16 Maret 2010

opini musri nauli : CATATAN HUKUM KASUS CENTURY



Hari-hari ini kita dikejutkan sikap KPK terkait rekomendasi Pansus DPR tentang kasus Century. (Sementara ini, informasi dari Pansus tidak cukup," kata Wakil Ketua KPK Haryono Umar di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2010). www.detik.com Senin, 15/03/2010 17:45 WIB) 

07 Maret 2010

opini musri nauli : UU No. 35 Tahun 2009 Kriminalisasi Korban Narkoba ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana




Masih segar dalam ingatan kita tentang telah diperlakukan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menggantikan UU No. 5 Tahun 1997 (lihat pasal 153 ayat 2 UU No. 35 Tahun 2009). 

06 Maret 2010

opini musri nauli : Penyertaan dalam Kasus Pidana (Studi Kasus Antasar Azhar)


Beberapa waktu yang lalu, konsentrasi nasional ditujukan persidangan AA (mantan Ketua KPK) yang didakwa melakukan perbuatan pidana pembunuhan berencana terhadap Nas (Direktur PT. Rajawali Banjaran Negara). 


Konsentrasi nasional ini ditujukan untuk melihat keterkaitan antara AA dengan terbunuhnya Nas. Pandangan publik terbelah. Sebagian kalangan menduga bahwa adanya upaya rekayasa terhadap AA yang berhasil mengggegerkan belantara nasional dengan sepak terjangnya di KPK. Sebagian meyakini bahwa AA terlibat dalam rangkaian pembunuhan tersebut bersama dengan WW dan Sgt. 

05 Maret 2010

opini musri nauli : KEBIJAKAN, KEBIJAKSANAAN DAN KEBIJAKAN YANG DAPAT DIPIDANA




Akhir-akhir ini dunia politik Indonesia sedang gemuruh. Gemuruh politik ini apabila disandingkan dengan pementasan wayang, diibaratkan “goro-goro”, suasana heboh, tidak tentu, ribut, semua orang menganggap dia yang paling benar. Goro-goro ini sering dipentaskan pada malam hari menjelang pagi. Disaat penonton sebagian terkantuk-kantuk mendengarkan wayang, goro-goro diperlukan sebagai penghilang rasa kantuk. 

Goro-goro juga diperlukan sebagai bentuk bakti rakyat kepada rajanya. Goro-goro diperlukan agar yang bathil keluar dari wujud manusia dan yang baik akan memimpin selanjutnya. Goro-goro juga diperlukan untuk melihat siapa yang jujur dan siapa yang berhati culas. 

 Entah apa yang sesungguhnya terjadi. Hanya dalang yang tahu. Dalanglah yang akan menentukan lakon selanjutnya. Dalang pula yang menentukan siapa wayang yang akan dikeluarkan dan siapa pula yang akan disimpan masuk peti. Lakon Century mulai memasuki babak baru. 

Hiruk pikuk dan gemuruh kasus Century mulai bergeser dari senayan ke istana. Parlemen telah menetapkan adanya hak menyatakan pendapat dalam menilai kasus Bank Century. Penetapan hak menyatakan pendapat telah memberikan rekomendasi akhir bahwa dana talangan yang diberikan kepada Bank Century menemukan penyimpangan. 

Sehingga dana talangan yang semestinya digunakan untuk bank sehat diindikasikan “bau tidak sedap”. Sekarang wacana bergeser. Apabila rekomendasi DPR didalam menilai “bau tidak sedap’ berdimensi politik, maka sekarang issu hukum mulai merebak. 

Wacana seperti Kebijakan, kebijaksanaan dan Kebijakan tidak dapat dipidana mulai bersileweran di wacana publik. Dari pemikiran inilah, penulis urun rembug untuk melihat kasus ini secara jernih. Ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy science (Dror, 1968: 6-8 ). 

Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public policy analysis dalam pengertian yang tidak berbeda. 

Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. 

Ini sejalan dengan pengertian public itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum. 

 Dengan demikian perbedaan makna antara perkataan kebijaksanaan dan kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu diartikan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan kepada masyarakat umum. Kebijakan (policy), sangat erat kaitannya dengan kewenangan, kebijakan muncul karena adanya kewenangan, kewenangan berkaitan dengan jabatan, kebijakan hanya dapat dilakukan oleh karena adanya kewenangan yang melekat pada seseorang. 

Orang yang tidak mempunyai kewenangan tidak dapat menerbitkan kebijakan Kebijaksanaan merupakan suatu bentuk pengenyampingan terhadap aturan, diumpamakan dalam suatu hal telah ada ketentuan tentang larangan untuk melakukan atau dilakukan sesuatu, tetapi kemudian terdapat pengenyampingan aturan tersebut bahwa sesuatu atau dapat dilakukan atau boleh melakukan sesuatu yang telah dilarang, diperkenankannya melakukan atau dilakukan sesuatu yang dilarang tersebut disertai dengan syarat. 

Kebijaksanaan berkaitan erat dengan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang mendapatkan kebijaksanaan, calon penerima kebijaksanaan harus melakukan/memberikan/membuat sesuau agar kebijaksanaan dapat dikeluarkan, apabila syarat untuk dikeluarkannya kebijaksanaan tidak dipenuhi, maka kebijaksanaan tersebut tidak dapat dikeluarkan oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijaksanaan.

Dengan demikian, “bijaksana” memiliki arti yang sama dengan kata “bijak”, yaitu selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuan), arif, dan tajam pikiran. Sedangkan “kebijaksanaan” merujuk pada kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya) 

 Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal dari keinginan untuk membedakan istilah policy sebgai keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah discretion, yang dapat diartikan “ilah” atau keputusan yang bersifat kasuistis untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu. Kata policy secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang berarti negara-kota. 

Dalam bahasa latin kata ini menjadi politia, artinya negara. Masuk kedalam bahasa Inggris lama (Middle English), kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya berkaitan dengan urusan perintah atau administrasi pemerintah (Dunn,1981:7). (lihat Kebijakan Publik karangan Said Zainal Abidin, Edisi Revisi, tahun 2004, Penerbit: Yayasan Pancur Siwah, Jakarta). 

Dalam konteks hukum tata usaha negara Indonesia, masih terdapat kerancuan mengenai hubungan antara kebijakan dengan keputusan (beschicking) maupun pengaturan (regelling). 

Dalam konteks peraturan perundangan, kebijakan memiliki konotasi kesejahteraan masyarakat. Pada masa Orde Baru, 

kebijaksanaan juga digunakan untuk kebijakan. Dalam realitas di masyarakat, seringkali terjadi kerancuan dalam memahami kesamaan dan perbedaan antara hukum, kebijakan dan kebijaksanaan. 

Hukum dipahami/diartikan dengan kebijakan, kebijakan dipandang sama dengan kebijaksanaan, bahkan yang paling rancu seringkali ada kebijakan atau kebijaksanaan dipandang sebagai hukum. 

Pembedaan ini sengaja penulis sampaikan karena menimbulkan akibat hukum. Kebijakan, maka akan menimbulanm konskwensi hukum yang muncul sebagai akibat diterbitkannya. 

Kebijakan merupakan tanggung jawab dari pengambil kebijakan, sedangkan bagi pelaksana kebijakan, selama dalam pelaksanaannya tidak menyimpang dari kebijakan yang ada maka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atas akibat dari pelaksanaan kebijakan. 

 Namun apabila dalam pelaksanaan kebijakan ada penyimpangan dan berdampak hukum maka pelaksana kebijakan yang menyimpang bertanggung jawab secara pribadi (Ultra Vires) atas dampak yang muncul. 

Untuk kebijaksanaan, maka apabila pemohon kebijaksanaan tidak memenuhi klausula/syarat diberikannya kebijaksanaan, maka pihak yang berwenang memberi kebijaksanaan tentu tidak dapat mengeluarkan kebijaksanaannya, sebaliknya apabila syarat tidak dipenuhi sementara pengambil kebijaksanaan tetap mengeluarkan kebijaksanaan maka pengambil kebijaksanaan dapat dimintai pertanggung jawaban hukum/sanksi atas tindakannya. 

Sedangkan apabila apabila syarat tidak terpenuhi sementara kebijaksanaan tetap dikeluarkan maka pengambil kebijaksanaan dapat dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum. 

 Berangkat dari paparan yang telah penulis sampaikan, maka barulah kita melihat kepada konteks pada kasus Bank Century. Didalam melihat kasus ini, maka haruslah dilihat ketentuan norma yang dilanggar dalam proses bail out, dana talangan, merger dan pengucuran dana tersebut. 

 Ketentuan yang mengatur tentu saja UU Korupsi, UU Pencucian Uang, UU Perbankan dan tindak pidana umum lainnya. Untuk mengidentifikasi perbuatan yang dapat diancama, maka kita harus memetakan dahulu persoalannya. 

Pertanyaan seperti, apakah para pengambil kebijakan mengetahui kewenangan yang ada ? apakah proses nya telah melalui mekanisme yang baik. Apakah hal-hal yang diatur telah sesuai dengan kewenangannya. Apabila kita perhatikan kepada tayangan live tv, maka didapatkan fakta bahwa kewenangan KSSK, BI, LPS didalam melaksanakan tahap-tahap bail out masih kabur. 

Apakah begitu berdampak sistematik yang membuat para pemangku kebijakan mengambil keputusan itu. Fakta-fakta yang terungkap memberikan catatan penting, bahwa Bank century sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai bank yang berdampak sistematik. 

Transaksi dengan Bank Century sama sekali tidak menganggu industri perbankan nasional. (bandingkan saat rush bank BCA beberapa waktu yang lalu). 

Apakah begitu parahnya emergency dan berdampak sistematik sehingga rapat diadakan dan keputusan harus diambil sampai jam 4 subuh ? apakah upaya penggantian ketentuan Peraturan BI untuk mencukupi syarat sehingga Bank Century bisa mendapatkan talangan? 

Sorotan didalam melihat kewenangan dari pemangku kebijakan merupakan salah satu sendi untuk melihat apakah kebijakan itu dapat diproses hukum atau tidak. 

Secara kasat mata dengan jelas tergambar, bahwa upaya sistematis untuk mencukupi Bank Century mendapatkan dana talangan berindikasikan “aroma tidak sedap”. 

Pernyataan Direktur BI yang memberikan penjelasan bahwa Bank Century tidak layak diberikan dana talangan sama sekali diabaikan para pemangku kebijakan. 

Para pemangku kebijakan kemudian memutuskan tetap memberikan dana talangan kepada Bank Century. Cerita ini semakin “tidak sedap” disaat bersamaan keputusan Pemerintah memberikan talangan sama sekali tidak diketahui Kepala Negara ad interm Wakil Presiden. 

Wapres Jusuf Kalla justru dikabarkan setelah dana dikucurkan. Dengan demikian, maka secara formal, kewenangan pemangku kebijakan didalam pengucuran dana talangan sudah bermasalah. 

Permasalahan inilah yang membuat DPR meradang karena kewenangan yang diberikan menggunakan Perpu No. 4 tahun 2008 yang kemudian terbukti tidak berlaku. Maka sudah jelas kelihatan, bahwa kebijakan yang dilakukan bermasalah. 

Atau dengan kata lain, bahwa kewenangan pemangku kebijakan menimbulkan persoalan. 

Dari ranah ini kemudian penulis membantah pernyataan bahwa kebijakan tidak dapat diproses secara hukum. 

 Walaupun penulis menyoroti kewenangan pemangku kebijakan yang bermasalah namun penulis mencoba mengidentifikasi apakah terhadap kewenangan yang bermasalah tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. 

 Didalam lapangan hukum pidana, untuk melihat kesalahan seseorang selain daripada telah terjadinya tindak pidana, adanya kesalahan pada diri terdakwa dan terdakwa dapat dipertanggungjawabkan. 

Berangkat dari pemikiran itu, maka penulis akan mencoba mengidentifikasikan untuk melihat kesalahan dari para pemangku kebijakan. 

 Didalam melihat kesalahan terutama dihubungkan dengan UU Korupsi, UU Perbankan, UU Money loundry dan tindak pidana lainnya, maka menurut penulis masih menjadi persoalan didalam lapangan pembuktian. 

Upaya yang dilakukan para pemangku kebijakan didalam menyelamatkan krisis haruslah diberi konteks dari sudut pandang ilmu ekonomi. 

Dari ranah ini sebenarnya, upaya penyelamatan yang dilakukan haruslah steril dari keuntungan yang didapat para pemangku kebijakan. 

Sehingga unsur “kerugian negara” sebagai unsur yang essensial dari tindak pidana korupsi haruslah dibuktikan. 

Hasil audit BPK yang menghitung kerugian negara akibat Bail out haruslah diletakkan pada konteks upaya menyelamatkan keuangan negara. 

Bukan potensi kerugian negara yang akan terjadi. Kerugian negara yang bisa ditimbulkan dari dana talangan harus juga diletakkan pada konteksnya yaitu mengembalikan kerugian negara tersebut baik melalui mekanisme gugatan perdata maupun administrasi negara. 

Dari ranah ini, hasil audit BPK barulah dijadikan dasar untuk melihat kesalahan dan para pemangku dapat dipertanggungjawabkan. Ketentuan ini sengaja penulis sedikit uraikan agar kita bisa mengidentifikasikan kasus Century secara obyektif. 

Dengan demikian, apabila uraian ini tidak bisa ditemukan pada kasus Century, maka sudah seharusnya, para pemangku kebijakan harus mempertanggungjawabkan dimuka hukum (Ultra Vires).

opini musri nauli : Mario Teguh dan Wajah Kita


Beberapa waktu yang lalu, dunia internet dihebohkan pernyataan salah satu Motivator kondang Indonesia, Mario Teguh yang mengatakan bahwa perempuan Indonesia yang suka merokok, dubbing, mabuk dan sering pulang malam tidak baik dan direncanakan menjadi istri. 

17 Februari 2010

opini musri nauli : CATATAN HUKUM RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan


Beberapa waktu yang lalu, wacana publik dihangatkan issu tentang RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang memuat sanksi pidana. (Pasal 143 RUU tersebut menyebutkan 'Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan). 

04 Januari 2010

opini musri nauli : Gusdur

Mendapatkan kabar meninggal dunia Abdurahman Wahid (Gusdur) ketika turun dari puncak gunung Kerinci (23 Desember 2009 - 2 Januari 2010) memang menyesakkan dada. Apalagi setelah kabar meninggalnya berlalu beberapa hari (30 Desember 2009).


23 Desember 2009

opini musri nauli : TAHUN 2009 Hukum Jatuh Pada Titik Nadir terendah



11 tahun reformasi tidak membuat sektor hukum berbenah untuk mereformasi dan memperbaiki diri. 

Putusan DK-KPU Soal Sardaini Jadi Sorotan




KOTAJAMBI – Putusan Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU) Provinsi Jambi yang tidak menjatuhkan sanksi tegas terhadap KPU Sarolangun terkait lolosnya Sardaini menjadi caleg dan anggota DPRD Sarolangun masa bhakti 2009 - 2014, mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi Jambi, Solahuddin S.Pt M.Si, kecewa terhadap putusan DK-KPU yang tidak memberi sanksi tegas kepada 5 anggota KPU Sarolangun yang menetapkan kader PKPI, Sardaini, sebagai caleg. Status Sardaini juga tidak dibatalkan dari anggota DPRD, padahal KPU Sarolangun tahu Sardaini pernah dipenjara 6 tahun pada 1987 lalu. Kesalahan itu sangat fatal, seharusnya berujung pada pemecatan. “Tidak ada alasan bagi DK-KPU tidak memecat 5 anggota KPU Sarolangun itu," kata Solahuddin di kediamannya, Telanaipura, Kota Jambi, Selasa (22/12). 

10 Desember 2009

opini musri nauli : WAJAH BOPENG PENEGAKAN HAM (Hari HAM Sedunia 10 Desember 2009)


Dalam rangka memperingati Hari Ham Sedunia, seharusnya Indonesia harus lebih maju, lebih baik, lebih bermartabat, lebih berbudaya, lebih mulia dibandingkan dengna negara-negara lain termasuk negara-negara yang mengaku kampiun demokrasi. 

Hampir praktis, konvensi-konvensi PBB yang mengatur tentang perlindungan HAM telah diratifikasi dalam konstitusi kita. Bahkan amandemen UUD 945 terutama dalam rumusan pasal 28 telah memberikan garis tegas (guide line) yang memberikan perlindungan HAM kepada Indonesia. 

Guide line inilah yang menjadikan pintu masuk mahkamah Konstitusi didalam mengadili dan memeriksa perkara dalam sengketa konstitusi rumusan undang-undang. 

 Secara jujur harus kita aku, didalam masa reformasi pasca tumbangnya rezim otoriter Soeharto, hampir setiap sendi-sendi rumusan HAM telah diatur diberbagai ketentuan. 

Di sektor perburuhan, rumusan tentang hak berserikat telah diatur berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 83 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi. 

Yang meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 yang kemudian diatur didalam UU No. 13 tahun 2003, Pencabutan Kepmenaker 150/1998 dengan Kepmenaker No. 70/2001 yang memberikan kesempatan pengusaha untuk melakukan PHK tanpa pesangon, hak mogok, yang sebelumnya masih tabu, telah menjadikan serikat buruh diakui dan mempunyai peran penting dalam bidang perekonomian. 

 Sementara itu, hak-hak konstitusional rakyat yang distigma orde baru dalam peristiwa Politik G-30 S/PKI telah dicabut dan mempunyai hak yang sama dengan yang lain baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih oleh Mahkamah Konstitusi. 

Selain itu, pencabutan pasal yang tidak membolehkan narapidana mencalonkan anggota parlemen juga telah dicabut. 

Belum lagi berbagai pasal-pasal KUHP yang dianggap tidak sesuai dengna perkembangan zaman dan dianggap sebagai warisan kolonial yang tidak memberikan perlindungan HAM telah dicabut oleh MK. 

 Dalam berbagai rumusan UU, dengan gamblang kita bisa menemukan bagaimana Indonesia mulai menata kehidupan demokrasi dan mengatur kehidupan HAM yang lebih baik. 

Dengan demikian, secara singkat, dapat dinyatakan, terlepas dari kekurangannya, Indonesia telah mempunyai rumusan peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan HAM. 

Namun dalam rangka memperingati hari HAM sedunia tahun 2009, refleksi kita tidak sesederhana itu. Ada tiga persoalan pokok yang menurut penulis masih memerluka perjuangan kita untuk menegakkan HAM. Perjuangan pertama. Rumusan Hukuman mati masih menimbulkan perdebatan yang panjang. 

Sebagaimana telah diatur didalam konstitusi UUD 1945, bahwa pada prinsipnya, manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang bertugas mengelola dan memelihara alam semesta dan mempunyai tanggungjawab untuk kesejahteraan umar manusia (lihat rumusan Filosofi UU No. 26 tahun 2000 Tentang Hak Asasi Manusia). 

Hak yang dimaksudkan didalam pasal 1 tersebut dapat kita lihar didalam pasal 4 yaitu “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun 

 Sebagaimana didalam rumusan pasal 4 tersebut, maka “hak untuk hidup” tentunya “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Prinsip dasar ini seharusnya menjadi pisau analisis untuk membedah berbagai peraturan yang memuat hukuman mati. 

Namun rumusan hukuman mati termasuk pidana pokok sebagaimana diatur didalam Pasal 10 KUHP. Rumusan perbuatan didalam KUHP yang masih mengatur hukuman mati dapat dilihat didalam Pasal 104, 111 ayat (2) , 124 Ayat (3), 140 ayat (3), 365 ayat (4), pasal 444, pasal 479 ayat (2) huruf k, dan pasal 479 ayat (2) huruf o, yang berkaitan dengna kejahatan terhadap negara atau makar yang biasa dikenal dengan tuduhan pasal Hatzakai Artikelen dan pasal 340 kejahatan terhadap nyawa. 

 Sedangkan diluar KUHP dapat dilihat didalam berbagai UU seperti Pasal 59 UU (1) UU. No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Pasal 80 (1), Pasal 82(1) UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. UU Korupsi juga mengatur tentang Hukuman mati sebagaimana diatur didalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Junto UU No. 20 Tahun 2001. 

Didalam tindak pidana terorisme juga mengatur tentang hukuman mati sebagaimana PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME yang kemudian menjadi UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Undang-undang NOMOR 15 TAHUN 2003TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG. 

 Dari identifikasi didalam rumusan berbagai UU, maka masih terdapat kontradiksi dengna hak-hak konstitusional rakyat yang telah diatur didalam amandemen UUD 1945 dengan rumusan yang masih mengatur tentang hukuman mati. 

Dengan demikian, maka kita dapat mengerti apabila penerapan hukuman mati dalam berbagai kasus di Indonesia, memantik reaksi yang menyita perhatian publik. 

 Oleh karena itu, menurut penulis, sudah seharusnya, rumusan hukuman mati dihapuskan dalam berbagai rumusan peraturan perundang-undangna di Indonesia. Perjuangan Kedua. 

Pengungkapan kasus-kasus HAM. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan kita bersama, rezim otoriter Soeharto memberikan catatan hitam dalam kejahatan HAM. 

Naiknya Soeharto dengan stigma anti komunis, memaksa Soeharto harus memberangus komunisme di Indonesia. Anggota yang dituduh terlibat dalam komunisme kemudian dihabis. Kita masih ingat dalam peristiwa G-30 S/PKI ternyata memakan korban anak bangsa. 

Pembantaian terhadap masyarakat yang dituduh komunisme mengingatkan cara yang digunakan Hitler dalam pembantaian Nazi pada perang dunia II di Eropa. 

Dalam berbagai dokumen sejarah, pembantaian terhadap masyarakat yang dituduh komunis oleh Soeharto lebih kejam, lebih sadis, bahkan jumlah korban pembantaian melebihi korban pembantaian yang dilakukan Hitler. 

 Cara-cara yang digunakan oleh Soeharto kemudian berhasil memaksa agar rakyat patuh terhadap pemerintahan Soeharto. 

Cara-cara ini kemudian diteruskan peristiwa 1984 dalam kasus Amir Biki, penembakan misterisus (PETRUS) 78-81, Kasus Lampung 1989, Timor-timur 1991, kerusuhan Juli 1996. 

Bahkan cara-cara ini juga digunakan dalam peristiwa 13-4 Mei 998 dalam entititas etnis China yang kemudian memicu kerusuhan sosial yang memuncak pendudukan mahasiswa di parlemen. Peristiwa terakhir kemudian berhasil melengserkan Soeharto dari kekuasaannya. 

 Namun karena pengungkapan kasus-kasus HAM tidak pernah berhasil, pada masa orde barupun masih terjadi. Penyerbuan pesantren Tengku Bantaqiah di simpang V, daerah Aceh membuktikan bahwa pengungkapan kasus HAM mutlak diperjuangkan. 

Tentu saja masih banyak peristiwa pelanggaran HAM yang tersebar dari Aceh hinggga Papua yang tidak bisa kita hitung dan belum berhasil diungkapkan. 

Pengungkapan kasus-kasus HAM berpretensi agar kesalahan masa lalu tidak diulangi oleh anak cucu kita. Dan kita tidak melahirkan masyarakat dendam. 

 Perjuangan Ketiga. Di sekeliling kita masih terdengar terhadap pemeriksaan yang masih jauh dari perlindungan HAM. 

Kita masih sering mendengar cerita tentang perlakuan penyidik (terutama dalam kasus-kasus pencurian) yang masih menggunakan pendekatan fisik dan tidak mengungkapkan kasus berdasarkan bukti-bukti. 

Pencabutan keterangan saksi dalam peristiwa pembunuhan Nasrudin dalam kasus AA dan WW membuktikan muara dari gunung es terhadap perlindungan HAM. 

 Didalam UU No. 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sebenarnya, sudah tegas dan jelas mengatur hak-hak orang yang mengalami proses hukum. 

Hak-hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang cepat (pasal 50), hak mempersiapkan pembelaan (pasal 51), hak memberikan keterangan bebas (pasal 52), mendapatkan juru bahasa (pasal 53), hak mendapatkan bantuan hukum (pasal 54), hak kunjungna dokter pribadi (pasal 58), hak mendapatkna kunjungna keluarga (pasal 60), hak kunjungan rohaniawan (63) maupun hak-hak lain yang secara jelas telah diatur didalam KUHAP. 

Namun hak-hak yang telah tercantum itu masih menjadikan dokumen suci itu masih berada di langit yang tidak mengejawantah dalam pelaksanaan dan perlindungan HAM.

Dari pengalamana dan pengamatan penulis sebagai praktisi hukum, hak yang paling sering dilanggar dalam pemeriksaan adalah hak mendapatkan bantuan hukum dan hak memberikan keterangan bebas. 

Secara subyektif penulis memberikan sorotan terhadap penerapan pasal ini didasarkan kepada berbagai faktor. Didalam rumusan pasal 54 KUHAP dan pasal 56 KUHAP, bantuan hukum yang masih jarang digunakan didasarkan kepada berbagai sebab. 

Alasan yang paling sering digunakan karena jumlah penasehat hukum didaerah yang masih minim, pengetahuan masyarakat yang masih minim dan tidak diterangkan hak-hak tersangka, jauh dari akses mendapatkan keadilan dan sebagainya. 

Menurut penulis, alasan terhadap jumlah penasehat hukum harus disiati dengna cara penyidik menghubungi lembaga-lembaga yang memberikan konsentrasi terhadap bantuan hukum seperti lembaga bantuan hukum, asosiasi maupun menghubungi penasehat hukum. Kewajiban setiap tingkat pemeriksaan untuk menyediakan bantuan hukum mutlak sebagaimana diatur didalam pasal 56 KUHAP. 

Kewajiban mutlak ini apabila tidak dilakukan mengakibatkan proses pemeriksaan menjadi tidak sah. Pemeriksaan yang tidak prosedural mengakibatkan terhaap materi pemeriksaan batal demi hukum. 

Berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung memberikan garis tegas, agar setiap tingkatan pemeriksaan harus didampingi penasehat hukum. 

 Selain itu, berkas perkara yang sulit didapatkan. Dalam praktek sehari-hari, berkas perkara masih dianggap dokumen resmi yang sangat sulit didapatkan. Argumentasi bahwa itu merupakan dokumen resmi sangat tidak tepat diperlakukan kepada tersangka atau penasehat hukum. 

Rumusan pasal 143 dan penjelasan pasal 143 KUHAP secara tegas menerangkan bahwa berkas perkara adalah hak tersangka dalam pembelaannya. 

Dengan demikian, maka rumusan pasal 143 ayat (4) KUHAP dan penjelasan memberikan kewajiban kepada jaksa penuntut umum agar memberikan berkas perkara saat pelimpahan perkara kepada Pengadilan Negeri Paparan yang telah penulis uraikan adalah pintu masuk terhadap perlindungan hak-hak tersangka dari penyiksaan fisik terhadap tersangka maupun pelanggaran HAM dalam setiap proses hukum. 

Kewajiban hukum menyediakan bantuan hukum setiap pemeriksaan memastikan agar tegaknya hak tersangka dan proses hukum berjalan sebagaimana mestinya. 

Buramnya pelaksanaan hak-hak dan perlindungan HAM apabila diibaratkan wajah manusia, maka dapatlah dikatakan bopeng, buruk, buram dan sangat jijik kita memandangnya. 

Kita tentu sangat jijik pelaksanaan HAM yang jauh dari kesan masyarkat beradab, berbudaya dan masih menggunakan cara-cara barbar, menyiksa dan cenderung jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. 

Paparan ini juga menjelaskan wajah Bopeng Hari HAM 2009. Momentum Hari HAM sedunia tahun 2009 merupakan momentum terhadap perbaikan dalam pelaksaaan HAM. Momentum ini jangan hilang dan menjadi utopia yang harus terus diperjuangkan.


 http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/8778-wajah-bopeng-penegakan-ham.html