Hari-hari ini kita dikejutkan sikap KPK terkait rekomendasi Pansus DPR tentang kasus Century. (Sementara ini, informasi dari Pansus tidak cukup," kata Wakil Ketua KPK Haryono Umar di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2010). www.detik.com Senin, 15/03/2010 17:45 WIB)
Publik tersentak. KPK yang diharapkan sebagai pilar memberantas korupsi di Indonesia sedang mengalami ujian berat dan kredibilitasnya sedang ditaruhkan.
Prestasi KPK yang merupakan anak kandung reformasi telah menjalankan fungsinya didalam memperjuangkan reformasi didalam memberantas korupsi.
Prestasi KPK mempunyai catatan tersendiri dibandingkan dengan berbagai lembaga lain yang dibentuk dalam masa reformasi. Hampir praktis semua lembaga yang dibentuk di alam reformasi terlibat skandal korupsi (KPU, Komisi Judicial, KPPU dan sebagainya).
Bahkan lembaga yang baru lahir yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, anggotanya tidak lepas dari “bau tidak sedap” dalam rekaman percakapan Anggodo di Mahkamah Konstitusi.
Prestasi KPK dimulai pada saat pasca Pemilu 2004. Hampir seluruh petinggi KPU mondar-mandir menjalani pemeriksan di KPK. Hampir sebagian besar petinggi KPU kemudian menjadi tersangka dan menjalani pidana.
Prestasi ini kemudian hampir merambah seluruh sektor dan banyak pejabat yang terlibat. Mantan Menteri, anggota DPR, Kepala Daerah bahkan merambah sektor-sektor hukum (Jaksa, Pengacara, Panitera, mantan Kabareskrim, Mantan Kapolri).
Jangan ditanya berapa jumlah pengusaha dan kepala daerah yang sedang dan sudah menjalani proses hukum. Bahkan dimasa Kepemimpinan Antasari Azhar sudah menyeret pelaku korupsi di gedung bundar (kasus Urip), korupsi di senayan (anggota DPR) dan pejabat penting di BI (termasuk besan Keluarga Presiden).
Begitu jumawa prestasi KPK, membuat banyak pihak meradang.
Upaya kriminalisasi pimpinan KPK (dalam kasus AA dan kasus Bibit Chandra) dilakukan. Termasuk mengurangi kewenangan KPK (revisi UU No. 30 tahun 2002), pengurangan penyadapan (RPM Kominfo).
Prestasi KPK ini ternyata mendapatkan dukungan luas. Terlepas dari kasus AA, upaya kriminalisasi Bibit Chandra menimbulkan reaksi kuat. Kelas menengah kemudian mengorganisir di dunia maya dengna membuat dukungan “SATU 1.000.000 FACEBOKERS DUKUNG CHANDRA HAMZAH & BIBIT SAMAD”.
Dukungan ini merupakan salah prestasi tersendiri terhadap kekuatan kelas menengah dengan menembus 1.394.0007 dukungan. Dukungan ini kemudian effektif dan berdampak nasional.
Presiden turun tangan dengan membentuk Tim 8 yang berhasil menelorkan berbagai rekomendasi penting. Sidang terhadap uji materiil UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK berhasil mendengarkan rekaman “mafia” yang berkeliaran di Trunojoyo (istilah Mabes Polri) dan gedung bundar.
Rekaman itu menggambarkan bagaimana skenario disusun secara rapi dengan melibatkan petinggi-petinggi hukum di negeri ini.
Rekaman ini kemudian berhasil mencabut pasal yang berkaitan dengan pemberhentian sementara pimpinan KPK.
Dampak dari dukungan itu juga berhasil menghentikan upaya sistematis dari kriminalisasi KPK.
Presiden dengna kewenangan kemudian menghentikan kasus ini.
“Bau tidak sedap” dalam upaya kriminalisasi kepada Pimpinan KPK ternyata terbukti. Kasus bail out Bank Century kemudian mewarnai hiruk pikuk politik di Indonesia.
Kasus bail out Bank Century kemudian berhasil membentuk Pansus angket DPR dan selama persidangan, publik disuguhkan rangkaian cerita upaya sistematis dari “pencurian uang negara”.
Persidangan Pansus angket Bank Century DPR yang dilakukan secara terbuka kemudian berhasil menjawab adanya anggapan “persengkolan busuk” petinggi negara didalam skenario mempersiapkan dana untuk persiapan pemilu 2009. rangkaian satu dengan lain yang membuktikan kebohongan yang tidak bisa ditutupi.
Pernyataan dari Jusuf Kalla yang menyatakan “perampokan pemilik Bank Century”, memberikan indikasi awal adanya upaya tersebut. Jusuf Kalla sebagai Presiden ad interm, “merasa” tidak dilibatkan dalam proses penentuan bail out Bank Century.
Sehingga pernyataan Jusuf Kalla haruslah dilihat dalam pertanggungjawaban hukum untuk melihat kasus ini secara jernih.
Dalam berbagai media massa baik cetak, online maupun tayangan live televisi, ada beberapa catatan yang dapat melihat kasus ini dari hukum.
Pertama. Apakah kebijakan dapat dipidana. Pada prinsipnya, kebijakan tidak dapat dipidana. Tentu saja argumentasi ini didasarkan kepada kebijakan yang telah memenuhi syarat dari kebijakan itu sendiri.
Misalnya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tidak sewenang-wenang, transparansi dan akuntabel. Berbagai studi menunjukkan kebijakan yang tidak dapat dipidana, hanyalah yang berkaitan dengan urusan “domestik” yang tidak berdampak kepada rakyat banyak.
Walaupun sebagian studi lainnya juga menyatakan kebijakan untuk kepentingan rakyat juga tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Perdebatan tentang kebijakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana saat pemberian dana 100 milyar dalam kasus BI (yang melibatkan Gubernur BI dan besan Presiden SBY).
Sebagian kalangan menganggap bahwa pemberian dana itu didasarkan keuangan bukan milik negara. Sehingga unsur essensial korupsi yaitu uang negara tidak terpenuhi (uang yayasan).
Namun itu terbantahkan, karena didalam putusan Pengadilan ad Korupsi kemudian memutuskan bersalah terhadap para pelaku (BI dan anggota DPR). Pernyataan bahwa kebijakan tidak dapat dipidana dibantah karena kebijakan dalam “persengkokolan jahat” tidak menjadikan para pelaku bebas dari pertanggungjawaban pidana.
Nah, dalam kasus Bank Century, wacana ini juga menjadi perdebatan.
Kebijakan negara dalam bail out Bank Century yang didasarkan kepada krisis ekonomi yang berdampak sistematik menjadi persoalan di lapangan hukum.
Apakah pernyataan krisis ekonomi yang berdampak sistematik tidak dapat dipertangungjawabkan. Secara politik sudah pasti, kebijakan ini menjadi persoalan serius dalam pembahasan DPR. Pansus angket Bank Century kemudian berhasil menelorkan berbagai rekomendasi dan berbagai temuan DPR untuk kemudian diteruskan ke dalam rapat Paripurna DPR.
Paripurna DPR kemudian menyetujui dan meneruskan kedalam hak menyatakan pendapat ke DPR. Dari ranah politik, upaya ini masih jauh dari berhasil. Apabila secara politik kemudian DPR berhasil mendorong untuk memenuhi syarat impeachment dalam sidang MK, barulah kita bisa berharap banyak.
Namun yang menjadi perhatian kita bagaimana melihat pertanggungjawaban pidana dalam kasus Century ?.
Dalam lapangan hukum tata negara, pengambilan keputusan yang sangat strategis tanpa mendapat persetujuan Kepala Negara menjadi persoalan yang serius. Klaim Menteri Keuangan yang menggangap bahwa semua telah mendapatkan persetujuan Presiden SBY (saat itu SBY di New York), sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan (Jusuf Kalla sebagai Presiden ad interm).
Sehingga didalam lapangan Hukum Tata Negara, maka mengeluarkan dana tanpa persetujuan Kepala Negara adalah kejahatan yang sangat serius dan memerlukan pertanggungjawabkan dimuka hukum.
Selanjutnya apakah bisa dibuktikan adanya unsur “kehendak jahat” dari pelaku kebijakan saat mengambil kebijakan bail out Bank Century ?. Pertanyaan ini sangat mendasar karena apabila dilihat dari unsur “kehendak jahat”, maka apakah para pelaku mendapat manfaat dari kebijakan itu dikeluarkan. ?
Apakah pelayanan umum tidak terganggu dan apakah negara tidak dirugikan ? . Pertanyaan mendasar ini menjadi titik perhatian KPK untuk membongkar “persengkokolan jahat”.
Kedua. Temuan BPK. Temuan BPK didalam mengaudit kasus Bank Century merupakan dasar dan pintu masuk KPK untuk memulai melakukan pemeriksan. Didalam pasal 10 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 Tentang BPK dinyatakan “BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.
Sedangkan dipasal 11 huruf c “BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara”.
Dengan demikian, hasil audit BPK merupakan bukti yang kuat untuk menilai adanya kesalahan dan pelaku dapat dipertanggungjawabkan dalam kasus Bank Century. Sehingga pernyataan KPK yang sama sekali menafikan hasil Pansus Angket Bank Century DPR dan hasil audit BPK sama sekali pernyataan yang menyesatkan. Dengan demikian, maka kita harus tetap “teriak” kepada KPK untuk melakukan pemeriksaan dan meneruskan kasus ini dimuka hukum.
Sebagai penutup, penulis mengajak kita semua agar tetap kritis dan memberikan dukungan kepada KPK untuk mengusut kasus ini dan pelaku dapat dipertanggungjawabkan dimuka.
Apabila KPK gagal menjawab ekseptasi dukungan publik, maka sudah saatnya kita tidak bisa berharap lagi, korupsi dapat diberantas dimuka bumi Indonesia..