25 April 2010

Pengamat: Kejari Tak Serius Eksekusi As`ad Syam




Pengamat hukum dan HAM Musri Nauli menilai Kejaksaan Negeri Sengeti tidak punya keberanian dan tidak serius dalam mengeksekusi As`ad Syam terpidana empat tahun kasus korupsi proyek pembangunan PLTD di Unit 22 Sungaibahar, Kabupaten Muarojambi. 

 Anggota DPR-RI daerah pemilihan (Dapil) Jambi ini saat ini masih menghirup udara bebas, meskipun putusan kasasi dari Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan As`ad Syam bersalah sudah diterima Kejaksaan 21 Oktober 2009, katanya di Jambi, Minggu. 

 Menurut dia, pascaputusan MA yang menghukum empat tahun penjara kepada As`ad Syam, terdakwa harus menjalani putusan itu, walaupun terdakwa mempunyai hak untuk melakukan upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali, herzeining, revision, red). 

 Namun pengajuan PK tidak menghalangi dilaksanakannya putusan kasasi tersebut. “Pengajuan PK tidak menghalangi untuk dilaksanakannya eksekusi, prinsip ini sebenarnya sudah menjadi pengetahuan umum di lapangan hukum pidana,” katanya. 

 Musri mempertanyakan mengapa jaksa sebagai eksekutor belum juga melaksanakan putusan tersebut, padahal berbagai penyataan tidak ada yang bisa menghalangi eksekusi itu. 

 Peninjauan kembali telah diajukan dan telah diperiksa di Pengadilan Negeri Sengeti, namun upaya ksekusi terhadap terdakwa belum juga dilakukan. 

 Musri berpendapat, jaksa yang selalu menunggu petunjuk dari atasan terhadap putusan pengadilan itu, hanya alasan agar tidak melaksanakan putusan tersebut, dan alasan jaksa ini aneh dan sama sekali tidak bisa dilihat dan dicari dasar hukumnya. 

 Kasus As`ad ini mengingatkan dengan kasus Tommy Soeharto. Publik masih ingat bagaimana kemudian ketika kasasi ditolak, Tommy kemudian mengajukan grasi (pernyataan bersalah dan meminta maaf kepada Presiden, red). Ketika permohonan grasi ditolak oleh Presiden, Tommy kemudian mengajukan PK. Pengajuan PK setelah permohonan grasinya ditolak kemudian menimbulkan polemik. 

 Sebagian kalangan menyatakan permohonan PK tidak bisa diajukan, karena permohonan grasi telah ditolak. 

Atau dengan perkataan lain, tidak bisa dibenarkan apabila dinyatakan bersalah dan meminta maaf namun kemudian ketika permohonan maaf ditolak malah mencabut. “Jadi jaksa tidak berwenang mengajukan PK dan terhadap terdakwa yang mengajukan PK harus menjalani putusan kasasi terlebih dahulu,” tegasnya. 

 Surat putusan kasasi As`ad Syam diterima PN Jambi dari MA pada 16 Oktober 2009. Dalam Keputusan Nomor 1142K/Pidsus/2008 tanggal 10 Desember 2008 itu, MA mengabulkan tuntutan kasasi jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Sengeti nomor 207/T/2007 tanggal 13 April 2008 atas nama terdakwa Drs H As`ad Syam. 

 Dalam putusan itu, MA menyatakan As`ad telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan. 

 Sebelumnya, As?ad Syam yang juga politisi Partai Demokrat ini dijerat dengan dakwaan Pasal 2 ayat 1 junto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 55 ayat 1 KUHP, atau Pasal 3 junto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 55 ayat 1 KUHP, dengan hukuman empat tahun penjara dikurangi masa penahanan sebelumnya. 

 Selain itu, dia juga wajib membayar denda sebesar Rp200 juta, apabila denda itu tidak dipenuhi akan dikenakan sanksi penambahan hukuman selama enam bulan. Pada sidang tingkat pertama di Pengadilan Sengeti 4 April 2008, As`ad Syam divonis bebas oleh majelis hakim. 

Dalam berkas putusan, majelis hakim menyatakan tidak ada fakta di persidangan dan saksi yang memberatkan As`ad. Audit BPKP Jambi yang menemukan indikasi kerugian negara Rp4 miliar menurut hakim juga tidak terbukti. 

 Unsur memperkaya diri sendiri maupun orang lain juga tidak terbukti. Hakim justru menyebutkan bahwa Sudiro selaku kontraktor proyek tersebut rugi. 

 Sementara uang Rp4 miliar yang diduga dikorupsi sudah dikembalikan oleh Sudiro melalui BUMD Muarojambi. Dana tersebut, menurut fakta persidangan, selanjutnya digunakan untuk pembuatan jaringan listrik di lima desa. Sedangkan pengerjaan fisik proyek PLTD dinilai telah mencapai 85 persen. Diketahui, Sudiro menanamkan modal Rp11 miliar untuk proyek tersebut. 

Karena alasan-alasan itu, As`ad dan Sudiro pun bebas.

 http://ruangberita.com/pengamat-kejari-tak-serius-eksekusi-asad-syam/

20 April 2010

opini musri nauli : Kekerasan Tanjung Priok (Warisan rezim orde baru)




KEKERASAN TANJUNG PRIOK (Warisan rezim orde baru) M. Musri Nauli, SH* Sejenak kita terpana, saat menyaksikan televisi kerusuhan di Tanjung Priok (penulis sengaja menggunakan istilah “kerusuhan” dalam melihat persoalan di Tanjung Priok). 

11 April 2010

opini musri nauli : POLEMIK KASUS ASSAD SYAM DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

Akhir-akhir ini kita disaksikan peristiwa hukum di Jambi yang menimbulkan polemik yang berkepanjangan (penuli sengaja menggunakan istilah “polemik” untuk melihat dua pandangan terhadap kasus Assad Syam). 


Putusan Kasasi terhadap Assad Syam “seakan-akan” tidak bisa dieksekusi. Dengan berbagai alasan, publik kemudian bak disuguhi drama sinetron yang mendayu-dayu, bertele-tele, pelakonnya suka menitikkan air mata. 

06 April 2010

opini musri nauli : PILKADA GUBERNUR JAMBI

Konon, kabarnya, Raja bersedia mundur dan memberikan kesempatan para adipati Yang ingin menduduki singgasana kerajaan (Anonim) Pemilihan Gubernur Jambi 2010-2015 tinggal menghitung hari. 

04 April 2010

opini musri nauli : PENGGUSURAN DARI PERSPEKTIF HUKUM


Beberapa waktu yang lalu, kita “seakan-akan” melihat bersihnya pemandangan melewati kampus UNJA Telanaipura Jambi setelah tidak adanya pedagang kaki lima. Mata kita sudah terbiasa melihat pedagang yang menjajakan berbagai makanan, kemudian “seakan-akan” nyaman (penulis sengaja menggunakan istilah “seakan-akan”, sebagai bentuk sikap kita yang ambigu terhadap sebagian persoalan di sekitar kita). 

Padahal sebelumnya, kita “dimudahkan” untuk mendapatkan berbagai jenis makanan yang murah, hampir setiap waktu dan tentu saja dapat dijangkau berbagai lapisan masyarakat. 

28 Maret 2010

opini musri nauli : SUSNO DUAJI DAN WAJAH HUKUM KITA




Entah apa yang sesungguhnya terjadi di negeri ini. “Pertarungan Jenderal” di Tubuh Kepolisian membuat kita bingung walaupun kita juga ingin mengetahui bagaimana akhir “pertarungan jenderal”. 

16 Maret 2010

opini musri nauli : CATATAN HUKUM KASUS CENTURY



Hari-hari ini kita dikejutkan sikap KPK terkait rekomendasi Pansus DPR tentang kasus Century. (Sementara ini, informasi dari Pansus tidak cukup," kata Wakil Ketua KPK Haryono Umar di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2010). www.detik.com Senin, 15/03/2010 17:45 WIB) 

07 Maret 2010

opini musri nauli : UU No. 35 Tahun 2009 Kriminalisasi Korban Narkoba ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana




Masih segar dalam ingatan kita tentang telah diperlakukan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menggantikan UU No. 5 Tahun 1997 (lihat pasal 153 ayat 2 UU No. 35 Tahun 2009). 

06 Maret 2010

opini musri nauli : Penyertaan dalam Kasus Pidana (Studi Kasus Antasar Azhar)


Beberapa waktu yang lalu, konsentrasi nasional ditujukan persidangan AA (mantan Ketua KPK) yang didakwa melakukan perbuatan pidana pembunuhan berencana terhadap Nas (Direktur PT. Rajawali Banjaran Negara). 


Konsentrasi nasional ini ditujukan untuk melihat keterkaitan antara AA dengan terbunuhnya Nas. Pandangan publik terbelah. Sebagian kalangan menduga bahwa adanya upaya rekayasa terhadap AA yang berhasil mengggegerkan belantara nasional dengan sepak terjangnya di KPK. Sebagian meyakini bahwa AA terlibat dalam rangkaian pembunuhan tersebut bersama dengan WW dan Sgt. 

05 Maret 2010

opini musri nauli : KEBIJAKAN, KEBIJAKSANAAN DAN KEBIJAKAN YANG DAPAT DIPIDANA




Akhir-akhir ini dunia politik Indonesia sedang gemuruh. Gemuruh politik ini apabila disandingkan dengan pementasan wayang, diibaratkan “goro-goro”, suasana heboh, tidak tentu, ribut, semua orang menganggap dia yang paling benar. Goro-goro ini sering dipentaskan pada malam hari menjelang pagi. Disaat penonton sebagian terkantuk-kantuk mendengarkan wayang, goro-goro diperlukan sebagai penghilang rasa kantuk. 

Goro-goro juga diperlukan sebagai bentuk bakti rakyat kepada rajanya. Goro-goro diperlukan agar yang bathil keluar dari wujud manusia dan yang baik akan memimpin selanjutnya. Goro-goro juga diperlukan untuk melihat siapa yang jujur dan siapa yang berhati culas. 

 Entah apa yang sesungguhnya terjadi. Hanya dalang yang tahu. Dalanglah yang akan menentukan lakon selanjutnya. Dalang pula yang menentukan siapa wayang yang akan dikeluarkan dan siapa pula yang akan disimpan masuk peti. Lakon Century mulai memasuki babak baru. 

Hiruk pikuk dan gemuruh kasus Century mulai bergeser dari senayan ke istana. Parlemen telah menetapkan adanya hak menyatakan pendapat dalam menilai kasus Bank Century. Penetapan hak menyatakan pendapat telah memberikan rekomendasi akhir bahwa dana talangan yang diberikan kepada Bank Century menemukan penyimpangan. 

Sehingga dana talangan yang semestinya digunakan untuk bank sehat diindikasikan “bau tidak sedap”. Sekarang wacana bergeser. Apabila rekomendasi DPR didalam menilai “bau tidak sedap’ berdimensi politik, maka sekarang issu hukum mulai merebak. 

Wacana seperti Kebijakan, kebijaksanaan dan Kebijakan tidak dapat dipidana mulai bersileweran di wacana publik. Dari pemikiran inilah, penulis urun rembug untuk melihat kasus ini secara jernih. Ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy science (Dror, 1968: 6-8 ). 

Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public policy analysis dalam pengertian yang tidak berbeda. 

Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. 

Ini sejalan dengan pengertian public itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum. 

 Dengan demikian perbedaan makna antara perkataan kebijaksanaan dan kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu diartikan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan kepada masyarakat umum. Kebijakan (policy), sangat erat kaitannya dengan kewenangan, kebijakan muncul karena adanya kewenangan, kewenangan berkaitan dengan jabatan, kebijakan hanya dapat dilakukan oleh karena adanya kewenangan yang melekat pada seseorang. 

Orang yang tidak mempunyai kewenangan tidak dapat menerbitkan kebijakan Kebijaksanaan merupakan suatu bentuk pengenyampingan terhadap aturan, diumpamakan dalam suatu hal telah ada ketentuan tentang larangan untuk melakukan atau dilakukan sesuatu, tetapi kemudian terdapat pengenyampingan aturan tersebut bahwa sesuatu atau dapat dilakukan atau boleh melakukan sesuatu yang telah dilarang, diperkenankannya melakukan atau dilakukan sesuatu yang dilarang tersebut disertai dengan syarat. 

Kebijaksanaan berkaitan erat dengan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang mendapatkan kebijaksanaan, calon penerima kebijaksanaan harus melakukan/memberikan/membuat sesuau agar kebijaksanaan dapat dikeluarkan, apabila syarat untuk dikeluarkannya kebijaksanaan tidak dipenuhi, maka kebijaksanaan tersebut tidak dapat dikeluarkan oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijaksanaan.

Dengan demikian, “bijaksana” memiliki arti yang sama dengan kata “bijak”, yaitu selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuan), arif, dan tajam pikiran. Sedangkan “kebijaksanaan” merujuk pada kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya) 

 Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan untuk membedakan istilah policy sebgai keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah discretion, yang dapat diartikan “ilah” atau keputusan yang bersifat kasuistis untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu. Kata policy secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang berarti negara-kota. 

Dalam bahasa latin kata ini menjadi politia, artinya negara. Masuk kedalam bahasa Inggris lama (Middle English), kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya berkaitan dengan urusan perintah atau administrasi pemerintah (Dunn,1981:7). (lihat Kebijakan Publik karangan Said Zainal Abidin, Edisi Revisi, tahun 2004, Penerbit: Yayasan Pancur Siwah, Jakarta). 

Dalam konteks hukum tata usaha negara Indonesia, masih terdapat kerancuan mengenai hubungan antara kebijakan dengan keputusan (beschicking) maupun pengaturan (regelling). 

Dalam konteks peraturan perundangan, kebijakan memiliki konotasi kesejahteraan masyarakat. Pada masa Orde Baru, 

kebijaksanaan juga digunakan untuk kebijakan. Dalam realitas di masyarakat, seringkali terjadi kerancuan dalam memahami kesamaan dan perbedaan antara hukum, kebijakan dan kebijaksanaan. 

Hukum dipahami/diartikan dengan kebijakan, kebijakan dipandang sama dengan kebijaksanaan, bahkan yang paling rancu seringkali ada kebijakan atau kebijaksanaan dipandang sebagai hukum. 

Pembedaan ini sengaja penulis sampaikan karena menimbulkan akibat hukum. Kebijakan, maka akan menimbulanm konskwensi hukum yang muncul sebagai akibat diterbitkannya. 

Kebijakan merupakan tanggung jawab dari pengambil kebijakan, sedangkan bagi pelaksana kebijakan, selama dalam pelaksanaannya tidak menyimpang dari kebijakan yang ada maka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atas akibat dari pelaksanaan kebijakan. 

 Namun apabila dalam pelaksanaan kebijakan ada penyimpangan dan berdampak hukum maka pelaksana kebijakan yang menyimpang bertanggung jawab secara pribadi (Ultra Vires) atas dampak yang muncul. 

Untuk kebijaksanaan, maka apabila pemohon kebijaksanaan tidak memenuhi klausula/syarat diberikannya kebijaksanaan, maka pihak yang berwenang memberi kebijaksanaan tentu tidak dapat mengeluarkan kebijaksanaannya, sebaliknya apabila syarat tidak dipenuhi sementara pengambil kebijaksanaan tetap mengeluarkan kebijaksanaan maka pengambil kebijaksanaan dapat dimintai pertanggung jawaban hukum/sanksi atas tindakannya. 

Sedangkan apabila apabila syarat tidak terpenuhi sementara kebijaksanaan tetap dikeluarkan maka pengambil kebijaksanaan dapat dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum. 

 Berangkat dari paparan yang telah penulis sampaikan, maka barulah kita melihat kepada konteks pada kasus Bank Century. Didalam melihat kasus ini, maka haruslah dilihat ketentuan norma yang dilanggar dalam proses bail out, dana talangan, merger dan pengucuran dana tersebut. 

 Ketentuan yang mengatur tentu saja UU Korupsi, UU Pencucian Uang, UU Perbankan dan tindak pidana umum lainnya. Untuk mengidentifikasi perbuatan yang dapat diancama, maka kita harus memetakan dahulu persoalannya. 

Pertanyaan seperti, apakah para pengambil kebijakan mengetahui kewenangan yang ada ? apakah proses nya telah melalui mekanisme yang baik. Apakah hal-hal yang diatur telah sesuai dengan kewenangannya. Apabila kita perhatikan kepada tayangan live tv, maka didapatkan fakta bahwa kewenangan KSSK, BI, LPS didalam melaksanakan tahap-tahap bail out masih kabur. 

Apakah begitu berdampak sistematik yang membuat para pemangku kebijakan mengambil keputusan itu. Fakta-fakta yang terungkap memberikan catatan penting, bahwa Bank century sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai bank yang berdampak sistematik. 

Transaksi dengan Bank Century sama sekali tidak menganggu industri perbankan nasional. (bandingkan saat rush bank BCA beberapa waktu yang lalu). 

Apakah begitu parahnya emergency dan berdampak sistematik sehingga rapat diadakan dan keputusan harus diambil sampai jam 4 subuh ? apakah upaya penggantian ketentuan Peraturan BI untuk mencukupi syarat sehingga Bank Century bisa mendapatkan talangan? 

Sorotan didalam melihat kewenangan dari pemangku kebijakan merupakan salah satu sendi untuk melihat apakah kebijakan itu dapat diproses hukum atau tidak. 

Secara kasat mata dengan jelas tergambar, bahwa upaya sistematis untuk mencukupi Bank Century mendapatkan dana talangan berindikasikan “aroma tidak sedap”. 

Pernyataan Direktur BI yang memberikan penjelasan bahwa Bank Century tidak layak diberikan dana talangan sama sekali diabaikan para pemangku kebijakan. 

Para pemangku kebijakan kemudian memutuskan tetap memberikan dana talangan kepada Bank Century. Cerita ini semakin “tidak sedap” disaat bersamaan keputusan Pemerintah memberikan talangan sama sekali tidak diketahui Kepala Negara ad interm Wakil Presiden. 

Wapres Jusuf Kalla justru dikabarkan setelah dana dikucurkan. Dengan demikian, maka secara formal, kewenangan pemangku kebijakan didalam pengucuran dana talangan sudah bermasalah. 

Permasalahan inilah yang membuat DPR meradang karena kewenangan yang diberikan menggunakan Perpu No. 4 tahun 2008 yang kemudian terbukti tidak berlaku. Maka sudah jelas kelihatan, bahwa kebijakan yang dilakukan bermasalah. 

Atau dengan kata lain, bahwa kewenangan pemangku kebijakan menimbulkan persoalan. 

Dari ranah ini kemudian penulis membantah pernyataan bahwa kebijakan tidak dapat diproses secara hukum. 

 Walaupun penulis menyoroti kewenangan pemangku kebijakan yang bermasalah namun penulis mencoba mengidentifikasi apakah terhadap kewenangan yang bermasalah tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. 

 Didalam lapangan hukum pidana, untuk melihat kesalahan seseorang selain daripada telah terjadinya tindak pidana, adanya kesalahan pada diri terdakwa dan terdakwa dapat dipertanggungjawabkan. 

Berangkat dari pemikiran itu, maka penulis akan mencoba mengidentifikasikan untuk melihat kesalahan dari para pemangku kebijakan. 

 Didalam melihat kesalahan terutama dihubungkan dengan UU Korupsi, UU Perbankan, UU Money loundry dan tindak pidana lainnya, maka menurut penulis masih menjadi persoalan didalam lapangan pembuktian. 

Upaya yang dilakukan para pemangku kebijakan didalam menyelamatkan krisis haruslah diberi konteks dari sudut pandang ilmu ekonomi. 

Dari ranah ini sebenarnya, upaya penyelamatan yang dilakukan haruslah steril dari keuntungan yang didapat para pemangku kebijakan. 

Sehingga unsur “kerugian negara” sebagai unsur yang essensial dari tindak pidana korupsi haruslah dibuktikan. 

Hasil audit BPK yang menghitung kerugian negara akibat Bail out haruslah diletakkan pada konteks upaya menyelamatkan keuangan negara. 

Bukan potensi kerugian negara yang akan terjadi. Kerugian negara yang bisa ditimbulkan dari dana talangan harus juga diletakkan pada konteksnya yaitu mengembalikan kerugian negara tersebut baik melalui mekanisme gugatan perdata maupun administrasi negara. 

Dari ranah ini, hasil audit BPK barulah dijadikan dasar untuk melihat kesalahan dan para pemangku dapat dipertanggungjawabkan. Ketentuan ini sengaja penulis sedikit uraikan agar kita bisa mengidentifikasikan kasus Century secara obyektif. 

Dengan demikian, apabila uraian ini tidak bisa ditemukan pada kasus Century, maka sudah seharusnya, para pemangku kebijakan harus mempertanggungjawabkan dimuka hukum (Ultra Vires).