06 April 2010

opini musri nauli : PILKADA GUBERNUR JAMBI

Konon, kabarnya, Raja bersedia mundur dan memberikan kesempatan para adipati Yang ingin menduduki singgasana kerajaan (Anonim) Pemilihan Gubernur Jambi 2010-2015 tinggal menghitung hari. 
Partai-partai sudah berkoalisi dan menentukan kandidate yang akan diusung. Warna-warni partai didalam menentukan kandidate sama sekali menghilangkan platform partai dan ideologi partai. 

Sehingga pilkada Gubernur harus dibaca, kepentingan jangka pendek partai lebih diutamakan daripada kepentingan pemilih. 

 Maka jangan heran, partai pemerintah (baca demokrat) bisa bergandengan tangan dengan Golkar dan PKS. 

Partai Oposisi bisa berkolabarasi dengan PKPB. Dan PAN bisa berkolabarasi dengan partai-partai lain. 

Sehingga jangan heran apabila kandidate yang diusung mempunyai warna yang beraneka ragam. Jangan ditanya kepada anggota partai, pilihan yang akan ditentukan pada hari H. itu sama sekali jauh dari bayangan partai modern yang dikehendaki. 

 Sikap pragmatis yang dilakukan partai-partai juga ditunjukkan kepada kandidate yang diusung pada Pilkada. (walaupun istilah resmi digunakan Pemilukada, namun penulis lebih sreg menggunakan istilah Pilkada. 

Selain sebagai bentuk kajian yang mendefinisikan Pilkada sebagai rezim election general, walaupun MK sudah menjustifikasi Pilkada sebagai rezim pemerintahan). 

Dari empat pasang kandidate yang diusung (walaupun belum ditetapkan secara resmi oleh KPU), keseluruhannya merupakan para adipati di Kabupaten. HBA- Farori Umar (Bupati Sarolangun - Calon Bupati Bungo), Zulfikar Ahmad – Ami Thaher (Bupati Bungo – calon Bupati Kerinci), Madjid Muaz – Abdullah Hich (Bupati Tebo – Bupati Tanjabtim), Safrial – Agus Setianegoro (Bupati Tanjabbar – calon independent Walikota Jambi). 

Dari komposisi ini kelihatan, para partai pengusung lebih suka mengusung kandidate yang sudah dikenal daripada mengusung kader partai. Hampir praktis, kandidate yang diusung minim dari kader partai sendiri (kecuali PAN mengklaim, Abdullah Hich sebagai kader). 

Sedangkan yang lain, PDI-P hanya menyatakan, Safrial merupakan kandidate yang terbaik. Dengan demikian, partai politik di Jambi telah “gagal” melakukan kaderisasi dan mempersiapkan kader-kadernya untuk bertarung di Pilkada Jambi. 

Catatan penting ini sengaja penulis sampaikan, agar pada Pilkada yang akan datang, kandidate yang diusung haruslah merupakan kader-kader yang memang dipersiapkan oleh partai. 

 Yang unik adalah PKS. Dalam Pilkada Kerinci, PKS sukses mendorong Ami Thaher sebagai calon independent untuk Bupati Kerinci dan masuk kedalam putaran kedua. Ami Thaher secara de facto memang menang, walaupun kalah didalam putaran kedua. 

Namun dalam pilkada Gubernur, PKS menjatuhkan “hatinya” kepada HBA. Sebagai hitung-hitungan politik, sikap PKS dapat diterima (pertimbangkan PKS yang akan memenangkan Pilkada Gubernur). 

Namun alangkah eloknya apabila PKS tetap menjatuhkan pilihannya kepada Ami Thaher sebagai bentuk sikap politik yang elegan dari PKS melanjutkan tradisi berpolitik yang baik yang mengusung ketika Pilkada Bupati Kerinci. 

 Dari bacaan yang telah penulis sampaikan, maka seluruh kandidate telah mengalami Pilkada ketika merebut adipati. Agus Setyanegoro (calon independent Walikota Jambi), Ami Thaher (calon independent Bupati Kerinci), Zulfikar Ahmad (Bupati Bungo), Farori Umar (calon Bupati Bungo), Madjid Muaz (Bupati Muara Tebo), Abdullah Hich (Bupati Tanjabtim), HBA (Bupati Sarolangun), Safrial (Bupati Tanjabbar). 

Dengan demikian, maka para kandidate sudah berpengalaman mengikuti pertarungan politik di tingkat lokal dan mencoba pertarungan di tingkat Propinsi (baca Pilkada Gubernur). 

Dengan demikian, terlepas daripada kemenangan atau kekalahan yang pernah dialami, pengalaman mengikuti pertarungan merebut adipati merupakan pengalaman yang akan digunakan sebagai bekal mengikuti pertarungan diatasnya. 

Dari kalkulasi yang telah penulis sampaikan, maka kantong-kantong yang pernah diraih di Pilkada kabupaten merupakan modal yang kuat untuk menghitung kekuatan riil memasuki gelanggang pilkada Gubernur. 

 Banyak yang memprediksi, bahwa para kandidate akan “berkuasa” di daerah masing-masing (saat para kandidate meraih suara terbanyak menjadi Bupati). 

Menurut penulis, asumsi ini sangat tidak tepat. Walaupun kantong-kantong memberikan sumbangan suara yang cukup signifikan, tapi kalkulasi itu sama saja meremehkan logika berfikir pragmatis pemilih (silent mayority). 

Kalkulasi politik itu sama saja dengan pemikiran bahwa “mesin-mesin” partai berjalan. Asumsi itu belum dapat terbukti sampai sekarang. 

Asumsi ini didasarkan sebagai berikut. (1) bahwa partai yang mengusung kandidate tidak representatif dari suara yang diinginkan pemilih. 

Hampir praktis tidak ada partai yang akan mengusung kandidate telah sesuai dengan kehendak pemilih. 

Walaupun partai telah mengklaim melalui mekanisme pemilihan internal partai, namun hampir praktis setiap pemilihan bupati di kabupaten, hasil suara yang didapat tidak signifikan dengan suara yang didapat ketika Pemilu anggota DPRD yang lalu. 

Kalkulasi ini didasarkan bahwa kandidate yang diusung oleh partai sama sekali tidak ada korelasi dengan suara pemilih (silent mayority). 

Argumentasi ini sebagai bantahan asumsi yang menghitung kalkulasi politik sebagaimana sering diwacanakan para tim sukses. (2). Figur kandidate. Figur kandidate merupakan salah satu faktor penting yang menjadi pertimbangan kandidate. 

Tipikal pemilih (silent mayority) yang menginginkan figur yang “dianggap” sebagai wujud pemimpin idaman merupakan salah satu hal penting. 

Maka jangan heran, hampir praktis kandidate mewujudkan sebagai pemimpin agama (baca agama islam). 

Acara pengajian, acara keagamaan merupakan salah satu bentuk “kampanye’ yang terbukti ampuh dalam Pilkada Kabupaten. 

Tentu saja, kandidate yang berlatar belakang agama islam yang “mumpuni”mempunyai peluang yang lebih besar dibandingkan dengan kandidate yang berlatar belakang sekuler. (Walaupun Hipotesis Geetz didalam meneropong tipologi masyarakat Indonesia kedalam bentuk seperti Islam (santri/abangan), nasionalis, hipotesis yang sering digugat kebenarannya). 

Kandidate yang diidentifikasi sebagai pemimpin yang bersih, birokrat tulen juga menjadi pertimbangan pragmatis dari pemilih. Asumsi yang penulis paparkan sekedar menjadi bahan kampanye kandidate yang akan bisa kita lihat pada pilkada. (3). Penguasaan basis-basis kongkrit. 

Dalam kalkulasi yang penulis lihat didalam kampanye kandidate, hampir praktis, kandidate tidak mempunyai data yang kuat untuk melihat basis-basis kongkrit dukungan kepada kandidate. 

Tipologikal masyarakat Jambi yang heterogen menjadi persoalan dalam kalkulasi politik di Jambi. Berbeda di Jawa. Di kantong-kantong NU, hampir praktis, figur Kiyai yang berpengaruh menjadi jaminan suara untuk meraih dukungan (vote getters). 

Kalkulasi itu dapat dihitung setiap pilkada pemimpin lokal. Kalkulasi yang diraih sama sekali tidak jauh berbeda dengan kalkulasi kantong-kantong pemilih (silent mayority). 

Maka, sampai sekarang, apabila para kandidate dikalkulasikan suara pemilih, tidak dapat menunjukkan angka tentatif dan kantong-kantong yang bisa diraih. Maka apabila adanya klaim dari para kandidate yang akan meraih suara yang akan diraih, tidak ada yang bisa menunjukkan suara dan kantong-kantong yang akan diraih. 

 Dari paparan yang telah penulis sampaikan, ada beberapa catatan penting sebagai pembelajaran demokrasi di Jambi. 

(1). Partai harus mempresentasikan kandidate sebagai wujud suara partai yang tentu saja harus dapat dihitung kalkukasi politik untuk meraih suara. 

(2). Harus dihentikan cara-cara pragrmatis partai meraih suara dengan mengusung kandidate diluar partai. 

Partai harus mempersiapkan kader-kadernya untuk bertarung di gelanggang politik yang riil. (3) harus dibangun partai yang modern, yang diwujudkan hubungan politik antara partai dengan anggota partai. 

 Mengapa penulis memberikan perhatian yang cukup kepada Pilkada Gubernur Jambi ? Pilkada Jambi merupakan salah satu sarana untuk melihat bagaimana hukum dihormati, HAM tidak dilanggar dan yang pasti adanya jaminan terhadap hak-hak dasar bagi rakyat. 

Hak mendapatkan pendidikan murah, kesehatan murah merupakan kewajiban konstitusi para kandidate. 

Maka harus juga diperhatikan bagaimana issu politik tidak tenggelam dan mengalahkan hak-hak dasar bagi rakyat. 

 Namun yang pasti, kita memberikan kesempatan kepada putra-putra terbaik di Jambi untuk mengikuti pertarungan politik secara sehat. Sebagai bagian dari proses pembelajaran demokrasi, putra-putra terbaik di Jambi sudah mempersiapkan diri dan mengikuti gelanggang politik yang riil. Quo vadis Jambi. 

 Advokat, Tinggal di Jambi 

 Dimuat di Posmetro, 6 April 2010