04 Januari 2010

opini musri nauli : Gusdur

Mendapatkan kabar meninggal dunia Abdurahman Wahid (Gusdur) ketika turun dari puncak gunung Kerinci (23 Desember 2009 - 2 Januari 2010) memang menyesakkan dada. Apalagi setelah kabar meninggalnya berlalu beberapa hari (30 Desember 2009).


Gusdur bagi saya adalah Guru Bangsa. Berbicara diatas golongan. Gusdur bukan hanya milik nahdiyin. Tapi sudah milik segala umat dan masyarakat Indonesia.

Guyonannya cerdas, berisi namun tetap mendidik. Pakemnya menabrak segala aturan yang mengikat.

Gusdur adalah sosok pemberani namun rendah hati menatap kemanusiaannya. Pikirannya melampau zaman.

Hidup di kalangan santri dan nahdiyin yang dibesarkan di pondok pesantren, menghormati tata krama Kiyai (sami' na' wato'na) namun pikirannya merdeka.

Menempatkan kemanusiaan diatas segalanya mengalahkan norma-norma agama. Di tangan Gusdur, tulisannya renyah, anteng namun tetap kaya makna.

Namun yang paling kusuka adalah guyonan yang gurih. Berbobot namun dalam makna.

Dengan pergaulan internasional, Gusdur mampu tertawa dengan Raja Abdullah (Arab Saudi), Bill Clinton (Amerika Serikat), Fidel Castro (Cuba) yang secara politik berbeda pandangan politik. Photo-photonya bersilewaran di media massa melihat photo Gusdur bersama ketiganya secara terpisah. 

Sejak tahun 1996 saya mengagumi Gusdur. Pesantrennya di Ciganjur adalah "rumah demokrasi" dan tempat perlindungan berbagai gerakan di Indonesia disaat masa suram represi orde baru.

Perlawanan Gusdur dengan membentuk "Forum Demokrasi' adalah pilihan strategis dan menjadi tempat berkumpulnya aktivis berbagai pemikiran.

Selamat Jalan, Gusdur.

Kami kehilangan humormu.

Al. Fatihah.