Masih segar dalam ingatan kita tentang telah diperlakukan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menggantikan UU No. 5 Tahun 1997 (lihat pasal 153 ayat 2 UU No. 35 Tahun 2009).
UU ini diharapkan dapat menekan tingkat kejahatan narkotika yang setiap tahun naik terus menerus. Keinginan untuk memberantas peredaran narkotika haruslah didukung dan diberi apresiasi.
Pembongkaran rumah-rumah yang terbukti membuat narkotika membuktikan bahwa persoalan narkotika tidak bisa dianggap remeh. Apabila waktu sebelumnya Indonesia yang merupakan pengguna narkotika (konsumen) kemudian pada 5 tahun lalu, Indonesia masih merupakan daerah transit peredaran narkotika namun sekarang sudah terbukti menjadi negara pembuat narkotika. Tayangan televisi masih sering menyiarkan tentang rumah-rumah yang secara nyata terbukti memproduksi narkotika.
Dampak narkotika sudah dirasakan langsung oleh rakyat Indonesia.
Di Jambi sendiri pelaku narkotika sudah menjerat berbagai kalangan, dari pejabat pemerintah, anggota parlemen dan hampir segala lapisan masyarakat.
Peredaran narkotika sudah masuk kedalam pesta-pesta perkawinan dimana musik sebagai penghibur tamu undangan telah dijadikan pesta narkotika yang sound systemnya memekakkan telinga di malam hari dan mengganggu kenyaman tidur tetangga.
Selain itu juga merusak generasi muda yang terjebak dan larut dalam peredaran narkotika. Disatu sisi, upaya pemerintah yang melihat semakin merajalela kejahatan ini kemudian memproteksi masyarakat yang dapat terkena dampak peredaran narkotika dengan membuat UU No. 35 Tahun 2009.
UU ini selain memberikan ancaman yang tinggi kepada pelaku narkotika (dengan ancaman 4 tahun) juga memasukkan kriteria jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II kedalam kriteria narkotika golongan I.
Namun menurut penulis, kerancuan cara berfikir dan konstruksi hukum yang hendak dibangun menimbulkan persoalan dalam lapangna hukum pidana. Penulis akan mencoba membongkar kerancuan cara berfikir dan konstruksi hukum yang bertentangan dengan prinsip hukum pidana yang mengakibatkan keadilan tidak tercapai.
Secara umum, didalam lapangan hukum pidana, terhadap peristiwa terjadinya tindak pidana dikenal pelaku (dader) dan korban (victim witnees). Misalnya peristiwa pembunuhan, maka adanya pelaku (dader) dan korban yang dibunuh (victim witness).
Begitu juga dengan kejahatan lain seperti pencurian adanya pencuri (dader) dan orang yang kecurian (victim witnees).
Berbeda dengan kejahatan Korupsi. Kita hanya mengenal pelaku korupsi (dader) yang sering kita lihat di media massa dan tayangan televisi namun kita sulit mengidentifikasi siapa yang menjadi korban (victim witnees).
Apabila kita melihat kejahatan konvensional dimana korbannya bisa dilihat dan diketahui (victim witness), maka korbannya (victim witnees) dalam kejahatan korupsi adalah negara berupa kerugian negara. Dengna dasar kerugian negara, maka pelaku (dader) dapat dipersalahkan.
Lantas bagaimana dengan kejahatan narkotika. Siapakah yang menjadi pelaku (dader) dan siapa yang menjadi korban (victim Witnees). Apakah seseorang yang menggunakan narkotika dapat dikategorikan sebagai pelaku (dader) atau sebagai korban (victim witnees).
Lantas bagaimana dengan mereka yang ketergantungan narkotika ? Apakah pelaku narkotika harus dipertanggungjawabkan secara hukum sebagai pelaku (dader) atau harus disembuhkan (sebagai korban/victim witness).
Dari ranah ini sebenarnya, maka pertanyaan menarik adalah apakah pelaku narkotika (dader) harus mempertanggungjawabkan secara hukum. Apakah adil pelaku (dader) narkotika diadili ?
Walaupun rumusan UU ini dengan tegas menyatakan bahwa seluruh perbuatan ini dikategorikan sebagai kejahatan, maka haruslah dilihat dari lapangan hukum pidana dan keadilan.
Dari perspektif Hukum Positif, apabila kita perhatikan pasal yang dituduhkan kepada para pelaku, maka pihak berwenang menggunakan UU No. 35 Tahun 2009. Merujuk kepada asas positivisme, maka sudah terbukti perbuatan pelaku (dader) untuk memenuhi ketentuan posivitivisme.
Namun penerapan pasal ini tentu saja tidak memenuhi tujuan pemidanaan. Pemidanaan hanya dapat dikenakan terhadap badan (lihat pasal 10 KUHP). Apabila pemidanaan terhadap badan diperlakukan terhadap para pelaku, apakah badan yang kemudian didera dapat mengobati ketergantungan narkotika ?
Dari ranah ini kemudian penulis menyatakan, bahwa hukum tidak mampu menyelesaikan persoalan ketergantuan narkotika seseorang.
Didalam berbagai sistem hukum baik hukum yang dianut di Indonesia, sistem Eropa Kontinental maupun didalam sistem hukum anglo saxon, pemidanaan haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut.
Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader). Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban haruslah dikenakan kepada para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. (terjemahan bebas, DARI TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN MENUJU KEPADA TIADA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TANPA KESALAHAN, Chairul Huda, Penerbit Prenada Media, Jakarta, 2006, Hal. 39)
Didalam KUHP, walaupun kita mengenal telah terpenuhinya unsur didalam pasal yang dituduhkan, maka ada dua alasan menghilangkan sifat tindak pidana (Straf-uitsluitings-gronden). Yang pertama adalah menghilangkan sifat melanggar hukum atau “wederrchtelijkheid” atau “onrechtmatigheid” dan memaafkan si pelaku (“feit d’xcuse”)
Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya.
Dari dari sisi ini, penggunaan “mens rea” dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem.
Atau dengan kata lain Dari paparan yang telah disampaikan tersebut, maka secara prinsip penggunaan doktrin “mens rea” dalam sistem hukum common law sejalan dengan asas “geen straf zonder schul beginsel” dalam sistem hukum civil law.
Begitu pentingnya pembahasan tentang pemisahan teori kesalahan dan pertanggungjawaban sebagaimana telah penulis sampaikan, maka ajaran yang menempatkan kesalahan sebagai sebuah unsur dari tindak pidana yang merupakan hal essensial untuk melihat kesalahan dan pelaku (dader) dapat dipertanggungjawabkan. (Issu Aliran Sesat dari Perspektif Hukum , Jambi Ekspress, 27 November 2007)
Dengan demikian, terhadap penerapan UU No. 35 Tahun 2009 terhadap pelaku (dader) tidak dapat dibuktikan didalam sistem hukum Eropa Kontintental maupun sistem Anglo Saxon.
Lantas dari bagaimana dengan penerapan UU No. 35 Tahun 2009 apabila dilihat dari perspektif keadilan. Apakah adil memperlakukan para pelaku (dader) dengan pasal yang dituduhkan ? Apabila kita berangkat dari pemikiran konsepsi pemikiran “positivisme”, pembuktian pasal ini sudah dapat apakah pelaku telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur didalam UU No. 35 Tahun 2009.
Pembuktian terhadap pasal ini dengan gampang dilakukan oleh hakim. Dalam berbagai literatur yang menjadi sorotan penulis, bahwa sebagaimana diatur didalam Putusan Mahkamah Agung No. 178 K/Kr/1959 tanggal 8 Desember 1959 yang menyatakan hakim bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang berlaku dan tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan perundang-undangan atau pernyataan bahwa karena unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan dalam surat dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dari segala tuduhan menurut penulis melambangkan alam berfikir hakim didalam memutuskan perkara.
Namun didalam makna keadilan dilihat dari konteks tujuan pemidanaan, maka sesungguhnya tujuan pemidanaan tidak tercapai. Para pelaku (dader) tidak tepat dijerat dengan pasal-pasal tersebut.
Para pelaku yang diadili karena menggunakan narkotika sungguh tidak tercapainya “efek jera” baik kepada para pelaku maupun kepada masyarakat Lantas, apakah tujuan pemidanaan akan tercapai dengan diterapkan pasal tersebut. apakah para pelaku akan jera ? atau akan pura-pura jera agar tidak dihukum berat.
Atau apakah pemidanaan akan effektif tidak terjadinya kasus-kasus ini di kemudian hari. Pertanyaan ini sengaja penulis sampaikan sebagai bentuk “gugat” penerapan pasal terhadap para pelaku (dader).
Catatan ini sengaja penulis sampaikan, agar kita tidak sembarangan menggunakan hukum terhadap persoalan-persoalan yang seharusnya diselesaikan diluar koridor hukum.
Dan tentu saja menjadi urusan negara untuk menyelesaikan semaraknya kasus narkoba dengna melaksanakan kewajiban untuk menyembuhkan ketergantungan narkotika.
Terlalu banyak catatan-catatan sejarah yang tidak mungkin penulis sampaikan semuanya.
Namun yang menjadi keprihatian penulis, adalah ketika kebenaran yang dianggap mutlak oleh negara dengan menggunakan hukum, maka sesungguhnya kita telah menciptakan tirani baru terhadap para mereka yang dianggap berbeda pandangan dengan kita. Apakah kita mau melakukan kesalahan yang sama ?