berbagai pasal-pasal yang melihat
pandangan dari negara didalam melihat organisasi massa.
Pasal 23 “Ormasi
lingkup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasai B huruf a memiliki
struktur organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh
lima persen) dari jumlah provinsi di seluruh Indonesia.
Pasal 29 ayat (1)
Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara rnusyawarah dan
mufakat.
Dengan
melihat pasal 23 dan pasal 29 ayat (1) RUU Ormas, maka menjadi
pertanyaan. Bagaimana dengan ketentuan pasal itu dengan UU Yayasan.
Apakah tidak bertentangan atau saling semrawut ?
Secara limitatif
pasal-pasal itu malah menganulir pasal-pasal mengenai keorganisasian
yang tunduk kepada UU Yayasan yang saling menegasikan.
Bandingkan pula antara
pasal 35 “(1)Keputusan Ormas di setiap tingkatan dilakukan
dengan musyawarah dan mufakat sesuai dengan AD dan/atau ART. (2)
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat Ormas.
Padahal didalam ketentuan
UU Yayasan secara tegas dinyatakan “kewenangan” baik
didalam menentukan pengurus maupun terhadap pembentukan pengurus
merupakan “kewenangan” dari pengurus Yayasan. Apakah tidak
menimbulkan persoalan. Siapa yang berwenang ? Apakah keputusan
dari setiap tingkatan sebagaimana didalam RUU ormas atau tunduk
kepada UU Yayasan ?
Yang lebih rumit adalah
pasal 57 “Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercapai, pemerintah dapat memfasilitasi mediasi
atas permintaan para pihak yang bersengketa”. Yang kemudian
ditegaskan “Pasal 60 ayat (1) Pemerintah atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya menjatuhkan sanksi
administratif terhadap Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2I dan Pasal 59.
Pertanyaan yang
mengganggu adalah, apakah kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah
untuk “menjadi pihak sebagai mediator” ? Apa kewenangan
yang diberikan kepada negara “untuk” bertindak menjatuhkan
“sanksi administrasi” atau “pencabutan status hukum” ?
Apa kewenangan yang diberikan kepada negara sebagai turunan dari “hak
berserikat” ?
Paradigma negara kemudian
dapat kita lihat didalam Pasal 64 ayat (2) “Dalam hal Ormas
tidak memperoleh bantuan danlatau hibah, Pemerintah atau Pemerintah
Daerah dapat menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b”.
Begitu juga Pasal 68 ayat
(1) Dalam ha1 Ormas berbadan hukum tidak mematuhi sanksi
penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
ayat (1) huruf b, Femerintah menjatuhkan sanksi pencabutan status
badan hukum”.
Paradigma negara sebagai
“pengadil” telah mengambil wewenang lembaga yudikatif yang
bisa menentukan baik sebagai “sanksi penghentikan sementara”
maupun sebagai “sanksi pencabutan status badan hukum”.
Wewenang apa yang diberikan oleh konstitusi terhadap negara untuk
menjalankan “sanksi penghentikan sementara” maupun
sebagai “sanksi pencabutan status badan hukum
Paradigma inilah yang
menjadi “bukti” bagaimana semrawutnya peraturan
perundang-undangan.
Padahal sebagaiman kita
ketahui, Yayasan telah diatur berdasarkan Undang-undang nomor 16/2001
yang kemudian diperbarui berdasarkan Undang-undang nomor 28 tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 16 tahun 2001. Begitu
juga Peraturan Pemerintah nomor 63/2008 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Yayasan.
Dengan melihat cara-cara
parlemen “memperlakukan” rakyat sebagai “biang kerok”
kerusuhan, biang keladi segala keributan, mereka “memaksa”
rakyat agar patuh. Mereka menjadikan “peraturan” sebagai
alat represif. Menjadikan peraturan sebagai “alat represif”.
Dalam kajian sosiologi
hukum, diterangkan Rezim represif adalah rezim yang menempatkan
seluruh kepentingan dalam bahaya, terutama kepentingan yang tidak
dilindungi oleh sistem yang berlaku dalam keistimewaan kekuasaan.
Bentuk represi yang paling jelas adalah penggunaan kekuasaan yang
tidak terkontrol untuk menegakkan perintah, menekan pihak yang tidak
patuh atau menghentikan demokrasi. Meskipun tatanan hukum dapat
menggunakan paksaan (concercion) atau bergantung pada kekuasaan
pamungkas untuk melakukan paksaan, namun tatanan hukum tidak semata
membuat sistem menjadi represif.
Paksaan cenderung
mendorong menjadi represi karena karena :
- Tersedianya alat-alat pemaksa memberikan alternatif yang nyaman dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan akomodasi
- Penggunaan kekuatan merupakan suatu dehumanisasi. Ketika pemerintah mendapatkan legitimasi karena ia memelihara kebiasaan umum untuk taat (the general habit of obedience)
Secara sistematis, hukum
represif menunjukkan karakter-karakter berikut ini :
- Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik, hukum diidentifikasikan sama dengan negara dan disubordinasikan pada tujuan negara
- Langgengnya sebuah otoritas merupaka urusan yang paling penting dalam administrasi hukum. Dalam perspektif resim yang dibangun, manfaat dari keraguan (the benefit of doubt) masuk ke dalam sistem dan kenyamanan administratif menjadi titik berat perhatian.
- Lembaga-lembag kontrol yang terspesialisasi, seperti polisi, menjadi pusat kekuasaan yang independen, mereka terisolasi dari dari konteks sosial yang berfungsi memperlunak, serta mampu menolak otoritas politik.
- Sebuah rezim berganda (dual law) melembagakan keadilan berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola subordinal sosial
- Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan, moraisme hukum yang akan menang.
Represi adalah sesuatu
yang alami, bahwa penilaian kritis tehadap hukum represif harus
dimulai dari pemahaman yang simpatik bagaimana ia muncul. Sumber umum
bagi suatu represi adalah miskinnya sumber daya yang tersedia bagi
elit-elit yang memerintah. Karena alasan ini, represi adalah sesuatu
yang besar kemungkinannya mengiringi pembentukan dan terpeliharanya
tatanan politik, dan dapat terjadi dapat disengaja dalam upaya
mencari tujuan-tujuan yang baik.
Dengan demikian, maka
Produk hukum yang dihasilkannya menjadi represif karena :
- Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa, misalnya dengan memaksakan tanggung jawab, namun mengabaikan klaim-klaim dari para pegawai, penyewa dan pengutang. Penghilangan hak-hak istimewa tidak harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dari kelas bawah.
- Hukum melembagakan ketergantungan. Kaum miskin dianggap sebagai tanggungan negara, bergantung pada lembaga-lembaga khusus (kesejahteraan, perumahan umum), kehilangan harga diri karena pengawasan oleh birokrasi dan terstigma oleh klasifikasi resmi . jadi maksud baik untuk menolong jika didukung dengan penuh keengganan dan ditujukan pada penerima yang tidak berdaya, maka akan menciptakan pola baru sub-ordinasi.
- Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial terhadap kelas yang berbahaya, misalnya mengkriminalisasikan kondisi kemiskinan dalam hukum tentang gelandangan.
Meminjam konsep berhukum
Philippe Nonet dan Philip Selznick maka Tujuan hukum represif menurut
Nonet dan Selznick adalah ketertiban. Peraturan perundang-undangan
pada hukum represif bersifat keras dan rinci, namun tingkat
keberlakuannya pada pembuat hukum sangat lemah. Contoh hukum represif
yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yaitu hukum yang
menyalahi moral konstitusionalisme yang pengelolaan hukumnya berada
di tangan para pejabat pemerintah dan digunakan sebagai instrumen
legal untuk menjamin keutuhan dan keefektifan kekuasaan pemerintah
berdasarkan sanksi-sanksi pemaksa. Tipe hukum represif banyak
mengandalkan penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada
di pihak rakyat.
Sehingga tidak salah
apabila RUU Ormas berangkat dari konsep “represif” yang
cenderung mengedepankan “ketertiban” sebagai alat
kekuasaan negara. Dan bandul hukum sedang bergeser dari hukum yang
bersifat responsif dan otonom menjadi hukum yang bersifat represif.
Dan tidak salah kemudian tuduhan dari sebagian kalangan, kita mundur
kembali ke alam orde baru.