Akhir-akhir ini kita disaksikan peristiwa hukum di Jambi yang menimbulkan polemik yang berkepanjangan (penuli sengaja menggunakan istilah “polemik” untuk melihat dua pandangan terhadap kasus Assad Syam).
Putusan Kasasi terhadap Assad Syam “seakan-akan” tidak bisa dieksekusi. Dengan berbagai alasan, publik kemudian bak disuguhi drama sinetron yang mendayu-dayu, bertele-tele, pelakonnya suka menitikkan air mata.
Penonton yang semula tekun menatap layar televisi kemudian bosan akan memindahkan channel televisi dan lebih suka mengikuti telenovela lainnya.
Sebagian kalangan terkesima untuk menantikan akhir cerita ini.
Namun sebagian kalangan menyadari bahwa titik pangkal ruwetnya persoalan ini semata-mata didasarkan kepada pelaksanaan hukum yang masih “tebang pilih” didalam menerapkannya.
Cerita bermula disaat putusan bebas di Pengadilan Negeri Sengeti terhadap Assad Syam dikalahkan di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung kemudian menghukum penjara selama 4 tahun kepada terdakwa.
Menurut ketentuan, terdakwa haruslah menjalani putusan 4 tahun penjara. Walaupun terdakwa mempunyai hak untuk melakukan upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali/herzeining/revision), namun pengajuan PK tidak menghalani dilaksanakan putusana kasasi tersebut (baca pengajuan PK tidak menghalangi untuk dilaksanakan eksekusi). Prinsip ini sebenarnya sudah menjadi pengetahuan umum didalam lapangan hukum pidana.
Namun entah apa yang terjadi. Jaksa sebagai eksekutor belum juga melaksanakan putusan tersebut. Alasan seperti “menunggu petunjuk dari atasan”, “jaksa bisa melaksanakan putusan” menjadi wacana dan menghiasi media massa. Peninjauan kembali telah diajukan dan telah diperiksa di Pengadilan Negeri Sengeti.
Namun upaya untuk dilakukan eksekusi terhadap terdakwa juga belum dilakukan.
Pertanyaan pertama. Apakah terhadap peristiwa ini, dimana terdakwa tidak mempunyai posisi penting akan juga diterapkan dengan hal yang sama ?. Pertanyaan selanjutnya “Apakah jaksa selalu menunggu petunjuk dari atasan” terhadap putusan pengadilan ? Cara berfikir yang disampaikan dengan mengajukan alasan tidak melaksanakan putusan tersebut adalah aneh dan sama sekali tidak bisa dilihat dan dicari dasar hukumnya. Lantas bagaimana apabila permohonan PK kemudian ditolak dan kemudian terdakwa harus menjalani putusan pengadilan. Apakah terdakwa mau menjalaninya ?
Peristiwa ini mengingatkan kita dengan peristiwa nasional oleh Tommy Soeharto. Publik masih ingat bagaimana kemudian ketika kasasi ditolak, Tommy Soeharto kemudian mengajukan grasi (pernyataan bersalah dan meminta maaf kepada Presiden). Ketika permohonan grasi ditolak oleh Presiden, Tommy kemudian mengajukan PK. Pengajuan PK setelah permohonan grasinya ditolak kemudian menimbulkan polemik.
Sebagian kalangan menyatakan, bahwa permohonan PK tidak bisa diajukan, karena permohonan grasi telah ditolak.
Atau dengan perkataan lain, tidak bisa dibenarkan apabila kita menyatakan sudah bersalah dan meminta maaf namun kemudian ketika permohonan maaf kita ditolak kemudian kita mencabut pernyataan maaf. Sebagian kalangan lain menganggap bahwa tidak menjadi persoalan karena sama sekali tidak dilarang mengajukan PK setelah grasi ditolak.
Nah begitu pula pengajuan PK, apakah harus menjalani pidana penjara dulu atau tidak. Siapa yang berhak untuk mengajukan PK.
PRINSIP PENINJAUAN KEMBALI.
Polemik peninjauan kembali pernah menjadi persoalan yang serius didalam praktek hukum pidana. Apabila dilihat dari sejarah lahirnya lembaga herzeining didalam KUHAP, dilatar belakangi untuk melihat kesalahan terdakwa yang sudah diputus dalam putusan pidana. Lembaga ini juga berlatar belakang dalam kasus Sengkon dan Karta. Sengkon dan Karta telah diputuskan bersalah melakukan tindak pidana.
Dalam tahap kasasi, Sengkon dan Kartapun dinyatakan bersalah. Namun kemudian terbukti, Sengkon dan Karta bukanlah pelaku padahal dia telah dijatuhi pidana. Bagaimana solusinya ? padahal dia telah diputus di tingkat kasasi dan upaya hukum biasa telah ditempuh.
Nah, lembaga herzeining inilah sebagai pintu terakhir untuk menyelesaikan kasus Sengkon dan Karta ini. Oleh karena itu, PK juga disebut sebagai upaya hukum luar biasa didalam KUHAP.
Kita masih ingat, ketika putusan kasasi yang membebaskan Muchtar Pakpahan dalam kerusuhan buruh di Medan 1994 kemudian jaksa mengajukan PK. Padahal secara jelas-jelas diatur hanya terdakwa dan keluarga yang berhak mengajukan PK. Pasal 263 ayat (1) : Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Namun permohonan oleh Jaksa ini kemudian diterima dan Muchtar Pakpahan kemudian dijatuhi pidana penjara. Diterimanya permohonan PK dari jaksa kemudian menimbulkan persoalan yang serius didalam praktek hukum pidana. Sebagian kalangan menganggap bahwa jaksa tidak berwenang untuk mengajukan PK. Namun sebagian kalangan juga menganggap bahwa tidak ada larangan jaksa untuk mengajukan PK. Namun praktek yang kemudian dilakukan oleh jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan kemudian berlanjut dan sampai sekarang masih terus berlangsung.
Penulis memberikan istilah aliran “legalistik-positivistik” kepada kelompok yang sepakat bahwa jaksa berwenang untuk mengajukan PK.
Kermbali kepada kasus yang menimpa Assad Syam. Bagaimana ketentuan yang mengatur tentang hak terdakwa untuk mengajukan PK. Sebagian kalangan menganggap bahwa pengajuan PK adalah terdakwa yang kemudian terdakwa tersebut harus terlebih dahulu menjalani putusan pidana tingkat kasasi (eksekusi).
Secara sederhana dikatakan, bahwa terdakwa dapat menggunakan haknya apabila telah melaksanakan kewajibannnya sebagai warga negara yang tunduk kepada putusan pengadilan. Apabila kita bersedia menoleh ke belakang, Pimpinan Mahkamah Agung yang diwakili Ketua Muda Mahkamah Agung RI Bidang Hukum Pidana Umum, melalui surat nomor 4984/TU/84/3951/Pid. Tanggal 2 November 1984 dengan tegas menyatakan “Kehadiran pemohon dan Jaksa di dalam pemeriksaan berdasarkan pasal 265 ayat (2) KUHAP adalah merupakan keharusan”
Sedangkan sebagian kalangan juga menganggap bahwa pengajuan PK bisa diajukan ahli waris daripada terdakwa.
Asumsi ini didasarkan kepada Pasal 263 ayat (1) “Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung”. Apabila kita urai maka undang-undang yang bersifat imperatif itu memberi peluang bagi pencari keadilan, dalam hal ini terpidana atau ahli warisnya, untuk mengajukan peninjauan kembali. Namun yang sering dilupakan bahwa ketika peluang itu digunakan, dia harus hadir untuk kemudian menandatangani berita acara pemeriksaan.
Khusus dalam perkara korupsi, kehadiran terpidana dan keharusan menandatangani berita acara pemeriksaan, memiliki makna tersendiri. Yaitu untuk mencegah larinya terpidana yang mengakibatkan putusan yang sudah inkracht tak bisa dieksekusi. (Putusan Majelis Hakim Agung Terkait Permohonan PK, Prof. DR. Krisna Harahap S.H., M.H. Hukumonline, 05 April 2010).
Pernyataan ini didasarkan kepada Kasus PT Goro Batara Sakti dan BULOG yang merugikan Negara hingga Rp96 milyar adalah salah satu contoh. Dari tempat persembunyiannya Tommy Suharto yang menjadi Terpidana mengajukan PK melalui kuasanya. Majelis Hakim Agung menyatakan syarat formil permohonan tersebut dipenuhi sehingga materi dapat diperiksa. Tatkala Majelis menolak permohonan PK, putusan tersebut tidak dapat di eksekusi dengan segera oleh JPU. Terpidana leluasa hidup dengan tenang di tempat persembunyiannya lebih dari setahun.
Contoh lain adalah Djoko Tjandra yang terlibat kasus cessie Bank Bali sebesar Rp546,468 milyar. MA memeriksa PK yang diajukan Jaksa dan menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp15 milyar. Sehari sebelum putusan itu dihasilkan dalam Muscap para Hakim Agung, Djoko yang sudah mengetahui terlebih dahulu memutuskan ambil langkah seribu, lari ke luar negeri dengan menggunakan pesawat carteran.
Dari tempat persembunyiannya di luar negeri, ia menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan PK tetapi melalui kuasanya. Persoalan menjadi dilematis bagi MA, karena sesuai ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Dari deskripsi ini, maka dapat dilihat bahwa jaksa tidak berwenang untuk mengajukan PK dan terhadap terdakwa yang mengajukan PK haruslah menjalani putusan kasasi terlebih dahulu.
Maka terhadap perkara PK yang diajukan tidak mendasarkan kepada dua hal prinsip tersebut sebaiknya kita menginginkan dalam pemeriksaan PK haruslah ditolak Karena selain daripada alasan formil setiap putusan majelis hakim agung secara komprehensif mewakili legal social - moral justice.
Kehadiran para hakim ad hoc didasari harapan agar setiap putusan hakim tidak hanya bertumpu pada legal justice semata.
Dimuat di Jambi Ekspress, 17 April 2010.
http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/11730-polemik-kasus-asad-syam.html