Hampir praktis, konvensi-konvensi PBB yang mengatur tentang perlindungan HAM telah diratifikasi dalam konstitusi kita. Bahkan amandemen UUD 945 terutama dalam rumusan pasal 28 telah memberikan garis tegas (guide line) yang memberikan perlindungan HAM kepada Indonesia.
Guide line inilah yang menjadikan pintu masuk mahkamah Konstitusi didalam mengadili dan memeriksa perkara dalam sengketa konstitusi rumusan undang-undang.
Secara jujur harus kita aku, didalam masa reformasi pasca tumbangnya rezim otoriter Soeharto, hampir setiap sendi-sendi rumusan HAM telah diatur diberbagai ketentuan.
Di sektor perburuhan, rumusan tentang hak berserikat telah diatur berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 83 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi.
Yang meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 yang kemudian diatur didalam UU No. 13 tahun 2003, Pencabutan Kepmenaker 150/1998 dengan Kepmenaker No. 70/2001 yang memberikan kesempatan pengusaha untuk melakukan PHK tanpa pesangon, hak mogok, yang sebelumnya masih tabu, telah menjadikan serikat buruh diakui dan mempunyai peran penting dalam bidang perekonomian.
Sementara itu, hak-hak konstitusional rakyat yang distigma orde baru dalam peristiwa Politik G-30 S/PKI telah dicabut dan mempunyai hak yang sama dengan yang lain baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih oleh Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, pencabutan pasal yang tidak membolehkan narapidana mencalonkan anggota parlemen juga telah dicabut.
Belum lagi berbagai pasal-pasal KUHP yang dianggap tidak sesuai dengna perkembangan zaman dan dianggap sebagai warisan kolonial yang tidak memberikan perlindungan HAM telah dicabut oleh MK.
Dalam berbagai rumusan UU, dengan gamblang kita bisa menemukan bagaimana Indonesia mulai menata kehidupan demokrasi dan mengatur kehidupan HAM yang lebih baik.
Dengan demikian, secara singkat, dapat dinyatakan, terlepas dari kekurangannya, Indonesia telah mempunyai rumusan peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan HAM.
Namun dalam rangka memperingati hari HAM sedunia tahun 2009, refleksi kita tidak sesederhana itu. Ada tiga persoalan pokok yang menurut penulis masih memerluka perjuangan kita untuk menegakkan HAM.
Perjuangan pertama. Rumusan Hukuman mati masih menimbulkan perdebatan yang panjang.
Sebagaimana telah diatur didalam konstitusi UUD 1945, bahwa pada prinsipnya, manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang bertugas mengelola dan memelihara alam semesta dan mempunyai tanggungjawab untuk kesejahteraan umar manusia (lihat rumusan Filosofi UU No. 26 tahun 2000 Tentang Hak Asasi Manusia).
Hak yang dimaksudkan didalam pasal 1 tersebut dapat kita lihar didalam pasal 4 yaitu “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun
Sebagaimana didalam rumusan pasal 4 tersebut, maka “hak untuk hidup” tentunya “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Prinsip dasar ini seharusnya menjadi pisau analisis untuk membedah berbagai peraturan yang memuat hukuman mati.
Namun rumusan hukuman mati termasuk pidana pokok sebagaimana diatur didalam Pasal 10 KUHP. Rumusan perbuatan didalam KUHP yang masih mengatur hukuman mati dapat dilihat didalam Pasal 104, 111 ayat (2) , 124 Ayat (3), 140 ayat (3), 365 ayat (4), pasal 444, pasal 479 ayat (2) huruf k, dan pasal 479 ayat (2) huruf o, yang berkaitan dengna kejahatan terhadap negara atau makar yang biasa dikenal dengan tuduhan pasal Hatzakai Artikelen dan pasal 340 kejahatan terhadap nyawa.
Sedangkan diluar KUHP dapat dilihat didalam berbagai UU seperti Pasal 59 UU (1) UU. No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Pasal 80 (1), Pasal 82(1) UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. UU Korupsi juga mengatur tentang Hukuman mati sebagaimana diatur didalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Junto UU No. 20 Tahun 2001.
Didalam tindak pidana terorisme juga mengatur tentang hukuman mati sebagaimana PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME yang kemudian menjadi UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Undang-undang NOMOR 15 TAHUN 2003TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG.
Dari identifikasi didalam rumusan berbagai UU, maka masih terdapat kontradiksi dengna hak-hak konstitusional rakyat yang telah diatur didalam amandemen UUD 1945 dengan rumusan yang masih mengatur tentang hukuman mati.
Dengan demikian, maka kita dapat mengerti apabila penerapan hukuman mati dalam berbagai kasus di Indonesia, memantik reaksi yang menyita perhatian publik.
Oleh karena itu, menurut penulis, sudah seharusnya, rumusan hukuman mati dihapuskan dalam berbagai rumusan peraturan perundang-undangna di Indonesia.
Perjuangan Kedua.
Pengungkapan kasus-kasus HAM. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan kita bersama, rezim otoriter Soeharto memberikan catatan hitam dalam kejahatan HAM.
Naiknya Soeharto dengan stigma anti komunis, memaksa Soeharto harus memberangus komunisme di Indonesia. Anggota yang dituduh terlibat dalam komunisme kemudian dihabis. Kita masih ingat dalam peristiwa G-30 S/PKI ternyata memakan korban anak bangsa.
Pembantaian terhadap masyarakat yang dituduh komunisme mengingatkan cara yang digunakan Hitler dalam pembantaian Nazi pada perang dunia II di Eropa.
Dalam berbagai dokumen sejarah, pembantaian terhadap masyarakat yang dituduh komunis oleh Soeharto lebih kejam, lebih sadis, bahkan jumlah korban pembantaian melebihi korban pembantaian yang dilakukan Hitler.
Cara-cara yang digunakan oleh Soeharto kemudian berhasil memaksa agar rakyat patuh terhadap pemerintahan Soeharto.
Cara-cara ini kemudian diteruskan peristiwa 1984 dalam kasus Amir Biki, penembakan misterisus (PETRUS) 78-81, Kasus Lampung 1989, Timor-timur 1991, kerusuhan Juli 1996.
Bahkan cara-cara ini juga digunakan dalam peristiwa 13-4 Mei 998 dalam entititas etnis China yang kemudian memicu kerusuhan sosial yang memuncak pendudukan mahasiswa di parlemen. Peristiwa terakhir kemudian berhasil melengserkan Soeharto dari kekuasaannya.
Namun karena pengungkapan kasus-kasus HAM tidak pernah berhasil, pada masa orde barupun masih terjadi. Penyerbuan pesantren Tengku Bantaqiah di simpang V, daerah Aceh membuktikan bahwa pengungkapan kasus HAM mutlak diperjuangkan.
Tentu saja masih banyak peristiwa pelanggaran HAM yang tersebar dari Aceh hinggga Papua yang tidak bisa kita hitung dan belum berhasil diungkapkan.
Pengungkapan kasus-kasus HAM berpretensi agar kesalahan masa lalu tidak diulangi oleh anak cucu kita. Dan kita tidak melahirkan masyarakat dendam.
Perjuangan Ketiga. Di sekeliling kita masih terdengar terhadap pemeriksaan yang masih jauh dari perlindungan HAM.
Kita masih sering mendengar cerita tentang perlakuan penyidik (terutama dalam kasus-kasus pencurian) yang masih menggunakan pendekatan fisik dan tidak mengungkapkan kasus berdasarkan bukti-bukti.
Pencabutan keterangan saksi dalam peristiwa pembunuhan Nasrudin dalam kasus AA dan WW membuktikan muara dari gunung es terhadap perlindungan HAM.
Didalam UU No. 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sebenarnya, sudah tegas dan jelas mengatur hak-hak orang yang mengalami proses hukum.
Hak-hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang cepat (pasal 50), hak mempersiapkan pembelaan (pasal 51), hak memberikan keterangan bebas (pasal 52), mendapatkan juru bahasa (pasal 53), hak mendapatkan bantuan hukum (pasal 54), hak kunjungna dokter pribadi (pasal 58), hak mendapatkna kunjungna keluarga (pasal 60), hak kunjungan rohaniawan (63) maupun hak-hak lain yang secara jelas telah diatur didalam KUHAP.
Namun hak-hak yang telah tercantum itu masih menjadikan dokumen suci itu masih berada di langit yang tidak mengejawantah dalam pelaksanaan dan perlindungan HAM.
Dari pengalamana dan pengamatan penulis sebagai praktisi hukum, hak yang paling sering dilanggar dalam pemeriksaan adalah hak mendapatkan bantuan hukum dan hak memberikan keterangan bebas.
Secara subyektif penulis memberikan sorotan terhadap penerapan pasal ini didasarkan kepada berbagai faktor.
Didalam rumusan pasal 54 KUHAP dan pasal 56 KUHAP, bantuan hukum yang masih jarang digunakan didasarkan kepada berbagai sebab.
Alasan yang paling sering digunakan karena jumlah penasehat hukum didaerah yang masih minim, pengetahuan masyarakat yang masih minim dan tidak diterangkan hak-hak tersangka, jauh dari akses mendapatkan keadilan dan sebagainya.
Menurut penulis, alasan terhadap jumlah penasehat hukum harus disiati dengna cara penyidik menghubungi lembaga-lembaga yang memberikan konsentrasi terhadap bantuan hukum seperti lembaga bantuan hukum, asosiasi maupun menghubungi penasehat hukum. Kewajiban setiap tingkat pemeriksaan untuk menyediakan bantuan hukum mutlak sebagaimana diatur didalam pasal 56 KUHAP.
Kewajiban mutlak ini apabila tidak dilakukan mengakibatkan proses pemeriksaan menjadi tidak sah.
Pemeriksaan yang tidak prosedural mengakibatkan terhaap materi pemeriksaan batal demi hukum.
Berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung memberikan garis tegas, agar setiap tingkatan pemeriksaan harus didampingi penasehat hukum.
Selain itu, berkas perkara yang sulit didapatkan. Dalam praktek sehari-hari, berkas perkara masih dianggap dokumen resmi yang sangat sulit didapatkan. Argumentasi bahwa itu merupakan dokumen resmi sangat tidak tepat diperlakukan kepada tersangka atau penasehat hukum.
Rumusan pasal 143 dan penjelasan pasal 143 KUHAP secara tegas menerangkan bahwa berkas perkara adalah hak tersangka dalam pembelaannya.
Dengan demikian, maka rumusan pasal 143 ayat (4) KUHAP dan penjelasan memberikan kewajiban kepada jaksa penuntut umum agar memberikan berkas perkara saat pelimpahan perkara kepada Pengadilan Negeri
Paparan yang telah penulis uraikan adalah pintu masuk terhadap perlindungan hak-hak tersangka dari penyiksaan fisik terhadap tersangka maupun pelanggaran HAM dalam setiap proses hukum.
Kewajiban hukum menyediakan bantuan hukum setiap pemeriksaan memastikan agar tegaknya hak tersangka dan proses hukum berjalan sebagaimana mestinya.
Buramnya pelaksanaan hak-hak dan perlindungan HAM apabila diibaratkan wajah manusia, maka dapatlah dikatakan bopeng, buruk, buram dan sangat jijik kita memandangnya.
Kita tentu sangat jijik pelaksanaan HAM yang jauh dari kesan masyarkat beradab, berbudaya dan masih menggunakan cara-cara barbar, menyiksa dan cenderung jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Paparan ini juga menjelaskan wajah Bopeng Hari HAM 2009.
Momentum Hari HAM sedunia tahun 2009 merupakan momentum terhadap perbaikan dalam pelaksaaan HAM. Momentum ini jangan hilang dan menjadi utopia yang harus terus diperjuangkan.
Baca : Refleksi HAM 2007
http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/8778-wajah-bopeng-penegakan-ham.html