04 April 2010

opini musri nauli : PENGGUSURAN DARI PERSPEKTIF HUKUM


Beberapa waktu yang lalu, kita “seakan-akan” melihat bersihnya pemandangan melewati kampus UNJA Telanaipura Jambi setelah tidak adanya pedagang kaki lima. Mata kita sudah terbiasa melihat pedagang yang menjajakan berbagai makanan, kemudian “seakan-akan” nyaman (penulis sengaja menggunakan istilah “seakan-akan”, sebagai bentuk sikap kita yang ambigu terhadap sebagian persoalan di sekitar kita). 

Padahal sebelumnya, kita “dimudahkan” untuk mendapatkan berbagai jenis makanan yang murah, hampir setiap waktu dan tentu saja dapat dijangkau berbagai lapisan masyarakat. 

Makanan yang disediakan tentu saja tidak senyaman makanan yang disediakan di swalayan, atau makanan cepat saji yang diruangan ber-AC, tenang dan hanya di jangkau lapisan tertentu. 

Selain harganya sangat mahal, makanan di kelas “berduit” tentu saja sesuai dengan selera pembelinya. Di sepanjang kampus-kampus di Telanaipura (Unja Telanaipura, Unbari, IAIN), banyaknya jualan dipengaruhi berbagai faktor. Selain sebagian besar mahasiswa banyak yang indekost di sekitar kampus, sulit mendapatkan pekerjaan, juga dipengaruhi letak yang sangat strategis. 

Ketiga faktor itulah yang membuat jualan makanan di sekitar telanaipura tidak pernah sepi. Dari pagi hari yang menjual bubur ayam, lontong, nasi uduk, bubur kacang Ijo dan sampai malam hari baik Pece Lele dan nasi uduk, nasi goreng dan berbagai makanan lainnya. Ketiga faktor itulah, yang sehari-hari menghiasa perjalanan melewati jalan di ketiga kampus telanaipura tersebut. 

 Namun, kita mendapatkan pemandangan yang kemudian berbeda. Dengan alasan akan meraih Adipura, Pemerintah Kota kemudian membersihkan jalur-jalur protokol dari pedagang kaki lima. 

Dari sini kemudian disatu sisi kita mendukung, namun disisi lain bagaimana dilihat dari aspek hukum, HAM dan penghormatan terhadap rakyat yang terpinggirkan ? Banyaknya pedagang kaki lima di sekitar ketiga kampus tersebut, faktor yang paling dominan adalah sulitnya mendapatkan pekerjaan. 

Alih-alih akan membicarakan pembangunan, persoalan pokok di Indonesia adalah lapangan pekerjaan. Pemerintah mengklaim bahwa jumlah penganggur hanya 12 juta. Apabila asumsi yang digunakan bahwa jumlah penganggur adalah 12 juta dengan kriteria tidak bekerja, maka asumsi ini tidak sesuai dengan kriteria yang digunakan ILO (lembaga PBB yang resmi di perburuhan). 

Menurut ILO, yang dikategorikan sebagai penganggur adalah orang yang bekerja dibawah 48 jam sebulan. 

Apabila menggunakan indikator ILO, maka jumlah penganggur di Indonesia mencapai 52 juta orang (lebih kurang 1/5 dari jumlah penduduk Indonesia). Atau dapat dikalkulasikan 1 orang bekerja dan 5 orang yang menganggur. Sekedara perumpamaan yang penulis sampaikan, bahwa banyaknya pedagang kaki lima di sekitar 3 kampus di telanaipura tersebut adalah jawaban sementara untuk mengisi pekerjaan dari sulitnya mendapatkan pekerjaan. 

Dan itu juga sekaligus menjawab teori ekonomi, bahwa semakin banyak pedagang kaki lima membuktikan semakin sulitnya pekerjaan. Sektor informal merupakan sektor yang paling bertahan ketika krisis ekonomi 1998 yang menimpa Indonesia. Sektor ini salah satu sektor sebagai peletup dari beban ekonomi dan mandegnya perekonomian saat itu. 

Namun sektor ini tidak pernah mendapatkan perhatian secara serius dari pemangku negara. Pelaku sektor informal kalah dari pelaku sektor-sektor ekonomi high economy (case celebre). Maka kita mungkin hanya mengenal pengusaha-pengusaha seperti Om Lim, Proboseotedjo, Abu Rizal Bakrie, dan sebagainya. 

Padahal mereka nyata-nyata hanya mampu menguasai sektor ekonomi di Indonesia karena koneksi dengan rezim yang berkuasa dengan mendapatkan fasilitas yang tidak terbatas dari Bank, proteksi dan berbagai kemudahan yang diberikan oleh negara. 

Perbandingan antara sektor high economy dengan pedagang kaki lima juga mengakibatkan, hanya sektor informal yang mampu menyerap tenaga kerja yang tidak terserap di sektor high economy. 

Dan itu juga mendukung argmentasi bahwa semakin banyak pedagang kaki lima karena disebabkan sulitnya pekerjaan yang tersedia. 

 Kewajiban menyediakan lapangan pekerjaan merupakan tugas konstitusi oleh rezim yang berkuasa. 

Laporan keuangan yang sering kita saksikan dalam rapat di DPR jangan sibuk bergulat kepada angka-angka seperti inflasi, cadangan devisa, kurs rupiah, sama sekali tidak menyentuh kepada tersedianya lapangan kerja. 

Sektor-sektor ekonomi haruslah dilihat untuk dapat menyerap tenaga kerja. Titik ruwetnya masalah lapangan pekerjaan ternyata tidak disikapi secara arif oleh Pemerintah. 

Dengan alasan akan meraih adipura, sektor informal kemudian “digusur”. Dari ranah ini sebenarnya menimbulkan persoalan, apakah Pemerintah mempunyai kewenangan untuk “menggusur” pedagang kaki lima ? 

 Dari alasan legalistik-formalistik, tentu saja Pemerintah akan bersikukuh bahwa kegiatan akan diteruskan. Dan tentu saja akan mengeluarkan dalil bahwa itu sudah diatur didalam Perda. Namun menjadi persoalan ditinjau dari ranah “keadilan”. 

Tugas konstitusi pertama dari Pemerintah belum bisa diwujudkan yaitu menyediakan lapangan pekerjaan. 

Apakah adil apabila Negara yang belum bisa menyediakan lapangan pekerjaan kemudian dengan alasan “legalistik-formalistik” menggusur pedagang kaki lima ? Pekerjaan yang tidak mampu disediakan oleh negara namun disaat kemudian rakyat beradaptasi menciptakan lapangan pekerjaan sendiri kemudian digusur dan rakyat kembali kehilangan pekerjaannya. 

Dari item ini, sebenarnya Pemerintah harus digugat “kewenangan” yang diberikan oleh konstitusi. Sebenarnya Penghormatan terhadap HAM diabaikan dan lebih menitikberatkan kepada persoalan politik (baca berambisi menggapai Piala Adipura). 

Dalam kajian sejarah, Hukum di zaman Orba seperti terlupakan, kalaulah tidak dikatakan secara vulgar (JE, Sahetapy, Runtuhnya Etik Hukum, 2009). 

Ditelantarnya penghormatan HAM antara lain dalam bentuk weggepromoveerd dalam banyak peristiwa yang selayaknya merupakan sauatu penyelewenangan hukum berdasarkana notoir feit, yang kemudian berujung kepada pembusukan hukum. 

Disamping itu ada kesan yang kuat sekali bahwa hukum diwujudkan, baik dalam fungsinya maupun dalam interaksinya sebagai suatu official perspektive. 

Rakyat yang seharusnya dilindungi terutama karena posisi mereka, baik karena buta hukum maupun karena kelemahan secara finansial, selalu menderita, dan ketakutan mereka kemudian terakumulasi dalam bentuk ketakutan untuk memperjuangkan nasibnya sendiri. 

 Disaat reformasi ketika sebagian rakyat sudah menyadari dan bersedia memperjuangkan haknya, keadaan sudah semakin parah. 

Korupsi semakin menjadi-jadi, Pemerintah lebih sibuk untuk mementingkan jabatannya “Pembiaran” oleh negara selama ini dengan tidak adanya teguran yang mencegah semakin banyaknya pedagang kaki lima, juga mengukuhkan bahwa Pemerintah “merestui” secara diam-diam terhadap kiprah pedagang kaki lima tersebut. 

Meminjam istilah Dr. Sahuri, “pembiaran” oleh negara itu, apabila kita sandingkan dengan teori Ratificatian dan teori tolerantion, yang berarti telah menyetujui/mengesahkan secara diam diam/membiarkan adanya peralihan hak dan diberikan kepada pedagang kaki lima. Maka kita bisa hitung waktu mulai banyaknya berjualan hingga digusurnya pedagang kaki lima. 

Seingat penulis, itu memerlukan waktu hampir 3 tahun. Artinya, selama 3 tahun, negara telah melakukan “pembiaran” dan meminjam istilah DR. Sahuri, negara secara diam-diam telah menyetujui perbuatan dari pedagang kaki lima. 

Atau dengan kata lain, negara menyetujui terhadap berjualannya pedagang kaki lima di sepanjang jalur tersebut. Maka menjadi persoalan, tiba-tiba dengan kepentingan politik (ingin meraih adipura), sudah “tenangnya” pedagang kaki lima tersebut haruslah digusur. 

Dari ranah ini sebenarnya posisi politik negara dikalahkan oleh kepentingan hukum. Perbuatan Pemerintah menggusur pedagang kaki lima dengna alasan “ingin meraih adipura”, juga menjadi persoalan HAM. “Hak mendapatkan pekerjaan”, “hak rasa aman”, hak mendapat kepastian hukum”, “hak tidak diperlakukan sewenang-wenang”, adalah hak-hak yang dilanggar oleh Pemerintah Kota Jambi. 

Hak yang sangat mendasar (basic fundamental right) tidak dipenuhi oleh Pemerintah Kota Jambi. Pelanggaran terhadap hak-hak sebagaimana menjadi Hak asasi manusia merupakan persoalan yang sangat serius di alam reformasi. 

Apakah penggusuran pedagang kaki lima merupakan satu-satunya cara untuk meraih adipura ?. 

Apakah tidak ada ide cerdas dari pemerintah kota untuk meraih adipura tanpa harus bertentangna dengan hukum, HAM dan tidak menghormati kaum pinggiran ? 

Apabila kita tidak menemukan jawaban diatas, maka sudah saatnya kita intropeksi dan harus mendengarkan apa yang disampaikan oleh JE, Sahetapy. Dimana nurani kita hanya dikalahkan kepentingan politik? 

 Advokat, tinggal di Jambi Jambi Ekspress dan Posmetro, 6 April 2010 dan